Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumberdaya hutan memiliki karakateristik yang khas sehingga
pengelolaan hutan tidak dapat disamakan dengan kegiatan pengelolaan
sumberdaya alam lainnya. Pengelolaan sumberdayaya hutan bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan
masyarakat. Namun demikian, pengelolaan hutan juga harus memperhatikan
sifat, karakteristik dan keutamaannya, sehingga tidak mengubah fungsi
pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Oleh karena itu,
diperlukan keseimbangan dalam pengelolaan hutan agar ketiga fungsi
tersebut dapat berfungsi. Hal ini dapat mendukung pembangunan ekonomi
melalui produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu, perlindungan wilayah
melalui konservasi tanah dan air serta pelestarian keanekaragaman hayati
guna kepentingan jangka panjang.
Pengelolaan hutan berbasis ekosistem menjadi salah satu strategi yang
ditempuh untuk dapat mewujudkan keberlanjutan dari fungsi optimal
ekosistem hutan. Kebijakan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem
merupakan kebijakan pengelolaan yang mengedepankan keseimbangan
fungsi ekosistem dalam memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Pola
pengelolaan berbasis ekosistem lebih berorientasi pada proses yang
berlangsung karena adanya keragaman dari elemen pembentuk hutan.
Berbagai upaya pencegahan dan perbaikan degradasi hutan terus
dilakukan untuk mengurangi kerusakan ekosistem hutan sehingga kondisi
ekosistem hutan dapat berfungsi secara optimal. Berbagai kebijakan
pemerintah telah dijalankan untuk mendapatkan terwujudnya kelestarian
hutan dan kesejahteraan masyarakat serta sekaligus mengakomodasikan
tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah. Salah satu terobosan
kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan adalah mengeluarkan
kebijakan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang telah
diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 1999, Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008.

1
Kebijakan tersebut telah menegaskan bahwa seluruh kawasan hutan di
Indonesia akan dibagi dan dibentuk kedalam unit-unit KPH.
Pengelolaan sumber daya hutan di tingkat tapak mutlak diperlukan
untuk menjawab berbagai permasalahan hutan yang muncul sekarang ini
seperti deforestasi akibat open access pada kawasan hutan yang tidak
terkelola dengan baik serta konflik penguasaan lahan hutan oleh masyarakat.
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan hutan (KPH) adalah salah satu upaya
mengurangi kerusakan hutan dengan pengelolaan yang lestari. Namun
demikian, upaya dalam menjaga kelestarian fungsi hutan perlu dilakukan
secara partisipatif dan kolaboratif dengan melibatkan pihak-pihak yang
bersinggungan dengan hutan baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah,
LSM, dan masyarakat lokal sekitar hutan.
Masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu dari beberapa
stakeholder yang memiliki peranan penting dalam menjaga hutan. Pola
interaksi masyarakat sekitar hutan dengan sumber daya adalah salah satu
penentu kelestarian hutan. Identifikasi pola interaksi melalui penelitian sosial
budaya dilakukan untukmenangkap fenomena serta kekhasan interaksi pada
suatu masyarakat di sebuah wilayah. Inventarisasi sosial budaya masyarakat
sekitar hutan adalah tool untuk mendapat gambaran kehidupan masyarakat
hutan.
Hasil dari penelitian sosial budaya tersebut di harapkan dapat
menghasilkan informasi yang bermanfaat bagi penyusunan tata hutan untuk
rencana pengelolaan hutan yang memperhatikan lokalitas dan dapat
memaksimalkan potensi hutan di wilayah KPH tersebut untuk kesejahteraan
masyarakat.

2
B. Maksud dan Tujuan

1. Maksud

Maksud dari pelaksanaan kegiatan ini adalah :


a. untuk memperoleh data dan informasi tentang pola kehidupan sosial
budaya masyarakat di dalam/sekitar hutan hubungannya dengan
lingkungan termasuk kaitannya dengan hukum adat/hak ulayat,
pranata sosial, norma, dan sistem nilai masyarakat, dan
b. untuk mengidentifikasi kondisi sosial budaya, interaksi antara
masyarakat dengan sumber daya hutan dan potensi masyarakat
setempat untuk penyusunan rencana pengelolaan Kesatuan
Pengelolaan Hutan (KPH).

2. Tujuan

Tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah mendapatkan data dan


informasi kondisi sosial budaya masyarakat di dalam/sekitar kawasan
hutan antara lain berupa sejarah, konflik di masyarakat, demografi,
sarana prasarana dan infrastruktur, perekonomian masyarakat,
aksesibilitas ke hutan maupun akses ke pemasaran hasil hutan, pola
penguasaan lahan, tipe penggunaan lahan, komoditas potensial, serta
perspektif masyarakat tentang tingkat kesejahteraan. Informasi
tersebut digunakan sebagai bahan penyusunan tata hutan untuk input
rencana pengelolaan KPHP Unit VI Kabupaten Simalungun.

3
BAB II
METODE INVENTARISASI

A. Pemilihan Lokasi
Kegiatan inventarisasi sosial budaya dilaksanakan dengan unit
sampel yakni wilayah desa di sekitar KPHP. Untuk setiap lokasi kegiatan KPHP
ditentukan 5 (Lima) desa sebagai sampel kegiatan yang dipilih secara
disengaja (purposive sampling), yaitu desa yang terletak di dalam atau sekitar
wilayah KPHP yang diharapkan dapat mewakili beberapa desa di sekitarnya
dan memiliki karakteristik hampir sama. Pertimbangan dalam penentuan desa
sasaran kegiatan inventarisasi sosial budaya yakni:
1. Pertimbangan fungsi hutan yaitu desa/pemukiman di dalam atau sekitar
wilayah KPHP.
2. Pertimbangan sosial budaya yakni sampel desa yang didasarkan pada asal
usul etnis sebagai masyarakat pendatang (minoritas) atau masyarakat lokal
(mayoritas). Perlu dipertimbangkan pula hal-hal yang berkaitan dengan
aktivitas masyarakat yaitu tingginya intensitas interaksi masyarakat dengan
kawasan hutan atau ketergantungan/tekanan masyarakat terhadap
kawasan hutan, jarak Desa/pemukiman dengan kawasan hutan dan
aksesibilitas dari desa menuju kawasan hutan.
3. Pertimbangan administratif yakni sampel desa yang didasarkan pada letak
administratif provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Digunakan untuk
memahami kebijakan pemerintah daerah provinsi/ kabupaten/ kota/
kecamatan.
4. Pertimbangan kondisi hutan yakni lokasi desa sampel berdasarkan
pemantauan hutan menggunakan citra satelit. Pada tahap ini dapat
diketahui kondisi penutupan lahan/hutan yang berada di sekitar
desa/pemukiman, adanya akses jalan menuju kawasan hutan dan untuk
memperhitungkan jarak antara kawasan hutan dengan desa/pemukiman.

4
Berdasarkan pertimbangan tersebut desa-desa yang dipilih sebagai unit
contoh adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 : Lokasi Inventarisasi Sosial Budaya (Purposive Sampling)

UNIT
NO KABUPATEN KECAMATAN DESA
KPHP
1. VI Simalungun Raya Siporkas
Raya Kahean Durian Baggal
Silau Kahean Simanabun
Dolok Silau Saran Padang
Panombean Panei Banuh Raya

B. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam kegiatan inventarisasi sosial budaya ini
yakni:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara
terhadap nara sumber dan responden, serta pengisian kuesioner,
diantaranya:
a. Jati diri responden
b. Masyarakat (asal usul masyarakat dan aksesibilitas masyarakat menuju
kawasan hutan).
c. Ketergantungan masyarakat dan distribusi manfaat sumber daya hutan
(penguasaan lahan, penggunaan lahan, perladangan berpindah,
manfaat hutan, akses pemasaran hasil hutan, kegiatan perekonomian
yang dikembangkan oleh masyarakat, dan tingkat kesejahteraan
masyarakat).
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari literatur yang tersedia pada
instansi pemerintah pada tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan desa
maupun pihak swasta, yakni:
a. Data kependudukan.
b. Data perekonomian (mata pencaharian, pola pertanian, hasil hutan,
peternakan, kerajinan tangan/industri kecil, sarana prasarana
perekonomian dan aksesibilitas ke pusat perekonomian.

5
c. Data penggunaan lahan dan hak ulayat.
d. Pemanfaatan SDH (pemanfaatan lahan hutan dan
pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu termasuk
satwa).
f. Harga hasil pertanian dan kebutuhan pokok dalam setahun.
g. Adat istiadat dan proses sosial di masyarakat.
h. Kelembagaan sosial ekonomi dan budaya yang ada.
i. Pendidikan (tingkat pendidikan dan sarana pendidikan).
j. Kesehatan (jumlah tenaga medis dan sarana prasarana termasuk
penyakit yang sering diderita masyarakat).
k. Sarana air bersih, MCK dan penerangan.
l. Sarana transportasi dan perhubungan.

C. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data kegiatan inventarisasi sosial budaya masyarakat


menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
1. Metode Kualitatif
Metode kualitatif digunakan untuk memperoleh data tentang persepsi,
untuk menggali sejarah kepemilikan lahan, kebijakan pemberdayaan
masyarakat, interaksi masyarakat dengan sumber daya hutan, konflik
kawasan, serta pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat maupun
pemerintah. Untuk memperoleh data tersebut diperlukan empat teknik
pengumpulan data, yakni:
a. Studi/data literatur, dilakukan pada persiapan sebelum ke lapangan,
pada saat di lapangan, dan kembali dari lapangan. Pengumpulan data
pada tahap persiapan sebelum ke lapangan bertujuan agar tim
memahami kondisi umum masyarakat dan rencana pembangunan oleh
pemerintah daerah. Data literatur pada saat di lapangan, untuk
melengkapi data primer. Sedangkan data literatur setelah dari
lapangan, untuk memperluas wawasan dalam membuat analisa data
lapangan. Data literatur dikumpulkan pada tingkat
provinsi/kabupaten/kota/kecamatan berupa buku dalam angka,
rencana strategis pemerintah provinsi/kabupaten/kota/kecamatan,

6
monografi desa, dan kebijakan pemerintah terhadap pemanfaatan
sumberdaya hutan (perundangan, peraturan pemerintah, peraturan
daerah).
b. Observasi, dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata mengenai
mata pencaharian masyarakat, permukiman, pemanfaatan sumber
daya hutan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kondisi kesehatan
masyarakat, kondisi pendidikan masyarakat, serta kondisi geografis
masyarakat, kondisi kesejahteraan masyarakat dan kondisi
infrastruktur desa.
Untuk mendukung metode observasi perlu dilakukan kegiatan
pemotretan sebagai media dokumentasi, dan pengambilan letak
geografis yaitu titik koordinat desa dan kawasan hutan.
c. Wawancara, dilakukan untuk memperoleh keterangan tentang
peristiwa yang tidak dapat disaksikan langsung pada saat pelaksanaan
kegiatan. Metode ini digunakan untuk memahami sejarah kepemilikan
lahan, kebijakan pemberdayaan masyarakat, interaksi masyarakat
dengan sumberdaya hutan, konflik kawasan, serta pemanfaatan
sumberdaya hutan oleh masyarakat maupun pemerintah. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 2 teknik
wawancara, yakni:
1. Teknik wawancara bebas (open interview) dilakukan di kantor
desa, warung makan, tempat ibadah, terminal angkutan, ataupun
di pasar dengan topik tidak terfokus. Teknik wawancara bebas ini
digunakan sebagai komparasi atau cross check data dari informan
kunci.
2. Teknik wawancara mendalam (depth interview) dilakukan
terhadap informan kunci (key informant) seperti kepala desa,
kepala adat, dan tokoh masyarakat yang diwakili oleh guru, tokoh
agama atau tokoh pemuda dengan menggunakan pedoman
wawancara, dengan jumlah informan di setiap desa sampel
sebanyak 2 (dua) orang.
d. Diskusi terbatas, dilakukan di tingkat desa, untuk memahami interaksi
antara masyarakat dengan kawasan hutan, yang mencakup aspek
sejarah pemanfaatan dan prospek pengelolaan berdasarkan aspirasi

7
masyarakat. Diskusi dilakukan dengan melibatkan kepala desa,
perangkat adat dan tokoh masyarakat/adat.
2. Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan masyarakat berdasarkan sumber mata pencaharian serta
potensi perekonomian masyarakat. Metode kuantitatif juga digunakan
untuk mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan
hutan. Metode pengumpulan data menggunakan kuisoner (daftar isian)
dengan sumber informasi adalah responden. Jumlah responden pada
masing-masing desa sampel sebanyak 10 (sepuluh) orang.
Pemilihan responden didasarkan pada pertimbangan jenis mata
pencaharian masyarakat yaitu petani kebun, petani ladang, petani sawah,
peternak, pedagang, nelayan, karyawan, dan PNS/TNI/Polri.

D. Analisis Data

Analisis data dalam kegiatan inventarisasi sosial budaya ini


menggunakan metode deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hal-hal yg perlu di
analisis antara lain:
1. Pertambahan penduduk
2. Kebutuhan lahan
3. Tingkat kesejahteraan
4. Tingkat pendidikan
5. Kondisi infrastruktur desa (kesehatan, pendidikan, penerangan, air
bersih,transportasi, perhubungan)
6. Konflik atau perbedaan pendapat antara masyarakat dengan pemerintah
daerah
7. Kondisi politik lokal yang berpengaruh terhadap masyarakat dan hutan
8. Peluang/dukungan terhadap kawasan hutan.

8
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI

A. BIOFISIK
1. Sejarah Pemerintahan
Pada periode 500-1295 diketahui terdapat bentuk sistem
pemerintahan bersama yang terdiri dari 4 kerajaan yaitu Kerajaaan Nagur,
Silou, Batangiou dan Harau. Sistem pemerintahan bersama ini dikenal
dengan nama sistem Raja Maropat atau Raja Nan EPembagian wilayah
pemerintahan pada masa sebelum masuknya penjajahan Belanda
didasarkampat. Sedangkan pemerintahannya dikenal dengan nama Purba
Deisa Naualuh atau Batak Timur Raya.
Perpecahan diantara kerajaan tersebut akibat masih seringnya
perang antar kerajaan tidak dapat dihindarkan. Berdirinya kerajaan-
kerajaan baru yaitu kerajaan Dolok Silau oleh marga Purba Tambak, Tanah
Jawa oleh marga Sinaga, Siantar oleh marga Damanik dan Panei oleh
marga Purba Dasuha tetap menghidupkan sistem pemerintahan Raja
Maropat sampai pada tahun 1865 walaupun pemerintahannya sendiri
sudah berganti.
Pada tahun 1865 kembali kerajaan-kerajaan tersebut pecah menjadi
7 kerajaan yaitu Kerajaan Dolok Silau, Tanah Jawa, Siantar, Panei, Raya,
Purba dan Silimakuta dan tidak lagi menggunakan sistem pemerintahan
bersama. Perpecahan ini tidak dapat dilepaskan dari politik devide at
impera-nya kolonial Belanda. Masa perpecahan ini terjadi mulai tahun 1865
sampai dengan tahun 1907 dimana Belanda mulai mendirikan perkebunan-
perkebunan besar.
Masuknya Belanda secara bertahap ke Simalungun telah membawa
perubahan sistem pemerintahan yang menjadi sistem pemerintahan
kolonial.Perubahan ini berdampak dibatasinya peran harajaon (kerajaan)
yang berkuasa. Melalui Besluit Gubernement Nomor 22 (Staatsblad Nomor
531) tanggal 12 Desember 1906 dibentuklah afdeling Simalungun en de
Karo landen yang dikepalai oleh asisten residen V.C.J. Westenberg di
Seribu Dolok. 17 Wilayah administrasi pemerintahan dibagi ke dalam 7
landschapskassen (penguasa setempat) yang terdidi dari 16 distrik dan

9
huta (kampung) yang dibuat berdasarkan kekuasaan raja-raja yang masih
berkuasa di Simalungun pada masa itu sebagaimana berikut ini :

Tabel 3.1. Pembagian Wilayah Administrasi Pemerintahan Simalungun:

No Kerajaan Distrik
1. Siantar 1. Siantar
2. Bandar
3. Sidamanik
2. Tanah Jawa 1. Tanah Jawa
2. Bosar Maligas
3. Jorlang Hataran
4. Dolok Panribuan
5. Girsang Sipangan Bolon
3. Panei 1. Panei
2. Dolok Batu Nanggar
4. Raya 1. Raya
2. Raya Kahean
5. Dolok Silau 1. Dolok Silau
2. Silau Kahean
6. Purba Purba
7. Silimakuta Silimakuta

Raja-raja yang berkuasa memberi persetujuan kepada Belanda


untuk menganeksasi wilayahnya untuk dijadikan perkebunan-perkebunan
besar seperti perkebunan sawit, karet dan lain-lain yang sampai sekarang
masih berdiri. Saat pembukaan perkebunan tersebut hampir tidak ada
perlawanan karena pada masa itu tanah tidak dimiliki oleh rakyat, tapi
dimiliki dan dikuasai oleh partuanon (penguasa lokal setingkat nagori) yang
tunduk kepada raja di wilayahnya.
Keberadaan perkebunan tersebut membawa dampak pada tatanan
sosial yang terjadi di Simalungun. Seperti imigrasi penduduk ke wilayah
Simalungun, baik yang memang ingin mengadu nasib maupun yang
didatangkan Belanda sebagai buruh perkebunan. Imigrasi penduduk ini

10
menjadikan wilayah Simalungun sebagai melting pot dari berbagai
kebudayaan dan agama yang dibawa oleh para pendatang. Setelah
kemerdekaan Republik Indonesia maka berdasarkan Undang-Undang
Darurat (Drt) Nomor 7 Tahun 1956 dibentuklah Kabupaten Simalungun
dengan 16 kecamatan yang berasal dari 16 distrik pada masa pemerintah
Belanda dan berkembang menjadi 17 kecamatan yaitu Kecamatan Dolok
Pardamean. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
1991 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1992 dilaksanakan
pemekaran kecamatan dari 17 kecamatan menjadi 21 kecamatan yaitu
Kecamatan Pematang Bandar, Huta Bayu Raya, Ujung Padang dan Tapian
Dolok.
Satu hal penting dalam sejarah pemerintah di Simalungun adalah
ditetapkannya Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun pada tanggal 25
April 1995 sebagai salah satu dari 25 Daerah Tingkat II Percontohan
Otonomi Daerah. Pada pelaksanaannya, penyerahan urusan, baik yang
berasal dari pusat maupun Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara
meliputi 22 bidang, 108 sub bidang dan 475 urusan yang ditangani oleh 24
dinas daerah.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru oleh gerakan reformasi
yang dimotori oleh mahasiswa, pemerintah pusat mendesentralisasikan
sebagian kewenangannya kepada daerah kabupaten/kota melalui Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999.Dampak pemberlakuan undang-undang ini
yang paling nyata adalah munculnya wilayah-wilayah pemekaran mulai dari
tingkat nagori/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.
Kabupaten Simalungun juga mengalami pemekaran wilayah
nagori/kelurahan dan kecamatan dimana sebelumnya terdiri dari 21
kecamatan dimekarkan menjadi 30 kecamatan.

2. Kondisi Geografis
Simalungun letaknya diapit oleh 8 kabupaten yaitu Kabupaten
Serdang Bedagai, Deli Serdang, Karo, Tobasa, Samosir, Asahan, Batu Bara,
dan Kota Pematangsiantar. Letak astronomisnya antara 02°36'-03°18'
Lintang Utara dan 98°32'-99°35' Bujur Timur dengan luas 4.386,60 km2
atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara, berada pada

11
ketinggian 0-1.400 meter di atas permukaan laut dimana 75 persen
lahannya berada pada kemiringan 0-15% sehingga Kabupaten Simalungun
merupakan Kabupaten terluas ke-3 setelah Kabupaten Madina dan
Kabupaten Langkat di Sumatera Utara dan memiliki letak yang cukup
strategis serta berada di kawasan wisata Danau Toba-Parapat.
Kabupaten Simalungun terdiri dari 31 Kecamatan dengan
kecamatan terluas adalah Kecamatan Raya sedangkan terkecil adalah
kecamatan Haranggaol Horison dengan rata rata jarak tempuh ke ibukota
Kabupaten 51,42 km dimana jarak terjauh adalah Kecamatan Silou
Kahean 127 km dan Ujung Padang 113 km.
Lokasi kegiatan Inventarisasi sosial budaya masyarakat sekitar
hutan berada pada 5 nagori di KPH unit VI,yaitu :
1. Nagori Siporkas , kecamatan Raya
2. Nagori Durian Baggal, kecamatan Raya Kahean
3. Nagori Simanabun, kecamatan Silau Kahean
4. Nagori Saran Padang, kecamatan Dolok Silau.
5. Nagori Banuh Raya, kecamatan Panombean Panei
Dari kelima nagori tersebut, menurut SK. 579 tahun 2014 tentang
Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara, Nagori Siporkas, Durian
Baggal, Simanabun dan Saran Padang dan Banuh Raya berbatasan dengan
fungsi Hutan Produksi. Selanjutnya lokasi Nagori Inventarisasi dapat dilihat
pada peta dibawah ini.

12
Gambar 3.1. Lokasi inventarisasi sosial budaya KPH unit VI, kabupaten Simalungun

Nagori yang diobservasi berada di tepi kawasan hutan dan lokasinya


menyebar di sepanjang KPH unit VI dengan nagori terjauh adalah
Simanabun (132 km dari Pematang Raya) dan terdekat adalah Nagori
Banuh Raya (29 km dari Pematang Raya) (Tabel 3.1).

Tabel 3.2. Jarak nagori ke pusat kota

Jarak ke pusat
Jarak ke pusat
Desa/Nagori kecamatan
kabupaten (km)
(km)

Siporkas 32 35
Durian Baggal 7 37
Simanabun 5 132
Saran Padang 2 56
Banuh Raya 9 29

3. Topografi
Pada umumnya areal lokasi pelaksanaan kegiatan inventarisasi
potensi wilayah KPH Unit VI Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera
Utara merupakan dataran Tanah Kering dengan ketinggian tempat
bervariasi dari lebih kurang 400 m dpl sampai dengan 1200 meter diatas
permukaan laut (mdpl) dan fisiografi bervariasi dari dataran, pegunungan

13
lipatan dan pegunungan patahan. Daerah yang bertopografi daratan
sampai berbukit-bukit dengan kemiringan antara curam (25% - 40%)
sampai dengan sangat curam (≥40 %). Luasan kelerengan sebagaimana
Tabel 3.3

Tabel 3.3. Daftar Rincian Luas Kelerengan pada Lokasi Inventarisasi


Biogeofisik Wilayah Pengelolaan KPH Unit VI Kabupaten
Simalungun Provinsi Sumatera Utara
No. Topografi Kemiringan (%) Luas (ha)
1. Curam 25 s/d 40 30.864,73

2. Sangat curam 40 ≤ up 14.406,30

Jumlah 45.271,03

4. Geologi dan Tanah

Formasi geologi merupakan suatu strata atau perlapisan batuan


yang mempunyai jenis batuan dan fasies yang memiliki kesamaan
karakteristik. Formasi adalah satuan dasar dalam pembagian satuan
litostratigrafi. Satuan litostratigrafi sendiri adalah satuan batuan. Satuan
batuan menggambarkan batuan yang dominan di suatu tempat atau
wilayah. Nama satuan batuan atau ‘formasi’ diambil dari nama tempat atau
nama geografis dimana satuan batuan tersebut paling banyak dan paling
baik tersingkap.
Cekungan Sumatera Utara secara tektonik terdiri dari berbagai elemen
yang berupa tinggian, cekungan maupun peralihannya, dimana cekungan
ini terjadi setelah berlangsungnya gerakan tektonik pada zaman
Mesozoikum atau sebelum mulai berlangsungnya pengendapan sedimen
tersier dalam cekungan Sumatera Utara. Tektonik yang terjadi pada akhir
Tersier menghasilkan bentuk cekungan bulat memanjang dan berarah
Barat Laut – Tenggara. Proses sedimentasi yang terjadi selama Tersier
secara umum dimulai dengan trangressi, kemudian disusul dengan regresi
dan diikuti gerakan tektonik pada akhir Tersier. Pola struktur cekungan
sumatera utara terlihat adanya perlipatan-perlipatan dan pergeseran-
pergeseran yang berarah lebih kurang ke barat laut – tenggara

14
Sedimentasi dimulai dengan sub cekungan yang terisolasi berarah utara
pada bagian bertopografi rendah dan palung yang tersesarkan.
Pengendapan Tersier Bawah ditandai dengan adanya ketidak selarasan
antara sedimen dengan batuan dasar yang berumur Pra-tersier.
merupakan hasil trangressi, membentuk endapan berbutir kasar – halus,
batu lempung hitam, napal, batu lempung gampingan dan serpih.
Berdasarkan hasil kajian, formasi geologi yang ada di KPHL Unit VI
tersusun atas 13 (tiga belas) tipe dan didominasi oleh Tuffa Toba, Formasi
Gunung api Haranggaol dan Formasi Bahorok (Tabel 3.4). Formasi geologi
di KPH ini cukup komplek sehingga jenis tanah dan peluang pemanfaatan
lahannya juga memiliki variasi yang cukup tinggi.

Tabel 3.4.Daftar Formasi Geologi dan Luasan pada Wilayah KPH Unit VI
Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara

No. Formasi Geologi Luas (ha) (%)

1. Anggota Belumai 40,56 0,08


2. Satuan Piroklastik 595,15 1,31
3. Satuan Simbolon 11.643,79 25,72
4. Satuan Tajur-Takur 2.040,41 4,50
5. Tuffa Toba 30.951,11 68,36
Total 45.271,03 100

Sumber : Hasil Analisis Peta tanah KPHP Unit VI Simalungun, 2018

Formasi Tuffa Toba, jenis batuan yang dominan pada formasi ini
berupa Tufa Riodasit dan sebahagian telah terlaskan. Berwarna abu-abu
pucat dengan matriks gelas; kristal kuarsa, biotit, sanidin, hornlende,
plagioklas dengan mineral minornya yaitu apatit, magnetit, ilmenit,
hipersten, alanit, dan zirkon. Saat gunung toba meletus kebanyakan hasil
letusan yang berupa abu vulkanik jatuh dan terendapkan pada daerah ini.
Saat ini kenampakan jenis batuan ini lebih mirip pada batu pasir bila
diamati dari jauh sebab telah terkompakkan. Daerah dalam cakupan
formasi ini cukup subur sehingga sesuai untuk kegiatan kehutanan dan
budidaya non hutan.

15
Struktur dan formasi geologi mempunyai banyak pengaruh
langsung/tidak langsung pada penggunaan lahan khususnya.
Relief/topografi sangat berhubungan erat dengan keadaan geologinya.
Formasi geologi sangat mempengaruhi struktur daerah dan merupakan
bahan dasar dari bahan induk tanah. Oleh karena itu adanya informasi
tentang geologi sangat memudahkan dalam mengevaluasi potensi
(kemampuan dan kesesuaian lahan) untuk suatu penggunaan tertentu.
Manfaat seperti ini telah ditunjukkan oleh penggunaan data geologi di
dalam sistem evaluasi lahan seperti pada sistem lahan (land system)
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa
jenis tanah yang berbeda-beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam
kelompok-kelompok dan sub kelompok-sub kelompok berdasarkan
pemakaiannya. Dalam perancangan fondasi, klasifikasi tanah berguna
sebagai petunjuk awal dalam memprediksi kelakuan tanah. Pada dasarnya.
tanah merupakan suatu lapisan yang berada di permukaan bumi berbentuk
padat (tetapi bukan batuan), dengan penyebaran secara horizontal dan
vertikal yang berbeda untuk satu daerah dengan daerah yang lainnya.
Tanah sangat mendukung berbagai aktivitas kehidupan manusia dan
organisme lainnya, dan dapat dikatakan, tanpa adanya tanah hampir setiap
jenis aktivitas kehidupan manusia akan terganggu. Tanah pada wilayah
KPH Unit VI terdiri dari 3 (tiga) tipe, wilayah ini didominasi oleh jenis
podsolik coklat sebesar 76,035%, dan yang terendah adalah Aluvial
sebesar 1,074 %. Adapun tipe dan luasan tutupan jenis tersebut disajikan
pada Tabel 3.5.

Tabel 3. Daftar Rincian Klasifikasi Tanah dan Luasan pada Wilayah KPH
Unit VI Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.

No Klasifikasi Tanah Luas (Ha)


1. Aluvial 771,78
2. Andosol 10.077,23
3. Podsolik coklat 34.422,02
Total 45.271,03

16
Jenis tanah podsolik bersifat gembur dan mempunyai perkembangan
penampang. Cenderung tidak seberapa mantap dan teguh, peka terhadap
pengikisan. Dari segi kimia, jenis tanah ini asam dan miskin, lebih asam dan
lebih miskin dari tanah latosol. Untuk keperluan pertanian, jenis tanah ini
perlu pemupukan lengkap dan tindak pengawetan. Untuk jenis tanah
podsolik coklat biasanya dipakai untuk hutan lindung. Tanah podsolik merah
kuning merupakan bagian dari tanah Ultisol. Menurut USDA, ultisol adalah
tanah yang sudah mengalami pencucian pada iklim tropis dan sub tropis.
Karakter utama tanah ultisol adalah memiliki horizon A yang tipis. akumulasi
lempung pada horizon Bt dan bersifat agak masam.
Tanah andosol adalah tanah yang berbahan induk abu volkan,
merupakan tanah yang relatif muda dibandingkan latosol, yang sifat-
sifatnya sangat ditentukan oleh mineral liat yang dikandungnya yaitu alofan
yang bersifat amorf. Tanah ini mempunyai horizon A1 tebal bewarna hitam
yang kaya bahan organik, tetapi tidak mempunyai horizon A2, dengan
horizon B berwarna kuning pucat, coklat kekuningan atau coklat keabu-
abuan volkan terlapuk sampai ke horizon C. Umumnya mempunyai
kejenuhan basa relatif rendah tetapi mempunyai Al dapat ditukar relatif
tinggi. Terbawa oleh sifat mineral liat dominan yang dimilikinya maka
andosol mempunyai sifat tiksotrofik, mempunyai kemampuan mengikat air
besar, porositas tinggi, bobot isi rendah, gembur, tidak plastis dan tidak
lengket serta kemampuan fiksasi fosfat yang tinggi. Secara umum
dikatakan bahwa: makin gelap tanah berarti makin tinggi produktivitasnya,
selain ada berbagai pengecualian, namun secara berurutan sebagai berikut:
putih, kuning, kelabu, merah, coklat-kekelabuan, coklat-kemerahan, coklat,
dan hitam.

5. Hidrologi
KPH Unit VI tersebar di 9 (sembilan) kecamatan meliputi 19
Desa/Nagori yang berada di Kabupaten Simalungun dan penyebarannya
berada pada fungsi hutan produksi dengan klasifikasi hutan lahan kering
sekunder. Penyerapan air ke dalam tanah pada umumnya berlangsung
cukup baik, di tempat-tempat yang lebih rendah masih banyak ditemukan
mata air dan berbentuk anak sungai dengan pola yang biasa disebut

17
dendritik (bercabang mirip percabangan pohon beringin). Pola arus sungai
yang dendritik ini menunjukkan bahwa formasi batuan di lokasi inventarisasi
biogeofisik secara umum relatif seragam ketahanannya terhadap pengikisan
oleh air sungai meskipun fungsi geologisnya bervariasi.
DAS adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung dimana
air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung-
punggung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai
utama (Asdak. 1995). Karena DAS dianggap sebagai system, maka
pengembangannya harus dperlakukan sebagai suatu system. Dengan
memperlakukan sebagai suatu system dan pengembangannya bertujuan
untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan. Salah satu fungsi
utama dari DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas
yang baik terutama bagi masyarakat di daerah hilir. Alih guna lahan hutan
menjadi lahan pertanian akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas tata air
pada DAS yang akan lebih dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir.
Menurut pembagian wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Wilayah KPH Unit
VI Kabupaten Simalungun masuk kedalam kelompok DAS yang meliputi DAS
Bedagai, DAS Bah Hapal, DAS Padang dan DAS Ular. Sebaran dan luasan
DAS di wilayah KPH Unit VI Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara
disajikan pada tabel berikut :

Tabel 3.6. Nama DAS di Wilayah KPH Unit VI Kabupaten Simalungun


NAMA DAS LUAS (M2)
No.
DAS Bedagai 6.568,34
1.
DAS Bah Hapal 3.039,78
2.
DAS Padang 18.860,06
3.
DAS Ular 16.802,84
4.
LUAS KPHP UNIT VI 45.271,03

Hulu sungai DAS tersebut berasal dari Bukit Barisan dan bermuara
di Pantai Barat Sumatera, secara umum sungai-sungai tersebut pendek,
terjal dan sempit sehingga tidak mungkin dijadikan sebagai sarana
transportasi, tetapi dijadikan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air dan
kebutuhan irigasi. Sungai (Bah) yang terdapat di Wilayah KPHP Unit VI

18
diantaranya adalah : Bah Kariahan, Bah Kaliat, Bah Hapal, Bah Simata, Bah
Karai dan lain-lain.

6. Iklim
Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan Kabupaten
Simalungun dalam Angka Tahun 2014, menyebutkan bahwa di Kabupaten
Simalungun menerima curah hujan perbulan berdasarkan stasiun
pengamatan sebesar 226,67 mm dengan jumlah hari hujan 12,92 hari.
Berbeda dengan fenomena tahun-tahun sebelumnya pada umumnya,
curah hujan terjadi secara merata disepanjang tahun.
Data curah hujan diketemukan dengan lengkap, sedangkan untuk tabel
rata-rata hari hujan dan curah hujan Kabupaten Simalungun dapat dilihat
pada tabel berikut ini.

Tabel 3.7 Rata-Rata Hari Hujan dan Curah Hujan Setiap Bulan
di Kabupaten Simalungun.

Curah Hujan Hari Hujan


No. Bulan
(mm) (hari)
1. Januari 57 7
2. Pebruari 119 3
3. M a r e t 115 7
4. April 309 17
5. M e i 347 17
6. Juni 132 7
7. Juli 159 6
8. Agustus 386 22
9. September 235 18
10. Oktober 401 14
11. Nopember 194 17
12. Desember 266 20
Rata-ratahujan/tahun 226,67 12,92
Sumber : Kabupaten Simalungun Dalam Angka Tahun 2014

Menurut Peta iklim Skala 1 : 500.000 Provinsi Sumatera Utara dan


penggolongan type iklim Schmidth dan Ferguson, pada lokasi kegiatan
inventarisasi potensi wilayah KPHP Unit VI Kabupaten Simalungun
termasuk kedalam type Iklim A (Schmidth dan Fergusson) dengan nilai Q =
0 - 14,33%.

19
Suhu rata-rata , maksimum dan minimum udara berdasarkan Badan
Meteorologi dan Geofisik Stasiun Penelitian Marihat untuk Kabupaten
Simalungun dapat dilihat pada tabel 3.8

Tabel 3.8 Suhu Rata-Rata, Maksimum dan Minimum Udara Menurut Bulan
Tahun 2016 (oC)
Rata-
Bulan Maksimum Minimum
Rata
Januari 21,80 27,70 18,70

Pebruari 21,40 26,80 18,60

Maret 22,60 28,90 19,30

April 22,50 28,50 19,20

Mei 22,30 27,40 19,10

Juni 22,10 27,80 19,00

Juli 21,80 28,20 18,60

Agustus 22,70 28,50 18,10

September 22,40 28,70 16,40

Oktober 22,70 28,70 18,20

Nopember 21,50 26,10 19,10

Desember 21,50 27,10 18,90

Sumber : Kabupaten Simalungun Dalam Angka Tahun 2017

Berdasarkan tabel tersebut diatas suhu udara rata-rata tertinggi pada


bulan Agustus 22,70 oC dan suhu udara rata-rata terendah bulan Pebruari 21,40
oC, Suhu maksimum tertinggi bulan Maret 28,90 oC dan suhu udara maksimum
terendah bulan Nopember 26,10 oC dan suhu udara minimum tertinggi pada bula
Mareti 19,30 oC. dan suhu udara terendah pada bulan September 16,40 oC.

20
B. DEMOGRAFI
Data kependudukan Lima Desa menunjukkan rasio laki-laki dan
perempuan relatif berimbang jumlahnya. Jumlah penduduk terbanyak di Desa
Saran Padang dan terendah di Desa Banuh Raya (tabel 3.9). (2017, BPS).

Tabel 3.9. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin pada lima Desa
Jumlah penduduk
Kecamatan/Desa Laki-laki Perempuan Total

Raya Siporkas 891 892 1783

Raya Kahean Durian Baggal 970 957 1927

Silau Kahean Simanabun 759 775 1534

Dolok Silau Saran Padang 1149 1164 2313

Panombean Pane Banuh Raya 560 552 1.112

Tabel 3.10. Jumlah penduduk dan luas wilayah

Jumlah Luas Wilayah


Kecamatan/Desa
penduduk (km2)
Raya Siporkas 1.783 18,60

Raya Kahean Durian Baggal 1.927 26,00

Silau Kahean Simanabun 1.534 10,96

Dolok Silau Saran Padang 2.313 27,00

Panombean Panei Banuh Raya 1.112 4,00

21
C. SARANA DAN PRASARANA

Keberadaan sarana dan prasarana baik pendidikan, kesehatan,


maupun rohani sangat diperlukan masyarakat. Tabel 3.11. menunjukkan
jumlah sarana prasarana di 5 Desa. Keberadaan rumah ibadah cukup banyak
terutama Gereja dan Masjid untuk mendukung peribadatan umat Kristen dan
Islam. Sarana pendidikan belum lengkap pada setiap Desa, tetapi di Desa
Saran Padang sarana pendidikan sudah lengkap mulai dari tingkat SD Sampai
SLTA sedangkan di Desa lainnnya hanya terdapat SD. Fasilitas kesehatan
juga kurang lengkap pada tiap Desa hanya berupa puskesmas pembantu dan
posyandu tetapi di Desa Saran Padang Puskesmas dan Puskesmas Pembantu
lengkap begitu juga dengan tenaga medisnya sudah cukup memadai.

Tabel 3.11. Sarana prasarana ibadah, pendidikdan dan kesehatan

Sarana Prasarana
Kecamatan/Desa Rumah ibadah Pendidikan Kesehatan
4 Posyandu, 2
Raya Siporkas 6 Gereja 3 SD
Bidan
2 Masjid, 4 2 Posyandu, 1
Raya Kahean Durian Baggal
Gereja Protestan
3 SD
Bidan
1 Pustu, 4
Silau Kahean Simanabun 1 Masjid, 3 Gereja 2 SD Posyandu, 1
Bidan
1 Puskesmas,1
Pustu, 4
1 Masjid, 8 5 SD, 1 SLTP,
Dolok Silau Saran Padang
Gereja Protestan 1 SLTA
Posyandu,
Tenaga Medis
24
1 Poskesdes, 2
P anombean
Banuh Raya 1 Masjid, 5 Gereja 2 SD, Posyandu, 1
Pane Bidan

22
BAB IV
HASIL

A. Sejarah Desa, Pemukiman dan Tata Guna Lahan


1. Desa Siporkas
Desa yang berada di kecamatan Raya ini memiliki jumlah
penduduk 1783 jiwa dan 442 KK. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa
Siporkas, mayoritas yang mendiami wilayah ini adalah etnis Simalungun
dan Toba. Jenis tanaman utama adalah Padi ladang, Jagung, ubi kayu,
Karet, Kopi Robusta dan Arabica, Cokelat, Kemiri sedangkan hasil hutan
yang dipungut adalah Durian, Petai Dan Aren. Berdasarkan data monografi
desa, luas Total desa adalah 1.860 Ha, dengan penggunaan lahan
didominasi lahan kering seluas 1.060 Ha (56,98%), dan lahan sawah
seluas 300 Ha (16,12,%),Pemukiman 100 Ha ( 5,3 %) dan Hutan 400 Ha
(21,50 %) dapat dilihat pada Gambar 4.1.

JENIS PENGGUNAAN LAHAN PADA DESA SIPORKAS

Lahan Kering
21.50%

Lahan Sawah

5.30%
56.98% Pemukiman

16.12%
Hutan Produksi

Gambar 4.1. Grafik Persentase Penggunaan Lahan pada Desa


Siporkas

23
Pola penguasaan lahan di Desa ini (Gambar 4.2) sebagian besar
merupakan lahan pertanian bukan sawah milik sendiri dan diikuti lahan
pertanian sawah milik sendiri, lahan non pertanian milik sendiri dan lahan
pertanian bukan sawah yang disewa.

POLA PENGUASAAN LAHAN DI DESA SIPORKAS

Milik sendiri Hibah/Warisan/Ulayat Sewa

9.2

2.78

0.3 0.42
0 0 0 0 0

Lahan Pertanian Sawah Lahan Pertanian bukan Lahan Non Pertanian


Sawah

Gambar 4.2 . Grafik pola penguasaan lahan (Ha) di Desa Siporkas

2. Desa Durian Baggal


Desa yang berada di kecamatan Raya Kahean ini memiliki jumlah
Penduduk 1.927 jiwa dan 512 KK. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa
Durian Baggal, mayoritas yang mendiami wilayah ini adalah etnis
Simalungun dan Toba. Sebagian besar masyarakatnya berpencaharian dari
sektor pertanian dengan luas Padi sawah 20 Ha (0,76%), lahan kering
seluas 2.320 Ha (89,23%), Pemukiman 25 Ha ( 0,96 %) dan Hutan 235
Ha ( 9,03%). Jenis tanaman pertanian dan perkebunan masyarakat Desa
Durian Baggal yang utama adalah Karet, Kelapa sawit, Kopi Robusta, Kopi
Arabica, Kelapa, cokelat, cengkeh, kulit manis, kemiri dan yang lainnya.
Sejak zaman dahulu masyarakat telah tinggal turun-menurun dan
memanfaatkan hasil hutan berupa Aren, petai dan Jengkol, Namun

24
demikian tidak ada aturan atau norma tertentu yang mengatur
pemanfaatan hasil hutan. Penguasaan lahan telah terjadi secara turun-
menurun.

JENIS PENGGUNAAN LAHAN PADA DESA DURIAN BAGGAL


0.96%

0.76%
9.03% Lahan Kering
Lahan Sawah
Pemukiman
Hutan Produksi

89.23%

Gambar 4.3. Grafik Persentase Penggunaan Lahan pada Desa Durian


Baggal

Pola penguasaan lahan di Desa ini (gambar 4.4.) sebagian besar


merupakan lahan pertanian bukan sawah milik sendiri, diikuti dengan
lahan pertanian sawah milik sendiri dan lahan non pertanian milik sendiri.

POLA PENGUASAAN LAHAN DI DESA DURIAN BAGGAL

Milik sendiri Hibah/Warisan/Ulayat Sewa

12.1

1.6 1.2
0.8 0.36
0 0 0 0

Lahan Pertanian Sawah Lahan Pertanian bukan Lahan Non Pertanian


Sawah

Gambar 4.4 . Grafik pola penguasaan lahan (Ha) di Desa Durian Baggal

25
3. Desa Simanabun
Desa yang berada di kecamatan Silau Kahean terdiri atas 5 dusun,
memiliki jumlah penduduk 1.534 jiwa yang terdiri dari 365 KK.
Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Simanabun, mayoritas yang
mendiami wilayah ini adalah etnis Simalungun, Karo dan Toba. Sebagian
besar masyarakatnya berpencaharian dari sektor pertanian lahan kering
seluas 626 Ha (56,09%) , Pemukiman 70 Ha ( 6,27 %) dan Hutan seluas
420 Ha (37,63%).Jenis tanaman utama adalah padi ladang, jagung, ubi
kayu dan tanaman Perkebunan adalah Karet, Kelapa Sawit,Kopi Robusta,
Kopi arabica, cokelat,Kemiri sedangkan tanaman Kehutanan adalah
Durian, Jengkol dan Aren.

JENIS PENGGUNAAN LAHAN PADA DESA SIMANABUN

Lahan Kering
Lahan Sawah
Pemukiman
37.63%
Hutan Produksi

56.09%

6.27%
0.00%

Gambar 4.5. Grafik Persentase Penggunaan Lahan pada Desa Simanabun

Pola penguasaan lahan di Desa ini (gambar 4.6.) sebagian besar


merupakan lahan pertanian bukan sawah milik sendiri, diikuti oleh lahan
pertanian bukan sawah yang disewa kemudian Lahan Non Pertanian Milik
Sendiri.

26
POLA PENGUASAAN LAHAN DI DESA SIMANABUN

Milik sendiri Hibah/Warisan/Ulayat Sewa

2.7

0.7
0 0 0 0 0 0

Lahan Pertanian Sawah Lahan Pertanian bukan Lahan Non Pertanian


Sawah

Gambar 4.6 . Grafik pola penguasaan lahan (Ha) di Desa Simanabun

4. Desa Saran Padang


Desa yang berada di kecamatan Dolok Silau terdiri atas 8 Dusun,
memiliki jumlah penduduk 2.313 jiwa yang terdiri Laki -laki 1.149 jiwa dan
Perempuan 1.164 jiwa dengan 532 KK. Berdasarkan informasi dari
Kepala Desa Saran Padang, mayoritas yang mendiami wilayah ini adalah
etnis Simalungun dan Karo.
Sebagian besar masyarakatnya berpencaharian dari sektor
pertanian, lahan kering seluas 1854,90 Ha (68,70%), sawah seluas 33,75
Ha (12,50%), pemukiman seluas 26,56 Ha (9,84%) dan hutan lindung
seluas 240 Ha (8,96%). Jenis tanaman utama adalah Padi, Jagung, Ubi
Kayu, Sayur-sayuran, Karet, Kopi Robusta dan Arabika, Cokelat.
Sedangkan Hasil hutan yang dimanfaatkan adalah Aren,Durian dan
Jengkol.

27
JENIS PENGGUNAAN LAHAN PADA DESA SARAN PADANG

8.96%
Lahan Kering
9.84%
Lahan Sawah

12.50%
Pemukiman

68.70%
Hutan Produksi

Gambar 4.7. Grafik Persentase Penggunaan Lahan pada Desa Saran


Padang

Pola penguasaan lahan di Desa ini (gambar 4.8) sebagian besar


merupakan lahan pertanian bukan sawah milik sendiri dan diikuti oleh
lahan pertanian sawah milik sendiri, lahan pertanian bukan sawah sewa
dan lahan non pertanian.

POLA PENGUASAAN LAHAN DI DESA SARAN PADANG

Milik sendiri Hibah/Warisan/Ulayat Sewa

9.7

2.72
1.2
0.8 0.64
0 0 0 0

Lahan Pertanian Sawah Lahan Pertanian bukan Lahan Non Pertanian


Sawah

Gambar 4.8 . Grafik pola penguasaan lahan (Ha) di Desa Saran Padang

28
5. Desa Banuh Raya
Desa yang berada di kecamatan Panombean Panei terdiri atas 3
Dusun, memiliki jumlah penduduk 1112 jiwa terdiri dari 213 KK.
Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Banuh Raya, mayoritas yang
mendiami wilayah ini adalah etnis Simalungun. Sebagian besar
masyarakatnya berpencaharian dari sektor pertanian dengan pertanian
Lahan kering seluas 214 Ha (53,50%), Lahan sawah 42 Ha ( 10,50 % ) ,
pemukiman seluas 34 Ha (8,50%) dan Hutan 110 Ha ( 27,50%) . Sejak
jaman dahulu masyarakat telah tinggal turun-menurun dan memanfaatkan
hasil hutan berupa Durian, Jengkol dan Petai. Namun demikian tidak ada
aturan atau norma tertentu yang mengatur pemanfaatan hasil hutan.
Penguasaan lahan telah terjadi secara turun-menurun.

JENIS PENGGUNAAN LAHAN PADA DESA BANUH RAYA

Lahan Kering

27.50%
Lahan Sawah

53.50% Pemukiman
8.50%

Hutan Produksi
10.50%

Gambar 4.9. Grafik Persentase Penggunaan Lahan pada Desa Banuh


Raya.

Pola penguasaan lahan di Desa ini (Gambar 4.10) sebagian besar


merupakan lahan pertanian bukan sawah milik sendiri dan diikuti oleh
lahan non pertanian milik sendiri.

29
POLA PENGUASAAN LAHAN DI DESA BANUH RAYA

Milik sendiri Hibah/Warisan/Ulayat Sewa

8.6

2.68
1.6
0.92
0.46
0 0 0 0

Lahan Pertanian Sawah Lahan Pertanian bukan Lahan Non Pertanian


Sawah

Gambar 4.10. Grafik pola penguasaan lahan (Ha) di Desa Banuh Raya

B. Sistem dan struktur masyarakat


1. Desa Siporkas
Penduduk di Desa Siporkas mayoritas etnis Simalungun,Desa ini
terdapat tiga Dusun yaitu Bah Pasunsang, Buttu Ganjang dan Bornoh
Mayoritas penduduk beragama Kristen. Penyelesaian konflik diselesaikan
secara kekeluargaan, apabila tidak bisa diatasi kemudian diproses sesuai
dengan hukum dari pemerintah yang berlaku.

2. Desa Durian Baggal


Penduduk di Desa Durian Baggal mayoritas etnis Simalungun
sebagian suku Jawa dan beragama Kristen Protestan. Penyelesaian konflik
diselesaikan secara kekeluargaan, apabila tidak bisa diatasi kemudian
diproses sesuai dengan hukum dari pemerintah yang berlaku.

30
3. Desa Simanabun
Penduduk di Desa Simanabun mayoritas etnis Simalungun dan
beragama Kristen Protestan dan Katholik. Penyelesaian konflik
diselesaikan secara kekeluargaan, apabila tidak bisa diatasi kemudian
diproses sesuai dengan hukum dari pemerintah yang berlaku.

4. Desa Saran Padang


Penduduk di Desa Saran Padang mayoritas etnis Simalungun dan
Karo dan beragama Kristen Protestan,Katolik dan Islam. Penyelesaian
konflik diselesaikan secara kekeluargaan, apabila tidak bisa diatasi
kemudian diproses sesuai dengan hukum dari pemerintah yang berlaku.

5. Desa Banuh Raya


Penduduk di Desa Banuh Raya mayoritas etnis Simalungun dan
beragama Kristen Protestan. Penyelesaian konflik diselesaikan secara
kekeluargaan, apabila tidak bisa diatasi kemudian diproses sesuai dengan
hukum dari pemerintah yang berlaku.

C. Kondisi sosek masyarakat


1. Desa Siporkas
Berdasarkan data monografi desa, sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai Petani (sawah, ladang, kebun), sebagai Pegawai,
diikuti oleh yang lainnya (Gambar 4.11)

31
MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DESA SIPORKAS

Buruh dan lain-lain


Pengrajin/Tukang
Pedagang
Pegawai/Pensiunan
Menagkap Ikan
Pemungut Hasil Hutan
Petani

0 50 100 150 200 250 300 350

Gambar 4.11. Grafik mata pencaharian penduduk Desa Siporkas

Masyarakat mengambil hasil hutan paling jauh 2 km melalui jalan


setapak dengan cara dipikul, yang kemudian akan dijual ke pasar
kecamatan yang berjarak 5 km dengan menggunakan kendaraan berupa
sepeda motor atau Mobil Pick Up.

KECENDERUNGAN HASIL BATAS DESA DENGAN


HUTAN KAWASAN HUTAN
Men
ing…
Ada
Stab
il Tidak
Ada
Men Tidak
urun Tahu
0 5 10 0 5 10

Gambar 4.12. Grafik Kecenderungan Hasil Hutan dan Pengetahuan


Batas Desa dengan Kawasan Hutan pada Desa
Siporkas

Mayoritas responden mengetahui kawasan hutan, sebagian tidak


tahu, batas desa dengan kawasan hutan yang diketahui masyarakat berupa
pal batas.

32
TINGKAT KESEJAHTERAAN WARAGA DESA SIPORKAS

Lebih Baik Sama Baik Sama Buruk Lebih Buruk


12
10
8
6
4
2
0

Gambar 4.13. Grafik Tingkat Kesejahteraan Warga Desa Siporkas

Tingkat kesejahteraan masyarakat selam tiga tahun terakhir


menurut responden relatif sama baik terutama kesehatan anggota
keluarga, kemudahan pelayanan kesehatan,kemampuan menbeli obat
generik dan rasa aman (Gambar 4.13)

33
2. Desa Durian Baggal
Berdasarkan data monografi desa, sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani,Buruh dan lain lain diikuti oleh yang lainnya
(Gambar 4.14).

MATA PENCAHARIAN DURIAN BAGGAL

Buruh dan lain-lain


Pengrajin/Tukang
Pedagang
Pegawai/Pensiunan
Menagkap Ikan
Pemungut Hasil Hutan
Petani

0 100 200 300 400

Gambar 4.14. Grafik Mata Pencaharian Penduduk Desa Durian Baggal

Masyarakat mengambil hasil hutan paling jauh 2 km melalui jalan


setapak dengan cara dipikul, yang kemudian akan dijual ke pasar
kecamatan yang berjarak 10 km dengan menggunakan kendaraan berupa
sepeda motor atau menjual kepada pedagang pengumpul.

KECENDERUNGAN HASIL
BATAS DESA DENGAN
HUTAN KAWASAN HUTAN

Meningkat
Ada
Stabil
Tida…
Menurun Tida…

0 5 10 0 2 4 6

Gambar 4.16. Grafik Kecenderungan Hasil Hutan dan Pengetahuan


Penduduk Mengenai Batas Desa dengan Kawasan Hutan
pada Desa Durian Baggal

Mayoritas responden mengetahui kawasan hutan, sebagian tidak


tahu, batas desa dengan kawasan hutan yang diketahui masyarakat
berupa pal batas.

34
TINGKAT KESEJAHTERAAN WARAGA DESA DURIAN BAGGAL
Lebih Baik Sama Baik Sama Buruk Lebih Buruk
12
10
8
6
4
2
0

Gambar 4.17. Grafik Tingkat Kesejahteraan Warga Desa Durian Baggal

Tingkat kesejahteraan masyarakat selam tiga tahun terakhir


menurut responden relatif sama baik terutama Kesehatan anggota
keluarga, kemudahan pelayanan kesehatan, kemampuan membeli obat
generik dan rasa aman (Gambar 4.17.)

3. Desa Simanabun
Berdasarkan data monografi desa, sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani, diikuti oleh yang lainnya (Gambar 4.18).
`

MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DESA SIMANABUN

Buruh dan lain-lain


Pengrajin/Tukang
Pedagang
Pegawai/Pensiunan
Menagkap Ikan
Pemungut Hasil Hutan
Petani

0 50 100 150 200 250 300

Gambar 4.18. Grafik mata pencaharian penduduk Desa Simanabun

35
Masyarakat mengambil hasil hutan paling jauh 2 km melalui jalan
setapak dengan cara dipikul, yang kemudian akan dijual ke pasar
kecamatan yang berjarak 5 km dengan menggunakan kendaraan berupa
sepeda motor.

KECENDERUNGAN HASIL BATAS DESA DENGAN


HUTAN KAWASAN HUTAN
Meningkat
Ada
Stabil
Tidak Ada
Menurun Tidak Tahu

0 5 10 0 2 4 6 8

Gambar 4.19. Grafik Kecenderungan Hasil Hutan dan Pengetahuan


Penduduk Mengenai Batas Desa dengan Kawasan Hutan
pada Simanabun

Mayoritas responden mengetahui kawasan hutan, sebagian tidak


tahu, batas desa dengan kawasan hutan yang diketahui masyarakat berupa
pal batas.

TINGKAT KESEJAHTERAAN WARAGA DESA SIMANABUN


Lebih Baik Sama Baik Sama Buruk Lebih Buruk

12
10
8
6
4
2
0

Gambar 4.20. Grafik Tingkat Kesejahteraan Warga Desa Simanabun

36
Tingkat kesejahteraan masyarakat selam tiga tahun terakhir
menurut responden relatif sama baik terutama kemampuan membeli
makanan, keadaan perumahan, kesehatan anggota keluarga, dan rasa
aman (Gambar 4.20.)

4. Desa Saran Padang


Berdasarkan data monografi desa, sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani, diikuti oleh yang lainnya (Gambar 4.21).

MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DESA SARAN PADANG


Buruh dan lain-lain
Pengrajin/Tukang
Pedagang
Pegawai/Pensiunan
Menagkap Ikan
Pemungut Hasil Hutan
Petani

0 100 200 300 400 500

Gambar 4.21. Grafik mata pencaharian penduduk Desa Saran Padang

KECENDERUNGAN HASIL BATAS DESA DENGAN


HUTAN KAWASAN HUTAN
Meningkat Ada

Stabil Tidak Ada

Menurun Tidak Tahu

0 5 10 0 5 10

Gambar 4.22. Grafik Kecenderungan Hasil Hutan dan Pengetahuan


Penduduk Mengenai Batas Desa dengan Kawasan Hutan
padas Desa Saran Padang

37
Mayoritas responden mengetahui kawasan hutan, sebagian tidak
tahu, batas desa dengan kawasan hutan yang diketahui masyarakat berupa
pal batas.
Masyarakat mengambil hasil hutan paling jauh 2 km melalui jalan
setapak dengan cara dipikul, yang kemudian akan dijual ke pasar
kecamatan yang berjarak 2,5 km dengan menggunakan kendaraan berupa
sepeda motor.

TINGKAT KESEJAHTERAAN WARAGA DESA BANUH RAYA

Lebih Baik Sama Baik Sama Buruk Lebih Buruk


12
10
8
6
4
2
0

Gambar 4.23. Grafik Tingkat Kesejahteraan Warga Desa Saran Padang

Tingkat kesejahteraan masyarakat selama tiga tahun terakhir


menurut responden relatif sama baik terutama kemudahan pelayanan
kesehatan,kemudahan menhyekolahklan anak, rasa aman dan keadaan
perumahan (Gambar 4.23.)

38
5. Desa Banuh Raya
Berdasarkan data monografi desa, sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani, diikuti oleh yang lainnya (Gambar 4.24).

MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DESA BANUH RAYA

Buruh dan lain-lain

Pengrajin/Tukang

Pedagang

Pegawai/Pensiunan

Menagkap Ikan

Pemungut Hasil Hutan

Petani

0 50 100 150 200

Gambar 4.25. Grafik mata pencaharian penduduk Desa Banuh Raya

KECENDERUNGAN HASIL BATAS DESA DENGAN


HUTAN KAWASAN HUTAN

Meningkat
Ada
Stabil
Tidak Ada
Menurun
Tidak Tahu

0 5 10 15 0 5 10

Gambar 4.25. Grafik Kecenderungan Hasil Hutan dan Pengetahuan


Penduduk Mengenai Batas Desa dengan Kawasan Hutan
pada Desa Banuh Raya

Mayoritas responden mengetahui kawasan hutan, sebagian tidak


tahu, batas desa dengan kawasan hutan yang diketahui masyarakat berupa
pal batas. Masyarakat mengambil hasi hutan paling jauh Sekitar 1 Km.

39
TINGKAT KESEJAHTERAAN WARAGA DESA BANUH RAYA
Lebih Baik Sama Baik Sama Buruk Lebih Buruk
12
10
8
6
4
2
0

Gambar 4.26. Grafik Tingkat Kesejahteraan Warga Banuh Raya

Tingkat kesejahteraan masyarakat selam tiga tahun terakhir


menurut responden relatif sama baik terutama kemudahan pelayanan
Kesehatan, dan rasa aman (Gambar 4.26.)

D. Analisis Usaha Kehutanan dan Tani Masyarakat


1. Desa Siporkas
Berdasarkan data monografi desa, masyarakat di Desa Siporkas
rata-rata bertani sawah/ladang/kebun dengan luas kepemilikan lahan dari
masing-masing kepala keluarga rata-rata 0,5-1 Ha. Selain bertani,
masyarakat juga bekerja pegawai/pensiunan , juga memanfaatkan hasil
hutan berupa Durian, jengkol dan Aren, untuk keperluan sendiri
(konsumsi) dan dijual. Biasanya Durian,Jengkol dan Aren dijual kepada
pedagang pengumpul.Durian per Buah dijual dengan harga Rp 5000,00/
Buah.Jengkol satu Goni Rp 300.000,00 dan Aren Satu botol seharga Rp
5000,00 / Liter
Jenis pemanfaatan hasil hutan dapat dilihat pada tabel 4.27.
Berdasarkan informasi dari responden dan Kepala Desa, mayoritas hasil
hutan yang diambil adalah Durian, kemudian diikuti oleh Jengkol dan
Aren.

40
Tabel 4.27 . Jenis pemanfaatan hasil hutan di Desa Siporkas

JENIS PEMANFAATAN HASIL HUTAN VOLUME

Durian 5200 buah/Tahun


Jengkol 5 Ton/ Tahun-
Aren 15.000 lIter / Tahun

2. Desa Durian Baggal


Berdasarkan data monografi desa Durian Baggal , Masyarakat di
Desa Durian Baggal rata-rata bertani sawah/ladang/kebun dengan luas
kepemilikan lahan dari masing-masing kepala keluarga rata-rata 1-2 Ha.
Selain bertani, Masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan berupa,
Durian,Jengkol dan Aren untuk keperluan sendiri (konsumsi) dan dijual.
Biasanya Durian dijual kepada pedagang pengumpul dengan harga Rp.
5.000,-/buah.
Jenis pemanfaatan hasil hutan dapat dilihat pada tabel 4.2.
Berdasarkan informasi dari responden dan Kepala Desa, mayoritas hasil
hutan yang diambil adalah Durian, kemudian diikuti,Jengkol dan Aren.

Tabel 4.28. Jenis pemanfaatan hasil hutan di Desa Durian Baggal

JENIS PEMANFAATAN HASIL HUTAN VOLUME

Durian 5500 Buah/ Tahun


Jengkol 5.5 Ton/Tahun
Aren 17.000 lIter/Tahun

3. Desa Simanabun
Berdasarkan data monografi Desa Simanabun, masyarakat di Desa
ini rata-rata memiliki lahan pertanian dengan luas 0,5-1 Ha. Selain itu
masyarakat juga bertani lahan kering dengan luas sekitar 626 Ha. Dengan
tanaman utama adalah padi ladang,jagung,Karet,kopi arabica,cokelat.dan
tanaman sayuran.Masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan berupa,
Durian, Jengkol dan Aren untuk keperluan sendiri (konsumsi) dan dijual.

41
Biasanya Durian dijual kepada pedagang pengumpul dengan harga Rp.
5000,-/Buah.
Jenis pemanfaatan hasil hutan dapat dilihat pada tabel 4.29.
Berdasarkan informasi dari responden dan Kepala Desa, mayoritas hasil
hutan yang diambil adalah Durian, kemudian diikuti oleh, Jengkol dan
Aren.

Tabel 4.29 . Jenis pemanfaatan hasil hutan di Desa Simanabun

JENIS PEMANFAATAN HASIL HUTAN VOLUME

Durian 4500 buah/tahun


Jengkol 5,6 Ton/ Tahun
Aren 16.000 Liter/ Tahun

4. Desa Saran Padang


Berdasarkan data monografi Desa Saran Padang, Masyarakat di
Desa ini rata-rata bekerja bagai petani kepemilikan lahan 0,5-1 Ha,
tanaman yang diusahakan adalah padi sawah ,padi ladang, jagung ,karet,
Kopi robusta dan arabica, cokelat. Masyarakat juga memanfaatkan hasil
hutan berupa Durian, Jengkol dan Aren untuk keperluan sendiri
(konsumsi) dan dijual. Biasanya Durian dijual kepada pedagang
pengumpul dengan harga Rp. 30.000,-/kg.
Jenis pemanfaatan hasil hutan dapat dilihat pada tabel 4.30.
Berdasarkan informasi dari responden dan Kepala Desa, mayoritas hasil
hutan yang diambil adalah kayu sembarang, kemudian diikuti oleh
Durian,Jengkol dan Aren.

Tabel 4.30 . Jenis pemanfaatan hasil hutan di Desa Saran Padang

JENIS PEMANFAATAN HASIL HUTAN VOLUME

Durian 6.000 buah/tahun


Jengkol 6,2 Ton/ Tahun
Aren 15.500 Liter/tahun

42
5. Desa Banuh Raya
Berdasarkan data monografi Desa Banuh Raya, masyarakat di Desa
ini rata-rata bekerja bagai petani kepemilikan lahan 0,32-1 Ha, tanaman
yang diusahakan adalah padi sawah sekitar 42 Ha, dan lahan kering kira
kira 214 Ha. Masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan berupa
Durian,Jengkol dan Aren untuk keperluan sendiri (konsumsi) dan dijual.
Biasanya kepiting dijual kepada pedagang pengumpul dengan harga Rp.
30.000,-/kg.
Jenis pemanfaatan hasil hutan dapat dilihat pada tabel 4.31.
Berdasarkan informasi dari responden dan Kepala Desa, hasil hutan yang
diambil adalah dalam jumlah yang kecil.

Tabel 4.32 . Jenis pemanfaatan hasil hutan di Desa Banuh Raya

JENIS PEMANFAATAN HASIL HUTAN VOLUME

Durian 6500 buah/tahun


Jengkol 5,4 Ton/ Tahun
Aren 15.500 Liter/ Tahun

43
BAB V
ANALISIS

A. Sejarah Desa dan Tata Guna Lahan


Desa Siporkas berada pada Kecamatan Raya, Desa ini mayoritas
didiami etnis Simalungun. Desa Siporkas memiliki luas 1860 Ha dengan Rasio
terhadap luas Kecamatan sebesar 5,61 %, mayoritas mata pencaharian
sebagai Petani. Jenis tanaman yang diusahai adalah tanaman Padi, jagung,
karet, Kopi dan Coklat dan berbagai jenis tanaman sayuran. Desa Durian
Baggal berada di Kecamatan Silau Kahean memiliki luas sebesar 2600 Ha
dan Rasio terhadap Luas Kecamatan sebesar 10,50 % dengan mayoritas mata
pencaharian petani dan berkebun. Jenis tanaman utama yang diusahai
masyarakat adalah Padi, Kelapa Sawit, Karet, Kopi dan cokelat,cengkeh,kulit
manis, kemiri dan pinang. Sedangkan Desa Simanabun memiliki luas 548 Ha
dengan Rasio terhadap luas Kecamatan sebesar 4,79 %, mayoritas mata
pencaharian penduduk bertani. Jenis tanaman utama adalah Padi, Jagung,
Sayuran, Karet, Kopi Arabica, Kopi Robusta,
Desa Saran Padang berada pada Kecamatan Dolok Silau. Desa ini
memiliki luas 2700 Ha dengan jenis tanaman utama adalah Padi ,Jagung,
Karet, Kelapa sawit ,Kopi Arabica dan Robusta, Selain itu masyarakat desa ini
juga menanami tanaman sayuran seperti Bawang merah,Cabe dan sayuran.
Rasio terhadap luas Kecamatan sebesar 7,63 %.
Desa Banuh Raya berada pada Kecamatan Panombean Panei. Dimana
Desa Banuh Raya memiliki luas 400 Ha dengan mata pencaharian dominan
Pertanian/berkebun.Jenis tanaman yang diusahai adalah padi,Karet, Kelapa
Sawit,Kopi Robusta dan Kopi Arabica, dan berbagai jenis tanaman sayuran.
Tidak ada aturan atau norma tertentu yang mengatur pemanfaatan
hasil hutan. Penguasaan lahan terjadi secara turun temurun. Pola penguasaan
lahan menunjukkan masyarakat Desa Durian Baggal menguasai lahan paling
luas dibandingkan Desa lainnya (Gambar 5.1). Sifat penguasaan lahan
mayoritas pada Lima desa adalah dari tanah milik sendiri terutama pada lahan
pertanian bukan sawah. Pada lima desa yang dianalisis, dari kepemilikan sewa
lahan hanya sedikit terutama pada lahan non pertanian.

44
PENGUASAAN LAHAN DI KPHP UNIT VI SIMALUNGUN
Milik Sendiri Warisan Sewa
14.06
12.4 13.06
11.74
9.7

3.4
2 2 2.52
0 0.3 0 0 0 0

Siporkas Durian Baggal Simanabun Saran Padang Banuh Raya

Gambar 5.1. Grafik penguasaan lahan per Desa

Pemanfaatan lahan di lima Desa menunjukkan semua Desa yang diteliti


mayoritas berladang/berkebun dengan pengelolaan lahan tertinggi berada di
Desa Durian Baggal 14,06 Ha (Gambar 5.2.)

LUAS PEMANFAATAN LAHAN DI KPHP UNIT VI SIMALUNGUN

Lahan Pertanian Sawah Lahan Pertanian Bukan Sawah Lahan Non Pertanian

13.3
11.7
10.5 10.2
9.5

Siporkas Durian Baggal Simanabun Saran Padang Banuh Raya

Gambar 5.2. Grafik pemanfaatan lahan per Desa

45
Analisis kependudukan pada tabel 5.3 menunjukkan Desa memiliki
kepadatan penduduk tertinggi pada Desa Saran Padang yaitu 856,66 jiwa per
km2. Sedangkan kepadatan penduduk terendah pada Desa Banuh Raya yaitu
278 jiwa per km2. Secara umum kepadatan penduduk relatif tinggi sehingga
kebutuhan lahan yang berpotensi pada alih fungsi hutan perlu
dikhawatirkan.

Tabel 5.3. Kepadatan penduduk per Desa

Jumlah penduduk Kepadatan


Desa Luas wilayah (km2)
(jiwa) Penduduk (jiwa/km2)
Siporkas 1783 2,26 788,93
Durian Baggal 1927 5,42 355,53
Simanabun 1534 5,48 279,92
Saran Padang 2313 2,7 856,66
Banuh Raya 1112 4,0 278

Pengetahuan tentang kawasan hutan banyak diketahui (Gambar 5.4.).


Mayoritas warga mengetahui batas Desa mereka dengan hutan yang di
ketahui dari perangkat desa dan pegawai UPTD Kabupaten setempat, dengan
batas umumnya berupa pal batas.

PENGETAHUAN TENTANG BATAS KAWASAN

Ada

Tidak Ada

Tidak Tahu

0 5 10 15 20 25 30 35

Gambar 5.4. Grafik Pemanfaatan Lahan Per Desa

46
B. Sistem dan struktur masyarakat
Masyarakat di lima desa lokasi inventarisasi sosial budaya ini
merupakan masyarakat patrilineal yang mengikuti garis keturunan dari
pihak laki-laki (ayah). Mayoritas penduduknya beragama Kristen. Suku di
masyarakat ketujuh desa relatif sama, yaitu mayoritas dari suku
Simalungun. Pada umumnya pola penguasaan lahan terjadi secara turun-
menurun di lima desa, dan sebagian menyewa lahan pertanian untuk
ditanami tanaman sayuran dan Padi.

C. Kondisi sosial ekonomi masyarakat


Masyarakat dilokasi penelitian merupakan masyarakat agraris yang
menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian sepaerti padi sawah, dan
perkebunan seperti kelapa sawit,kopi robusta dan arabica kelapa dan
coklat. Masyarakat juga berusaha dibidang tanaman sayuran seperti
Tomat,cabe merah dan rawit,sawi,kol,bawang,jahe dan mengambil hasil
hutan berupa Durian, jengkol dan aren. Kelima desa memiliki
permasalahan yang sama terkait menurunnya hasil hutan (gambar 5.5).
Kelima Desa ini mengandalkan Durian,Jengkol,dan aren.

KECENDERUNGAN HASIL HUTAN

Meningkat

Stabil

Menurun

0 10 20 30 40 50

Gambar 5.5. Grafik Kecenderungan Hasil Hutan

Tabel 5.5 menunjukkan hasil hutan dari ke lima desa diambil


dengan jarak terjauh 2 km di Desa Siporkas, dan terdekat 1 km di Desa

47
Banuh Raya, dengan akses secara keseluruhan berupa jalan setapak.
Produk diangkut dengan cara dipikul kemudian dibeli oleh
cukong/tengkulak yang datang ke desa tersebut, banyak juga yang
dibawa ke pasar terdekat dengan menggunakan kendaraan motor.

Tabel 5.6. Jarak terjauh mengambil hasil hutan


Jarak terjauh mengambil hasil
Desa
hutan (KM)
Siporkas 2
Durian Baggal 2
Simanabun 2
Saran Padang 2
Banuh Raya 1

Tingkat kesejahteraan masyarakat dipotret melalui 10 indikator


seperti yang dapat dilihat di gambar 5.5. Secara umum masyarakat
ditujuh desa berpendapat bahwa pendapatan sama baik tiga tahun
terakhir. Kualitas makanan pokok dan kemampuan membeli obat generik
juga sama baik. Kualitas makanan pokok, variasi lauk pauk, kemampuan
membeli pakaian (daya beli), kualitas perumahan dan kondisi kesehatan
anggota keluarga hampir sama yaitu sama baik dari tahun ke tahun.
Kemudahan pelayanan kesehatan dan rasa aman dari tindak kejahatan
dinilai masyarakat lebih baik dalam waktu 3 tahun terakhir. Dari jawaban
responden diperoleh gambaran bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat
dalam 3 tahun terakhir adalah sama baik dari 10 indikator yang di nilai.

D. Analisis usaha kehutanan dan tani masyarakat


Semua Petani di lima desa yang diobservasi mengusahakan
pertaniannya secara menetap. Rata rata petani menanam tanaman
sayuran ( Tomat,cabe merah dan rawit,sawi),Jahe, padi sawah dan padi
ladang,karet, kopi arabica, kelapa sawit, dan coklat..
Komoditas hasil hutan pada masing-masing desa dapat dilihat pada
tabel 5.7. Dari kelima desa, terdapat yang sama-sama memiliki
komoditas unggulan berupa Durian, jengkoldan Aren.Keberadan tanaman
durian,jengkol dan aren biasanya tumbuh alami di perladangan dan
banyak juga yang tumbuh alami secara sporadis didalam kawasan hutan

48
Harga jual Durian adalah Rp. 5.000/ buah, Jengkol 1 goni Rp 300.000,00
Dan Aren Rp 5.000/ Liter
Berbagai hasil dan nilai yang dimiliki dari suatu kawasan hutan
seharusnya dapat mendorong dan membantu masyarakat yang berada di
tepi hutan baik dari segi ekonomi maupun sosial. Untuk itu diperlukan
tatanan dan pengelolaan yang cermat agar hasil dari hutan tersebut
dapat tetap terjaga dan lestari. Inilah salah satu tugas dari pengelola KPH
nantinya. Akses pemasaran komoditas juga menjadi hal yang perlu
dipikirkan agar petani dapat lepas dari permainan harga oleh
cukong/tengkulak. Hal ini dapat diwujudkan dengan membentuk koperasi
tani. Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu dari Lima Desa Dapat dilihat dari
Tabel 5.7 dibawah ini.

Tabel 5.7. Komoditas utama per Desa

Jenis Volume (Pertahun)


pemanfaatan Durian
Simanabun Saran Padang Banuh Raya
hasil hutan Siporkas Baggal
5.200
Durian buah 5.500 4.500 6.000 6.500
Jengkol 5 Ton 5.5 Ton 5.6 Ton 6.2 Ton 5.4 Ton
15.000
Aren Liter 17.000 Liter 16.000 Liter 15.500 Liter 15.500 Liter

49
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Para tokoh/pemimpin lokal di lima desa dalam KPH Unit VI Simalungun
memegang peranan vital dalam kehidupan masyarakat.
2. Kelima desa memiliki komoditas unggulan berupa tanaman padi sawah,
kelapa sawit,kopi arabica,karet dan coklat. Sebagian masyarakat juga
menanami tanaman sayuran seperti cabe merah,tomat,jahe dan sayuran
lainnya. Masyarakat mengambil hasil hutan berupa Durian,jengkol, dan
Aren.
3. Akses pemasaran komoditas masih melalui cukong/tengkulak sehingga
petani rentan dengan permainan harga akibat posisi tawar yang rendah.
4. Keberadaan kawasan hutan sudah tersosialisasikan ke masyarakat
melalui peranan UPT KPH WILYAH II Pematang Siantar.

B. Saran
- Dalam setiap program pemerintah perlu melibatkan masyarakat setempat
dan tokoh lokal agar dapat diterima semua pihak.
- Keberadaan kawasan hutan disekitar desa sangat berkontribusi terhadap
perekonomian masyarakat,misalnya keberadaan Durian,Jengkol dan Aren
dikawasan hutan,tetapi tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan
hasil yang menurun. Untuk itu diharapkan masyarakat sekitar hutan dapat
menjaga kelestarian hutan di sekitarnya dengan mengembangkan model
pengelolaan hutan sistem agroforestry.
- Perlunya dikembangkan komoditas potensial yang memiliki nilai jual tinggi
untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan.Serta
Pelatihan enterpreunership bagi masyarakat sekitar hutan untuk
meningkatkatkan nilai tambah produk dan diversifikasi produk dari Hasil
Hutan Bukan Kayu ( HHBK)
- Kehadiran koperasi dilevel nagori diperlukan untuk memutus mata rantai
cukong/tengkulak sehingga menguntungkan petani.
- Perlu sering diadakan sosialisasi tentang kawasan hutan agar masyarakat
lebih paham dan turut menjaga kelestarian hutan yang ada di sekitarnya.

50

Anda mungkin juga menyukai