PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya hutan memiliki karakateristik yang khas sehingga
pengelolaan hutan tidak dapat disamakan dengan kegiatan pengelolaan
sumberdaya alam lainnya. Pengelolaan sumberdayaya hutan bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan
masyarakat. Namun demikian, pengelolaan hutan juga harus memperhatikan
sifat, karakteristik dan keutamaannya, sehingga tidak mengubah fungsi
pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Oleh karena itu,
diperlukan keseimbangan dalam pengelolaan hutan agar ketiga fungsi
tersebut dapat berfungsi. Hal ini dapat mendukung pembangunan ekonomi
melalui produksi hasil hutan kayu dan bukan kayu, perlindungan wilayah
melalui konservasi tanah dan air serta pelestarian keanekaragaman hayati
guna kepentingan jangka panjang.
Pengelolaan hutan berbasis ekosistem menjadi salah satu strategi yang
ditempuh untuk dapat mewujudkan keberlanjutan dari fungsi optimal
ekosistem hutan. Kebijakan pengelolaan dengan pendekatan ekosistem
merupakan kebijakan pengelolaan yang mengedepankan keseimbangan
fungsi ekosistem dalam memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Pola
pengelolaan berbasis ekosistem lebih berorientasi pada proses yang
berlangsung karena adanya keragaman dari elemen pembentuk hutan.
Berbagai upaya pencegahan dan perbaikan degradasi hutan terus
dilakukan untuk mengurangi kerusakan ekosistem hutan sehingga kondisi
ekosistem hutan dapat berfungsi secara optimal. Berbagai kebijakan
pemerintah telah dijalankan untuk mendapatkan terwujudnya kelestarian
hutan dan kesejahteraan masyarakat serta sekaligus mengakomodasikan
tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah. Salah satu terobosan
kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan adalah mengeluarkan
kebijakan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), yang telah
diamanatkan dalam Undang Undang Nomor 41 tahun 1999, Peraturan
Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 jo Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008.
1
Kebijakan tersebut telah menegaskan bahwa seluruh kawasan hutan di
Indonesia akan dibagi dan dibentuk kedalam unit-unit KPH.
Pengelolaan sumber daya hutan di tingkat tapak mutlak diperlukan
untuk menjawab berbagai permasalahan hutan yang muncul sekarang ini
seperti deforestasi akibat open access pada kawasan hutan yang tidak
terkelola dengan baik serta konflik penguasaan lahan hutan oleh masyarakat.
Pembentukan Kesatuan Pengelolaan hutan (KPH) adalah salah satu upaya
mengurangi kerusakan hutan dengan pengelolaan yang lestari. Namun
demikian, upaya dalam menjaga kelestarian fungsi hutan perlu dilakukan
secara partisipatif dan kolaboratif dengan melibatkan pihak-pihak yang
bersinggungan dengan hutan baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah,
LSM, dan masyarakat lokal sekitar hutan.
Masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu dari beberapa
stakeholder yang memiliki peranan penting dalam menjaga hutan. Pola
interaksi masyarakat sekitar hutan dengan sumber daya adalah salah satu
penentu kelestarian hutan. Identifikasi pola interaksi melalui penelitian sosial
budaya dilakukan untukmenangkap fenomena serta kekhasan interaksi pada
suatu masyarakat di sebuah wilayah. Inventarisasi sosial budaya masyarakat
sekitar hutan adalah tool untuk mendapat gambaran kehidupan masyarakat
hutan.
Hasil dari penelitian sosial budaya tersebut di harapkan dapat
menghasilkan informasi yang bermanfaat bagi penyusunan tata hutan untuk
rencana pengelolaan hutan yang memperhatikan lokalitas dan dapat
memaksimalkan potensi hutan di wilayah KPH tersebut untuk kesejahteraan
masyarakat.
2
B. Maksud dan Tujuan
1. Maksud
2. Tujuan
3
BAB II
METODE INVENTARISASI
A. Pemilihan Lokasi
Kegiatan inventarisasi sosial budaya dilaksanakan dengan unit
sampel yakni wilayah desa di sekitar KPHP. Untuk setiap lokasi kegiatan KPHP
ditentukan 5 (Lima) desa sebagai sampel kegiatan yang dipilih secara
disengaja (purposive sampling), yaitu desa yang terletak di dalam atau sekitar
wilayah KPHP yang diharapkan dapat mewakili beberapa desa di sekitarnya
dan memiliki karakteristik hampir sama. Pertimbangan dalam penentuan desa
sasaran kegiatan inventarisasi sosial budaya yakni:
1. Pertimbangan fungsi hutan yaitu desa/pemukiman di dalam atau sekitar
wilayah KPHP.
2. Pertimbangan sosial budaya yakni sampel desa yang didasarkan pada asal
usul etnis sebagai masyarakat pendatang (minoritas) atau masyarakat lokal
(mayoritas). Perlu dipertimbangkan pula hal-hal yang berkaitan dengan
aktivitas masyarakat yaitu tingginya intensitas interaksi masyarakat dengan
kawasan hutan atau ketergantungan/tekanan masyarakat terhadap
kawasan hutan, jarak Desa/pemukiman dengan kawasan hutan dan
aksesibilitas dari desa menuju kawasan hutan.
3. Pertimbangan administratif yakni sampel desa yang didasarkan pada letak
administratif provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan. Digunakan untuk
memahami kebijakan pemerintah daerah provinsi/ kabupaten/ kota/
kecamatan.
4. Pertimbangan kondisi hutan yakni lokasi desa sampel berdasarkan
pemantauan hutan menggunakan citra satelit. Pada tahap ini dapat
diketahui kondisi penutupan lahan/hutan yang berada di sekitar
desa/pemukiman, adanya akses jalan menuju kawasan hutan dan untuk
memperhitungkan jarak antara kawasan hutan dengan desa/pemukiman.
4
Berdasarkan pertimbangan tersebut desa-desa yang dipilih sebagai unit
contoh adalah sebagai berikut :
UNIT
NO KABUPATEN KECAMATAN DESA
KPHP
1. VI Simalungun Raya Siporkas
Raya Kahean Durian Baggal
Silau Kahean Simanabun
Dolok Silau Saran Padang
Panombean Panei Banuh Raya
B. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan dalam kegiatan inventarisasi sosial budaya ini
yakni:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara
terhadap nara sumber dan responden, serta pengisian kuesioner,
diantaranya:
a. Jati diri responden
b. Masyarakat (asal usul masyarakat dan aksesibilitas masyarakat menuju
kawasan hutan).
c. Ketergantungan masyarakat dan distribusi manfaat sumber daya hutan
(penguasaan lahan, penggunaan lahan, perladangan berpindah,
manfaat hutan, akses pemasaran hasil hutan, kegiatan perekonomian
yang dikembangkan oleh masyarakat, dan tingkat kesejahteraan
masyarakat).
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari literatur yang tersedia pada
instansi pemerintah pada tingkat kabupaten/kota, kecamatan dan desa
maupun pihak swasta, yakni:
a. Data kependudukan.
b. Data perekonomian (mata pencaharian, pola pertanian, hasil hutan,
peternakan, kerajinan tangan/industri kecil, sarana prasarana
perekonomian dan aksesibilitas ke pusat perekonomian.
5
c. Data penggunaan lahan dan hak ulayat.
d. Pemanfaatan SDH (pemanfaatan lahan hutan dan
pemanfaatan/pemungutan hasil hutan kayu dan non kayu termasuk
satwa).
f. Harga hasil pertanian dan kebutuhan pokok dalam setahun.
g. Adat istiadat dan proses sosial di masyarakat.
h. Kelembagaan sosial ekonomi dan budaya yang ada.
i. Pendidikan (tingkat pendidikan dan sarana pendidikan).
j. Kesehatan (jumlah tenaga medis dan sarana prasarana termasuk
penyakit yang sering diderita masyarakat).
k. Sarana air bersih, MCK dan penerangan.
l. Sarana transportasi dan perhubungan.
6
monografi desa, dan kebijakan pemerintah terhadap pemanfaatan
sumberdaya hutan (perundangan, peraturan pemerintah, peraturan
daerah).
b. Observasi, dilakukan untuk memperoleh gambaran nyata mengenai
mata pencaharian masyarakat, permukiman, pemanfaatan sumber
daya hutan, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kondisi kesehatan
masyarakat, kondisi pendidikan masyarakat, serta kondisi geografis
masyarakat, kondisi kesejahteraan masyarakat dan kondisi
infrastruktur desa.
Untuk mendukung metode observasi perlu dilakukan kegiatan
pemotretan sebagai media dokumentasi, dan pengambilan letak
geografis yaitu titik koordinat desa dan kawasan hutan.
c. Wawancara, dilakukan untuk memperoleh keterangan tentang
peristiwa yang tidak dapat disaksikan langsung pada saat pelaksanaan
kegiatan. Metode ini digunakan untuk memahami sejarah kepemilikan
lahan, kebijakan pemberdayaan masyarakat, interaksi masyarakat
dengan sumberdaya hutan, konflik kawasan, serta pemanfaatan
sumberdaya hutan oleh masyarakat maupun pemerintah. Metode
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan 2 teknik
wawancara, yakni:
1. Teknik wawancara bebas (open interview) dilakukan di kantor
desa, warung makan, tempat ibadah, terminal angkutan, ataupun
di pasar dengan topik tidak terfokus. Teknik wawancara bebas ini
digunakan sebagai komparasi atau cross check data dari informan
kunci.
2. Teknik wawancara mendalam (depth interview) dilakukan
terhadap informan kunci (key informant) seperti kepala desa,
kepala adat, dan tokoh masyarakat yang diwakili oleh guru, tokoh
agama atau tokoh pemuda dengan menggunakan pedoman
wawancara, dengan jumlah informan di setiap desa sampel
sebanyak 2 (dua) orang.
d. Diskusi terbatas, dilakukan di tingkat desa, untuk memahami interaksi
antara masyarakat dengan kawasan hutan, yang mencakup aspek
sejarah pemanfaatan dan prospek pengelolaan berdasarkan aspirasi
7
masyarakat. Diskusi dilakukan dengan melibatkan kepala desa,
perangkat adat dan tokoh masyarakat/adat.
2. Metode Kuantitatif
Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat
kesejahteraan masyarakat berdasarkan sumber mata pencaharian serta
potensi perekonomian masyarakat. Metode kuantitatif juga digunakan
untuk mengetahui tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan
hutan. Metode pengumpulan data menggunakan kuisoner (daftar isian)
dengan sumber informasi adalah responden. Jumlah responden pada
masing-masing desa sampel sebanyak 10 (sepuluh) orang.
Pemilihan responden didasarkan pada pertimbangan jenis mata
pencaharian masyarakat yaitu petani kebun, petani ladang, petani sawah,
peternak, pedagang, nelayan, karyawan, dan PNS/TNI/Polri.
D. Analisis Data
8
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI
A. BIOFISIK
1. Sejarah Pemerintahan
Pada periode 500-1295 diketahui terdapat bentuk sistem
pemerintahan bersama yang terdiri dari 4 kerajaan yaitu Kerajaaan Nagur,
Silou, Batangiou dan Harau. Sistem pemerintahan bersama ini dikenal
dengan nama sistem Raja Maropat atau Raja Nan EPembagian wilayah
pemerintahan pada masa sebelum masuknya penjajahan Belanda
didasarkampat. Sedangkan pemerintahannya dikenal dengan nama Purba
Deisa Naualuh atau Batak Timur Raya.
Perpecahan diantara kerajaan tersebut akibat masih seringnya
perang antar kerajaan tidak dapat dihindarkan. Berdirinya kerajaan-
kerajaan baru yaitu kerajaan Dolok Silau oleh marga Purba Tambak, Tanah
Jawa oleh marga Sinaga, Siantar oleh marga Damanik dan Panei oleh
marga Purba Dasuha tetap menghidupkan sistem pemerintahan Raja
Maropat sampai pada tahun 1865 walaupun pemerintahannya sendiri
sudah berganti.
Pada tahun 1865 kembali kerajaan-kerajaan tersebut pecah menjadi
7 kerajaan yaitu Kerajaan Dolok Silau, Tanah Jawa, Siantar, Panei, Raya,
Purba dan Silimakuta dan tidak lagi menggunakan sistem pemerintahan
bersama. Perpecahan ini tidak dapat dilepaskan dari politik devide at
impera-nya kolonial Belanda. Masa perpecahan ini terjadi mulai tahun 1865
sampai dengan tahun 1907 dimana Belanda mulai mendirikan perkebunan-
perkebunan besar.
Masuknya Belanda secara bertahap ke Simalungun telah membawa
perubahan sistem pemerintahan yang menjadi sistem pemerintahan
kolonial.Perubahan ini berdampak dibatasinya peran harajaon (kerajaan)
yang berkuasa. Melalui Besluit Gubernement Nomor 22 (Staatsblad Nomor
531) tanggal 12 Desember 1906 dibentuklah afdeling Simalungun en de
Karo landen yang dikepalai oleh asisten residen V.C.J. Westenberg di
Seribu Dolok. 17 Wilayah administrasi pemerintahan dibagi ke dalam 7
landschapskassen (penguasa setempat) yang terdidi dari 16 distrik dan
9
huta (kampung) yang dibuat berdasarkan kekuasaan raja-raja yang masih
berkuasa di Simalungun pada masa itu sebagaimana berikut ini :
No Kerajaan Distrik
1. Siantar 1. Siantar
2. Bandar
3. Sidamanik
2. Tanah Jawa 1. Tanah Jawa
2. Bosar Maligas
3. Jorlang Hataran
4. Dolok Panribuan
5. Girsang Sipangan Bolon
3. Panei 1. Panei
2. Dolok Batu Nanggar
4. Raya 1. Raya
2. Raya Kahean
5. Dolok Silau 1. Dolok Silau
2. Silau Kahean
6. Purba Purba
7. Silimakuta Silimakuta
10
menjadikan wilayah Simalungun sebagai melting pot dari berbagai
kebudayaan dan agama yang dibawa oleh para pendatang. Setelah
kemerdekaan Republik Indonesia maka berdasarkan Undang-Undang
Darurat (Drt) Nomor 7 Tahun 1956 dibentuklah Kabupaten Simalungun
dengan 16 kecamatan yang berasal dari 16 distrik pada masa pemerintah
Belanda dan berkembang menjadi 17 kecamatan yaitu Kecamatan Dolok
Pardamean. Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun
1991 dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1992 dilaksanakan
pemekaran kecamatan dari 17 kecamatan menjadi 21 kecamatan yaitu
Kecamatan Pematang Bandar, Huta Bayu Raya, Ujung Padang dan Tapian
Dolok.
Satu hal penting dalam sejarah pemerintah di Simalungun adalah
ditetapkannya Kabupaten Daerah Tingkat II Simalungun pada tanggal 25
April 1995 sebagai salah satu dari 25 Daerah Tingkat II Percontohan
Otonomi Daerah. Pada pelaksanaannya, penyerahan urusan, baik yang
berasal dari pusat maupun Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara
meliputi 22 bidang, 108 sub bidang dan 475 urusan yang ditangani oleh 24
dinas daerah.
Setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru oleh gerakan reformasi
yang dimotori oleh mahasiswa, pemerintah pusat mendesentralisasikan
sebagian kewenangannya kepada daerah kabupaten/kota melalui Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999.Dampak pemberlakuan undang-undang ini
yang paling nyata adalah munculnya wilayah-wilayah pemekaran mulai dari
tingkat nagori/kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.
Kabupaten Simalungun juga mengalami pemekaran wilayah
nagori/kelurahan dan kecamatan dimana sebelumnya terdiri dari 21
kecamatan dimekarkan menjadi 30 kecamatan.
2. Kondisi Geografis
Simalungun letaknya diapit oleh 8 kabupaten yaitu Kabupaten
Serdang Bedagai, Deli Serdang, Karo, Tobasa, Samosir, Asahan, Batu Bara,
dan Kota Pematangsiantar. Letak astronomisnya antara 02°36'-03°18'
Lintang Utara dan 98°32'-99°35' Bujur Timur dengan luas 4.386,60 km2
atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara, berada pada
11
ketinggian 0-1.400 meter di atas permukaan laut dimana 75 persen
lahannya berada pada kemiringan 0-15% sehingga Kabupaten Simalungun
merupakan Kabupaten terluas ke-3 setelah Kabupaten Madina dan
Kabupaten Langkat di Sumatera Utara dan memiliki letak yang cukup
strategis serta berada di kawasan wisata Danau Toba-Parapat.
Kabupaten Simalungun terdiri dari 31 Kecamatan dengan
kecamatan terluas adalah Kecamatan Raya sedangkan terkecil adalah
kecamatan Haranggaol Horison dengan rata rata jarak tempuh ke ibukota
Kabupaten 51,42 km dimana jarak terjauh adalah Kecamatan Silou
Kahean 127 km dan Ujung Padang 113 km.
Lokasi kegiatan Inventarisasi sosial budaya masyarakat sekitar
hutan berada pada 5 nagori di KPH unit VI,yaitu :
1. Nagori Siporkas , kecamatan Raya
2. Nagori Durian Baggal, kecamatan Raya Kahean
3. Nagori Simanabun, kecamatan Silau Kahean
4. Nagori Saran Padang, kecamatan Dolok Silau.
5. Nagori Banuh Raya, kecamatan Panombean Panei
Dari kelima nagori tersebut, menurut SK. 579 tahun 2014 tentang
Kawasan Hutan di Provinsi Sumatera Utara, Nagori Siporkas, Durian
Baggal, Simanabun dan Saran Padang dan Banuh Raya berbatasan dengan
fungsi Hutan Produksi. Selanjutnya lokasi Nagori Inventarisasi dapat dilihat
pada peta dibawah ini.
12
Gambar 3.1. Lokasi inventarisasi sosial budaya KPH unit VI, kabupaten Simalungun
Jarak ke pusat
Jarak ke pusat
Desa/Nagori kecamatan
kabupaten (km)
(km)
Siporkas 32 35
Durian Baggal 7 37
Simanabun 5 132
Saran Padang 2 56
Banuh Raya 9 29
3. Topografi
Pada umumnya areal lokasi pelaksanaan kegiatan inventarisasi
potensi wilayah KPH Unit VI Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera
Utara merupakan dataran Tanah Kering dengan ketinggian tempat
bervariasi dari lebih kurang 400 m dpl sampai dengan 1200 meter diatas
permukaan laut (mdpl) dan fisiografi bervariasi dari dataran, pegunungan
13
lipatan dan pegunungan patahan. Daerah yang bertopografi daratan
sampai berbukit-bukit dengan kemiringan antara curam (25% - 40%)
sampai dengan sangat curam (≥40 %). Luasan kelerengan sebagaimana
Tabel 3.3
Jumlah 45.271,03
14
Sedimentasi dimulai dengan sub cekungan yang terisolasi berarah utara
pada bagian bertopografi rendah dan palung yang tersesarkan.
Pengendapan Tersier Bawah ditandai dengan adanya ketidak selarasan
antara sedimen dengan batuan dasar yang berumur Pra-tersier.
merupakan hasil trangressi, membentuk endapan berbutir kasar – halus,
batu lempung hitam, napal, batu lempung gampingan dan serpih.
Berdasarkan hasil kajian, formasi geologi yang ada di KPHL Unit VI
tersusun atas 13 (tiga belas) tipe dan didominasi oleh Tuffa Toba, Formasi
Gunung api Haranggaol dan Formasi Bahorok (Tabel 3.4). Formasi geologi
di KPH ini cukup komplek sehingga jenis tanah dan peluang pemanfaatan
lahannya juga memiliki variasi yang cukup tinggi.
Tabel 3.4.Daftar Formasi Geologi dan Luasan pada Wilayah KPH Unit VI
Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara
Formasi Tuffa Toba, jenis batuan yang dominan pada formasi ini
berupa Tufa Riodasit dan sebahagian telah terlaskan. Berwarna abu-abu
pucat dengan matriks gelas; kristal kuarsa, biotit, sanidin, hornlende,
plagioklas dengan mineral minornya yaitu apatit, magnetit, ilmenit,
hipersten, alanit, dan zirkon. Saat gunung toba meletus kebanyakan hasil
letusan yang berupa abu vulkanik jatuh dan terendapkan pada daerah ini.
Saat ini kenampakan jenis batuan ini lebih mirip pada batu pasir bila
diamati dari jauh sebab telah terkompakkan. Daerah dalam cakupan
formasi ini cukup subur sehingga sesuai untuk kegiatan kehutanan dan
budidaya non hutan.
15
Struktur dan formasi geologi mempunyai banyak pengaruh
langsung/tidak langsung pada penggunaan lahan khususnya.
Relief/topografi sangat berhubungan erat dengan keadaan geologinya.
Formasi geologi sangat mempengaruhi struktur daerah dan merupakan
bahan dasar dari bahan induk tanah. Oleh karena itu adanya informasi
tentang geologi sangat memudahkan dalam mengevaluasi potensi
(kemampuan dan kesesuaian lahan) untuk suatu penggunaan tertentu.
Manfaat seperti ini telah ditunjukkan oleh penggunaan data geologi di
dalam sistem evaluasi lahan seperti pada sistem lahan (land system)
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa
jenis tanah yang berbeda-beda tapi mempunyai sifat yang serupa ke dalam
kelompok-kelompok dan sub kelompok-sub kelompok berdasarkan
pemakaiannya. Dalam perancangan fondasi, klasifikasi tanah berguna
sebagai petunjuk awal dalam memprediksi kelakuan tanah. Pada dasarnya.
tanah merupakan suatu lapisan yang berada di permukaan bumi berbentuk
padat (tetapi bukan batuan), dengan penyebaran secara horizontal dan
vertikal yang berbeda untuk satu daerah dengan daerah yang lainnya.
Tanah sangat mendukung berbagai aktivitas kehidupan manusia dan
organisme lainnya, dan dapat dikatakan, tanpa adanya tanah hampir setiap
jenis aktivitas kehidupan manusia akan terganggu. Tanah pada wilayah
KPH Unit VI terdiri dari 3 (tiga) tipe, wilayah ini didominasi oleh jenis
podsolik coklat sebesar 76,035%, dan yang terendah adalah Aluvial
sebesar 1,074 %. Adapun tipe dan luasan tutupan jenis tersebut disajikan
pada Tabel 3.5.
Tabel 3. Daftar Rincian Klasifikasi Tanah dan Luasan pada Wilayah KPH
Unit VI Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara.
16
Jenis tanah podsolik bersifat gembur dan mempunyai perkembangan
penampang. Cenderung tidak seberapa mantap dan teguh, peka terhadap
pengikisan. Dari segi kimia, jenis tanah ini asam dan miskin, lebih asam dan
lebih miskin dari tanah latosol. Untuk keperluan pertanian, jenis tanah ini
perlu pemupukan lengkap dan tindak pengawetan. Untuk jenis tanah
podsolik coklat biasanya dipakai untuk hutan lindung. Tanah podsolik merah
kuning merupakan bagian dari tanah Ultisol. Menurut USDA, ultisol adalah
tanah yang sudah mengalami pencucian pada iklim tropis dan sub tropis.
Karakter utama tanah ultisol adalah memiliki horizon A yang tipis. akumulasi
lempung pada horizon Bt dan bersifat agak masam.
Tanah andosol adalah tanah yang berbahan induk abu volkan,
merupakan tanah yang relatif muda dibandingkan latosol, yang sifat-
sifatnya sangat ditentukan oleh mineral liat yang dikandungnya yaitu alofan
yang bersifat amorf. Tanah ini mempunyai horizon A1 tebal bewarna hitam
yang kaya bahan organik, tetapi tidak mempunyai horizon A2, dengan
horizon B berwarna kuning pucat, coklat kekuningan atau coklat keabu-
abuan volkan terlapuk sampai ke horizon C. Umumnya mempunyai
kejenuhan basa relatif rendah tetapi mempunyai Al dapat ditukar relatif
tinggi. Terbawa oleh sifat mineral liat dominan yang dimilikinya maka
andosol mempunyai sifat tiksotrofik, mempunyai kemampuan mengikat air
besar, porositas tinggi, bobot isi rendah, gembur, tidak plastis dan tidak
lengket serta kemampuan fiksasi fosfat yang tinggi. Secara umum
dikatakan bahwa: makin gelap tanah berarti makin tinggi produktivitasnya,
selain ada berbagai pengecualian, namun secara berurutan sebagai berikut:
putih, kuning, kelabu, merah, coklat-kekelabuan, coklat-kemerahan, coklat,
dan hitam.
5. Hidrologi
KPH Unit VI tersebar di 9 (sembilan) kecamatan meliputi 19
Desa/Nagori yang berada di Kabupaten Simalungun dan penyebarannya
berada pada fungsi hutan produksi dengan klasifikasi hutan lahan kering
sekunder. Penyerapan air ke dalam tanah pada umumnya berlangsung
cukup baik, di tempat-tempat yang lebih rendah masih banyak ditemukan
mata air dan berbentuk anak sungai dengan pola yang biasa disebut
17
dendritik (bercabang mirip percabangan pohon beringin). Pola arus sungai
yang dendritik ini menunjukkan bahwa formasi batuan di lokasi inventarisasi
biogeofisik secara umum relatif seragam ketahanannya terhadap pengikisan
oleh air sungai meskipun fungsi geologisnya bervariasi.
DAS adalah daerah yang dibatasi punggung-punggung gunung dimana
air hujan yang jatuh pada daerah tersebut akan ditampung oleh punggung-
punggung tersebut dan akan dialirkan melalui sungai-sungai kecil ke sungai
utama (Asdak. 1995). Karena DAS dianggap sebagai system, maka
pengembangannya harus dperlakukan sebagai suatu system. Dengan
memperlakukan sebagai suatu system dan pengembangannya bertujuan
untuk memenuhi tujuan pembangunan berkelanjutan. Salah satu fungsi
utama dari DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas
yang baik terutama bagi masyarakat di daerah hilir. Alih guna lahan hutan
menjadi lahan pertanian akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas tata air
pada DAS yang akan lebih dirasakan oleh masyarakat di daerah hilir.
Menurut pembagian wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Wilayah KPH Unit
VI Kabupaten Simalungun masuk kedalam kelompok DAS yang meliputi DAS
Bedagai, DAS Bah Hapal, DAS Padang dan DAS Ular. Sebaran dan luasan
DAS di wilayah KPH Unit VI Kabupaten Simalungun Provinsi Sumatera Utara
disajikan pada tabel berikut :
Hulu sungai DAS tersebut berasal dari Bukit Barisan dan bermuara
di Pantai Barat Sumatera, secara umum sungai-sungai tersebut pendek,
terjal dan sempit sehingga tidak mungkin dijadikan sebagai sarana
transportasi, tetapi dijadikan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air dan
kebutuhan irigasi. Sungai (Bah) yang terdapat di Wilayah KPHP Unit VI
18
diantaranya adalah : Bah Kariahan, Bah Kaliat, Bah Hapal, Bah Simata, Bah
Karai dan lain-lain.
6. Iklim
Berdasarkan data curah hujan dan hari hujan Kabupaten
Simalungun dalam Angka Tahun 2014, menyebutkan bahwa di Kabupaten
Simalungun menerima curah hujan perbulan berdasarkan stasiun
pengamatan sebesar 226,67 mm dengan jumlah hari hujan 12,92 hari.
Berbeda dengan fenomena tahun-tahun sebelumnya pada umumnya,
curah hujan terjadi secara merata disepanjang tahun.
Data curah hujan diketemukan dengan lengkap, sedangkan untuk tabel
rata-rata hari hujan dan curah hujan Kabupaten Simalungun dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 3.7 Rata-Rata Hari Hujan dan Curah Hujan Setiap Bulan
di Kabupaten Simalungun.
19
Suhu rata-rata , maksimum dan minimum udara berdasarkan Badan
Meteorologi dan Geofisik Stasiun Penelitian Marihat untuk Kabupaten
Simalungun dapat dilihat pada tabel 3.8
Tabel 3.8 Suhu Rata-Rata, Maksimum dan Minimum Udara Menurut Bulan
Tahun 2016 (oC)
Rata-
Bulan Maksimum Minimum
Rata
Januari 21,80 27,70 18,70
20
B. DEMOGRAFI
Data kependudukan Lima Desa menunjukkan rasio laki-laki dan
perempuan relatif berimbang jumlahnya. Jumlah penduduk terbanyak di Desa
Saran Padang dan terendah di Desa Banuh Raya (tabel 3.9). (2017, BPS).
Tabel 3.9. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin pada lima Desa
Jumlah penduduk
Kecamatan/Desa Laki-laki Perempuan Total
21
C. SARANA DAN PRASARANA
Sarana Prasarana
Kecamatan/Desa Rumah ibadah Pendidikan Kesehatan
4 Posyandu, 2
Raya Siporkas 6 Gereja 3 SD
Bidan
2 Masjid, 4 2 Posyandu, 1
Raya Kahean Durian Baggal
Gereja Protestan
3 SD
Bidan
1 Pustu, 4
Silau Kahean Simanabun 1 Masjid, 3 Gereja 2 SD Posyandu, 1
Bidan
1 Puskesmas,1
Pustu, 4
1 Masjid, 8 5 SD, 1 SLTP,
Dolok Silau Saran Padang
Gereja Protestan 1 SLTA
Posyandu,
Tenaga Medis
24
1 Poskesdes, 2
P anombean
Banuh Raya 1 Masjid, 5 Gereja 2 SD, Posyandu, 1
Pane Bidan
22
BAB IV
HASIL
Lahan Kering
21.50%
Lahan Sawah
5.30%
56.98% Pemukiman
16.12%
Hutan Produksi
23
Pola penguasaan lahan di Desa ini (Gambar 4.2) sebagian besar
merupakan lahan pertanian bukan sawah milik sendiri dan diikuti lahan
pertanian sawah milik sendiri, lahan non pertanian milik sendiri dan lahan
pertanian bukan sawah yang disewa.
9.2
2.78
0.3 0.42
0 0 0 0 0
24
demikian tidak ada aturan atau norma tertentu yang mengatur
pemanfaatan hasil hutan. Penguasaan lahan telah terjadi secara turun-
menurun.
0.76%
9.03% Lahan Kering
Lahan Sawah
Pemukiman
Hutan Produksi
89.23%
12.1
1.6 1.2
0.8 0.36
0 0 0 0
Gambar 4.4 . Grafik pola penguasaan lahan (Ha) di Desa Durian Baggal
25
3. Desa Simanabun
Desa yang berada di kecamatan Silau Kahean terdiri atas 5 dusun,
memiliki jumlah penduduk 1.534 jiwa yang terdiri dari 365 KK.
Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Simanabun, mayoritas yang
mendiami wilayah ini adalah etnis Simalungun, Karo dan Toba. Sebagian
besar masyarakatnya berpencaharian dari sektor pertanian lahan kering
seluas 626 Ha (56,09%) , Pemukiman 70 Ha ( 6,27 %) dan Hutan seluas
420 Ha (37,63%).Jenis tanaman utama adalah padi ladang, jagung, ubi
kayu dan tanaman Perkebunan adalah Karet, Kelapa Sawit,Kopi Robusta,
Kopi arabica, cokelat,Kemiri sedangkan tanaman Kehutanan adalah
Durian, Jengkol dan Aren.
Lahan Kering
Lahan Sawah
Pemukiman
37.63%
Hutan Produksi
56.09%
6.27%
0.00%
26
POLA PENGUASAAN LAHAN DI DESA SIMANABUN
2.7
0.7
0 0 0 0 0 0
27
JENIS PENGGUNAAN LAHAN PADA DESA SARAN PADANG
8.96%
Lahan Kering
9.84%
Lahan Sawah
12.50%
Pemukiman
68.70%
Hutan Produksi
9.7
2.72
1.2
0.8 0.64
0 0 0 0
Gambar 4.8 . Grafik pola penguasaan lahan (Ha) di Desa Saran Padang
28
5. Desa Banuh Raya
Desa yang berada di kecamatan Panombean Panei terdiri atas 3
Dusun, memiliki jumlah penduduk 1112 jiwa terdiri dari 213 KK.
Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Banuh Raya, mayoritas yang
mendiami wilayah ini adalah etnis Simalungun. Sebagian besar
masyarakatnya berpencaharian dari sektor pertanian dengan pertanian
Lahan kering seluas 214 Ha (53,50%), Lahan sawah 42 Ha ( 10,50 % ) ,
pemukiman seluas 34 Ha (8,50%) dan Hutan 110 Ha ( 27,50%) . Sejak
jaman dahulu masyarakat telah tinggal turun-menurun dan memanfaatkan
hasil hutan berupa Durian, Jengkol dan Petai. Namun demikian tidak ada
aturan atau norma tertentu yang mengatur pemanfaatan hasil hutan.
Penguasaan lahan telah terjadi secara turun-menurun.
Lahan Kering
27.50%
Lahan Sawah
53.50% Pemukiman
8.50%
Hutan Produksi
10.50%
29
POLA PENGUASAAN LAHAN DI DESA BANUH RAYA
8.6
2.68
1.6
0.92
0.46
0 0 0 0
Gambar 4.10. Grafik pola penguasaan lahan (Ha) di Desa Banuh Raya
30
3. Desa Simanabun
Penduduk di Desa Simanabun mayoritas etnis Simalungun dan
beragama Kristen Protestan dan Katholik. Penyelesaian konflik
diselesaikan secara kekeluargaan, apabila tidak bisa diatasi kemudian
diproses sesuai dengan hukum dari pemerintah yang berlaku.
31
MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DESA SIPORKAS
32
TINGKAT KESEJAHTERAAN WARAGA DESA SIPORKAS
33
2. Desa Durian Baggal
Berdasarkan data monografi desa, sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani,Buruh dan lain lain diikuti oleh yang lainnya
(Gambar 4.14).
KECENDERUNGAN HASIL
BATAS DESA DENGAN
HUTAN KAWASAN HUTAN
Meningkat
Ada
Stabil
Tida…
Menurun Tida…
0 5 10 0 2 4 6
34
TINGKAT KESEJAHTERAAN WARAGA DESA DURIAN BAGGAL
Lebih Baik Sama Baik Sama Buruk Lebih Buruk
12
10
8
6
4
2
0
3. Desa Simanabun
Berdasarkan data monografi desa, sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani, diikuti oleh yang lainnya (Gambar 4.18).
`
35
Masyarakat mengambil hasil hutan paling jauh 2 km melalui jalan
setapak dengan cara dipikul, yang kemudian akan dijual ke pasar
kecamatan yang berjarak 5 km dengan menggunakan kendaraan berupa
sepeda motor.
0 5 10 0 2 4 6 8
12
10
8
6
4
2
0
36
Tingkat kesejahteraan masyarakat selam tiga tahun terakhir
menurut responden relatif sama baik terutama kemampuan membeli
makanan, keadaan perumahan, kesehatan anggota keluarga, dan rasa
aman (Gambar 4.20.)
0 5 10 0 5 10
37
Mayoritas responden mengetahui kawasan hutan, sebagian tidak
tahu, batas desa dengan kawasan hutan yang diketahui masyarakat berupa
pal batas.
Masyarakat mengambil hasil hutan paling jauh 2 km melalui jalan
setapak dengan cara dipikul, yang kemudian akan dijual ke pasar
kecamatan yang berjarak 2,5 km dengan menggunakan kendaraan berupa
sepeda motor.
38
5. Desa Banuh Raya
Berdasarkan data monografi desa, sebagian besar memiliki mata
pencaharian sebagai petani, diikuti oleh yang lainnya (Gambar 4.24).
Pengrajin/Tukang
Pedagang
Pegawai/Pensiunan
Menagkap Ikan
Petani
Meningkat
Ada
Stabil
Tidak Ada
Menurun
Tidak Tahu
0 5 10 15 0 5 10
39
TINGKAT KESEJAHTERAAN WARAGA DESA BANUH RAYA
Lebih Baik Sama Baik Sama Buruk Lebih Buruk
12
10
8
6
4
2
0
40
Tabel 4.27 . Jenis pemanfaatan hasil hutan di Desa Siporkas
3. Desa Simanabun
Berdasarkan data monografi Desa Simanabun, masyarakat di Desa
ini rata-rata memiliki lahan pertanian dengan luas 0,5-1 Ha. Selain itu
masyarakat juga bertani lahan kering dengan luas sekitar 626 Ha. Dengan
tanaman utama adalah padi ladang,jagung,Karet,kopi arabica,cokelat.dan
tanaman sayuran.Masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan berupa,
Durian, Jengkol dan Aren untuk keperluan sendiri (konsumsi) dan dijual.
41
Biasanya Durian dijual kepada pedagang pengumpul dengan harga Rp.
5000,-/Buah.
Jenis pemanfaatan hasil hutan dapat dilihat pada tabel 4.29.
Berdasarkan informasi dari responden dan Kepala Desa, mayoritas hasil
hutan yang diambil adalah Durian, kemudian diikuti oleh, Jengkol dan
Aren.
42
5. Desa Banuh Raya
Berdasarkan data monografi Desa Banuh Raya, masyarakat di Desa
ini rata-rata bekerja bagai petani kepemilikan lahan 0,32-1 Ha, tanaman
yang diusahakan adalah padi sawah sekitar 42 Ha, dan lahan kering kira
kira 214 Ha. Masyarakat juga memanfaatkan hasil hutan berupa
Durian,Jengkol dan Aren untuk keperluan sendiri (konsumsi) dan dijual.
Biasanya kepiting dijual kepada pedagang pengumpul dengan harga Rp.
30.000,-/kg.
Jenis pemanfaatan hasil hutan dapat dilihat pada tabel 4.31.
Berdasarkan informasi dari responden dan Kepala Desa, hasil hutan yang
diambil adalah dalam jumlah yang kecil.
43
BAB V
ANALISIS
44
PENGUASAAN LAHAN DI KPHP UNIT VI SIMALUNGUN
Milik Sendiri Warisan Sewa
14.06
12.4 13.06
11.74
9.7
3.4
2 2 2.52
0 0.3 0 0 0 0
Lahan Pertanian Sawah Lahan Pertanian Bukan Sawah Lahan Non Pertanian
13.3
11.7
10.5 10.2
9.5
45
Analisis kependudukan pada tabel 5.3 menunjukkan Desa memiliki
kepadatan penduduk tertinggi pada Desa Saran Padang yaitu 856,66 jiwa per
km2. Sedangkan kepadatan penduduk terendah pada Desa Banuh Raya yaitu
278 jiwa per km2. Secara umum kepadatan penduduk relatif tinggi sehingga
kebutuhan lahan yang berpotensi pada alih fungsi hutan perlu
dikhawatirkan.
Ada
Tidak Ada
Tidak Tahu
0 5 10 15 20 25 30 35
46
B. Sistem dan struktur masyarakat
Masyarakat di lima desa lokasi inventarisasi sosial budaya ini
merupakan masyarakat patrilineal yang mengikuti garis keturunan dari
pihak laki-laki (ayah). Mayoritas penduduknya beragama Kristen. Suku di
masyarakat ketujuh desa relatif sama, yaitu mayoritas dari suku
Simalungun. Pada umumnya pola penguasaan lahan terjadi secara turun-
menurun di lima desa, dan sebagian menyewa lahan pertanian untuk
ditanami tanaman sayuran dan Padi.
Meningkat
Stabil
Menurun
0 10 20 30 40 50
47
Banuh Raya, dengan akses secara keseluruhan berupa jalan setapak.
Produk diangkut dengan cara dipikul kemudian dibeli oleh
cukong/tengkulak yang datang ke desa tersebut, banyak juga yang
dibawa ke pasar terdekat dengan menggunakan kendaraan motor.
48
Harga jual Durian adalah Rp. 5.000/ buah, Jengkol 1 goni Rp 300.000,00
Dan Aren Rp 5.000/ Liter
Berbagai hasil dan nilai yang dimiliki dari suatu kawasan hutan
seharusnya dapat mendorong dan membantu masyarakat yang berada di
tepi hutan baik dari segi ekonomi maupun sosial. Untuk itu diperlukan
tatanan dan pengelolaan yang cermat agar hasil dari hutan tersebut
dapat tetap terjaga dan lestari. Inilah salah satu tugas dari pengelola KPH
nantinya. Akses pemasaran komoditas juga menjadi hal yang perlu
dipikirkan agar petani dapat lepas dari permainan harga oleh
cukong/tengkulak. Hal ini dapat diwujudkan dengan membentuk koperasi
tani. Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu dari Lima Desa Dapat dilihat dari
Tabel 5.7 dibawah ini.
49
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Para tokoh/pemimpin lokal di lima desa dalam KPH Unit VI Simalungun
memegang peranan vital dalam kehidupan masyarakat.
2. Kelima desa memiliki komoditas unggulan berupa tanaman padi sawah,
kelapa sawit,kopi arabica,karet dan coklat. Sebagian masyarakat juga
menanami tanaman sayuran seperti cabe merah,tomat,jahe dan sayuran
lainnya. Masyarakat mengambil hasil hutan berupa Durian,jengkol, dan
Aren.
3. Akses pemasaran komoditas masih melalui cukong/tengkulak sehingga
petani rentan dengan permainan harga akibat posisi tawar yang rendah.
4. Keberadaan kawasan hutan sudah tersosialisasikan ke masyarakat
melalui peranan UPT KPH WILYAH II Pematang Siantar.
B. Saran
- Dalam setiap program pemerintah perlu melibatkan masyarakat setempat
dan tokoh lokal agar dapat diterima semua pihak.
- Keberadaan kawasan hutan disekitar desa sangat berkontribusi terhadap
perekonomian masyarakat,misalnya keberadaan Durian,Jengkol dan Aren
dikawasan hutan,tetapi tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan
hasil yang menurun. Untuk itu diharapkan masyarakat sekitar hutan dapat
menjaga kelestarian hutan di sekitarnya dengan mengembangkan model
pengelolaan hutan sistem agroforestry.
- Perlunya dikembangkan komoditas potensial yang memiliki nilai jual tinggi
untuk dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan.Serta
Pelatihan enterpreunership bagi masyarakat sekitar hutan untuk
meningkatkatkan nilai tambah produk dan diversifikasi produk dari Hasil
Hutan Bukan Kayu ( HHBK)
- Kehadiran koperasi dilevel nagori diperlukan untuk memutus mata rantai
cukong/tengkulak sehingga menguntungkan petani.
- Perlu sering diadakan sosialisasi tentang kawasan hutan agar masyarakat
lebih paham dan turut menjaga kelestarian hutan yang ada di sekitarnya.
50