Anda di halaman 1dari 9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanatologi
2.1.1 Definisi Tanatologi
Tanatologi berasal dari kata thanatos (yang berhubungan dengan kematian) dan logos
(ilmu). Tanatologi adalah bagian dari Ilmu Kedokteran Forensik yang mempelajari kematian
dan perubahan yang terjadi setelah kematian serta faktor yang mempengaruhi perubahan
tersebut.
2.1.2 Istilah dalam Tanatologi
Dikenal beberapa istilah tentang mati dalam tanatologi, yaitu mati somatis (mati
klinis), mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati otak (mati batang otak).
- Mati somatis (mati klinis)
Terjadi akibat terhentinya fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan, yaitu susunan saraf
pusat, sistem kardiovaskular dan sistem pernapasan, yang menetap (irreversible). Secara
klinis tidak ditemukan refleks-refleks, EEG mendatar, nadi tidak teraba, denyut jantung
tidak terdengar, tidak ada gerak pernapasan dan suara nafas tidak terdengar pada
auskultasi.
- Mati suri (suspended animation apparent death)
Terhentinya ketiga sistem kehidupan di atas yang ditentukan dengan alat kedokteran
sederhana. Dengan peralatan kedokteran canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga
sistem tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat
tidur, tersengat aliran listrik dan tenggelam.
- Mati seluler (mati molekuler)
Kematian organ atau jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatis.
Daya tahan hidup masing-masing organ atau jaringan berbeda-beda, sehingga terjadinya
kematian seluler pada tiap organ atau jaringan tidak bersamaan.
- Mati serebral
Merupakan kerusakan kedua hemisfer otak yang irreversible kecuali batang otak dan
serebelum, sedangkan kedua sistem lainnya yaitu sistem pernapasan dan kardiovaskular
masih berfungsi dengan bantuan alat.
- Mati otak (mati batang otak)
Bila telah terjadi kerusakan seluruh isi neuronal intrakranial yang irreversible, termasuk
batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya mati otak (mati batang otak) maka dapat
dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat dinyatakan hidup lagi, sehingga alat
bantu dapat dihentikan.
2.1.3 Definisi Kematian
Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang berupa
tanda kematian, yaitu perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan tersebut dapat
timbul dini pada saat meninggal atau beberapa menit kemudian, misalnya kerja jantung dan
peredaran darah berhenti, pernapasan berhenti, refleks cahaya dan refleks kornea mata hilang,
kulit pucat dan relaksasi otot. Setelah beberapa waktu timbul perubahan pascamati yang jelas
dan memungkinkan diagnosis kematian lebih pasti. Tanda-tanda tersebut dikenal sebagai
tanda pasti kematian berupa lebam mayat (hipostasis atau lividitas pasca-mati), kaku mayat
(rigor mortis), penurunan suhu tubuh, pembusukan, mumifikasi dan adiposera.
2.1.3.1 Tanda Kematian Tidak Pasti
1. Pernafasan berhenti, dinilai selama lebih dari 10 menit (inspeksi, palpasi, auskultasi).
2. Terhentinya sirkulasi, dinilai selama 15 menit, nadi karotis tidak teraba.
3. Kulit pucat, tetapi bukan merupakan tanda yang dapat dipercaya, karena mungkin
terjadi spasme agonal sehingga wajah tampak kebiruan.
4. Tonus otot menghilang dan relaksasi. Relaksasi dari otot-otot wajah menyebabkan
kulit menimbul sehingga kadang-kadang membuat orang menjadi tampak lebih muda.
Kelemasan otot sesaat setelah kematian disebut relaksasi primer. Hal ini
mengakibatkan pendataran daerah-daerah yang tertekan, misalnya daerah belikat dan
bokong pada mayat yang terlentang.
5. Pembuluh darah retina mengalami segmentasi beberapa menit setelah kematian.
Segmen-segmen tersebut bergerak ke arah tepi retina dan kemudian menetap.
6. Pengeringan kornea menimbulkan kekeruhan dalam waktu 10 menit yang masih dapat
dihilangkan dengan meneteskan air.
2.1.3.2 Tanda Pasti Kematian
1. Lebam mayat (livor mortis)
Setelah kematian klinis maka eritrosit akan menempati tempat terbawah akibat gaya tarik
bumi (gravitasi), mengisi vena dan venula, membentuk bercak warna merah ungu (livide)
pada bagian terbawah tubuh, kecuali pada bagian tubuh yang tertekan alas keras. Darah tetap
cair karena adanya aktivitas fibrinolisin yang berasal dari endotel pembuluh darah. Lebam
mayat biasanya mulai tampak 20-30 menit pasca mati, makin lama intensitasnya bertambah
dan menjadi lengkap dan menetap setelah 8-12 jam. Sebelum waktu ini, lebam mayat masih
hilang (memucat) pada penekanan dan dapat berpindah jika posisi mayat diubah.
Memucatnya lebam akan lebih cepat dan lebih sempurna apabila penekanan atau perubahan
posisi tubuh tersebut dilakukan dalam 6 jam pertama setelah mati klinis. Tetapi, walaupun
setelah 24 jam, darah masih tetap cukup cair sehingga sejumlah darah masih dapat mengalir
dan membentuk lebam mayat di tempat terendah yang baru. Kadang-kadang dijumpai bercak
perdarahan berwarna biru kehitaman akibat pecahnya pembuluh darah. Menetapnya lebam
mayat disebabkan oleh tertimbunnya sel-sel darah dalam jumlah cukup banyak sehingga sulit
berpindah lagi. Selain itu kekakuan otot-otot dinding pembuluh darah ikut mempersulit
perpindahan tersebut. Lebam mayat dapat digunakan untuk tanda pasti kematian;
memperkirakan sebab kematian, misalnya lebam berwarna merah terang pada keracunan CO
atau CN, warna kecok-latan pada keracunan anilin, nitrit, nitrat, sulfonal; mengetahui
perubahan posisi mayat yang dilakukan setelah terjadinya lebam mayat yang menetap; dan
memperkirakan saat kematian. Apabila pada mayat terlentang yang telah timbul lebam mayat
belum menetap dilakukan perubahan posisi menjadi telungkup, maka setelah beberapa saat
akan terbentuk lebam mayat baru di daerah dada dan perut. Lebam mayat yang belum
menetap atau masih hilang pada penekanan menunjukkan saat kematian kurang dari 8-12 jam
sebelum saat pemeriksaan. Mengingat pada lebam mayat darah terdapat di dalam pembuluh
darah, maka keadaan ini digunakan untuk membedakannya dengan resapan darah akibat
trauma (ekstravasasi). Bila pada daerah tersebut dilakukan irisan dan kemudian disiram
dengan air, maka warna merah darah akan hilang atau pudar pada lebam mayat, sedangkan
pada resapan darah tidak menghilang.
2. Kaku mayat (rigor mortis)
Kelenturan otot setelah kematian masih dipertahankan karena metabolisme tingkat seluler
masih berjalan berupa pemecahan cadangan glikogen otot yang menghasilkan energi. Energi
ini digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Selama masih terdapat ATP maka serabut
aktin dan miosin tetap lentur. Bila cadangan glikogen dalam otot habis, maka energi tidak
terbentuk lagi, aktin dan miosin menggumpal dan otot menjadi kaku. Kaku mayat dibuktikan
dengan memeriksa persendian. Kaku mayat mulai tampak kira-kira 2 jam setelah mati klinis,
dimulai dari bagian luar tubuh (otot-otot kecil) ke arah dalam (sentripetal). Teori lama
menyebutkan bahwa kaku mayat ini menjalar kraniokaudal. Setelah mati klinis 12 jam kaku
mayat menjadi lengkap, dipertahankan selama 12 jam dan kemudian menghilang dalam
urutan yang sama. Kaku mayat umumnya tidak disertai pemendekan serabut otot, tetapi jika
sebelum terjadi kaku mayat otot berada dalam posisi teregang, maka saat kaku mayat
terbentuk akan terjadi pemendekan otot. Faktor-faktor yang mempercepat terjadinya kaku
mayat adalah aktivitas fisik sebelum mati, suhu tubuh yang tinggi, bentuk tubuh kurus
dengan otot-otot kecil dan suhu lingkungan tinggi. Kaku mayat dapat dipergunakan untuk
menunjukkan tanda pasti kematian dan memperkirakan saat kematian.
Terdapat kekakuan pada mayat yang menyerupai kaku mayat;
- Cadaveric spasm (instantaneous rigor), adalah bentuk kekakuan otot yang terjadi pada
saat kematian dan menetap. Cadaveric spasm sesungguhnya merupakan kaku mayat
yang timbul dengan intensitas sangat kuat tanpa didahului oleh relaksasi primer.
Penyebabnya adalah akibat habisnya cadangan glikogen dan ATP yang bersifat setempat
pada saat mati klinis karena kelelahan atau emosi yang hebat sesaat sebelum meninggal.
Cadaveric spasm ini jarang dijumpai, tetapi sering terjadi dalam masa perang.
Kepentingan medikolegalnya adalah menunjukkan sikap terakhir masa hidupnya.
Misalnya, tangan yang menggenggam erat benda yang diraihnya pada kasus tenggelam,
tangan yang menggenggam senjata pada kasus bunuh diri.
- Heat stiffening, yaitu kekakuan otot akibat koagulasi protein otot oleh panas. Otot-otot
berwarna merah muda, kaku, tetapi rapuh (mudah robek). Keadaan ini dapat dijumpai
pada korban mati terbakar. Pada heat stiffening serabut-serabut ototnya memendek
sehingga menimbulkan fleksi leher, siku, paha dan lutut, membentuk sikap petinju
(pugilistic attitude). Perubahan sikap ini tidak memberikan arti tertentu bagi sikap
semasa hidup, intravitalitas, penyebab atau cara kematian.
- Cold stiffening, yaitu kekakuan tubuh akibat lingkungan dingin, sehingga terjadi
pembekuan cairan tubuh, termasuk cairan sendi, pemadatan jaringan lemak subkutan dan
otot, sehingga bila sendi ditekuk akan terdengar bunyi pecahnya es dalam rongga sendi.
3. Penurunan suhu tubuh (algor mortis).
Penurunan suhu tubuh terjadi karena proses pemindahan panas dari suatu benda ke benda
yang lebih dingin, melalui cara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi. Grafik penurunan
suhu tubuh ini hampir berbentuk kurva sigmoid atau seperti huruf S. Kecepatan penurunan
suhu dipengaruhi oleh suhu keliling, aliran dan kelembaban udara, bentuk tubuh, posisi
tubuh, pakaian. Selain itu suhu saat mati perlu diketahui untuk perhitungan perkiraan saat
kematian. Penurunan suhu tubuh akan lebih cepat pada suhu keliling yang rendah, lingkungan
berangin dengan kelembaban rendah, tubuh yang kurus, posisi terlentang, tidak berpakaian
atau berpakaian tipis, dan pada umumnya orang tua serta anak kecil. Berbagai rumus
kecepatan penurunan suhu tubuh pasca mati ditemukan sebagai hasil dari penelitian di negara
barat, namun ternyata sukar dipakai dalam praktek karena faktor-faktor yang berpengaruh di
atas berbeda pada setiap kasus, lokasi, cuaca dan iklim. Meskipun demikian dapat
dikemukakan di sini formula Marshall dan Hoare (1962) yang dibuat dari hasil penelitian
terhadap mayat telanjang dengan suhu lingkungan 15.5 derajat Celcius, yaitu penurunan suhu
dengan kecepatan 0.55 derajat Celcius tiap jam pada 3 jam pertama pasca mati, 1,1 derajat
Celcius tiap jam pada 6 jam berikutnya, dan kira-kira 0.8 derajat Celcius tiap jam pada
periode selanjutnya. Kecepatan penurunan suhu ini menurun hingga 60% bila mayat
berpakaian. Peng-gunakan formula ini harus dilakukan dengan hati-hati mengingat suhu
lingkungan di Indonesia biasanya lebih tinggi (kurva penurunan suhu lebih landai). Penelitian
akhir-akhir ini cenderung untuk memperkirakan saat mati melalui pengukuran suhu tubuh
pada lingkungan yang menetap di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Caranya adalah dengan
melakukan 4-5 kali penentuan suhu rektal dengan interval waktu yang sama (minimal 15
menit). Suhu lingkungan diukur dan dianggap konstan karena faktor-faktor lingkungan dibuat
menetap, sedangkan suhu saat mati dianggap 37 derajat Celcius bila tidak ada penyakit
demam. Penelitian membuktikan bahwa perubahan suhu lingkungan kurang dari 2 derajat
Celcius tidak mengakibatkan perubahan yang bermakna. Dari angka-angka di atas, dengan
menggunakan rumus atau grafik dapat ditentukan waktu antara saat mati dengan saat
pemeriksaan.
4. Pembusukan (decomposition, putrefaction)
Pembusukan adalah proses degradasi jaringan yang terjadi akibat autolisis dan kerja bakteri.
Autolisis adalah pelunakan dan pencairan jaringan yang terjadi dalam keadaan steril.
Autolisis timbul akibat kerja digestif oleh enzim yang dilepaskan sel pascamati dan hanya
dapat dicegah dengan pembekuan jaringan. Setelah seseorang meninggal, bakteri yang
normal hidup dalam tubuh segera masuk ke jaringan. Darah merupakan media terbaik bagi
bakteri tersebut untuk bertumbuh. Sebagian besar bakteri berasal dari usus dan yang terutama
adalah Clostridium welchii. Pada proses pembusukan ini terbentuk gas-gas alkana, H2S dan
HCN, serta asam amino dan asam lemak. Pembusukan baru tampak kira-kira 24 jam pasca
mati berupa warna kehijauan pada perut kanan bawah, yaitu daerah sekum yang isinya lebih
cair dan penuh dengan bakteri serta terletak dekat dinding perut. Warna kehijauan ini
disebabkan oleh terbentuknya sulfmethemoglobin. Secara bertahap warna kehijauan ini akan
menyebar ke seluruh perut dan dada, dan bau busuk pun mulai tercium. Pembuluh darah
bawah kulit akan tampak seperti melebar dan berwarna hijau kehitaman. Selanjutnya kulit ari
akan terkelupas atau membentuk gelembung berisi cairan kemerahan berbau busuk.
Pembentukan gas di dalam tubuh, dimulai di dalam lambung dan usus, akan mengakibatkan
tegangnya perut dan keluarnya cairan kemerahan dari mulut dan hidung. Gas yang terdapat di
dalam jaringan dinding tubuh akan mengakibatkan terabanya derik (krepitasi). Gas ini
menyebabkan pembengkakan tubuh yang menyeluruh, tetapi ketegangan terbesar terdapat di
daerah dengan jaringan longgar, seperti skrotum dan payudara. Tubuh berada dalam sikap
seperti petinju (pugilistic attitude), yaitu kedua lengan dan tungkai dalam sikap setengah
fleksi akibat terkumpulnya gas pembusukan di dalam rongga sendi. Selanjutnya, rambut
menjadi mudah dicabut dan kuku mudah terlepas, wajah menggembung dan berwarna ungu
kehijauan, kelopak mata membengkak, pipi tembem, bibir tebal, lidah membengkak dan
sering terjulur diantara gigi. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan wajah asli korban,
sehingga tidak dapat lagi dikenali oleh keluarga.
Hewan pengerat akan merusak tubuh mayat dalam beberapa jam pasca mati, terutama
bila mayat dibiarkan tergeletak di daerah rumpun. Luka akibat gigitan binatang pengerat khas
berupa lubang-lubang dangkal dengan tepi bergerigi. Larva lalat akan dijumpai setelah
pembentukan gas pembusukan nyata, yaitu kira-kira 36-48 jam pasca mati. Kumpulan telur
lalat telah dapat ditemukan beberapa jam pasca mati, di alis mata, sudut mata, lubang hidung
dan diantara bibir. Telur lalat tersebut kemudian akan menetas menjadi larva dalam waktu 24
jam. Dengan identifikasi spesies lalat dan mengukur panjang larva, maka dapat diketahui usia
larva tersebut, yang dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat mati, dengan asumsi
bahwa lalat biasanya secepatnya meletakkan telur setelah seseorang meninggal (dan tidak
lagi dapat mengusir lalat yang hinggap).
Alat dalam tubuh akan mengalami pembusukan dengan kecepatan yang berbeda.
Perubahan warna terjadi pada lambung terutama di daerah fundus, usus, menjadi ungu
kecoklatan. Mukosa saluran napas menjadi kemerahan, en-dokardium dan intima pembuluh
darah juga kemerahan, akibat hemolisis darah. Difusi empedu dari kandung empedu
mengakibatkan warna coklat kehijauan di jaringan sekitarnya. Otak melunak, hati menjadi
berongga seperti spons, limpa melunak dan mudah robek. Kemudian alat-dalam akan
mengerut. Prostat dan uterus non gravid merupakan organ padat yang paling lama bertahan
terhadap perubahan pembusukan. Pembusukan akan timbul lebih cepat bila suhu keliling
optimal (26.5 derajat Celcius hingga sekitar suhu normal tubuh), kelembaban dan udara yang
cukup, banyak bakteri pembusuk, tubuh gemuk atau menderita penyakit infeksi dan sepsis.
Media tempat mayat terdapat juga berperan.
Mayat yang terdapat di udara akan lebih cepat membusuk dibandingkan dengan yang
terdapat dalam air atau dalam tanah. Perbandingan kecepatan pembusukan mayat yang berada
dalam tanah : air: udara adalah 1 : 2 : 8. Bayi baru lahir umumnya lebih lambat membusuk,
karena hanya memiliki sedikit bakteri dalam tubuhnya dan hilangnya panas tubuh yang cepat
pada bayi akan menghambat pertumbuhan bakteri.
5. Adiposera atau lilin mayat
Adiposera adalah terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak atau berminyak,
berbau tengik yang terjadi di dalam jaringan lunak tubuh pasca mati. Dulu disebut sebagai
saponifikasi, tetapi istilah adiposera lebih disukai karena menunjukkan sifat-sifat diantara
lemak dan lilin. Adiposera terutama terdiri dari asam-asam lemak tak jenuh yang terbentuk
oleh hidrolisis lemak dan mengalami hidrogenisasi sehingga terbentuk asam lemak jenuh
pasca mati yang tercampur dengan sisa-sisa otot, jaringan ikat, jaringan saraf yang
termumifikasi dan kristal-kristal sferis dengan gambaran radial. Adiposera terapung di air,
bila dipanaskan mencair dan terbakar dengan nyala kuning, larut di dalam alkohol panas dan
eter. Adiposera dapat terbentuk di sebarang lemak tubuh, bahkan di dalam hati, tetapi lemak
superfisial yang pertama kali terkena. Biasanya perubahan berbentuk bercak, dapat terlihat di
pipi, payudara atau bokong, bagian tubuh atau ekstremitas. Jarang seluruh lemak tubuh
berubah menjadi adiposera. Adiposera akan membuat gambaran permukaan luar tubuh dapat
bertahan hingga bertahun-tahun, sehingga identifikasi mayat dan perkiraan sebab kematian
masih dimungkinkan.
Faktor-faktor yang mempermudah terbentuknya adiposera adalah kelembaban dan
lemak tubuh yang cukup, sedangkan yang menghambat adalah air yang mengalir yang
membuang elektrolit. Udara yang dingin menghambat pembentukan, sedangkan suhu yang
hangat akan mempercepat. Invasi bakteri endogen ke dalam jaringan pasca mati juga akan
mempercepat pembentukannya. Pembusukan akan terhambat oleh adanya adiposera, karena
derajat keasaman dan dehidrasi jaringan bertambah. Lemak segar hanya mengandung kira-
kira 0.5% asam lemak bebas, tetapi dalam waktu 4 minggu pasca mati dapat naik menjadi
20% dan setelah 12 minggu menjadi 70% atau lebih. Pada saat ini adiposera menjadi jelas
secara makroskopik sebagai bahan berwarna putih kelabu yang menggantikan atau
menginfiltrasi bagian-bagian lunak tubuh. Pada stadium awal pembentukannya sebelum
makroskopik jelas, adiposera paling baik dideteksi dengan analisis asam palmitat.
6. Mummifikasi
Mumifikasi adalah proses penguapan cairan atau dehidrasi jaringan yang cukup cepat
sehingga terjadi pengeringan jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan pembusukan.
Jaringan berubah menjadi keras dan kering, berwarna gelap, berkeriput dan tidak membusuk
karena kuman tidak dapat berkembang pada lingkungan yang kering. Mumifikasi terjadi bila
suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, tubuh yang dehidrasi dan waktu
yang lama (12-14 minggu). Mumifikasi jarang dijumpai pada cuaca yang normal.
2.1.4 Perkiraan saat Kematian.
Beberapa perubahan lain dapat digunakan untuk memperkirakan saat mati.
1. Perubahan pada mata
Bila mata terbuka pada atmosfer yang kering, sklera di kiri-kanan kornea akan berwarna
kecolkatan dalam beberapa jam berbentuk segitiga dengan dasar di tepi kornea (taches noires
sclerotiques). Kekeruhan kornea terjadi lapis demi lapis. Kekeruhan yang terjadi pada lapis
terluar dapat dihilangkan dengan meneteskan air, tetapi kekeruhan yang telah mencapai
lapisan lebih dalam tidak dapat dihilangkan dengan tetesan air. Kekeruhan yang menetap ini
terjadi sejak kira-kira 6 jam pasca mati. Baik dalam keadaan mata tertutup maupun terbuka,
kornea menjadi keruh kira-kira 10-12 jam pasca mati dan dalam beberapa jam saja fundus
tidak tampak jelas. Setelah kematian tekanan bola mata menurun, memungkinkan distorsi
pupil pada penekanan bola mata. Tidak ada hubungan antara diameter pupil dengan lamanya
mati. Perubahan pada retina dapat menunjukkan saat kematian hingga 15 jam pasca mati.
Hingga 30 menit pasca mati tampak kekeruhan makula dan mulai memucatnya diskus
optikus. Kemudian hingga 1 jam pasca mati, makula lebih pucat dan tepinya tidak tajam lagi.
Selama dua jam pertama pasca mati, retina pucat dan daerah sekitar diskus menjadi kuning.
Warna kuning juga tampak disekitar makula yang menjadi lebih gelap. Pada saat itu pola
vaskular koroid yang tampak sebagai bercak-bercak dengan latar belakang merah dengan
pola segmentasi yang jelas, tetapi pada kira-kira 3 jam pasca mati menjadi kabur dan setelah
5 jam menjadi homogen dan lebih pucat. Pada kira-kira 6 jam pasca mati, batas diskus kabur
dan hanya pembuluhpembuluh besar yang mengalami segmentasi yang dapat dilihat dengan
latar belakang kuning-kelabu. Dalam waktu 7-10 jam pasca mati akan mencapai tepi retina
dan batas diskus akan sangat kabur. Pada 12 jam pasca mati diskus hanya dapat dikenali
dengan adanya konvergensi beberapa segmen pembuluh darah yang tersisa. Pada 15 jam
pasca mati tidak ditemukan lagi gambaran pembuluh darah retina dan diskus, hanya makula
saja yang tampak berwarna coklat gelap.
2. Perubahan dalam lambung
Kecepatan pengosongan lambung sangat bervariasi, sehingga tidak dapat digunakan
untuk memberikan petunjuk pasti waktu antara makan terakhir dan saat mati. Namun
keadaan lambung dan isinya mungkin membantu dalam membuat keputusan. Ditemukannya
makanan tertentu (pisang, kulit tomat, biji-bijian) dalam isi lambung dapat digunakan untuk
menyimpulkan bahwa korban sebelum meninggal telah makan makanan tersebut.
3. Perubahan rambut
Dengan mengingat bahwa kecepatan tumbuh rambut rata-rata 0.4 mm/hari, panjang
rambut kumis dan jenggot dapat dipergunakan untuk memperkirakan saat kematian. Cara ini
hanya dapat digunakan bagi pria yang mempunyai kebiasaan mencukur kumis atau
jenggotnya dan diketahui saat terakhir ia mencukur.
4. Pertumbuhan kuku
Sejalan dengan hal rambut tersebut di atas, pertumbuhan kuku yang diperkirakan sekitar
0,1 mm per hari dapat digunakan untuk memperkirakan saat kematian bila dapat diketahui
saat terakhir yang bersangkutan memotong kuku.
5. Perubahan dalam cairan serebrospinal
Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% menunjukkan kematian belum lewat 10
jam, kadar nitrogen non-protein kurang dari 80mg% menunjukkan kematian belum 24 jam,
kadar kreatin kurang dari 5 mg% dan 10 mg% masing-masing menunjukkan kematian belum
mencapai 10 jam dan 30 jam.
6. Dalam cairan vitreus terjadi peningkatan kadar Kalium yang cukup akurat untuk
memperkirakan saat kematian antara 24 hingga 100 jam pasca mati.
7. Kadar semua komponen darah berubah setelah kematian
Analisis darah pasca mati tidak memberikan gambaran konsentrasi zat-zat tersebut
semasa hidupnya. Perubahan tersebut diakibatkan oleh aktivitas enzim dan bakteri, serta
gangguan permeabilitas dari sel yang telah mati. Selain itu gangguan fungsi tubuh selama
proses kematian dapat menimbulkan perubahan dalam darah bahkan sebelum kematian itu
terjadi. Hingga saat ini belum ditemukan perubahan dalam darah yang dapat digunakan
untuk memperkirakan saat mati dengan lebih tepat.
8. Reaksi supravital
Reaksi jaringan tubuh sesaat pasca mati klinis yang masih sama seperti reaksi jaringan
tubuh pada seseorang yang hidup.

Anda mungkin juga menyukai