Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stunting


Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi
yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan
baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini
meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah
sakit dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. Kemampuan
kognitif para penderita juga berkurang, sehingga mengakibatkan kerugian
ekonomi jangka panjang bagi Indonesia (MCA-Indonesia,2014).
Penentuan status gizi masing-masing kelompok umur tidaklah selalu sama.
Untuk penentuan status gizi balita, penentuan status gizinya diatur dalam
KEMENKES RI, NOMOR:1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar gizi
balita. Standar tersebut mengatur tentang penentuan status gizi berdasarkan Berat
Badan menurut Umur (BB/U), Panjang Badan atau Tinggi Badan menurut Umur
(TB/U atau PB/U), Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan
(BB/PB ATAU BB/TB), dan Indeks Masa Tubuh menurut Umur (IMT/U).
Masing-masing indikator tersebut memiliki pembagian kategori yang berbeda-
beda.
1) BB/U: indeks ini diperoleh dari perbandingan antara berat badan dengan
umur yang dapat digunakan untuk menilai kemungkinan anak dengan
berat badan kurang atau sangat kurang.
2) PB/U atau TB/U: indeks ini diperoleh dari perbandingan antara PB atau
TB dengan umur yang dapat digunakan untuk menggambarkan keadaan
kurang gizi kronis yaitu pendek.
3) BB/PB atau BB/TB: indeks ini diperoleh untuk merefleksikan BB
dibandingkan dengan pertumbuhan menurut PB atau TB yang dapat
digunakan untuk menilai kemungkinan anak dengan kategori kurus atau
sangat kurus yang merupakan masalah gizi akut.

6
4) IMT/U: indikator yang diperoleh dengan membandingkan antar IMT
dengan umur yang hasilnya cenderung menunjukkan hasil yang sama
dengan indeks BB/TB atau BB/PB.

2.2 Dampak Stunting


Laporan UNICEF tahun 1998, beberapa fakta terkait stunting dan
pengaruhnya adalah sebagai berikut (Gibney, 2009) :
1) Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam
bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun.
Stunting yang parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka panjang
dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar
secara optimal di sekolah dibandingkan anak-anak dengan tinggi badan
normal. Anak-anak dengan stunting cenderung lebih lama masuk sekolah
dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status
gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak
dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
2) Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak.
Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat menganggu pertumbuhan
dan perkembangan intelektual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat
lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak
sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian
sebagian besar anak-anak dengan stunting mengonsumsi makanan yang
berbeda di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga
banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan komunitas
pedesaan.
3) Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat
menganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak
stunting pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup,
kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan
kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunting dan mempngaruhi
secara langsung pada kesehatan dan prduktivitas, sehingga meningkatkan
peluang melahirkan anak BBLR. Stunting terutama berbahaya pada

7
perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalm proses
pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan. Akibat
lainnya kekurangan gizi/stunting terhadap perkembangan sangat
merugikan performance anak. Jika kondisi buruk terjadi pada masa golden
period perkembangan otak (0-3 tahun) maka tidak dapat berkembang dan
kondisi ini sulit untuk dapat pulih kembali. Hal ini disebabkan karena 80-
90% jumlah sel otak terbentuk semenjak masa dalam kandungan sampai
usia 2 (dua) tahun. Apabila gangguan tersebut terus berlangsung maka
akan terjadi penurunan skor tes IQ sebesar 10-13 point. Penurunan
perkembangan kognitif, gangguan pemusatan perhatian dan menghambat
prestasi belajar serta produktifitas menurun sebesar 20-30%, yang akan
mengakibatkan terjadinya loss generation, artinya anak-anak tersebut
hidup tetapi tidak bisa berbuat banyak baik dalam bidang pendidikan,
ekonomi dan lainnya. Generasi demikian hanya akan menjadi beban
masyarakat dan pemerintah, karena terbukti keluarga dan pemerintah harus
mengeluarkan biaya kesehatan yang tinggi akibat warganya mudah sakit.

2.3 Faktor Penyebab Stunting


Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak.
Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari diri anak itu sendiri maupun dari luar diri
anak tersebut. Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung
maupun tidak langsung. Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan
gizi dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsungnya adalah
pola asuh, pelayanan kesehatan, ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan
masih banyak lagi faktor lainnya (Bappenas R.I, 2013).

2.3.1 Berat Badan Lahir


Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan
perkembangan jangka panjang anak balita, pada penelitian yang dilakukan
oleh Anisa tahun 2012 menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara berat lahir dengan kejadian stunting pada balita di Kelurahan
Kalibaru (Anisa, 2012). Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah

8
(BBLR) yaitu bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram,
bayi dengan berat badan lahir rendah akan mengalami hambatan pada
pertumbuhan dan perkembangannya serta kemungkinan terjadi kemunduran
fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena infeksi dan terjadi
hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).

2.3.2 Panjang Badan Lahir


Asupan gizi ibu yang kurang kuat sebelum masa kehamilan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin sehingga dapat
menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan lahir pendek. Bayi yang
dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang badan lahir bayi
tersebut berada pada panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2010).
Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang
badan yang seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, usia
kehamilan dan pola asuh merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi
kejadian stunting. Panjang badan lahir merupakan salah satu faktor risiko
kejadian stunting pada balita (Anugraheni, 2012 dan Isnawati, 2014).
Menurut Riskesdas tahun 2013 kategori panjang badan lahir
dikelompokkan menjadi tiga, yaitu <48 cm, 48-52 cm, dan >52 cm, panjang
badan lahir pendek adalah bayi yang lahir dengan panjang <48 cm
(Kemenkes R.I, 2013). Panjang badan lahir pendek dipengaruhi oleh
pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam kandungan.

2.3.3 ASI Eksklusif


ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif adalah
pemberian Air Susu Ibu (ASI) tanpa menambahkan dan atau mengganti
dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru
dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes R.I, 2012).
Manfaat dari ASI Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari
peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan kebutuhan gizi, murah, mudah,
bersih, higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau ikatan batin antara ibu

9
dan anak. Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa
kejadian stunting disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian
ASI yang tidak eksklusif, pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi
yang tidak lengkap dengan faktor yang paling dominan pengaruhnya adalah
pemberian ASI yang tidak eksklusif (Al-Rahmat dkk, 2013).
Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil
penelitian yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat
badan saat lahir, asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi,
pengetahuan gizi ibu balita, pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun
faktor yang paling dominan adalah pemberian ASI (Arifin dkk, 2013). Berarti
dengan pemberian ASI eksklusif kepada bayi dapat menurunkan
kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada gerakan
1000 HPK yang dicanangkan oleh pemerintah Republik Indonesia.

2.3.4 MP-ASI
Pemberian makanan pada bayi dan anak merupakan landasan yang
penting dalam proses pertumbuhan. Di seluruh dunia sekitar 30 % anak
dibawah lima tahun yang mengalami stunted merupakan konsekuensi dari
praktek pemberian makanan yang buruk dan infeksi berulang. Ketika ASI tidak
lagi mencukupi kebutuhan nutrisi bayi, makanan pendamping ASI harus
diberikan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi dan balita selama periode
umur 18-24 bulan,dimana masa tersebut merupakan masa yang rentan bagi
bayi dan balita untuk mudah terserang berbagai macam penyakit dan periode
dimana keadaan malnutrisi mulai terjadi.
Meskipun bayi mendapatkan ASi dari ibu secara optimal, namun jika
setelah berusia 6 bulan tidak mendapatkan makanan pendamping yang cukup
baik dari segi kuantitas maupun kualitas, anak-anak akan tetap mengalami
stunted. Diperkirakan sekitar 6 % atau 600 ribu kematian anak dibawah lima
tahun dapat dicegah dengan memastikan bahwa anak-anak tersebut diberi
makanan pendamping secara optimal (UNICEF, 2008).
Pemberian makanan pendamping ASI harus diberikan tepat
padawaktunya, artinya adalah bahwa semua bayi harus mulai menerima

10
makanan pendamping sebagai tambahan ASI mulai dari usia 6 bulan keatas
dan diberikan dalam jumlah yang cukup, artinya makanan pendamping harus
diberikan dalam jumlah, frekuensi, konsistensi yang cukup serta jenis makanan
yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi selama masa pertumbuhan.
(WHO, 2011)

WHO merekomendasikan bayi mulai menerima makanan pendamping


pada usia 6 bulan. Pada awal pemberian makanan pendamping, makanan
pendamping diberikan 2-3 kali sehari selama usia 6-8 bulan, kemudian
meningkat menjadi 3-4 kali sehari selama usia 9-11 bulan dan pada usia 12-24
bulan dapat diberikan makanan ringan sebagai selingan makanan utama.
(WHO,2011)

2.3.5 Sosial Ekonomi Keluarga


1) Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan merupakan jenjang terakhir yang ditempuh
seseorang dimana tingkat pendidikan merupakan suatu wahana untuk
mendasari seseorang berperilaku secara ilmiah. Pendidikan merupakan
salah satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena
berhubungan dengan kemampuan seseorang menerima dan memahami
sesuatu, karena tingkat pendidikan seorang ibu dapat mempengaruhi
pola konsumsi makan melalui cara pemilihan makanan pada balita.
Menurut Suhardjo (2005), tingkat pendidikan dapat menentukan
seseorang dalam menyerap, memahami pengetahuan gizi yang mereka
peroleh sehingga pendidikan diperlukan agar seorang lebih tanggap
terhadap adanya masalah gizi dalam keluarga.
Pendidikan ibu merupakan faktor yang sangat penting. Tinggi
rendahnya tingkat pendidikan ibu erat kaitannya dengan tingkat
pengetahuan terhadap perawatan kesehatan, pemberian makanan,
higyene, serta kesadaran terhadap kesehatan anak-anaknya (Ebrahi,
1996 dalam Ramadhan, 2011). Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik
akan tahu bagaimana mengolah makanan dengan baik. Tingkat
pendidikan ibu berpengaruh terhadap keadaan gizi anak (Kartono, 1993

11
dalam Ramadhan, 2011). Semakin tinggi pendidikan ibu semakin
cenderung memiliki anak dengan keadaan gizi baik dan sebaliknya.
Menurut Rahmawati (2006) bahwa, tingkat pendidikan terakhir ibu
merupakan contoh salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola
asuh anak termasuk status gizi. Oleh karena itu, mendidik wanita akan
menjadi langkah yang berguna dalam pengurangan prevalensi
malnutrition, terutama stunting (Senbanjo et al., 2011 dalam Anisa,
2012).

2) Pendapatan Keluarga
Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan
terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Rendahnya
pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah
dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya
akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga. Daya beli yang
rendah dari para keluarga yang kurang mampu merupakan salah satu
penyebab kekurangan gizi di Indonesia.
Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang
diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga
tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga
lainnya. Semakain baik pendapatan, maka semakin besar peluang untuk
memilih pangan yang baik sebab dengan meningkatnya pendapatan
perorangan, maka terjadilah perubahan-perubahan dalam susunan
makanan. Akan tetapi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk
pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang-
kadang perubahan utama yang justru terjadi dalam kebiasaan makan
adalah pangan yang dimakan itu lebih mahal (Suhardjo, 2005).
Di negara-negara berkembang golongan miskin menggunakan
bagian terbesar dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan makanan,
yaitu umumnya dua per tiga dari pendapatannya. Namun sebaliknya,
apabila pendapatan semakin baik, maka pengeluaran untuk non pangan

12
akan semakin besar, mengingat semua kebutuhan pokok untuk makan
sudah terpenuhi (Suhardjo, 2005).

3) Pengetahuan Gizi Ibu


Menurut Khomsan (2007) dalam Syukriawati (2011), pengetahuan
gizi adalah segala sesuatu yang diketahui seseorang ibu tentang sikap
dan perilaku seseorang dalam memilih makanan, serta pengetahuan
dalam mengolah makanan dan menyiapkan makanan. Pengetahuan
yang ada pada manusia tergantung pada tingkat pendidikan yang
diperoleh baik secara formal maupun informal, dimana tingkat
pengetahuan akan memberikan pengaruh pada cara-cara seseorang
memahami pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
Pengetahuan yang dimiliki ibu dapat menentukan jumlah dan jenis
pangan yang dikonsumsi, mengolah dan menjadikan, mendistribusikan
makanan kepada seluruh anggota keluarga. Semakin tinggi pengetahuan
gizi seseorang diharapkan akan semakin baik pula keadaan gizinya
(Khomsan, 2007 dalam Syukriawati 2011). Berdasarkan penelitian yang
dilakukan Rosmana (2003) didapatkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara pengetahuan gizi ibu dengan status gizi anak usia 6-24
bulan.

2.3.6 Sanitasi Lingkungan


Sanitasi dasar adalah sanitasi minimum yang diperlukan untuk
menyediakan lingkungan sehat yang memenuhi syarat kesehatan yang
menitik beratkan pada pengawasan berbagai faktor lingkungan yang
mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sanitasi dasar adalah sarana
sanitasi rumah tangga yang meliputi sarana buang air besar, sarana
pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga. (Depkes RI, 2008)

13
1) Air Bersih
Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia
ialah air bersih dan sanitasi yang baik. Menurut situs resmi organisasi
kesehatan dunia (WHO), dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya
kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantaranya terlihat
pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan yang secara khusus
berisiko terhadap penyakit bersumber air seperti diare, dan penyakit
akibat parasit. Penyakit diare, secara spesifik, sebagian besar
diakibatkan oleh air yang tidak bersih, sanitasi, dan higiene yang buruk
(Anonymous 2007).

2) Jamban
Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang
dan mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam
suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab penyakit serta
mengotori permukaan / lingkungan. Jamban sebagai pembuangan
kotoran manusia sangat erat kaitannya dengan kondisi lingkungan dan
risiko penularan penyakit (Chandra, 2007). Menurut Soekidjo
Notoatmodjo (2007) Suatu jamban disebut sehat setidaknya harus
memenuhi persyaratan – persyaratan sebagai berikut:
a. Terdapat Saptictank
b. Jarak dengan sumber air bersih kurang dari 10 meter
c. Tidak Berbau
d. Jenis jamban leher angsa
e. Tertutup / terlindungi dari vektor penyebab penyakit (lalat dan
kecoa)

3) Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)


Menurut Budiman Chandra (2007), air limbah sebelum dibuang ke
pembuangan akhir harus menjalani pengolahan terlebih dahulu.
Sementara itu, saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang
diterapkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

14
a. Tertutup
b. Tidak mencemari sumber air bersih
c. Lancar dan tidak menimbulkan genangan air
d. Tidak menimbulkan bau
Sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama terjadinya
penyakit di seluruh dunia, termasuk didalamnya adalah diare, kolera,
disentri,tifoid, dan hepatitis A. Di Afrika, 115 orang meninggal setiap
jam akibat diareyang dihubungkan dengan sanitasi buruk, higienis
buruk, dan air yangterkontaminasi. Diperkirakan sekitar 2,6 juta orang
di seluruh dunia kekuranganakses terhadap sanitasi. Jika keadaan ini
terus berlanjut, pada tahun 2015 akan terdapat 2,7 juta orang tanpa
akses terhadap sanitasi dasar. Sanitasi yang baiksangat penting
terutama dalam menurunkan risiko kejadian penyakit dan kematian,
terutama pada anak-anak. Sanitasi yang baik dapat terpenuhi jika
fasilitas sanitasi yang aman, memadai dan dekat dengan tempat
tinggal tersedia.(Depkes, 2008; WHO, 2011; Water and Sanitation
Program-East Asia and The Pasific).
Intervensi gizi saja belum cukup untuk mengatasi masalah stunting.
Faktor sanitasi dan kebersihan lingkungan berpengaruh pula untuk
kesehatan ibu hamil dan tumbuh kembang anak, karena anak usia di
bawah dua tahun rentan terhadap berbagai infeksi dan penyakit.
Paparan terus menerus terhadap kotoran manusia dan binatang dapat
menyebabkan infeksi bakteri kronis. Infeksi tersebut, disebabkan oleh
praktik sanitasi dan kebersihan yang kurang baik, membuat gizi sulit
diserap oleh tubuh.
Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu
gangguan saluran pencernaan, yang membuat energi untuk
pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi
infeksi. Sebuah riset menemukan bahwa semakin sering seorang anak
menderita diare, maka semakin besar pula ancaman stunting untuknya.
Selain itu, saat anak sakit, lazimnya selera makan mereka pun
berkurang, sehingga asupan gizi makin rendah. Maka, pertumbuhan

15
sel otak yang seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama
seorang anak menjadi terhambat. Dampaknya, anak tersebut terancam
menderita stunting, yang mengakibatkan pertumbuhan mental dan
fisiknya terganggu, sehingga potensinya tak dapat berkembang dengan
maksimal (MCA Indonesia, 2013).
Penelitian lain menunjukkan potensi stunting berkurang jika ada
intervensi yang terfokus pada perubahan perilaku dalam sanitasi dan
kebersihan. Adapun akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi
dalam penurunan stunting sebesar 27%. Untuk memotong rantai
buruknya sanitasi dan kebersihan serta kaitannya dengan stunting, ibu
hamil dan anak perlu hidup dalam lingkungan yang bersih. Dua cara
utama adalah dengan tidak buang air besar sembarangan, serta
mencuci tangan dengan sabun (MCA Indonesia, 2013).

16
2.1 TABEL PENELITIAN TERKAIT

Nama Tahu Meetode Sampel


NO Judul Populasi Hasil
Peneliti n Penelitian variabel

1 Farah Okky Faktor-faktor yang Mempengaruhi 2015 cross- anak balita usia 12-36 50 responden Adainnya hubungan tingkat kecukupan zink
Aridiyah Kejadian Stunting pada Anak Balita di sectional bulan di daerah perkotaan dengan kejadian stanting.
Wilayah Pedesaan dan Perkotaan dan pedesaan,

2 Khoirun Faktor Yang Berhubungan Dengan 2015 Case- 34 balita Adanya hubungan Panjang badan lahir balita,
balita usia 12-59
Ni’mah Kejadian Stunting Pada Balita Control riwayat ASI eksklusif, pendapatan
bulan dengan TB/U kurang
keluarga,pendidikan ibu dan pengetahuan gizi ibu
dari -2 SD
dengan kejadian stanting

3 Zilda Faktor Risiko Stunting Pada Balita 2013 cross- semua balita usia 24-59 1239 balita Terdapat hubungan antara Berat badan lahir
Oktarina,DKK (24—59 Bulan) Di Sumatera sectional bulan yang terdapat pada balita, tinggi badan ibu, jumlah anak dengan
data Riskesdas 2010 di kejadian stunting pada anak balita
wilayah Provinsi Aceh

4 Asnat W. R. Determinan Stunting Pada Batita Usia 2014 cross- Batita usia 13-36 tahun 108 batita tidak adanya hubungan antara berat badan lahir,
Sedu 13 – 36 Bulan Di Wilayah Kerja sectional berjumlah 347 pemberian asi eksklusif, status imunisasi dengan
Puskesmas Siloam Tamako Kabupaten kejadian stunting pada batita.
Sangihe Provinsi Sulawesi Utara

5 Intan Asi Eksklusif, Panjang Badan Lahir, 2017 cross- Semua anak usia 6-24 164 orang Ada hubungan Asi Eksklusif, Panjang Badan
Kusumawardh Berat Badan Lahir Rendah Sebagai sectional bulan Lahir dengan kejadian stanting
ani Faktor Risiko Terjadinya Stunting Pada
Anak Usia 6-24 Bulan Di Puskesmas
Lendah Ii Kulon Progo

6 Rizki Kurnia Gambaran Sosio Budaya Gizi Etnik 2016 cross- Semua balita usia 24- 59 62 balita Adanya hubungan praktik sosio budaya,
Illah Madura sectional bulan pantangan makan ibu hamil, pemberian makanan
Dan Kejadian Stunting Balita Usia 24– prelakteal pada bayi baru lahir, bayi tidak
59 Bulan memperoleh imunisasi, dan pemberian makanan
Di Bangkalan pendamping ASI dini balita dengan kasus
stanting.

17
17
7 Wanda Lestari Faktor Risiko Stunting Pada Anak 2014 Case- Semua anak umur 6-24 110 Sampel Faktor risiko rendahnya pendapatan keluarga,
dkk Umur 6-24 Bulan di Kecamatan Control bulan di Kecamatan menderita diare, menderita ISPA, rendahnya
Penanggalan Kota Subulussalam Penanggalan tingkat kecukupan energi, rendahnya tingkat
Provinsi Aceh 2014 kecukupan protein, salah satu orang tua pendek,
berat bayi lahir rendah, tidak diberi ASI eksklusif,
MP-ASI terlalu dini, dan pola asuh yang kurang
baik. Faktor risiko yang paling dominan terhadap
kejadian stunting pada anak umur 6-24 bulan
yaiyaitu salah satu orang tua pendek.

8 Erni rukmana Faktor risiko stunting pada anak usia 6- 2016 cross- Semua anak usia 6-24 360 Anak Terdapat hubungan yang positif dan signifikan
24 bulan Di kota bogor tahun 2016 sectional bulan Di kota bogor tahun balita antara BBLR dan pendidikan ayah rendah dengan
2016 stunting dan merupakan faktor risiko stunting
anak usia 6-24 bulan di Kota Bogor.

9 Friska Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada 2014 Case- Semua balita usia 12 Bulan 48 Sampel Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 12
Meilyasari, Balita Usia 12 Bulan Di Desa Control di Desa Purwokerto bulan adalah panjang badan lahir rendah
Muflihah Purwokerto Kecamatan Patebon, (pendek), prematuritas dan usia makan pertama
Isnawati Kabupaten Kendal Tahun 2014

18
2.4 Kerangka Teori

 BBLR

 Panjang Badan Lahir Stunting


 Asi Eksklusif

 Pola Ash
 Pelayanan Kesehatan
 Ketersediaan Pangan

Infeki Penyakit

Sanitasi Dasar (tersedia


 Pendidikan fasilitas sanitasi dasar)
Pengetahuan
 Kondisi Ekonomi dan  Saluran
tentang gizi Budaya Pembuangan Air
Limbah (SPAL)

 Jamban

 Tempat Sampah

Gambar 2.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi Stunting
(sumber : modifikasi, Bappenas R.I, 2013, Direktorat Bina Gizi dan KIA,
2012, Kemenkes R.I 2010, MCA Indonesia, 2013)

19
2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep dalam penelitian ini terbagi menjadi dua variabel yaitu
variabel bebas dan variabel terikat, yang digambarkan dalam hubungan antar
variabel sebagai berikut :

1. Riwayat BBLR
2. Pemberian ASI Eksklusif
3. Pendidikan Ibu
4. Status Pekerjaan Ibu
5. Pendapatan Keluarga Stunting

6. Pengetahuan Ibu tentang


Gizi
7. Kepemilikan Jamban
8. Kepemilikan Tempat
Sampah
9. Kepemilikan SPAL

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Hipotesis adalah jawaban atau dugaan sementara yang kebenarannya masih


perlu diteliti lebih lanjut (Notoatmodjo, 2010). Berdasarkan uraian tersebut, maka
hipotesa dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Ha : 1. Adanya hubungan antara berat badan lahir rendah dengan kejadian


stunting pada balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan
Nunyai Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018.
2. Adanya hubungan antara pemberian asi eksklusif dengan kejadian
stunting pada anak balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan
Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018.
3. Adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada
anak balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan Nunyai
Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018.
4. Adanya hubungan antara pekerjaan ibu dengan kejadian stunting pada
anak balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan Nunyai
Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018.

20
5. Adanya hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian stunting
pada anak balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan
Nunyai Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018.
6. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu tentang gizi dengan kejadian
stunting pada anak balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan
Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018.
7. Adanya hubungan antara kepemilikan jamban dengan kejadian stunting
pada anak balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan
Nunyai Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018.
8. Adanya hubungan antara kepemilikan tempat sampah dengan kejadian
stunting pada anak balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan
Terusan Nunyai Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018
9. Adanya hubungan antara kepemilikan SPAL dengan kejadian stunting
pada anak balita di Desa Gunung Batin Udik Kecamatan Terusan
Nunyai Kabupaten Lampung Tengah tahun 2018.

21

Anda mungkin juga menyukai