Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1
1.1 Latar Belakang

Drowning atau disebut juga tenggelam adalah suatu proses yang


mengakibatkan gangguan respirasi karena cairan (van beck et al, 2005). Hasil
akhir dari kejadian tenggelam adalah korban dinyatakan selamat atau
meninggal. Penyebab kematian akibat tenggelam diantaranya adalah kematian
otak karena hipoksia atau iskemia otak parah, ARDS, kegagalan multi organ,
sindrom sepsis karena pneumonia aspirasi (Santoso, 2010).

Berdasarkan data Badan Penangulangan Bencana Daerah (BPBD)


Kabupaten Pesisir Barat, jumlah korban tenggelam diperairan pantai dan
aliran sungai di daerah pesisir sejak 2012 lalu hingga 2014, tahun 2012 silam
korban tenggelam di pantai mencapai 13 orang, di tahun 2013 mencapai 12
orang, tiga diantaranya tenggelam di aliran sungai dan di hingga Desember
tahun 2014 telah tercatat enam orang, dua tenggelam di aliran sungai empat
orang tenggelam dilaut, satu diantaranya hingga kini tidak ditemukan (Radar
Lampung, 2014). Selain itu di Jawa Timur juga banyak kejadian kapal yang
tenggelam atau perahu nelayan yang dihantam ombak sehingga memakan
korban yang jumlahnya tidak sedikit, seperti di Situbondo dalam satu kali
perahu tenggelam saja korbannya berjumlah 21 orang (Detik, 2014).
Berdasarkan gambaran data dari BPBD Lampung jumlah orang yang
tenggelam masih tergolong tinggi walaupun secara matematis data tiap tahun
menurun, Indonesia adalah negara maritim yang wilayahnya didominasi
daerah berair, jika dalam satu daerah saja terdapat 13 orang yang meninggal
karena tenggelam, maka secara matematis korban tenggelam yang terhidung
dari sabang sampai merauke sudah tentu banyak sekali.

Mekanisme tenggelam dapat digolongkan menjadi dua, yaitu dengan


aspirasi cairan dan tanpa aspirasi cairan. Mekanisme kematian aspirasi cairan
adalah asfiksia. Proses tenggelam ketika jalan nafas seseorang berada di
bawah permukaan cairan, secara sadar individu akan menahan nafasnya
kemudian diikuti oleh laryngospasme involunter karena cairan yang ada di
orofaring atau laring, selama periode ini individu tidak dapat menghirup udara
sehingga mengalami kekurang oksigen dan penumpukan karbondioksida.
Perubahan terjadi di paru, cairan tubuh, tekanan gas darah, keseimbangan
asam basah, dan konsentrasi elektrolit yang bergantung pada komposisi,
volume cairan yang teraspirasi, dan durasi tenggelam (Santoso, 2010).

2
Oleh sebab itu, Penanganan dini sangat diperlukan karena drowning dapat
menyebabkan paru seseorang terendam cairan, yang dapat menyebabkan
kondisi yang dapat mengancam jiwa, seperti pneumonia aspirasi dan asfiksia.
Peran perawat di sini juga sangat diperlukan mengingat kebutuhan oksigenasi
adalah kebutuhan dasar manusia. Pasien dengan drowning mengalami
kesulitan bernafas, sehingga hal ini juga dapat menganggu kenyamanan dan
nyawa pasien, maka dari itu asuhan keperawatan yang tepat dan cepat kepada
klien dengan sufokasi sangat diperlukan.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah cara melakukan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada
pasien dengan drowning ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami, menjelaskan dan melakukan asuhan
keperawatan kegawatdaruratan pada pasien dengan drowning.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Mampu memahami dan menjelaskan definisi drowning
b. Mampu memahami dan menjelaskan etiologi drowning
c. Mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi drowning
d. Mampu memahami dan menjelaskan manifestasi klinis drowning
e. Mampu memahami dan menjelaskan penatalaksanaan drowning
f. Mampu memahami dan menjelaskan diagnostik penunjang drowning
g. Mampu memnuat asuhan keperawatan pada pasien dengan drowning

1.4 Manfaat
1.4.1 Akademis, Sebagai perawat mampu melakukan asuhan keperawatan pada
pasien dengan drowning
1.4.2 Bagi Profesi Kesehatan
Sebagai tambahan ilmu bagi profesi keperawatan dan memberikan
pemahaman yang lebih baik tentang asuhan keperawatan pada pasien
dengan drowning sehingga pengembangan ilmu keperawatan khususnya
keperawatan kegawatdaruratan dapat tercapai.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP DASAR


A. DEFINISI
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam
dalam cairan dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai
alveoli paru-paru. Pada umumnya tenggelam merupakan kasus kecelakaan,
baik secara langsung maupun karena ada faktor-faktor lain seperti korban
dalam keadaan mabuk atau dibawah pengaruh obat, atau bisa saja
dikarenakan akibat dari suatu peristiwa pembunuhan (Wilianto, 2012).
Hampir tenggelam (near drowning) adalah keadaan gangguan fisiologi
tubuh akibat tenggelam tetapi tidak terjadi kematian (Onyekwelu, 2008).
Near drowning didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang
masih bertahan hidup setelah mengalami sufokasi (kekurangan napas)
akibat tenggelam dalam air atau cairan lain. Sedangkan drowning sendiri
didefinisikan sebagai kematian sekunder karena asfiksia (sesak nafas) saat
tenggelam dalam cairan, biasanya air, dalam 24 jam setelah kejadian
(Banerjee dalam Rauuf (2008))
Drowning (tenggelam) adalah masuknya cairan ke dalam saluran
napas yang mengakibatkan gangguan pertukaran udara di alveoli dan dapat
terjadi mati lemas (Arif Mansjoer, 2000).
Menurut WHO (2015), tenggelam merupakan gangguan sistem
pernafasan akibat terendam dalam media yang cair. Konsensus terbaru
menyatakan definisi terbaru dari tenggelam harus mencakup kasus fatal
dan non fatal. Dampak tenggelam dapat berupa kematian, morbiditas, dan
non morbiditas. Ada juga konsensus yang menyatakan bahwa istilah
basah, kering, aktif, pasif, diam, dan menengah seharusnya tidak
digunakan lagi.
Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam
saluran nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan
sampai kematian. Definisi tenggelam mengacu pada ‘adanya cairan yang

4
masuk hingga menutupi lubang hidung dan mulut’, sehingga tidak
terbatas pada kasus tenggelam di kolam renang, atau perairan seperti
sungai, laut, dan danau saja, tetapi juga pada kondisi terbenamnya tubuh
dalam selokan atau kubangan dimana bagian wajah berada di bawah
permukaan air (Putra, 2014).

B. KLASIFIKASI
Klasifikasi tenggelam menurut Levin (dalam Arovah, 2009) adalah
1. Berdasarkan Kondisi Paru-Paru Korban
a. Typical Drowning
Kondisi ketika cairan masuk ke dalam saluran pernapasan saat korban
tenggelam.
b. Atypical Drowning
1. Dry Drowning
Cairan yang masuk ke dalam saluran pernapasan hanya
sedikit bahkan tidak ada.
2. Immersion Syndrom
Terutama pada anak-anak yang tiba-tiba terjun ke dalam
air dingin (suhu < 20°C), menyebabkan terpicunya reflex
vagal sehingga mengakibatkan apneu, bradikardia, dan
vasokonstriksi dari pembuluh darah kapiler dan mengarah
ke terhentinya aliran darah koroner dan sirkulasi serebaral.
3. Submersion of the Unconscious
Sering terjadi pada korban yang menderita epilepsy atau
penyakit jantung khususnya coronary atheroma, hipertensi
atau peminum yang mengalami trauma kepala saat masuk
ke air.
4. Delayed Dead
Kondisi ketika seorang korban masih hidup setelah lebih
dari 24 jam setelah diselamatkan dari suatu episode
tenggelam.

5
2. Berdasarkan Kondisi Kejadian
a. Tenggelam (Drowning)
Penderita meneguk air dalam jumlah yang banyak hingga air masuk
ke dalam saluran pernapasan. Bagian apiglotis akan mengalami
spasme yang mengakibatkan saluran nafas menjadi tertutup dan hanya
dapat dilalui oleh udara yang sangat sedikit.
b. Hampir Tenggelam (Near Drowning)
Kondisi korban masih bernafas dan membatukkan air keluar.

C. ETIOLOGI
Terdapat beberapa penyebab tenggelam antara lain (Levin dalam Arovah,
2009) :
1. Kemampuan fisik yang terganggu akibat pengaruh obat
2. Ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera, atau kelelahan
3. Ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenang

6
D. PATOFISIOLOGI
Hipoksia merupakan hal utama yang terjadi setelah seorang
individu tenggelam. Keadaan terhambatnya jalan nafas akibat tenggelam
menyebabkan adanya gasping dan kemudian aspirasi, dan diikuti dengan
henti nafas (apnea) volunter dan laringospasme. Hipoksemia d an asidosis
yang persisten dapat menyebabkan korban beresiko terhadap henti jantung
dan kerusakan sistem syaraf pusat. Laringospasme menyebabkan keadaan
paru yang kering, namun karena asfiksia membuat relaksi otot polos, air
dapat masuk ke dalam paru dan menyebabkan edema paru.
Efek fisiologis aspirasi pun berbeda antara tenggelam di air tawar
dan air laut. Pada tenggelam di air tawar, plasma darah mengalami
hipoktonik, sedangkan pada air laut adalah hipertonik. Aspirasi air tawar
akan cepat diabsorbsi dari alveoli sehingga menyebabkan hipervolemia
intravaskular, hipotonis, dilusi elektrolit serum, dan hemolisis
intravaskular. Aspirasi air laut menyebakan hipovolemia, hemokonsentrasi
dan hipertonis.
Aspirasi air yang masuk kedalam paru dapat menyebabkan
vagotonia, vasokontriksi paru, dan hipertensi. Air segar dapat menembus
membran alveolus dan menggangu stabilitas alveolus dengan menghambat
kerja surfaktan. Selain itu, air segar dan hipoksemi dapat menyebabkan
lisis eritrosit dan hiperkalemia. Sedangkan, air garam dapat
menghilangkan surfaktan, dan menghasilkan cairan eksudat yang kaya
protein di alveolus, intertitial paru, dan membran basal alveolar sehingga
menjadi keras dan sulit mengembang. Air garam juga dapat menyebabkan
penurunan volume darah dan peningkatan konsentasi elektrolit serum.
Hipoksia merupakan salah satu akibat dari tenggelam, dan
merupakan faktor yang penting dalam menentukan kelangsungan hidup
korban tenggelam. Karena itu, ventilasi, perfusi, dan oksigenasi yang cepat
dibutuhkan untuk meningkatkan tingkat survival korban.
1. Perubahan Pada Paru-Paru
Aspirasi paru terjadi pada sekitar 90% korban tenggelam dan 80 –
90% pada korban hamper tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat
mempengaruhi perjalanan klinis penderita, isi lambung, organism
pathogen, bahan kimia toksisk dan bahan asing lain dapat memberi cedera
pada paru dan atau menimbulkan obstruksi jalan nafas.

2. Perubahan Pada Kardiovaskuler

7
Pada korban hampir tenggelam kadang-kadang menunjukkan
bradikardi berat. Bradikardi dapat timbul karena refleks fisiologis saat
berenang di air dingin atau karena hipoksia. Perubahan pada fungsi
kardiovaskuler yang terjadi pada hampir tenggelam sebagian besar akibat
perubahan tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) dan gangguan
keseimbangan asam-basa.

3. Perubahan Pada Susunan Saraf Pusat


Iskemia terjadi akibat tenggelam dapat mempengaruhi semua organ
tetapi penyebab kesakitan dan kematian terutama terjadi karena iskemi
otak. Iskemi otak dapat berlanjut akibat hipotensi, hipoksia, reperfusi dan
peningkatan tekanan intra kranial akibat edema serebral.Kesadaran korban
yang tenggelam dapat mengalami penurunan. Biasanya penurunan
kesadaran terjadi 2 – 3 menit setelah apnoe dan hipoksia. Kerusakan otak
irreversibel mulai terjadi 4 – 10 menit setelah anoksia dan fungsi
normotermik otak tidak akan kembali setelah 8 – 10 menit anoksia.
Penderita yang tetap koma selama selang waktu tertentu tapi kemudian
bangun dalam.

4. Perubahan Pada Ginjal


Fungsi ginjal penderita tenggelam yang telah mendapat resusitasi
biasanya tidak menunjukkan kelainan, tetapi dapat terjadi albuminuria,
hemoglobonuria, oliguria dan anuria. Kerusakan ginjal progresif akan
mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat terjadinya hipoksia berat,
asidosis laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal.

5. Perubahan Cairan dan Elektrolit


Pada korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan
tetapi selalu menelan banyak cairan. Air yang tertelan, aspirasi paru, cairan
intravena yang diberikan selama resusitasi dapat menimbulkan perubahan
keadaan cairan dan elektrolit. Aspirasi air laut dapat menimbulkan
perubahan elektrolit dan perubahancairan karena tingginya kadar Na dan
Osmolaritasnya. Hipernatremia dan hipovolemia dapat terjadi setelah

8
aspirasi air laut yang banyak. Sedangkan aspirasi air tawar yang banyak
dapat mengakibatkan hipervolemia dan hipernatremia. Hiperkalemia dapat
terjadi karena kerusakan jaringan akibat hipoksia yang luas.

E. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala yang sering muncul ialah tanda dan gejala sistem
kardiorespiratori dan neurologi. Distres respiratori awalnya tidak terlihat,
hanya terlihat adanya perpanjangan nilai RR tanpa hipoksemia. Pasien
yang lebih parah biasanya menunjukkan tanda hipoksemia, retraksi
dinding dada, dan suara paru abnormal. Manifestasi neurologi yang
muncul seperti penurunan kesadaran, pasien mulai meracau, iskemik-
hipoksia pada sistem saraf pusat sehingga menunjukkan tanda peningkatan
ICP (Elzouki, 2012).
Sedangkan menurut sumber lain, manifestasi drowningyang muncul antara
lain :
1. Frekuensi pernafasan berkisar dari pernapasan yang cepat dan dangkal
sampai apneu.
2. Syanosis
3. Peningkatan edema paru
4. Kolaps sirkulasi
5. Hipoksemia
6. Asidosis
7. Timbulnya hiperkapnia
8. Lunglai
9. Postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi
10. Koma dengan cedera otak yang irreversible
Tanda dan gejala neardrowning berbeda-beda pada setiap individu
tergantung pada durasi dari tenggelamnya. Manifestasi klinis yang biasa
muncul antara lain (Raoof, 2008) :
a. Asimtomatik
b. Simtomatik
c. Pasien sadar namun gelisah dan sesak nafas.Insufisiensi pulmonar
dapat berkembang cepat bersamaan dengan takipnea, takikardia, batuk
dengan sputum berwana pink serta berbusa, dan sianosis.

9
d. Cardiopulmonary arrest : Pasien mengalami apnea, bradikardi,
ventricular tachycardia/fibrilation, asistole, dan nampak seperti tidak
sadar.
Tanda-tanda yang memperkuat diagnosis mati tenggelam (drowning),
yaitu :
a) Kulit tubuh mayat terasa basah, dingin, pucat dan pakaian basah
b) Lebam mayat biasanya sianotrik kecuali mati tenggelam di air dingin
berwarna merah muda
c) Kulit telapak tangan/telapak kaki mayat pucat (bleached) dan keriput
(washer woman’s hands/feet)
d) Kadang terdapat cutis anserine/goose skin pada lengan, paha dan bahu
mayat
e) Terdapat buih putih halus pada hidung atau mulut mayat (scheumfilz
froth) yang bersifat melekat
f) Bila mayat dimiringkan, cairan akan keluar dari mulut/hidung
g) Bila terdapat cadaveric spasme maka kotoran air/bahan setempat
berada dalam genggaman tangan mayat
h) Paru-paru mayat membesar dan mengalami kongesti
i) Saluran napas mayat berisi buih, kadang berisi lumpur, pasir.
j) Lambung mayat berisi banyak cairan
k) Benda asing dalam saluran napas masuk sampai ke alveoli
l) Organ dalam mayat mengalami kongesti

F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pasien dengan drowning harus melakukan X-ray dada dan
monitoring saturasi oksigen.Radiografi dada mungkin menunjukkan
perubahan akut, seperti infiltrasi alveolar bilateral.Selain itu, pemeriksaan
sistem saraf pusat, EKG, dan analisis gas darah juga diperlukan (Elzouki,
2012). Berikut pemeriksaan diagnostic lainnya yaitu:
1. Laboratorium
2. ABG + oksimetri, methemoglobinemia dan carboxyhemoglobinemia
CBC prothrombin time, partial thromboplastin time, fibrinogen, D-
dimer, fibrin

10
3. Serum elektrolit, glukosa, laktat, factor koagulasi
4. Liver enzymes :
5. Aspartate aminotransferase dan alanine minotransferase,
6. Renal function tests (BUN, creatinine)
7. Drug screen and ethanol level
8. Continuous pulse oximetry and cardiorespiratory monitoring
9. Cardiac troponin I testing
10. Urinalisis
11. Imaging
12. Foto thoraks : bukti aspirasi, edema pulmo, atelektasis, benda asing,
evaluasi penempatan endotrakea tube
13. CT scan kepala dan servikal bila curiga trauma
14. Extremity, abdominal, pelvic imaging bila ada indikasi
15. Echocardiography jika ada disfungsi miokard
16. EKG
17. Kateter swan-ganz untuk monitor cardiac output dan hemodinamik
pada pasien dg status CV tidak stabil atau pasien yang membutuhkan
pengobatan inotropic multiple dan vasoaktif.

G. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya sebagai berikut :
1. Bantuan Hidup Dasar
Penanganan ABC merupakan hal utama yang harus
dilakukan, dengan fokus utama pada perbaikan jalan nafas dan
oksigenesasi buatan. Penilaian pernapasan dilakukan dengan tiga
langkah, yaitu :
a. Look yaitu melihat adanya pergerakan dada
b. Listen yaitu mendengar suara nafas
c. Feel yaitu merasakan ada tidaknya hembusan nafas
Penanganan pertama pada korban yang tidak sadar dan
tidak bernafas dengan normal setelah pembersihan jalan napas
yaitu kompresi dada lalu pemberian napas buatan dengan rasio

11
30:2. Terdapat tiga cara pemberian napas buatan, yaitu mouth to
mouth, mouth to nose, mouth to neck stoma.
Penanganan utama untuk korban tenggelam adalah
pemberian napas buatan untuk mengurangi hipoksemia.
Melakuakn pernapasan buatan dari mulut ke hidung lebih
disarankan karena sulit untuk menutup hidung korban saat
pemberian napas mulut ke mulut. Pemberian napas buatan
dianjurkan hingga 10-15 kali sekitar 1 menit. Kompresi dada
diindikasikan pada korban yang tidak sadar dan tidak bernapas
dengan normal, karena kebanyakan korban tenggelam mengalami
henti jantung akibat hipoksia.
2. Bantuan hidup lanjut
Bantuan hidup lanjut pada korban tenggelam yaitu
pemberian oksigen dengan tekanan lebih tinggi, yang dapat
dilakukan dengan BVM (Bag Valve Mask) atau tabung oksigen.
Oksigen yang diberikan memiliki saturasi 100%. Jika setelah
pemberian oksigen ini keadaan korban belum membaik maka dapat
dilakukan intubasi trakeal.
Dalam Raoof (2008), penatalaksanaan pasien
dengan neardrowning umumnya terbagi menjadi tiga fase, antara
lain perawatan prehospital, perawatan unit gawat darurat,
penatalaksanaan rawat inap.
a. Perawatan pre hospital
Pada fase ini, penatalaksanaan difokuskan pada Airway (A),
Breathing (B), dan Circulation (C).Pasien harus dipindahkan dari
air secepatnya, namun menyelamatkan pernafasan dapat dimulai
walau korban masih berada di air.Cara memindahkan pasien harus
benar dengan meminimalkan gerakan pada leher pasien untuk
menghindari terjadinya cedera medula spinal.Ketika pasien telah
berada di permukaan yang datar, segera dilakukan CPR ketika nadi
tidak teraba.Akan tetapi, nadi mungkin lemah dan sulit teraba pada
korban yang mengalami hipotermia karena bradikardi dan atrial

12
fibrilation (AF).Heimlich Maneuver tidak banyak menguntungkan
bila digunakan untuk mengeluarkan air yang tertelan, teknik ini
seharusnya hanya digunakan saat penyebab obstruksi jalan nafas
adalah benda asing. Oksigen tambahan (100%) dapat diberikan jika
tersedia.Pasien yang mengalami apneu harus dilakukan intubasi
sesegera mungkin.
b. Perawatan di unit gawat darurat
Ketika pasien sudah dipindah ke unit gawat darurat, harus
dilakukan pengkajian ulang secara hati-hati untuk mengetahui
adanya tanda-tanda trauma seperti trauma spinal, trauma dada, atau
trauma abdomen.Pengkajian status neurologi termasuk reflek
batang otak dan GCS diperlukan untuk memastikan prognosis
pasien. Pakaian yang basah harus dilepas, pasien dengan
hipotermia harus dihangatkan dengan menggunakan berbagai cara.
Seperti selimut hangat, bantalan pemanas, mandi air hangat,
teknik forced warm air.Kadang-kadang peritoneal
lavage dan pleural lavagedengan larutan hangat juga
digunakan.Oksimetri nadi dan EKG digunakan untuk mendeteksi
hipoksia dan aritmia jantung. Analisis gas darah arteri, serum
elektrolit, level etanol, pemeriksaan urin biasanya dilakukan.
Cervical spine imaging, radiografi dada, CT scan dilakukan jika
dicurigai adanya trauma.Pasien yang sudah terlihat membaik dapat
dipulangkan setelah dilakukan monitoring selama 7 sampai 12
jam.Pasien dengan distres respiratori berat dan perubahan status
mental diperlukan intubasi dan ventilasi mekanik.
c. Perawatan rawat inap
Tujuan dari penatalaksanaan di rumah sakit ialah untuk mencegah
cedera neurologi sekunder, iskemia yang menetap, hipoksemia,
edema serebral, asidosis, dan abnormalitas elektrolit.Pasien dengan
hipotermia diperlukan resusitasi sampai suhu mencapai 32 atau 35oC.
Pasien dengan hipotensi dilakukan resusitasi cairan dan diberikan
obat inotropik bila perlu. Radiografi dada biasanya menunjukkan

13
gambaran normal sampai edema pulmonar yang menyebar.
Pneumonia pada pasien diobati dengan antibiotik spektrum luas.

H. KOMPLIKASI
Menurut Flags (2008) dan Szpilman (2012), setelah kejadian near-
drowning, seorang pasien beresiko terjadinya komplikasi seperti :
a. Hipoksia atau iskemik injuri cerebral
b. ARDS (acute respiratory distress syndrome)
c. Kerusakan pulomal sekunder akibat respirasi
d. Cardiak arrest
e. Anoksia
f. Shock
g. Myoglubinuria
h. Insufisiensi ginjal
i. Infeksi Sistemik dan intravaskuler koagulasi juga dapat terjadi selama
72 jam pertama setelah resusitasi.
Ada juga komplikasi lain dari drowning yaitu :
a. Neurologic injury
b. Pulmonary edema and ARDS
c. Secondary pulmonary infection
d. Multiple organ system failure
e. Acute tubular necrosis (secondary to hypoxemia)
f. Myoglobinuria
g. Hemoglobinuria

I. KEGAWATDARURATAN PASIEN TENGGELAM

1. Penanganan korban di tempat kejadian

Berdasarkan AHA Guidelines for Cardiopulmonary


Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care 2010, RJP pada
pertolongan korban near drowning siklus A-B-C tetap
dipertahankan oleh karena sifat hipoksia dari arrest yang terjadi
sehingga apabila korban hanya mengalami henti nafas dapat segera

14
merespon tindakan yang diberikan. Indikasi penghentian RJP
adalah apabila pasien sadar atau dapat bernafas spontan, pasien
meninggal atau penolong mengalami kelelahan.

Cara penyelamatan pasien di air :

 Jika korban dapat dijangkau, ulurkan tangan atau suatu benda


seperti galah atau tongkat panjang;
 Jika korban agak jauh, lempar sesuatu yang mengapung (seperti
jaket keselamatan (life jacket) atau (throw line);
 Jika korban diluar jangkauan dan ada perahu, dayung perahu
kearah korban. Gunakan jaket pelampung untuk keamanan diri
Anda sendiri;
 Jika semua prosedur tersebut tidak dilakukan dan Anda terlatih
untuk melakukan prosedur penyelamatan di air, Anda dapat
berenang ke arah korban.
Korban terlebih dahulu dikeluarkan dari air secara hati-hati
dengan praduga cedera servikal. Para penolong tidak boleh
mengansumsikan bahwa korban tidak dapat ditolong kecuali
korban sudah meninggal beberapa saat lalu. Panggil bantuan dan
defribilator (AED) jika ada, buka baju pasien, lakukan pengecekan
CAB (circulation, airway, breathing) kemudian segera lakukan
RJP. Jika pasien mengalami penurunan status mental, periksa jalur
napas dari benda-benda asing dengan manuver finger-sweep.
Sesaat setelah AED datang, segera pasang alat tersebut dengan
mengeringkan badan pasien terlebih dahulu. Usahakan
pemasangan tidak mengganggu atau mengganggu kompresi
seminimal mungkin. Setelah pemberian kejutan, periksa kembali
nadi dan pernapasan. Jika nadi dan pernapasan kembali, posisikan
pasien ke recovery position. Jika ritme unshockable, RJP terus
dilakukan hingga bantuan datang atau ritme shockable.
Cara menilai adanya sirkulasi dengan mengecek nadi
karotis dengan meletakkan 2-3 jari diatas jakun korban kemudian
telusuri ke kiri atau ke kanan dan rasakan denyutan nadi ada atau
tidak. Lakukan selama 5-10 detik.

15
Cara CPR yang benar dengan korban pada posisi terlentang
pada permukaan rata dan keras, kemudian penolong berada pada
sisi bahu korban. Letakkan tangan diatas pertengahan tulang
sternum dan lakukan 30 kali kompresi dada. Korban dapat muntah
saat dilakukannya kompresi dada. Jika muntah, miringkan tubuh
korban dan bersihkan muntahannya dengan menggunakan jari,
pakaian atau disedot (suction). Jika curiga cedera spinal, korban
digulingkan sedemikian rupa sehingga kepala, leher dan badan
berputar sebagai sebuah unit untuk melindungi cedera spinal.
Cara untuk membuka jalan napas dengan melakukan
manuver mengangkat dagu-memiringkan kepala dan meletakkan
tangan pada dahi korban(head tilt-chin lift). Berikan dua kali
bantuan napas dengan cara menutup hidung dengan ibu jari dan
telunjuk, tiup sekitar 1 detik untuk membuat dada terangkat,
kemudian lanjutkan dengan tiupan berikutnya.
Jika korban mulai bernapas setelah diberikan CPR, lakukan
posisi pemulihan dengan menarik lengan terjauh korban melewati
dada dan punggung tangannya menempel pada pipi, dengan tangan
yang lain, tekuk lutut kaki bagian terjauh korban kemudian
balikkan atau miringkan korban kearah penolong dan pertahankan
jalan napas. Pantau keadaan korban hingga bantuan medis tiba.

2. Penanganan di Rumah Sakit

16
Gambar Penanganan awal pada korban tenggelam di rumah sakit. 8 PEEP:
positive endexpiratory pressure; CPR: resusitasi jantung paru.

Sesampainya di IGD, pasien segera dioksigenasi untuk mencegah


hipoksia. Penanganan pada korban tenggelam pada umumnya
diklasifikasikan menjadi empat kelompok berdasarkan pada kondisi
korban saat sampai di IGD.

Tabel Penanganan awal korban tenggelam di IGD berdasarkan kondisi.

Klasifikasi Penanganan awal di gawat darurat


Kelompok 1: pasien tanpa inhalasi yang
jelas Lakukan observasi
Analisis gas darah, monitor SaO2
Kaji hipotermia
Periksa elektrolit, apusan darah tepi,
glukosa Rontgen dada

17
Kelompok 2: pasien dengan ventilasi
yang adekuat Oksigen dengan masker atau sirkuit
CPAP
Pantau SaO 2 dan PaO 2
Infus infus cairan hangat
Kaji hipotermia dan asidosis metabolik
Periksa rontgen dada, hitung darah
lengkap, urea, elektrolit, glukosa
Pindahkan ke ICU sedapat mungkin

Kelompok 3: pasien dengan ventilasi


yang tidak adekuat Intubasi dan ventilasi dengan oksigen
100%
Lanjutkan IPPV. Pertahankan PaO 2
>8 kPa
Infus intravena
Gunakan PEEP jika perlu
Pindahkan ke ICU

Kelompok 4: pasien dengan henti


jantung Bersihkan jalan napas IPPV
segera kompresi dada,
EKG segera
mungkin,kanulasi
intravena,kaji hipotermia.

Keterangan: SaO2=saturasi O2, CPAP=, PaO2=konsntrasi O2, ICU=intensive


care unit, IPPV, EKG=elektrokardiogram

Pasien yang masuk ke dalam kelompok 1 dapat


dipulangkan jika dalam 6 jam pertama setelah kedatangan pasien
tidak mengalami demam, batuk, gejala gangguan pernapasan,

18
adanya krepitasi di paru, PaO2 normal pada pemberian oksigen
21% dan hasil rontgen normal.

2.2 ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian Primer
a. Airway
Kaji adanya sumbatan jalan nafas akibat paru-paru yang terisi cairan.
Manajemen : Kontrol servikal, bebaskan jalan nafas
b. Breathing
Periksa adanya peningkatan frekuensi nafas, nafas dangkal dan
cepat, klien sulit bernafas. Manajemen : Berikan bantuan ventilasi
c. Circulation
Kaji penurunan curah jantung. Manajemen : Lakukan kompresi dada
d. Disability
Cek kesadaran klien, apakah terjadi penurunan kesadaran.
Manajemen : Kaji GCS, periksa pupil dan gerakan ektremitas
e. Exposure
Kaji apakah terdapat jejas.
2. Pengkajian Sekunder
A. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama : Kaji hal yang dirasakan klien saat itu, biasanya
klien mengeluh sesak nafas
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Bagaimana awal mula klien
dibawa ke pelayanan kesehatan sampai munculnya keluhan yang
dirasakan klien
c. Riwayat Penyakit Dahulu : Kaji apakah sebelumnya klien
pernah tenggelam, dan kaji apakah klien mempunyai penyakit
asma
B. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien biasanya tampak lemah, pucat, sesak, dan kesulitan bernafas.

19
b. Pemeriksaan per – system B1-B6 :
- B1 : Klien mengeluh sesak dan sulit bernafas, pernafasan cepat
dan dangkal, RR meningkat
- B2 : Tekanan darah klien menurun, klien tampak pucat, sianosis
dan nadi meningkat (takikardi)
- B3 : Klien mengalami penurunan kesadaran, GCS menurun
- B4 : Tidak ditemukan kelainan
- B5 : Tidak ditemukan kelainan
- B6 : Kaji adanya fraktur karena terbentur benda keras
-
B. ANALISA DATA
No Data Etiologi Problem
1 DS : refraktori dan kebocoran Gangguan pertukaran
pasien mengatakan gas
interstitial pulmonal /
kesulitan untuk bernafas
DO : alveolar pada status cedera
Terdapat tanda-tanda
kapiler paru
hipoksia (pucat, crt > 2dtk,
terdapat pernafasan cuping
hidung, terlihat otot bantu
nafas)
2 DS : – peningkatan kerja Penurunan curah
DO : jantung
ventrikel
Penurunan TD, akral dingin
pucat, suhu tubuh menurun
3. DS : supresi reflek
batuk Ketidakefektifan
Pasien mengeluh susah Bersihan jalan nafas
sekunder akibat aspirasi
untuk bernafas
DO : air ke dalam paru
Nafas cepat dan dangkal
4. DS : – kurangnya suplai oksigen Ketidakefektifan
DO : perfusi jaringan
Penurunan kesadaran cerebral
5. DS : hipoksia akibat penurunan Ketidakefektifan
Klien mengeluh sesak Pola nafas
kadar oksigen dalam tubuh
DO :
RR meningkat, nafas cepat
dan dangkal, penggunaan
otot bantu pernafasan

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN (BELUM SDKI)

20
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan supresi
reflek batuk sekunder akibat aspirasi air ke dalam paru
2. Ketidakefektifan Pola nafas berhubungan dengan hipoksia akibat
penurunan kadar oksigen dalam tubuh
3. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan refraktori dan
kebocoran interstitial pulmonal / alveolar pada status cedera kapiler
paru
4. ketidakefektifan perfusi jaringan serebral yang berhubungan dengan
kurangnya suplai oksigen
5. Penurunan curah jantung yang berhubungan dengan peningkatan kerja
ventrikel

D. INTERVENSI KEPERAWATAN
E. IMPLEMENTASI
F. EVALUASI

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Tenggelam adalah suatu bentuk sufokasi berupa korban terbenam dalam
cairan dan cairan tersbut terhisap masuk ke jalan nafas sampai alveoli paru-
paru. Drowning atau tenggelam adalah proses masuknya cairan ke dalam saluran
nafas atau paru-paru yang menyebabkan gangguan pernafasan sampai

21
kematian. Drowning diklasifikasikan menjadi typical dan atypical. Atypical
diklasifikaikan lagi menjadi dry, immersion syndrome, submersion of the
unconscious, dan delayed dead. Berdasarkan kondisi kejadian dibedakan
menjadi drowning dan near drowning (hampir tenggelam).
Drowning ini terjadi dikarenakan kemampuan fisik yang terganggu akibat
pengaruh obat, ketidakmampuan fisik akibat hipotermia, syok, cedera atau
kelelahan, dan ketidakmampuan akibat penyakit akut ketika berenag. Keadaan
tergambatnya jalan nafas karena tenggelam menyebabkan gasping dan kemudian
aspirasi diikuti dengan henti nafas volunteer dan laringospasme, hipoksemia dan
asidoseis yang berakibat pada henti jantung dan kerusakan system syaraf
pusat. Drowning menyebabkan perubahan pada paru-paru, kardiovaskuler,
susunan saraf pusat, ginjal, cairan dan elektrolit. Manifestasi klinis yang
ditunjukan adalah sianosis, peningkatan edema paru, kolaps sirkulasi, hipoksemia,
asidosis, hiperkapnes, lunglai, postur tubuh deserebrasi atau dekortikasi, koma
dengancedera otak yang irreversible. Penatalaksanaan meliputi bantuan hidup
dasar dan bantuan hidup lanjut.

3.2 Saran
Mengingat pentingnya penatalaksanaan yang cepat dan tepat terhadap pasien
kritis, sebagai calon Ners kita seharusnya banyak membaca literature. Untuk
mendalami pengetahuan tentang drowning banyak literature tersedia di
kedokteran forensik.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul M. I. (1997) . Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta Bara : Binarupa


Aksara

22
Budiyanto. (1997) . Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik
FKUI
Dolinak, D., Matshes, E. & Lew, E. O., (2005) . Forensic Pathology: Principles
and Practice. s.l.:Elsevier.
Levin, D. L. et al., (1993) . Drowning and Near-Drowning. Pediatric clinics of
North America, Volume 2.
McCance, K. L., Huether, S. E., Brashers, V. L. & Rote, N. S., (2014) .
Pathophsysiology ,The Biologic Basis for Disease in Adults and
Children, Seventh Edition. Canada: Mosby.
Onyekwelu, E., (2008) . Drowning and Near Drowning. Internal Journal of
Health 8, Volume 2.
Pendit, Brahm. U et al. (2004). Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta : EGC
Putra, A. A. G. A., 2014. Kematian Akibat Tenggelam : Laporan
Kasus, Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana RSUP
Sanglah .
Raoof, Suhail. (2008) . Manual of Critical Care. New York: Brooklyn.
Rastogi, P. & Rao, J., (2011). Accidental Mechanical Asphyxia At Work Site By
Mud. J Punjab Acad Forensic Med Toxicol, Volume 11, pp. 52-54.
Somantri, irman, (2007) . Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan
sistem pernapasan, Salemba Medika, Jakarta
Santoso, Bhetaria, (2010). Perbedaan Kadar Magnesium Serum antara Tikus
Putih (Rattus Norvegicus) yang Mati Tenggelam di Air Tawar
dengan di Air Laut, Skripsi, Surakarta, Universitas Sebelas Maret
Sorrentino, S., (2010) . Mosby’s Textbok for Long-Term Care Nursing
Assistants. 6th penyunt. s.l.:Mosby.
Tasmono, (2008) . Distribusi Kasus Kematian Akibat Asfiksia di Malang Raya
yang Diperiksa di Instalasi Kedokteran Forensik RSSA Tahun
2006-2007. pp. 36-39.
Wilianto, W., (2012) . Pemeriksaan Diatom pada Korban Diduga
Tenggelam. Jurnal Kedokteran Forensik Indonesia, Volume 14,
pp. 39-46.

23

Anda mungkin juga menyukai