Anda di halaman 1dari 41

IMPACT TEST

I.1 Tujuan
I.1.1 Tujuan Intruksional Umum
Mahasiswa mampu melakukan pengujian beban mendadak (Impact
test) terhadap suatu material.
I.1.2 Tujuan Instruksional Khusus
1. Mahasiswa mampu menganalisa pengaruh takikan (notch)
terhadap kekuatan material.
2. Mahasiswa mampu menganalisa energi dan kekuatan impact dari
hasil pengujian suatu material.
3. Mahasiswa mampu menganalisa pengaruh temperatur terhadap
kekuatan material.
4. Mahasiswa mampu menganalisa temperatur transisi suatu
material.
5. Mahasiswa mampu menganalisa jenis patahan suatu material.

I.2 Dasar Teori


Beberapa perangkat pada otomotif dan transmisi serta bagian-bagian
pada kereta api dan lain, akan mengalami suatu beban kejutan atau beban
secara mendadak dalam pengoperasianya. Maka dari itu ketahanan suatu
material terhadap beban mendadak, serta faktor-faktor yang mempengaruhi
sifat material tersebut perlu diketahui dan diperhatikan.
Pengujian ini berguna untuk melihat efek-efek yang ditimbulkan oleh
adanya takikan, bentuk takikan, temperatur, dan faktor-faktor lainnya. Impact
test bisa diartikan sebagai suatu tes yang mengukur kemampuan suatu
bahan dalam menerima beban tumbuk yang diukur dengan besarnya energi
yang diperlukan untuk mematahkan spesimen dengan ayunan sebagaimana
ditunjukkan pada gambar dibawah ini:
Starting Position

Scale

Pointer

Bandul
Specimen

Gambar 1.1 Mesin Uji Impact

Bandul dengan ketinggian tertentu berayun dan memukul spesimen.


Berkurangnya energi potensial dari bandul sebelum dan sesudah memukul
benda uji merupakan energi yang diserap oleh spesimen.

Gambar 1.2 Sketsa Perhitungan Energi Impact Teoritis


Besarnya energi impact (joule) dapat dilihat pada skala mesin penguji.
Sedangkan besarya energi impact dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut :

Eo = W.ho………....(1)
E1 = W.h1………...(2)
∆E = Eo - E1
= W (ho- h1)… .(3)
dari gambar 1.2 didapatkan ho = ℓ - ℓcos α
= ℓ (1 - cos α)……(4)
h1 = ℓ - ℓcos β
= ℓ (1 - cos β)…...( 5)
dengan subtitusi persamaan 4 dan 5 pada 3 di dapatkan :
∆E = W ℓ( cos β - cos α )……… (6)
dimana: Eo = Energi awal (J)
E1 = Energi akhir (J)
W = Berat bandul (N)
ho = Ketinggian bandul sebelum dilepas (m)
h1 = Ketinggian bandul setelah dilepas (m)
ℓ = panjang lengan bandul (m)
α = sudut awal (o)
β = sudut akhir (o)
Untuk mengetahui kekuatan impact /impact strength (Is) maka energi impact
tersebut harus dibagi dengan luas penampang efektif spesimen (A) sehingga :
Is = ∆E/A
= W ℓ( cos β - cos α )/A……… (7)
Pada suatu konstruksi, keberadaan takik atau nocth memegang peranan yang
amat berpengaruh terhadap kekuatan impact. Adanya takikan pada kerja yang salah
seperti diskotinuitas pada pengelasan, atau korosi lokal bisa bersifat sebagai
pemusat tegangan (stress concentration). Adanya pusat tegangan ini dapat
menyebabkan material brittle (getas), sehingga patah pada beban di bawah yield
strength.
Ada tiga macam bentuk takikan menurut standart ASTM pada pengujian
impact yakni takikan type A (V), type B (key hole) dan type C (U) sebagaimana
ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

Gambar 1.3 Macam-macam Bentuk Takikan Pada Spesimen Uji Impact

Fracture atau kepatahan pada suatu material dapat digolongkan sebagai brittle
(getas) atau ductile (ulet). Suatu material yang mengalami kepatahan tanpa
mengalami deformasi plastis dikatakan patah secara brittle. Sedangkan apabila
kepatahan didahului dengan suatu deformasi plastis dikatakan mengalami ductile
Fracture. Material yang mengalami brittle Fracture hanya mampu menahan energi
yang kecil saja sebelum mengalami kepatahan. Perbedaan permukaan kedua jenis
patahan sebagaimana ditunjukkan pada gambar dibawah ini

Gambar 1.4 Pola Patahan Pada Penampang Specimen Uji Impact


I.3 Metode Pengujian Impact
Metode pengujian impact dibedakan menjadi 2 macam yaitu Metode
Charpy dan Metode Izod
a) Metode Charpy
Pada metode sebagaimana ditunjukkan pada gambar1.5.a,
spesimen diletakkan mendatar dan kedua ujung spesimen ditumpu pada
suatu landasan. Letak takikan (notch) tepat ditengah dengan arah
pemukulan dari belakang takikan. Biasanya metode ini digunakan di
Amerika dan banyak negara yang lain termasuk Indonesia.
b) Metode izod
Pada metode ini sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1.5.b,
spesimen dijepit pada salah satu ujungnya dan diletakkan tegak. Arah
pemukulan dari depan takikan. Biasanya metode ini digunakan di Negara
Inggris.

Gambar 1.5 Metoda Pengujian Charpy (a) dan Izod (b)

I.4 Temperatur Transisi


Kemampuan suatu material untuk menahan energi impact sangat
dipengaruhi oleh temperatur kerja. Pengaruh temperatur terhadap kekuatan
impact setiap jenis material berbeda-beda.
Pada umumnya kenaikan temperatur akan meningkatkan kekuatan
impact logam, sedangkan penurunan temperatur akan menurunkan
kekuatan impactnya.
Diantara kedua kekuatan impact yang ekstrim tersebut ada suatu titik
temperatur yang merupakan transisi dari kedua titik ekstrim tersebut yakni suatu
temperatur yang menunjukkan perubahan sifat material dari ductile menjadi brittle.
Titik temperatur tersebut disebut ‘temperatur transisi’.
Ada 5 kriteria dalam penentuan temperatur transisi seperti yang
ditunjukkan oleh gambar 1.6. Kriteria pertama adalah T1 dimana
temperatur transisi ini diperoleh dari temperatur pada saat material
bersifat 100% ductile menuju ductile-brittle. Suhu transisi ini sering
disebut fracture ductility temperature (FDT).
Kriteria ke dua adalah T2 yaitu temperatur transisi ada pada titik
dimana fracture appearance berada pada 50%ductile-50%brittle.
Kriteria ke tiga (T3) adalah kriteria yang umum dipakai.
Temperatur transisinya diperoleh dari rumus : Is Transisi = (Is tertinggi +
Is terendah) / 2.
Kriteria ke empat adalah T4. yaitu perubahan material dari ductile-
brittle menuju brittle setelah melewati Cv = 15 ft-lb.
Kriteria ke lima adalah T5 dimana suhu transisinya diperoleh dari
temperatur pada saat material bersifat ductile-brittle menuju brittle
100%. Temperatur transisi ini sering disebut nil ductility temperature
(NDT)

NDT FDT
100
Fracture
appearance
% cleavage fracture
Energy absorbeb, Cv

50

Cv

0
T5m T4 T3 T2 T1

Temperature

Gambar 1.6 Grafik Temperatur Transisi


Apabila temperatur operasi dari suatu peralatan berada dibawah temperatur
transisi dari material yang digunakan, maka adanya crack pada material fracture
akan menyebabkan kerusakan pada peralatan, sedangkan apabila temperatur
operasi terendah masih diatas temperatur transisi dari material, maka brittle fracture
bukan merupakan masalah.

METODOLOGI

II.1 Peralatan
 Mesin Uji Impact
 Cooling Chamber
 Thermo Couple
 Kompor Listik
 Panci
 Jangka Sorong
 Tang
 Stamping
 Palu
 Kikir
 Amplas

II.2 Bahan
 Spesimen uji impact untuk temperatur panas (1 buah)
 Spesimen uji impact untuk temperatur kamar (1 buah)
 Spesimen uji impact untuk temperatur dingin (1 Buah)

II.3 Prosedur Praktikum


II.3.1 Persiapan Spesimen
 Ambil spesimen dan jepit pada ragum,
 Ambil kikir dan kikir bekas-bekas machining pada
spesimen yang memungkinkan menyebabkan kesalahan
ukur.
 Ulangi langkah diatas untuk seluruh spesimen.
II.3.2 Penandaan Spesimen
 Ambil stamp dan tandai seluruh specimen
1 : Untuk Spesimen Suhu Ruang 18oC
2 : Untuk Spesimen Suhu Dingin 8oC
3 : Untuk Spesimen Suhu Panas 28oC

II.3.3 Pengukuran Dimensi


 Ambil spesimen ukur dimensinya (panjang, lebar dan
tebalnya).
 Catat kode spesimen dan data pengukurannya pada lembar
kerja
 Ulangi langkah diatas untuk semua spesimen.
II.3.4 Pengkondisian Spesimen Pada Temperatur Kerja
 Temperatur Dingin (T= 8,-2 o,-12 o,-22o)
- Nyalakan cooling chamber dan setting pada temperatur -50 oC
untuk percobaan dingin.
-Masukkan specimen berkode angka ke dalam cooling chamber

-Ukur temperatur spesimen didalam air dengan Thermo couple


sebelum spesimen diambil untuk diuji impact.

- Catat pada lembar kerja.


 Tempeatur Kamar ( T=28o)
Untuk specimen pada suhu kamar bisa langsung
dilakukan pengujian impact.

II.3.5 Pengujian Pada Mesin Uji Impact


- Mencatat data mesin pada lembar kerja.
- Tempatkan bandul pada posisi awal untuk pengujian.
- Atur jarum
penunjuk pada posisi 0.
- Ambil specimen dan letakkan pada tempatnya secara tepat
dan cepat, terutama untuk kondisi panas dan dingin.
- Letakkan tangan kanan pada pin pengunci beban dan
tangan kiri pada rem.
- Tekan pin pengunci beban, sehingga bandul meluncur
menimpa spesimen.
- Tekan rem ketika bandul hendak mengayun untuk yang
kedua kalinya.
- Amati dan catat besarnya sudut β dan besarnya energy (E)
yang ditunjukkan oleh jarum penunjuk.
- Ulangi langkah diatas untuk seluruh specimen.

II.3.6 Menentukan Panjang Lengan Bandul


- Angkat bandul sehingga membentuk sudut 10 0 dari garis
tegak.
- Lepaskan bandul sehingga berayun.
- Hitung dengan stopwatch waktu yang dibutuhkan untuk 50
ayunan (T50).
- Hitung lengan bandul dengan menggunakan persamaan
berikut :
T = 2 (ℓ / g)1/2…… (8)
Dimana T = periode (detik)
= T50 / 28
ℓ = panjang lengan bandul (m)
g = percepatan gravitasi (m/det2)

ANALISA DATA

Tabel 3.1 Spesifikasi Mesin Impact dan Spesimen

IMPACT TEST
α : 160.43º Berat Bandul : 96.5 N Panjang Lengan : 0.8 m
Tebal Pada
Penandaan Panjang Lebar Tebal Takikan Luas
W T An
No Spesimen L (mm) (mm) (mm) tn (mm) (mm2)
1 Dingin 55 9.8 9.8 8.2 95
2 Ruangan 55 9.8 9.8 8.2 100
3 Panas 55 9.8 9.8 8.2 95

Tabel 3.2 Hasil Percobaan

E E
N Penandaa Suh Sudu Impac Teoriti Kuat
o n Jenis Lokasi u t t s Impact
Takika Takika
Spesimen n n (ºC) β (º) (J) (J) (J/mm2)
1 1 V _ 0.5 34.8 136.5 136.13 1.432
2 2 V _ 30 30.5 139.5 139.25 1.392
3 3 V _ 96.4 7 145 145.3 1.571
3.1 Perhitungan

3.1.1 Menurut Teori


Mencari panjang lengan (ℓ)
Periode (T) = 90 detik
Periode tiap detik (T50) = 50/ 28 = 1,8 detik
T50 = 2.

1,8 = 2. ( / 9,8 m s 2 )

1,8/2π = ( / 9,8 m s 2 )

(0,287)2 =  9,8 m s 2

l = 0,8 m
Berat bandul (W) = 96.5 N
Sudut ( α ) = 160.43 o

3.1.2 Perhitungan Energi Teori


Spesimen Suhu 0.5oC (Dingin)
Sudut (β) = 34.8
Et = W.ℓ.(cos  - cos )
= 96,5 N.0,8 m.(cos 34.8 – cos 160,43)
= 136.13 J
Spesimen Suhu 28oC (Ruangan)
Sudut (β) = 30.5
Et = W.ℓ.(cos  - cos )
= 96,5 N.0,8 m.(cos 30.5 – cos 160,43)
= 139.25J
Spesimen Suhu 96.4oC (Panas)
Sudut (β) = 136.5
Et = W.ℓ.(cos  - cos )
= 96,5 N.0,8 m.(cos 7– cos 160,43)
= 145.3 J
3.1.3 Perhitungan kekuatan Impact Teori
Spesimen Suhu 0.5oC (Dingin)
An (mm2)= 95
Maka kekuatan impact
Strength = Et / An
= 136.13J/95mm2
= 1.432 J/mm2
Spesimen Suhu 28oC (Ruangan)
An (mm2)= 100
Maka kekuatan impact
Strength = Et / An
= 139.25 J /100 mm2
= 1.3925 J/mm2
Spesimen Suhu 96.4oC (Panas)
An (mm2)= 95
Maka kekuatan impact
Strength = Et / An
= 50,10 J/95 mm2
= 1.5715 J/mm2\
Temperatur transisi diperoleh dengan cara menarik garis hasil dari
menjumlahkan kekuatan impact tertinggi dengan kekuatan impact terendah
kemudian dibagi dua. Lebih singkatnya dapat dicari melalui rumus :

Is Transisi = Is Maximum + Is Minimum


2

Dari hasil Is transisi tersebut barulah ditarik garis kebawah sehingga didapat
temperatur transisinya.
3.2 Gambar Hasil Pengujian
3.2.1 Pada Temperatur -0.5oC dan -12 oC ( dingin )
Jenis patahan yang ditimbulkan adalah getas (brittle)
Ciri – ciri Brittle Fracture :
1. Terdapat butir-butir halus pada permukaan patahannya
2. Permukaan patahannya mengkilap
3. Biasa disebut granular fracture atau cleavage fracture

3.2.2 Pada Temperatur 28oC ( kamar)


Jenis patahan yang ditimbulkan adalah ulet (ductile)
Ciri – ciri Ductile Fracture :
1. Spesimen pada umumnya tidak putus dengan permukaan patahan
yang kasar
2. Permukaan patahannya terlihat buram
3. Terdapat serabut-serabut kasar pada permukaan patahannya
4. Biasa disebut Fibrous fracture
3.2.3 Pada Temperatur 96.4 ( panas)
Jenis patahan yang ditimbulkan adalah Campuran
PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Dari data hasil percobaan dan hasil perhitungan dapat di simpulkan bahwa:

 Spesimen dengan temperatur 28 oC pengujian 2 mempunyai kekuatan impact


sebesar 1.3925 J/mm²
 Spesimen dengan temperatur 96.4 oC pengujian 3 mempunyai kekuatan
impact sebesar 1.5715 J/mm²
 Spesimen dengan temperatur -0.5ºC pengujian 1 mempunyai kekuatan
impact sebesar 1.432 J/mm²
 Temperatur mempengaruhi sifat dari material.
Daftar Pustaka

1. ASME section 19-28, Impact Test


2. Dosen Metallurgi, (1986), Petunjuk Praktikum Logam, Jurusan Teknik Mesin FTI,
ITS
3. Haryono, Dr, Ir & T. Okumura, Dr,(1991) Tecnólogi Pengelasan Logam, PT
Pradya Paramita, Jakarta
4. M.M. Munir, (2000), Modul Praktek Uji Bahan, Vol 1, Jurusan Teknik Bangunan
Kapal, PPNS
5. Prasojo, Budi, ST (2002),Buku Petunjuk Praktek, Jurusan Teknik Permesinan
Kapal, PPNS
6. Wachid Superman, Ir,(1987),Diktat Pengetahuan Bahan, Jurusan Teknik Mesin
FTI, ITS
MAGNETIC PARTICLE TEST

1.1 Tujuan
Tujuan dari uji magnetik partikel adalah untuk mendeteksi discontinuity
bahan logam ferro pada permukaan atau discontinuity sub surface. Biasanya
pengujian ini dilakukan pada benda kerja pada semua tahapan produksi.
1.2 Dasar Teori
Magnet merupakan suatu logam yang dapat menarik besi, dan selalu
memiliki dua kutub yaitu kutub utara dan kutub selatan. Dimana arah medan
magnet disetiap titik bersumber dari kutub utara menuju ke selatan dan
mengarah dari kutub selatan ke utara di dalam magnet.

Gambar 1.1. Garis Gaya Magnet

I.2.1. Prinsip Dasar pengujian Magnetik Partikel


Spesimen atau benda uji tersebut dimagnetisasi dengan cara
memberikan arus listrik. Karena perlakuan yang seperti itu, maka pada
benda uji akan timbul medan magnet sebagai akibat dari adanya beda
potensial (arus listrik mengalir dari tegangan tinggi ke tegangan
rendah). Pada daerah tersebut ditaburkan serbuk ferro magnetik.
Selanjutnya serbuk ferro magnetik tersebut akan mengikuti bagian
yang cacat dari benda uji tersebut.
I.2.2. Jenis-jenis Magnet
1. Magnet permanen
Merupakan bahan-bahan logam tertentu yang jika dimagnetisasi maka bahan
logam tersebut akan mampu mempertahankan sifat magnetnya dalam jangka
waktu yang lama (permanen).

2. Elektromagnet
Merupakan magnet yang terbuat dari bahan ferro magnetik yang jika diberikan
arus listrik maka bahan tersebut akan menjadi magnet, tetapi jika pemberian arus
listrik dihentikan, maka sifat magnet pada bahan tersebut akan hilang.

I.2.3. Metode Magnetisasi


1. Magnetisasi longitudinal :
Dihasilkan dari arus listrik yang dialirkan dalam koil.

Defect

Long Field

Current
Current

Gambar 1.2. Magnetisasi Longitudinal


2. Magnetisasi Yoke
Magnetisasi dengan menggunakan yoke. Dengan cara ujung kaki
yoke ditempelkan pada material yang akan dimagnetisasi.
3. Magnetisasi sirkular.
Magnetik sirkular terdiri dari :
a. Magnetik tak langsung, arus listrik dialirkan ke konduktor
sentral. Medan magnet mengenai bahan dan benda yang
dilingkupinya.
Current Circular Field
Deffect

Gambar 1.3. Central Conductor

b. Magnetisasi langsung, arus listrik dialirkan pada bahan yang


akan dimagnetisasi.

Benda

Gambar 1.4. Head Shut


c. Prod, magnetisasi dengan cara material ferromagnetic dililiti
dengan logam tembaga kemudial dialiri arus listrik.

prod

Medan magnet

Gambar 1.5. Magnetisasi prod

I.2.4. Metode Pengerjaan Berdasarkan Waktu Magnetisasi


1. Medan Magnet Kontinyu :
Magnetisasi berlangsung secara terus menerus bersamaan dengan
pemberian serbuk ferromagnetik basah (suspensi) atau yang
kering.
2. Medan Magnet sisa (residual) :
Partikel ferro magnetik (kering atau suspensinya) diberikan setelah
proses magnetisasi berakhir.
I.2.5. Metode Pengaplikasian Partikel Ferromagnetik
1. Metoda Kering:
Partikel magnetik yang digunakan berupa bubuk kering.
Metoda ini digunakan pada permukaan benda uji yang kasar. Suhu
kerja yang baik yaitu pada suhu kamar 10oC hingga 55oC, metoda
ini juga masih dapat dilakukan pada suhu tinggi asalkan benda uji
masih berwujud padat. Metoda ini tidak cocok dilakukan pada suhu
dingin karena serbuk ferromagnetic akan lengket terkena embun.
Warna partiker ferromagnetik yang dipilih harus kontras terhadap
benda uji. Bubuk diarahkan pada lokasi yang diinginkan secara
perlahan-lahan, sisa partikel yang berlebih dihilangkan dengan air.
2. Metoda Basah:
Partikel magnetik yang digunakan dalam bentuk suspensi.
Metoda ini bisa digunakan pada metoda kontinyu maupun residual.
Metoda basah biasa digunakan pada permukaan benda uji yang
halus. Metoda ini cocok digunakan pada suhu dingin dan batas
maksimalnya adalah tidak boleh lebih dari batas akhir temperatur
kamar, yaitu 55oC karena suspensi akan mengalami penguapan
jika suhu terlalu panas.

I.2.6. Teknik Inspeksi


1. Pemilihan Teknik Inspeksi
Pemilihan teknik inspeksi partikel magnetik didasarkan pada
hal-hal sebagai berikut:
☺ Kondisi Permukan Benda Uji :
☻Kasar : Metoda Kering
☻Halus : metoda Basah
☺ Partikelnya:
☻Kering : Serbuk Kering
☻Basah : Suspensi
☺ Warna serbuk partikelnya harus kontras
2. Prosedur Inspeksi
 Melakukan Pre Cleaning
Kondisi permukaan harus diperhatikan, permukaan harus kering
dan bersih dari segala macam kotoran yang kiranya dapat
menganggu proses inspeksi seperti karat, oli/gemuk, debu dll.
 Melakukan Penyemprotan White Contrast Paint (WCP 2)
Setelah permukaan dipastikan bersih dan kering maka
dilakukan penyemprotan WCP 2 secara merata. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan mendeteksi adanya discontinuity.
Karena warna dari WCP 2 lebih kontras dari pada serbuk
feromagnetig.
 Memagnetisasi Benda Uji
Magnetisasi benda uji dimaksudkan agar benda uji dapat
menarik serbuk ferromagnetik yang nantinya serbuk
ferromagnetik tersebut akan mendetekasi adanya discontinuity
pada benda uji tersebut.
 Mengaplikasi Serbuk Magnet
Aplikasi serbuk magnet disesuaikan dengan keadaan
permukaan pada benda uji. Bila permukaannya kasar, maka
digunakan metode kering yang menggunakan serbuk magnet
kering. Apabila permukaannya halus digunakan metode basah
yang mana sebuk magnetik yang digunakan berupa suspensi.
Warna partikel serbuk magnet yang digunakan harus kontras
dengan permukaan benda ujinya.
I.2.7. Evaluasi
Pengevaluasian dimaksudkan untuk meneliti bentuk
discontinuity yang terdapat pada benda uji. Selain itu juga dari hasil
pengevaluasian kita akan dapat menentukan apakah benda uji harus
diperbaiki atau tidak.
I.2.8. Demagnetisasi
Demagnetisasi dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan
sisa sifat magnet yang terdapat pada benda uji agar benda uji tersebut
tidak akan dapat menarik serbuk-serbuk besi yang nantinya akan
mnyulitkan proses pembersihan.
Demagnetisasi dapat dilakukan dengan menggunakan arus AC
atau DC. Jika menggunakan arus AC, benda uji dimasukkan ke dalam
koil yang dialiri arus AC kemudian diturunkan perlahan-lahan. Jika
menggunakan arus DC step down bolak-balik berulang dengan kontak
langsung atau kontaktor inti, kemudian arus dibalik dan dikecilkan
secara berulang-ulang.
I.2.9. Pembersihan Setelah Inspeksi (Post Cleanig)
Post cleaning dimaksudkan untuk membersihkan benda uji dari
sisa-sisa dari pemberian serbuk magnetik pada saat pengujian.
1.2.10 Acceptance Criteria

Dalam uji ini suatu material dapat dinyatakan memiliki cacat yang
harus direject apabila material tersebut secara umum memiliki ukuran cacat
yang lebih dari 1,6 mm. Dan material tersebut dapat diterima apabila
permukaannya bebas dari:

1. Linier Indication
Suatu cacat dikatakan memiliki indikasi linier apabila pada cacat
tersebut memiliki panjang lebih dari 3 kali lebarnya.

2. Rounded indication
Suatu cacat dikatakan memiliki indikasi lingkaran apabila pada cacat
tersebut memiliki panjang kurang dari atau sama dengan 3 kali lebarnya.

 Material tersebut akan direject apabila memiliki panjang atau


lebar indikasi lingkaran lebih dari 4,8 mm.
 Material tersebut akan direject apabila memiliki 4 atau lebih
indikasi lingkaran yang tersusun dalam satu baris , dengan jarak
antara indikasi lingkaran kurang dari 1,6 mm (edge to edge).
Maka, apabila permukaan suatu material bebas dari kedua indikasi
yang telah disebutkan diatas, material tersebut dapat diterima.
Metodologi
1.3.1 Alat dan Bahan
a. Alat
1. Kain Lap
2. Yoke
3. Lampu phillips 23 watt
4. Sikat besi
5. Gause Meter
6. Light Meter (Lux meter) DSE – 100X Vis=0-199,9 Fe
7. Penggaris
8. Foto
9. Spesimen / benda uji

Gambar 2.1. Spesimen/Benda Uji


b. Bahan
1. Cleaner
2. White Contrast (WCP 2)
3. Wet partikel (7HF)

Gambar 2.2.Weld pwrtikel,WCP 2,Cleaner

1.3.2 Prosedur Kerja


1. Persiapan Alat, yaitu dengan menguji kekuatan yoke terlebih dahulu
(Power Lifting of Yoke) berdasarkan ASME section V Article 6 (T-773, 2),
yaitu untuk arus AC yoke harus mampu mengangkat beban seberat 4,5 kg
(10 lb) pada maximum pole spacing-nya. Apabila yoke masih dapat
mengangkat beban yang disyaratkan, maka yoke tersebut masih layak
untuk digunakan. Pengujian lifting power ini biasanya dilakukan dalam
jangka waktu satu tahun sekali.
2. Specimen dibersihkan permukaannya dari oil, dan kotoran lain yang
berupa karat, lemak, cat, dan kotoran lainnya dengan menggunakan
claner.Material uji disemprot dengan White Contrast Paint (WCP 2) secara
merata.
3. Tunggu sebentar hingga white contrast paint kering
4. Setelah kering, atur yoke sedemikian rupa sehingga dapat memagnetisasi
material uji dengan baik dan pada saat proses memagnetisasi material uji
yoke ditempatkan pada posisi yang berbeda-beda sehingga tampak
semua discontinuity yang ada pada material uji tersebut baik crack yang
ada di permukaan maupun yang sub-surface

Gambar 2.3. Proses magnetisasi

5. Saat yoke memagnetisasi material uji, material uji disemprotkan wet


particle hingga tampak cacat yang ada pada material uji tersebut.
6. Amati discontiniuity yang tampak dan catat.
7. Demagnetisasi atau penghilangan sisa-sisa magnet pada spesimen
setelah evaluasi. Kemudian material uji diukur sifat magneticnya dengan
menggunakan gause meter.
8. Post Cleaning/pembersihan akhir
1.4 Analisa Data
1.4.1 Data yang Diperoleh
Date : 24 Maret 2011
Material : Aswelded A2
Reference : ASME section VI

MAGNETIC PARTICLE TEST

● Yoke ○ Prod ○ Koil ○


Peralatan
SN:
○ Dry ● Wet ○ Flourescent ○
Jenis pertikel
Color cnt

Metode ● Continuous ○ Residual

● Weld ○ Machine process ○ Grind ○


Kondisi permukan
……….

○ Base metal  Weld part


Range ○ Edge Preparation ○ Repair weld
○ Back chipping ○ ……………

Type of Size of Result


No Part/item Remark
defect defect
Acc R

1 A Linear 55 mm √ Repair

2 B Linear 73 mm √ Repair

3 C Linear 25 mm √ Repair

4 D Linear 18 mm √ Repair

5 E Linear 18 mm √ Repair

6 F Linear 8 mm √ Repair

7 G Linear 26 mm √ Repair

8 H Linear 20 mm √ Repair
9 I Linear 5 mm √ Repair

10 J Linear 17 mm √ Repair

Penerangan : Lampu Philip 18 Watt


Intensitas Cahaya : 250 mm

1.4.2 Gambar yang diperoleh

Gambar 3.1. Light meter


1.4.3 Kriteria Lulus Uji
Acceptance standart, indikasi cacat dibagi 2 :
1. Relevant (lebih dari 1,6 mm)
- rounded ( L < 3w )
- linear ( L ≥ 3w )
2. non relevant ( kurang dari atau sama dengan 1,6 mm)
Criteria standart yang diterima harus bebas dari :
1. Indikasi relevant linear
2. Indikasi relevant rounded ( lebih dari 3/16 inchi atau 4,8 mm )
3. Ada 4 atau lebih indikasi relevant rounded yang sejajar dalam satu baris dan
terpisah oleh jarak 1/16 inchi ( 1,6 mm ) atau kurang.
1.5 Kesimpulan
Dari hasil pengujian yang kami lakukan dapat disimpulkan bahwa
discontinuity yang terjadi pada material Aswelded adalah discotinuity jenis linier.
Retakan ini terjadi karena material Aswelded mengalami proses penyambungan
(pengelasan yang kurang baik)sehingga banyak kertakan yang ada pada material
tersebut.
Discontinuity yang terjadi tersebut harus segera diganti karna jika masih di
gunakan akan mengalami kerusakan yang nantinya dapat merugikan hasil produksi .
DAFTAR PUSTAKA

1) Harsono, Dr, Ir & T.Okamura, Dr, (1991) Teknologi Pengelasan Logam,


PT Pradya Parammita, Jakarta.

2) Wachid Suherman, Ir, (1987), Diktat Pengetahuan Bahan, Jurusan Teknik


Mesin FTI, ITS.

3) Dosen Metallurgi, (1986), Petunjuk Praktikum Logam, Jurusan Teknik


Mesin FTI, ITS.

4) M.M. Munir, (2000), Modul Praktek Uji Bahan, Vol.1, Jurusan Teknik
Bangunan Kapal, PPNS.

5) ASME Section V Article 6


BAB I

HARDNESS TEST

1.1 Tujuan

1.1.1 Tujuan Umum


Mahasiswa mampu melakukan pengujian kekerasan (hardness
test) terhadap suatu material dengan beberapa metode dan mampu
menghitung nilai-nilai kekerasan suatu material.
1.1.2 Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu melakukan pengujian kekerasan (hardness test)
terhadap suatu material dengan metoda pengujian kekerasan Brinell.
2. Mahasiswa mampu melakukan pengujian kekerasan (hardness test)
terhadap suatu material dengan metoda pengujian kekerasan Vickers.

1.2 Dasar Teori


Kekerasan suatu bahan adalah kemampuan sebuah material untuk
menerima beban tanpa mengalami deformasi plastis yaitu tahan terhadap
identasi/penetrasi, tahan terhadap penggoresan, tahan terhadap aus, tahan
terhadap pengikisan (abrasi). Kekerasan suatu bahan merupakan sifat mekanik
yang paling penting, karena kekerasan dapat digunakan untuk mengetahui sifat-
sifat mekanik yang lain, yaitu strenght (kekuatan), brittless, ductility. Bahkan nilai
kekuatan tarik yang dimiliki suatu material dapat dikonversi dari kekerasannya.
Seperti pada gambar 1.

Gambar 1.1 Sifat bahan yang berhubungan dengan kekerasan


Ada beberapa metode pengujian kekerasan yang digunakan untuk menguji
kekerasan logam, yaitu :
1. Metode Pengujian Kekerasan Brinell
2. Metode Pengujian Kekerasan Vickers
3. Metode Pengujian Kekerasan Rockwell
4. Metode Pengujian Kekerasan Rockwell Superficial
5. Metode Pengujian Kekerasan Knoop
6. Metode Pengujian Kekerasan Meyer
7. Metode Pengujian Kekerasan Microhardness test
8. Metode Pengujian Kekerasan Mohs
Dari kedelapan metode yang tersebut di atas, yang biasanya digunakan
hanya dua saja, yaitu Brinell dan Vickers.

1.2.1 Metode Pengujian Kekerasan Brinell


Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada pengujian kekerasan
brinell adalah sebagai berikut :
1. Spesimen harus memenuhi persyaratan
 Rata dan Halus.
 Ketebalan Minimal 6 mm.
 Dapat ditumpu dengan baik dan permukaan uji harus
horizontal.
2. Indentor yang digunakan adalah bola baja yang telah dikeraskan,
namun untuk bahna yang sangat keras (sampai 650 BHN) digunakan
bola dari karbida tungsten. Jarak antara titik pengujian minimal dua kali
diameter tapak identasi.
3. pemakaian beban (P) dan diameter identor (D) harus memenuhi
persyaratan perbandingan P/D2 = 30 untuk baja, 10 untuk tembaga
dan paduannya, serta 5 untuk aluminium dan paduannya.
4. Pada pelaksanaannya, pengujian kekerasan ini dilakukan dengan
menekan identor pada permukaaan specimen selama 10-30 detik.
5. Nilai kekerasan pengujian ini dinyatakan dalam satuan BHN (Brinells
Hardness Number) yang dihitung berdasarkan diameter identasi
dengan persamaan sebagai berikut :
HB :

Dimana :
P = Gaya tekan (kgf)
D = Diameter identor bola baja (mm)
d = Diameter hasil identasi (mm)

Persamaan diatas diperoleh dari :

X2 = (½ D)2 – (½ d)2
= ¼ (D2 – d2)
X = ½ (D2 – d2)1/2
D X
h =½D–X
= ½ D – ½ (D2 – d2)1/2
= ½ {D – (D2 – d2)}
A = π.D.H
= ½ (πD) {D-(D2 – d2)1/2}
d HB = P/A
Gambar 1.2 Penampang Pengujian Brinell = 2P / (πD) {D-(D2 – d2)1/2}

6. Penulisan nilai kekerasan seperti contoh berikut :


150 HB 2,5/150 – 10
Dimana : 150 = Nilai kekerasan.
HB = Metode Pengujian Brinell
2,5 = Diameter Identor
150 = Gaya pembebanan (N)
10 = Waktu pembebanan (detik)
7. Karena pengukuran dilakukan secara manual, maka memeberi
peluang untuk terjadinya kesalahan ukur. Kesalahan itu dimungkinkan
terutama pada saat pemfokusan objek pada layar, peletakan alat ukur
pada objek dan pembacaan pengukurannya.
1.2.2 Metode Pengujian Kekerasan Vickers
Pada dasarnya metode pengujian kekerasan Vickers hamper sama
dengan Brinells hanya identornya saja yang berbeda. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan pada metode pengujian kekerasan Vickers adalah
sebagai berikut:
1. Spesimen harus memenuhi persyaratan:
 Permukaan harus rata dan Halus
 Dapat ditumpu dengan baik dan permukaan horisontal
2. Identor yang digunakan adalah intan yang berbentuk pyramid yang
beralas bujur sangkar dengan sudut puncak antara dua sisi yang
berhadapan adalah 136o
3. Pada dasarnya semua beban bisa digunakan, kecuali untuk pelat yang
tipis harus digunakan beban yang ringan.
4. Pada pelaksanaannya, pengujian kekerasan ini dilakukan dengan
menekan identor pada permukaan specimen selama 10 – 30 detik.
5. Nilai kekerasan pengujian ini dinyatakan dalam satuan DPH (Vickers
Diamond Pyramid Hardness) yang dihitung berdasarkan diagonal
identasi dengan persamaan sebagai berikut :

HV = 1,854 P/d2

Untuk : α = 136o
Dimana : P = Gaya tekan (kgf)
d = diagonal identasi (mm)
Persamaan ini didapatkan dari :

Gambar 1.3. Hasil Tapak Tekan Pengujian Vickers


d = d1+d2
2
X = d Cos 45o
=½d 2
Y = ½ X / Cos 22o
= (½ d 2 ) / Cos 22o
L Δ AOB = ½ X.Y
= (½ . ½ d 2 . ½ d 2 ) / Cos 22o
= (1/8 d2) / Cos 220
A = 4 L Δ AOB
= 4 (1/8 d2) / Cos 220
= (½ d2) / Cos 22o
HVN = P/A
= 1,854 P/d2
6. Penulisan nilai kekerasan seperti contoh berikut : 150 HV 150/10
Dimana : 150 = Nilai Kekerasan
HV = Metode Pengujian Vickers
150 = Gaya Pembebanan
10 = Waktu Pembebanan
7. Sama dengan pengujian kekerasan dengan Brinells, karena
pengukuran dilakukan secara manual maka memberi kemungkinan
untuk terjadinya kesalahan ukur. Kesalahan itu dimungkinkan terutama
pada saat pemfokusan objek pada layar, peletakan alat ukur pada
objek dan pembacaan pengukurannya.
1.3 Metodologi
1.3.1 Alat
Peralatan-peralatan yang digunakan dalam pengujian ini adalah :
a. Mesin uji Kekerasan

b. Identor Bola Baja


c. Identor Piramid Intan

d. Obeng
e. Stop Watch
f. Grinding & Polishing Machine
g. Dryer

1.3.2 Bahan
a. Spesimen e. HNO3
b. Kertas Gosok f. Tissue
c. Kapas
d. Alkohol
1.3.3 LANGKAH-LANGKAH KERJA
a. Metode Brinells
1. Persiapan material uji yang meliputi :
a. Material uji dihaluskan permukaannya yang akan diamati
dengan menggunakan Polishing Machine dengan grid 120.

b. Apabila material uji dirasa belum halus dapat dihaluskan


kembali dengan menggunakan grid 120 atau 240 dengan arah
yang berbeda 900 dari arah semula.
c. Material uji di-Etching (dietsa) dengan menggunakan larutan
nital 2% yaitu dengan menggunkan larutan HNO3 2ml + Alkohol
98ml.

d. Material uji dikeringkan dengan menggunakan dryer.


2. Dibuat beberapa titik dengan menggunakan pensil untuk tiap-tiap
daerah (BM, WM dan HAZ) yang akan diamati.
3. Ditentukan beban indentor yang akan digunakan berdasarkan jenis
dan diameter indentor.
4. Atur handle Hardness Test Machine pada posisi Brinells.
5. Letakkan bola baja pada tempat indentasinya.
6. Letakkan indentor bola baja pada tempatnya di Hardness Test
Machine dengan menggunakan obeng.
7. Letakkan pen sesuai dengan beban indentasi yang telah ditentukan
berdasarkan jenis dan diameter indentor.
8. Letakkan specimen dan atur dengan tepat pada titik penetrasi yang
telah ditentukan.
9. Geser handle beban dengan tangan kanan pada posisi siap untuk
penetrasi.
10. Putar hand whell dengan tangan kiri sehingga permukaan
specimen tepat menyentuh ujung indentor.
11. Setelah 15 detik tarik handle beban dan kunci pada tempatnya.

12. Nyalakan lampu dan atur posisi specimen serta focus lensa
sehingga bekas indentasi tampak pada layar.
13. Ukur diameter indentasi dan catat pada worksheet yang ada.
14. Dilakukan prosedur no.8 sampai dengan no.13 untuk masing-
masing titik yang telah ditentukan.
b. Metode Vickers
1. Persiapan material uji yang meliputi :
a. Material uji dihaluskan permukaannya yang akan diamati
dengan menggunakan Polishing Machine dengan grid 400.
b. Apabila material uji dirasa belum halus dapat dihaluskan
kembali dengan menggunakan grid 600 dengan arah yang
berbeda 900 dari arah semula.
c. Material uji di gosok dengan bubuk alumina menggunakan kain
wool
d. Material uji di-Etching (dietsa) dengan menggunakan larutan
nital 2% yaitu dengan menggunkan larutan HNO3 2ml + Alkohol
98ml.
e. Material uji di bilas dengan air kemudian dikeringkan dengan
menggunakan dryer.
2. Dibuat beberapa titik dengan menggunakan pensil untuk tiap-tiap
daerah (BM, WM dan HAZ) yang akan diamati.
3. Ditentukan beban indentor yang akan digunakan berdasarkan jenis
dan diameter indentor.
4. Atur handle Hardness Test Machine pada posisi Vickers.
5. Letakkan Pyramid intan pada tempat indentasinya.
6. Letakkan indentor pyramid intan pada tempatnya di Hardness Test
Machine dengan menggunakan obeng.
7. Letakkan pen sesuai dengan beban indentasi yang telah ditentukan
berdasarkan jenis dan diameter indentor.
8. Letakkan specimen dan atur dengan tepat pada titik penetrasi yang
telah ditentukan.
9. Geser handle beban dengan tangan kanan pada posisi siap untuk
penetrasi.
10. Putar hand whell dengan tangan kiri sehingga permukaan
specimen tepat menyentuh ujung indentor.
11. Setelah 20 detik tarik handle beban dan kunci pada tempatnya.
12. Nyalakan lampu dan atur posisi specimen serta focus lensa
sehingga bekas indentasi tampak pada layar.
13. Ukur diameter indentasi dan catat pada worksheet yang ada.
14. Dilakukan prosedur no.8 sampai dengan no.13 untuk masing-
masing titik yang telah ditentukan.
1.4 Analisa Data
1.4.1 Data yang Diperoleh

UJI KEKERASAN / HARDNESS TEST


Metode dan Hasil Pengujian
Brinells Vickers
Beban (P) : 187,5 kgf Beban (P) : 10 kgf
Indentor : Bola Baja Indentor : Piramid Intan
No.
Waktu : + 15 detik Waktu : + 15 detik
Ø Bola : 2,5 mm
BM HAZ WM BM HAZ WM
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)

1. 1,263 1,233 1,093

2. 1,25 1,143

3. 1,206 1,169

Dimana :
a. BM : Base Metal
b. HAZ : Heat Affective Zone
c. WM : Weld Metal

1.4.2 Analisa data


a. Brinells
D2 d2 D2-d2
No BM HAZ WM BM HAZ WM
(mm2) (mm2) (mm2) (mm2) (mm2) (mm2) (mm2)
1 6.250 1,595 1,520 1.195 4,655 4,730 5,055
2 6.250 1,563 1.306 4,687 4,890
3 6.250 1.454 1.366 4,796 4,884
(D2-d2)1/2 D-(D2-d2)1/2
BM HAZ WM BM HAZ WM
(mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)
2,157 2,175 2,248 0,343 0,325 0,252
2,165 2,211 0,335 0,289
2,189 2,209 0,311 0,291

A. Base Metal (BM)


1 1
1. HB = 2P/ πD {D – (D2 – d2) 2 } 2. HB = 2P/ πD {D – (D2 – d2) 2 }

2 x187,5kgf 2 x187,5kgf
= =
3,14 x 2,5 x0,343mm 2 3,14 x 2,5 x0,335mm 2
375kgf 375kgf
= =
2,693mm 2 2,629mm 2
= 139,35 kgf/mm2 = 142,49 kgf/mm2
1
3. HB = 2P/ πD {D – (D2 – d2) 2 }

2 x187,5kgf
=
3,14 x 2,5 x0.311mm 2
375kgf
=
2,441mm 2
= 154,04 kgf/mm2
Rata-rata HB pada Weld Metal (WM) = HB tot / 3
435kgf / mm 2
=
3
= 145,29 kgf/mm2
Jadi Nilai Kekerasan : 145,29 HB 2,5/187,5 – 15
B. Weld Metal (WM)
1 1
1. HB = 2P/ πD {D – (D2 – d2) 2 } 2. HB = 2P/ πD {D – (D2 – d2) 2 }

2 x187,5kgf 2 x187,5kgf
= =
3,14 x 2,5 x0,252mm 2 3,14 x 2,5 x0.289mm 2
375kgf 375kgf
= =
1,978mm 2 2,268mm 2
= 189,87 kgf/mm2 = 172,71 kgf/mm2

1
3. HB = 2P/ πD {D – (D2 – d2) 2 }

2 x187,5kgf
=
3,14 x 2,5 x0.291mm 2
375kgf
=
2,284mm 2
= 164,64 kgf/mm2

Rata-Rata HB pada Base Metal (BM ) = HB tot / 3


527,22kgf / mm 2
=
3
= 175,74 kgf/mm2
Jadi Nilai Kekerasan : 175,74 HB 2,5/187,5 – 15

C. Heat Affected Zone (HAZ)


1
HB = 2P/ πD {D – (D2 – d2) 2 }

2 x187,5kgf
=
3,14 xx 2,5 x0,325mm 2
375kgf
=
2,551mm 2
= 146,89 kgf/mm2

Jadi Nilai Kekerasan : 146,89 HB 2,5/187,5 – 15


1.5 Pembahasan
Pada hasil analisa data yang telah diperoleh berdasarkan data yang telah
diperoleh dari percobaan yang telah dilakukan didapatkan bahwa pada Hardness
Test dengan menggunakan metode Brinnels diperoleh bahwa nilai kekerasan
didaerah HAZ dan WM lebih besar daripada nilai kekerasan di daerah BM.. Hal
tersebut dikarenakan pada saat dilakukannya proses pengelasan terjadi perubahan
struktur pada material uji tersebut yang mana setelah pengelasan tersebut selesai
dilakukan banyak terdapat struktur Martensit pada material uji tersebut dan apabila
pada Hardness Test tersebut didapatkan nilai kekerasan di daerah BM yang lebih
besar dari pada nilai kekerasan pada daerah WM maupun HAZ maka material uji
tersebut dinyatakan tidak lulus uji kekerasan.

Anda mungkin juga menyukai