Anda di halaman 1dari 26

Martin Suryajaya

Anggota Komunitas Marx

Teori nilai adalah pokok kunci dalam sejarah panjang perdebatan ekonomi-
politik Marxian. Persoalan ini sudah diperdebatkan bahkan sejak terbitnya
buku Kapital jilid I oleh kritikus seperti Adolph Wagner. Terbitnya Kapital jilid III
juga memicu perdebatan lebih lanjut tentang teori nilai Marx yang diawali
dengan kritik Eugen von Böhm-Bawek. Perdebatan tentangnya mewarnai
sejarah perkembangan ekonomi Marxian abad ke-20 dengan deretan
kontributor ternama seperti Rudolf Hilferding, Isaak Illich Rubin, Maurice Dobb,
Paul Sweezy dan sebagainya. Perdebatan ini berjalan nyaris tanpa putus sampai
hari ini—tepatnya, satu setengah abad sejak Kapital terbit—dengan para
ekonom Marxis di awal abad ke-21 seperti, antara lain, Guglielmo Carchedi,
Duncan Foley, Gerard Duménil, Andrew Kliman dan Simon Mohun. Kendati
konsep nilai itu sendiri tidak secara langsung menjelaskan konjungtur aktual
kapitalisme, namun konsep tersebut menjadi ‘fondasi’ teoretik dari totalitas
kajian ekonomi-politik Marx.[1] Di bawah ini, kita akan mengkaji posisi Marx
berkenaan dengan teori nilai-kerja, mulai dari asumsi dasar yang digunakan
Marx hingga pembuktiannya atas aktualitas teori tersebut.

Kondisi Hipotetik Analisis: Komoditas Dijual Sesuai dengan Nilainya

Kita mulai dari persoalan metodologis. Untuk menjelaskan teori Marx tentang
nilai, kita akan mulai dari makalahnya di tahun 1865, Value, Price and
Profit (dalam edisi Moskow: Wages, Price and Profit). Kita akan berfokus pada
hubungan antara nilai dan harga. Dalam teks itu dikatakan bahwa pada
dasarnya, harga “tidak lain ketimbang ekspresi moneter dari nilai.”[2] Bagi
Marx, ekspresi atau bentuk penampakan (Erscheinungsform) dari sesuatu tidak
identik dengan sesuatu itu sendiri. Marx, sebagaimana Smith dan Ricardo,
mengakui perbedaan antara nilai dan harga. Nilai sebuah komoditas adalah
jumlah waktu kerja sosial yang dicurahkan untuk memproduksinya. Sementara
harganya (atau ‘harga pasar/aktual’ dalam kosakata Klasik) adalah proporsi
permintaan dan penawaran terhadap komoditas terkait.
Kemudian Marx juga sepakat dengan Smith yang mengatakan bahwa ‘harga
alamiah’ suatu komoditas (‘nilai’ dalam kosakata Marx, kendati minus sewa dan
laba) adalah pusat gravitasi bagi fluktuasi harga pasar. Marx sendiri mengakui
adanya fluktuasi harga yang disebabkan oleh disproporsi antara penawaran dan
permintaan komoditas. Namun fluktuasi yang terjadi sehari-hari ini sejatinya
menyembunyikan struktur dasar yang melandasinya. Dengan berpijak pada
penelitian Samuel Tooke dalam bukunya, History of Prices, Marx menunjukkan
bahwa harga pasar nyatanya hanyalah harga pada jangka pendek, sementara
dalam jangka panjang harga pasar cenderung mengalami ekuilibrasi
(penghapusan disproporsi supply-demand) sehingga berkisar di sekitar
nilainya.[3] Argumen Marx kemudian adalah apabila kita menggunakan asumsi
jangka panjang yang lebih struktural itu, maka penjelasan tentang laba yang
berbasis pada argumen tentang penjualan komoditas di atas nilainya mesti
ditolak. Argumen bahwa laba diperoleh karena pedagang menjual komoditas di
atas nilainya ini ditolak karena argumen itu bergantung pada persoalan tipu-
menipu—persoalan etis yang serba relatif dan kontinjen. Kita tidak bisa
menggunakan sesuatu yang relatif untuk mengukur yang relatif.

Berdasarkan pertimbangan itulah Marx kemudian menyatakan bahwa asumsi


bahwa komoditas dijual sesuai dengan nilainya mesti kita pegang untuk
menemukan hukum dasar tentang relasi antara nilai dan harga. Marx menulis:

UNTUK MENJELASKAN HAKIKAT UMUM


LABA, KAU HARUS BERANGKAT DARI
TEOREMA BAHWA, PADA TINGKAT
RATA-RATA, KOMODITAS-
KOMODITAS DIJUAL PADA NILAI
ASLINYA DAN BAHWA LABA
DITURUNKAN DARI PENJUALAN
KOMODITAS-KOMODITAS ITU PADA
NILAINYA, YAKNI DALAM PROPORSI
TERHADAP JUMLAH KERJA YANG
TEREALISASI DI DALAMNYA. JIKA KAU
TIDAK DAPAT MENJELASKAN LABA
DENGAN PENGANDAIAN INI, MAKA KAU
TIDAK AKAN BISA MENJELASKANNYA
SAMA SEKALI. INI NAMPAK SEPERTI
PARADOKS DAN BERLAWANAN
DENGAN PENGAMATAN SEHARI-HARI.
ADALAH JUGA PARADOKS BAHWA
BUMI BERPUTAR MENGELILINGI
MATAHARI DAN BAHWA AIR
MENGANDUNG DUA GAS YANG MUDAH
TERBAKAR [HIDROGEN DAN OKSIGEN].
KEBENARAN ILMIAH SELALU
MERUPAKAN PARADOKS APABILA
DILIHAT DARI KERANGKA
PENGALAMAN SEHARI-HARI YANG
HANYA MENANGKAP PENAMPAKAN
SEMU BENDA-BENDA.[4]
Sejalan dengan pengertian ini, Marx menyatakan asumsi dasar yang akan ia
gunakan dalam Kapital jilid I:

JIKA HARGA SECARA AKTUAL


BERBEDA DARI NILAI, KITA MESTI
PERTAMA-TAMA MEREDUKSI HARGA
PADA NILAI, DENGAN KATA LAIN,
MENANGANI PERBEDAAN ITU SEBAGAI
SESUATU YANG AKSIDENTAL AGAR
FENOMENANYA DAPAT DIAMATI DALAM
KEMURNIANNYA, DAN PENGAMATAN
KITA TIDAK DIHAMBAT OLEH
GANGGUAN YANG TAK ADA
HUBUNGANNYA DENGAN PROSES
YANG SEDANG DIKAJI.[5]
Ia akan berpegang pada asumsi ini dalam Kapital jilid I dan II. Asumsi itu baru
akan ditinggalkan di Kapital jilid III ketika Marx mau menganalisis situasi aktual
dengan melibatkan faktor penawaran dan permintaan ke dalam analisisnya. Ini
akan kita lihat nanti ketika membicarakan ‘problem transformasi’.

Apa fungsi asumsi ‘Hukum Nilai’ ini? Pertama, di sana secara tersirat ada upaya
Marx untuk menyelam ke balik dunia fenomena (dunia fluktuasi harga pasar
yang berubah-ubah setiap detik) untuk menemukan hukum dasar yang
mengatur fenomena itu. Hukum dasar ini menyatakan syarat minimal bagi
keberadaan tata ekonomi kapitalis, yakni bahwa komoditas dijual sesuai dengan
nilainya. Kedua, melalui titik tolak ‘Hukum Nilai’ Marx akan leluasa membaca
dan mengkritik modus produksi kapitalis tanpa menjatuhkan putusan-putusan
moral atasnya. Dengan memulai analisisnya dengan asumsi bahwa komoditas
dijual sesuai nilainya, Marx mengecualikan semua perkara yang timbul
berkenaan dengan problem moralitas seperti ketamakan (menjual di atas nilai
komoditas) dan kekejian (buruh tidak dibayar sesuai hasil yang diproduksinya).
Ketiga, berangkat dari asumsi tersebut Marx dapat menjalankan kritik imanen
atas ekonomi-politik—kritik dari titik pijak ekonomi borjuis itu sendiri—dan
dengan itu membuktikan kontradiksi sistem berdasarkan kriteria yang internal
terhadap sistem. Di balik ketiga fungsi ini, terdapat sebuah pengertian
mendasar tentang apa yang dimengerti sebagai ekonomi dalam totalitasnya.

Materialisme Historis dalam Ekonomi: Produksi Mengkondisikan


Sirkulasi

Dari cara Marx memilih pendekatan teori nilai-kerja (ketimbang teori nilai-
utilitas kaum merkantilis dan Say) dan memilih asumsi ‘Hukum Nilai’ sebagai
prakondisi analisis dasar, kita dapat melihat bahwa Marx sedang mengajukan
sebuah posisi pijak dasar dalam memandang totalitas ekonomi-politik. Posisi
pijak dasar itu adalah produksi. Dalam ekonomi-politik dikenal adanya
pembagian momen dari totalitas realitas ekonomi ke dalam empat momen
besar: produksi, distribusi, sirkulasi dan konsumsi. Momen produksi mencakup
keseluruhan proses pembuatan barang-barang, momen distribusi berkenaan
dengan pembagian pendapatan (atau alokasi barang hasil produksi) dalam
kelas-kelas sosial, sirkulasi merupakan momen pertukaran riil barang-barang
dan, terakhir, momen konsumsi memuat proses subjektif pemakaian barang-
barang hasil produksi tersebut. Kekhasan ekonomi-politik Klasik terletak dalam
pandangannya tentang hierarki prioritas di antara keempat momen itu:
produksi menentukan distribusi menentukan sirkulasi menentukan konsumsi.
Pandangan ini sepenuhnya berkebalikan dengan ekonomi Neoklasik yang
berangkat dari konsumsi dan sirkulasi untuk menjelaskan produksi dan
distribusi.
Berdasarkan posisi pijak Klasik, oleh karena produksi adalah jantung ekonomi,
maka analisis selalu dimulai dengan analisis pembagian kerja dan analisis kelas.
Ini terlihat jelas dalam Smith yang mengawali Wealth of Nations dengan teori
pembagian kerja dan distribusi pendapatan ke dalam tiga kelas (pekerja, tuan
tanah, kapitalis). Akibatnya, pada aras metodologisnya, ekonomi-politik Klasik
selalu berangkat dengan holisme metodologis. Keseluruhan (totalitas)
menjelaskan bagian-bagian: adanya pembagian kerja dan stratifikasi kelas
menjelaskan individu, baik itu personal maupun badan usaha individual. Dengan
kata lain, supply menentukan demand. Berkebalikan dengan itu, oleh karena
ekonomi Neoklasik berangkat dengan proses sirkulasi dan konsumsi, maka
analisis selalu dimulai dengan perilaku individu dan preferensinya. William
Stanley Jevons, salah seorang pendiri ekonomi Neoklasik, pernah menyatakan
bahwa “teori ekonomi mesti diawali dengan teori yang benar tentang
konsumsi.”[6] Oleh karenanya, ekonomi Neoklasik selalu menganut
individualisme metodologis. Bagian-bagian menjelaskan keseluruhan: analisis
tentang individu dan hasratnya menjadi microfoundation untuk menjelaskan
realitas ekonomi dalam totalitasnya. Dengan kata
lain, demand menentukan supply.

Di manakah posisi Marx? Menurut tafsiran tradisional (Paul Sweezy, Maurice


Dobb, Ronald Meek), Marx berada pada jajaran ekonomi-politik Klasik. Meek,
misalnya, mencatat bahwa dalam labour theory of value itu sendiri sudah
terdapat materialisme historis secara implisit.[7] Mengatakan bahwa cara
masyarakat berproduksi mengkondisikan cara masyarakat itu berpikir adalah
sama dengan mengatakan bahwa cara masyarakat berproduksi mengkondisikan
cara masyarakat itu bertukar dan mengkonsumsi. Dalam Poverty of Philosophy,
Marx menyatakan hal ini:

PADA PRINSIPNYA, TIDAK ADA


PERTUKARAN PRODUK-PRODUK—
YANG ADA IALAH PERTUKARAN KERJA
YANG BERKOOPERASI DALAM
PRODUKSI. MODUS PERTUKARAN
PRODUK BERGANTUNG PADA MODUS
PERTUKARAN TENAGA PRODUKTIF.
SECARA UMUM, BENTUK PERTUKARAN
PRODUK BERKORESPONDENSI
DENGAN BENTUK PRODUKSI. UBAHLAH
BENTUK PRODUKSINYA DAN BENTUK
PERTUKARAN AKAN BERUBAH
SEBAGAI AKIBATNYA. MAKA DALAM
SEJARAH MASYARAKAT KITA MELIHAT
BAHWA MODUS PERTUKARAN PRODUK
DIREGULASI OLEH MODUS
PRODUKSINYA. PERTUKARAN
INDIVIDUAL BERKORESPONDENSI
JUGA TERHADAP MODUS PRODUKSI
YANG TERTENTU YANG PADA DIRINYA
BERKORESPONDENSI DENGAN
ANTAGONISME KELAS. KARENANYA,
TIDAK ADA PERTUKARAN INDIVIDUAL
TANPA ANTAGONISME KELAS.[8]
Sentralitas produksi ini juga mengemuka dalam naskah draf
pengantar Kapital yang kemudian diterbitkan dalam Grundrisse:

ADALAH SUATU OPINI YANG DITERIMA


ORANG BANYAK BAHWA PADA
PERIODE TERTENTU ORANG HIDUP
DARI PENJARAHAN SEMATA. NAMUN,
AGAR PENJARAHAN DIMUNGKINKAN,
DIPERLUKAN ADANYA SESUATU
UNTUK DIJARAH—DAN KARENANYA
PRODUKSI. DAN MODUS PENJARAHAN
ITU SENDIRI PADA GILIRANNYA
DITENTUKAN OLEH MODUS
PRODUKSI.[9]
Tidak ada sirkulasi kalau tidak ada sesuatu yang mau disirkulasikan. Dan
sesuatu itu dihasilkan dari aras produksi. Oleh karena itu, kondisi-kondisi
produksi lah yang membentuk ruang gerak bagi kemungkinan sekaligus
keterbatasan sirkulasi. Dalam draf yang sama Marx juga menyatakan bahwa
produksi adalah “titik berangkat yang sesungguhnya” dari realitas ekonomi
sementara konsumsi adalah “titik berangkat bagi realisasi”-nya.[10] Dengan itu
terlihat bahwa nilai muncul dari aras produksi dan tidak tiba-tiba saja ada di
momen sirkulasi atau dikreasikan dalam imajinasi konsumen. Kendati
begitu, realisasi nilai memang ikut ditentukan oleh sirkulasi dan konsumsi.
Kesimpulannya, Marx memahami keempat momen ekonomi itu (produksi,
distribusi, sirkulasi, konsumsi) sebagai sebuah kesatuan yang terpimpin oleh
produksi.[11]
Distingsi Nilai dalam Kapital Bab I [12]

Sesudah memahami kerangka metodologis Marx, kini kita akan mulai


membiasakan diri dengan kategori-kategori dasar yang dipakai Marx berkenaan
dengan nilai. Das Kapital jilid I dibuka Marx dengan kategori ‘komoditas’.
Kesejahteraan dalam modus produksi kapitalis mengemuka sebagai timbunan
komoditas. Analisis ekonomi Marx berangkat dari pembedahan atas
penampakan ini. Marx membedah komoditas untuk menemukan elemen
dasarnya. Elemen yang pertama adalah nilai-pakai (use-value), yaitu kegunaan
komoditas yang dikondisikan oleh karakter materialnya. Air bersih memiliki
nilai-pakai karena ia dapat mencukupi kebutuhan untuk minum, kayu bakar
memiliki nilai-pakai karena ia dapat mencukup kebutuhan untuk
menghangatkan badan, dan seterusnya. Elemen yang kedua adalah nilai-
tukar (exchange-value), yakni nilai sebuah komoditas dalam relasi
pertukarannya dengan komoditas lain. Sekarung beras memiliki nilai-tukar yang
setara dengan lima karton rokok, misalnya. Marx bertanya: apa arti persamaan
ini? Menyatakan bahwa A = B berarti menyatakan A = C dan B = C. Artinya,
mesti ada ‘elemen bersama’ (common element) yang menjadi basis untuk
menyatakan kesamaan di antara keduanya.[13] Elemen bersama itu—inilah
elemen ketiga komoditas—adalah nilai (value): sekarung beras dan lima karton
rokok memiliki nilai yang sama. Apabila nilai-pakai ditentukan oleh karakter
fisik komoditas, bagaimana nilai ditentukan?

Sekarung beras dan lima karton rokok sama-sama merupakan pencurahan


sejumlah kerja tertentu. Kerja inilah yang membuat kedua barang itu dapat
diperbandingkan: sementara, misalnya, produksi yang satu memakan waktu x
jam kerja, produksi yang lain memakan waktu y jam kerja. Dengan kata lain,
kerja menentukan nilai sebuah komoditas. Inilah posisi dasar teori nilai-kerja
(labour theory of value) yang direkonstruksi Marx dari ekonomi Klasik.
Kemudian Marx menunjukkan adanya dua jenis kerja yang mesti dibedakan.
Yang pertama adalah kerja yang menciptakan nilai-pakai—ini disebut kerja
konkrit (concrete labour). Kerja konkrit yang satu berbeda secara kualitatif dari
kerja konkrit yang lain. Kerja memancing ikan berbeda dari kerja menyamak
kulit karena keduanya menghasilkan kegunaan yang berbeda. Yang kedua
adalah kerja yang menciptakan nilai—inilah yang disebut kerja abstrak (abstract
labour). Berbagai macam kerja yang tergolong dalam kategori ini tidak berbeda
secara kualitatif satu sama lain, melainkan hanya berbeda secara kuantitatif.
Diabstraksikan dari kegunaan yang dihasilkannya, kerja memancing ikan dan
kerja menyamak kulit hanyalah berbeda dari segi waktu kerja yang dicurahkan.

Nilai-tukar adalah ‘bentuk tampilan’ (form of appearance) dari nilai. Proses


tampilnya nilai-tukar inilah yang dianalisis Marx dalam seksi ‘bentuk-nilai’
(value-form). Dalam bentuknya yang sederhana atau elementer, relasi nilai
dapat diungkapkan dalam persamaan sederhana seperti berikut ini:

2 meter linen = 1 mantel,


atau diformalkan sebagai:
x komoditas A = y komoditas B
Marx kemudian menganalisis masing-masing ruas dari persamaan itu. Ruas
sebelah kiri disebut sebagai bentuk relatif nilai karena nilai komoditas yang
bersangkutan ditentukan oleh relasinya dengan nilai-pakai komoditas yang lain.
Sementara ruas sebelah kanan disebut sebagai bentuk ekuivalen nilai karena
melaluinyalah nilai suatu komoditas lain (pada ruas sebelah kiri) mendapatkan
kesepadanannya. Dalam ungkapan Marx: “Linen mengekspresikan nilainya
dalam mantel; mantel berperan sebagai materi yang melaluinya nilai tersebut
diekspresikan.”[14] Apakah di sini Marx berbicara tentang penentuan nilai
berdasarkan relasi dengan nilai-pakai komoditas lain? Tidak. Apa yang
dibicarakan Marx di sini ialah penentuan nilai-tukar berdasarkan relasi
antara nilai sebuah komoditas dengan nilai-pakai komoditas lain.[15] (Di sinilah
letak pentingnya distingsi yang jelas antara konsep nilai dan nilai-tukar.) Nilai-
tukar, berdasarkan pengertian ini, adalah proporsi antara nilai sebuah
komoditas yang diperbandingkan dengan nilai-pakai komoditas lain. Ini dapat
kita gambarkan melalui diagram berikut.
Nilai-tukar linen terhadap mantel mengemuka ketika sejumlah jam kerja untuk
memproduksi linen diekspresikan dalam kuantitas tertentu mantel. Artinya,
nilai-tukar identik dengan ongkos produksi sebuah barang yang dibahasakan
dalam sejumlah barang lain. Nilai-tukar adalah ekspresi nilai suatu komoditas
(bentuk relatif) dalam nilai-pakai komoditas lain (bentuk ekuivalen). Dalam arti
inilah nilai-tukar disebut sebagai ‘bentuk tampilan’ dari nilai.

Dari penjelasan di muka kita saksikan bagaimana Marx mampu


mengargumentasikan kemungkinan bagi pertukaran dari titik pijak produksi
semata—dengan kata lain, tanpa bertumpu pada argumen tentang permintaan
dan penawaran pasar. Apa yang belum nampak bagi kita adalah asal-usul laba.
Apabila, konsisten dengan asumsi Marx, komoditas dipertukarkan sesuai
dengan nilainya sehingga pertukaran tidak menghasilkan laba lalu dari mana
asal-usul laba? Untuk menjawab ini kita mesti mempelajari analisis Marx
tentang kerja.

Asal-Usul Nilai-Lebih
Ada dua komponen utama dalam proses produksi, yakni bahan dasar (termasuk
sarana produksi) dan tenaga kerja.[16] Kapitalis membeli keduanya untuk
memproduksi komoditas. Sekarang andaikan bahwa sang kapitalis membelinya
pada tingkat harga ekuilibrium dan menjual hasilnya juga pada tingkat harga
ekuilibrium. Kalau dari penjualan ini sang kapitalis memperoleh laba, maka kita
pantas bertanya: dari mana asal mula laba ini? Tidak mungkin dari bahan dasar
dan alat produksi sejauh keduanya bukan merupakan benda gaib yang secara
misterius menelurkan nilai. Nilai keduanya (dipotong penyusutan) hanya akan
ditransfer menjadi nilai output komoditas. Kalau begitu, apakah laba itu muncul
dari ranah sirkulasi (misalnya, karena kecerdasan sang kapitalis dalam mencari
peluang pasar)? Kalau laba sepenuhnya dihasilkan dalam sirkulasi, maka setiap
kapitalis bisa saja menjual komoditasnya dengan harga setinggi mungkin
sehingga akibatnya tak ada seorang kapitalis pun yang mampu membeli bahan
dasar yang ia perlukan sendiri. Maka satu-satunya kemungkinan adalah tenaga
kerja.

Pertanyaannya: apabila kerja adalah sumber nilai, berapakah nilai dari sumber
nilai ini? Melampaui ekonom-politik Klasik, Marx membuat distingsi penting
antara kerja dan tenaga kerja. Dalam modus produksi kapitalis, pekerja tidak
menjual kerjanya pada sang pemodal. Artinya, si pekerja tidak menjual
keseluruhan hidupnya seperti seorang budak. Apa yang dibeli oleh kapitalis
adalah ‘kapasitas kerja’-nya (Arbeitsvermörgen) atau ‘tenaga kerja’-nya
(Arbeitskraft).[17] Yang dijual oleh pekerja adalah kemampuannya untuk
bekerja selama jangka waktu tertentu. Di sini Marx menunjukkan letak kunci
permasalahannya: adanya diskrepansi antara nilai-pakai tenaga kerja dan
nilainya.[18] Nilai-pakai tenaga kerja adalah sejumlah nilai produk yang dapat
dihasilkannya. Sementara nilai tenaga kerja adalah sejumlah nilai yang
proporsional terhadap syarat-syarat produksinya (seperti bahan pokok dan
pelatihan) dan dibayarkan sebagai upah. Andaikan hasil kerja dan upah pekerja
diekspresikan dalam satu komoditas yang sama, misalnya jagung. Apabila nilai-
pakai dan nilai tenaga kerja diekspresikan dalam sejumlah jagung, maka kita
bisa segera melihat selisih jumlah dari keduanya. Dalam sehari seorang pekerja
dapat menghasilkan komoditas yang setara dengan 20 jagung. Sementara
dalam sehari juga si pekerja hanya membutuhkan komoditas senilai 10 jagung
untuk mereproduksi tenaga kerjanya. Oleh karena 10 jagung itu sudah
memenuhi syarat produksi dari adanya tenaga kerja dalam satu hari, maka
upahnya adalah 10 jagung. Dengan kata lain, nilai tenaga kerja adalah 10
jagung. Di sini kita dapat lihat selisih nilai-pakai tenaga kerja dari nilainya,
yakni selisih 10 jagung yang diperoleh dari pengurangan 10 jagung yang
diperlukan untuk hidupnya sehari terhadap 20 jagung yang dihasilkannya per
hari. Selisih 10 jagung itulah laba yang masuk ke gudang kapitalis. Itulah nilai-
lebih.

Derivasi Nilai ke dalam Kapital dan Laba [19]

Setelah mengerti sumber nilai-lebih pada jantung produksi, kini kita akan
mempelajari bagaimana nilai sejatinya menstruktur totalitas ekonomi kapitalis,
bagaimana kategori nilai menjelaskan keseluruhan kategori yang bermain
dalam kapitalisme. Kita akan mengikuti rekonstruksi Paul Sweezy dalam The
Theory of Capitalist Development (1942). Dalam sistem produksi komoditas
yang sederhana (simple commodity production), surplus komoditas yang tidak
berguna bagi pemiliknya dijual agar dapat membeli komoditas yang berguna.
Ini dapat digambarkan dengan kumparan Ka – U – Kb (komoditas a dijual dan
uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli komoditas b). Masing-
masing ujung dari kumparan ini berbeda secara kualitatif. Dalam modus
produksi kapitalis, yang terjadi tidak demikian. Uang digunakan untuk membeli
komoditas tertentu yang dapat menghasilkan uang lebih banyak. Ini
digambarkan dengan kumparan U – K – U’. Berbeda dengan kumparan
pertama, masing-masing ujung dari kumparan ini hanya berbeda secara
kuantitatif. Dalam modus produksi kapitalis, kumparan ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
Artinya, kapitalis membelanjakan uangnya untuk membeli sarana produksi (SP)
termasuk bahan baku dan tenaga kerja (TK) untuk menghasilkan komoditas
yang dapat dijual dan merealisasikan laba. Proses peningkatan uang inilah
(kumparan U – K – U’) yang disebut Marx sebagai formula umum kapital. U’
adalah kapital yang dapat digunakan untuk memperbaharui proses ini dan
selisih uang pada akhir proses ini, yakni U’ – U atau ΔU, adalah nilai-lebihnya.

Berdasarkan pengertian tentang kumparan kapital ini, kita dapat memecah


kapital ke dalam dua komponen, yakni kapital konstan (constant capital) atau
kapital dalam rupa sarana produksi dan kapital variabel (variable capital) atau
kapital dalam wujud tenaga kerja (upah). Nilai-lebih, seperti sudah kita lihat,
mengemuka lewat kapital variabel. Ketiganya—kapital konstan, kapital variabel
dan nilai-lebih—mengkonstitusikan nilai total dari komoditas yang diproduksi.
Marx merumuskan nilai total sebuah komoditas dalam formula sederhana ini:

k+v+s=t

Marx untuk menghitung nilai komoditas apapun. Sweezy menyatakan bahwa


formula ini dapat digunakan untuk menghitung pendapatan nasional. Apabila
huruf kapital K dan V masing-masing menandai agregat kapital konstan dan
agregat kapital variabel, maka apa yang dimaksud dengan ‘pendapatan nasional
bruto’ (gross national income)—atau nilai total komoditas yang dihasilkan oleh
warga negara dalam jangka waktu tertentu—sebenarnya dapat dirumuskan
sebagai V + S + nilai susut dari K. Sementara ‘pendapatan nasional neto’ (net
national income)—atau jumlah pendapatan seluruh warga negara—sebenarnya
bisa dirumuskan sebagai V + S.[20]

Rumusan dasar di muka dapat diderivasikan ke dalam beberapa rumusan lain.


Yang pertama adalah rumus ‘tingkat nilai-lebih’ (rate of surplus value). Yang
dimaksud dengan tingkat nilai-lebih adalah rasio atau proporsi antara nilai-lebih
dan kapital variabel yang memproduksi nilai-lebih tersebut. Kalau tingkat nilai-
lebih dinotasikan dengan s’, maka rumusannya adalah sebagai berikut.
Tingkat nilai-lebih ini adalah nama lain dari ‘tingkat eksploitasi’ (rate of
exploitation). Alasannya karena tingkat ini juga menggambarkan proporsi
pengambilan nilai-lebih yang diproduksi oleh pekerja. Contohnya, apabila nilai
tenaga kerja (upahnya) adalah setara dengan nilai enam jam kerja dan nilai-
lebih yang dihasilkannya setara dengan dua belas jam kerja maka tingkat
eksploitasinya (12 / 6 x 100%) adalah 200%.

Rumusan derivat kedua adalah apa yang disebut Marx sebagai ‘komposisi
organik kapital’ (organic composition of capital). Yang hendak dinyatakan
dengan ini adalah proporsi antara kapital konstan terhadap total kapital. Apabila
komposisi organik ini kita notasikan dengan o, maka rumusnya demikian.

Rumusan ini merefleksikan tingkat penggunaan teknologi (permesinan) dalam


proses produksi. Sejauh kapital konstan adalah hasil terdahulu dari kapital
variabel (mesin merupakan hasil dari tenaga kerja terdahulu), maka kapital
konstan ini disebut Marx sebagai ‘kerja yang mati’ (dead labour) berkebalikan
dengan kapital variabel yang disebut sebagai ‘kerja yang hidup’ (living labour).
Komposisi organik kapital, karenanya, memotret tingkat dominasi kerja mati
terhadap keseluruhan proses produksi.

Rumusan ketiga adalah ‘tingkat laba’ (rate of profit) yang menunjukkan


proporsi antara nilai-lebih dan keseluruhan kapital yang dilibatkan dalam proses
produksi. Kalau tingkat laba ini kita notasikan dengan L, maka kita mendapat
rumus berikut.
Dalam rumus ini kita menyaksikan bahwa apa yang dimaksud dengan laba, dari
perspektif produksi, tidak lain adalah ΔU atau selisih antara U’ dan U dalam
kumparan kapital di muka. ΔU atau laba ini tidak dilihat dari perspektif
pertukaran (K – U – K), melainkan dari perspektif produksi (U – K {SP + TK} –
U’). Tingkat laba, karenanya, mengekspresikan proporsi antara ΔU terhadap SP
dan TK.

Berdasarkan rumusan-rumusan yang diderivasikan dari persamaan k + v + s =


t, kita dapat membangun persamaan tentang tingkat laba (L) sebagai fungsi
dari tingkat nilai-lebih (s’) dan komposisi organik kapital (o). Persamaan itu
adalah:

L = s’ (1 – o)

Berdasarkan rumus ini kita dapat melihat bahwa, dengan mengandaikan tingkat
nilai-lebih (s’) tetap, kenaikan komposisi organik kapital (o) meniscayakan
turunnya tingkat laba (L).[21] Inilah yang dikenal sebagai ‘hukum tentang
kejatuhan tendensial tingkat laba’ (falling rate of profit). Melalui rumusan di
muka terlihat bahwa hukum tersebut bertumpu pada dua asumsi: 1) ada
tendensi historis dalam kapitalisme yang mendorong kenaikan komposisi
organik kapital (kenaikan kapital konstan di atas kapital variabel); 2) tingkat
nilai-lebih diandaikan tetap (sebab bila ada kenaikan tingkat nilai-lebih hal ini
dapat mengkompensasi kenaikan komposisi organik kapital sehingga membuat
tingkat laba tidak jatuh). Melalui hukum ini ditunjukkan bahwa ada kontradiksi
internal dalam kapitalisme yang tak terpecahkan oleh modus produksi itu.

Akan tetapi selain bertumpu pada asumsi aktual-historis di muka, hukum


kejatuhan tendensial tingkat laba ini juga bertumpu secara mendasar pada
asumsi yang sifatnya teoretis—sebuah asumsi yang tidak boleh berhenti
sebagai asumsi melainkan mesti dibuktikan secara teoretis. Asumsi tersebut
adalah Hukum Nilai atau pengertian bahwa nilai komoditas yang dikonstitusikan
oleh jumlah tenaga-kerja merupakan pusat gravitasi dari harga-harga yang
aktual. Dengan kata lain, Marx mesti membuktikan bahwa harga pada
hakikatnya adalah nilai dan karenanya ikut ditentukan juga oleh jumlah tenaga-
kerja. Pembuktian atas hakikat kontradiktif dari kapitalisme mensyaratkan
pembuktian—dan bukan sekedar asumsi arbitrer—tentang keberlakuan aktual
Hukum Nilai.

Transformasi Nilai ke Harga Produksi

Sesudah Kapital jilid I terbit, banyak komentator yang mengkritik Marx karena
tidak mengawali paparannya, sebagaimana Ricardo dan ekonom-politik pada
umumnya, dengan sebuah Bab tentang nilai. Tidak hanya itu, Bab tentang nilai
bahkan sama sekali tidak ada di dalam risalah tersebut. Marx menanggapi ini
dalam suratnya kepada Kugelmann tanggal 11 Juli 1868:

BAHKAN JIKA TIDAK ADA BAB TENTANG


‘NILAI’ DALAM BUKU SAYA, ANALISIS
TENTANG RELASI RIIL YANG SAYA
BERIKAN TELAH MENGANDUNG BUKTI
DAN DEMONSTRASI ATAS RELASI NILAI
YANG NYATA. […] SAINS TERLETAK
DALAM
PEMBUKTIAN BAGAIMANA HUKUM NILAI
BERLAKU. JADI JIKA KITA INGIN
‘MENJELASKAN’ PADA AWAL MULA
SEMUA FENOMENA YANG NAMPAK
BERLAWANAN DENGAN HUKUM ITU,
KITA AKAN MENGHADIRKAN
SAINS SEBELUM SAINS. DI SINILAH
LETAK KEKELIRUAN RICARDO YANG
PADA BAB PERTAMANYA TENTANG
NILAI MENGANDAIKAN KETERBERIAN
SEMUA KATEGORI YANG MASIH HARUS
DIRUMUSKAN BAGI KITA HANYA UNTUK
MEMBUKTIKAN KECOCOKANNYA
DENGAN HUKUM NILAI.[22]
Terlihat melalui surat tersebut bahwa bagi Marx, yang terpenting bukanlah
mempostulatkan Hukum Nilai melainkan membuktikannya. Apabila kita
mempostulatkan keberadaan Hukum Nilai, maka kita akan ‘menghadirkan
sains sebelum sains’ karena penjelasan tentang nilai mensyaratkan penjelasan
tentang aras material dari manifestasi nilai—yakni komoditas—dan tentang
bagaimana bentuk kerja yang tertentu menghasilkan nilai. Hukum Nilai,
karenanya, bukan titik berangkat analisis di mana semua kategori lain
dideduksikan darinya melainkan merupakan hasil yang tak terelakkan dari
formasi modus produksi yang tertentu, modus produksi kapitalis, dengan
evolusi bentuk kerja yang tertentu, yakni kerja sebagai substansi abstrak-
homogen. Penjelasan itulah yang mengisi Bab-Bab awal Kapital jilid I.

Namun pembuktian keberlakuan Hukum Nilai juga mensyaratkan pembuktian


bahwa harga-harga produksi (prices of production) rata-rata yang ada di
berbagai cabang industri yang ada dalam sebuah masyarakat, pada hakikatnya,
identik dengan nilai. Artinya, Marx mesti membuktikan teori nilai-kerjanya
dengan membuktikan bahwa nilai yang dihasilkan oleh sejumlah tenaga-kerja
adalah sama dengan harganya. Harga-harga produksi rata-rata ini
mensyaratkan terbentuknya ‘tingkat laba rata-rata’ (average rate of profit)
yang mengemuka dari penyetaraan tingkat laba di berbagai industri akibat
kompetisi. Semua ini harus bisa dibuktikan berdasarkan determinasi nilai oleh
waktu kerja sosial. Marx menulis dalam Theories of Surplus Value:

LABA RATA-RATA, DAN KARENANYA


JUGA HARGA-HARGA PRODUKSI, AKAN
JADI SEPENUHNYA IMAJINER DAN
TANPA DASAR JIKA KITA TIDAK
MENGGUNAKAN NILAI YANG
DIDETERMINASI SEBAGAI FONDASI.
PENYETARAAN NILAI-LEBIH DI
BERBAGAI RANAH PRODUKSI TIDAK
AKAN MENGHASILKAN PERBEDAAN
DALAM BESARAN ABSOLUT DARI
TOTAL NILAI-LEBIH MELAINKAN HANYA
MENGUBAH DISTRIBUSINYA DI ANTARA
BERBAGAI RANAH PRODUKSI.
DETERMINASI ATAS NILAI LEBIH ITU
SENDIRI, KENDATI BEGITU, HANYA
MUNCUL DARI DETERMINASI NILAI
OLEH WAKTU KERJA. TANPA INI, LABA
RATA-RATA AKAN
MENJADI KETIADAAN RATA-RATA,
MENJADI HASIL IMAJINASI BELAKA.[23]
Jika laba rata-rata yang melandasi harga produksi tidak didasari oleh
determinasi waktu kerja, maka laba rata-rata itu tidak dapat kita ukur secara
pasti. Laba rata-rata akan menjadi sepenuhnya arbitrer tergantung fluktasi
pasar. Tugas sains adalah mencari landasan fiks-objektif dari fluktuasi
aksidental dunia penampakan ini. Dengan kata lain, determinasi waktu kerja
mesti dibuktikan sungguh berlaku sampai pada level harga produksi. Inilah
yang Marx jalankan dalam Kapital jilid III Bab 9 dengan transformasi nilai ke
harga produksi.

Kita sudah mendapatkan rumusan nilai total komoditas, yakni t = k + v + s.


Berdasarkan rumus ini kita dapat menentukan ‘harga ongkos’ (cost price) dari
sebuah komoditas. Jika ongkos produksi dinotasikan dengan ‘h’, maka
rumusnya adalah

h=k+v

Rumusan di muka[24] memotret ongkos produksi minimal yang diperlukan bagi


adanya produksi komoditas tertentu dengan mengesampingkan nilai lebih.
Melalui rumus ini, nilai total komoditas dapat dirumuskan sebagai t = h + s.
Berbekal pemahaman ini kita akan mulai mengikuti skenario transformasi yang
ditawarkan Marx.

Dalam rancangan transformasinya, Marx membuat tiga asumsi penting:


pertama, setiap cabang produksi komoditas bersifat independen (tidak ada
komoditas yang disyaratkan di dalam produksi komoditas yang lain), kedua,
terbentuknya tingkat laba rata-rata dalam setiap cabang produksi sebagai
akibat dari kompetisi dan, ketiga, hanya sebagian dari kapital konstan yang
dikonsumsi secara produktif dalam proses produksi (sisanya tetap utuh). Marx
kemudian menggambar tabel berikut:[25]
Basis penghitungan kapital konstan di dalam tabel di muka adalah kapital
konstan yang terpakai dalam proses produksi (kolom kedua). Jadi, misalnya,
harga ongkos untuk cabang produksi I adalah 70 karena itu merupakan
penjumlahan dari kapital konstan yang terpakai di cabang produksi I (50) dan
kapital variabelnya (20). Demikian pula dengan nilai (t = h + s). Harga produksi
(dinotasikan sebagai ‘hp’) diperoleh dari penjumlahan harga produksi (h) dan
laba (L). Skenario transformasi Marx sejatinya memuat watak ganda. Apa yang
mau ditransformasi awalnya adalah perwujudan persamaan berikut:

Artinya, membuktikan identitas antara nilai dan harga (t = hp) berarti


membuktikan identitas antara nilai-lebih (s) dan laba (L). Identitas ini terjadi
pada level global, mencakup keseluruhan cabang produksi yang ada. Dengan
demikian, identitas ini mesti ditunjukkan dalam level agregat total. Kita mesti
menunjukkan bahwa total nilai-lebih dari cabang industri I sampai V sama
dengan total laba dari totalitas cabang industri itu. Bagaimana laba diturunkan
dari nilai-lebih? Caranya adalah dengan—berdasarkan asumsi kompetisi yang
menyetarakan tingkat laba—membagi agregat nilai-lebih, yakni 110, ke dalam
lima cabang produksi sehingga masing-masing memperoleh laba 22. Setelah
nilai-lebih berhasil ditransformasi menjadi laba, kemudian kita mesti
menentukan harga produksi. Karena harga produksi adalah penjumlahan dari
harga ongkos dan laba (hp = h + L), maka kita memperoleh hasilnya dalam
tabel di muka. Dapat kita lihat bahwa total harga produksi identik dengan total
nilai produk. Sehingga kendati deviasi harga terhadap nilai tetap ada dalam
masing-masing cabang produksi, secara global deviasi itu = 0. Dengan
demikian, nilai sepenuhnya ditransformasi menjadi harga produksi. Harga
aktual yang bergravitasi pada harga produksi mengalami ‘determinasi pada
pokok terakhir’ oleh nilai.

Keberhasilan transformasi yang dibuat Marx ini masih dikondisikan oleh batasan
asumsi yang ia gunakan. Asumsi yang paling problematis secara aktual adalah
asumsi tentang independensi dari masing-masing cabang produksi. Dalam
kenyataan sehari-hari, apalagi dalam era industri maju seperti sekarang ini,
jarang sekali ada komoditas yang agar bisa diproduksi tidak mensyaratkan
input komoditas dari cabang produksi lain. Industri kecap, misalnya,
mensyaratkan input agrikultural kacang kedelai. Marx sendiri tidak mencoba
membuktikan transformasinya dalam kondisi interdependensi cabang produksi
seperti itu. Ia hanya menyatakan bahwa apa yang ia buktikan di sini juga pada
prinsipnya berlaku untuk kasus di mana terdapat interdependensi
produksi.[26] Inilah yang kemudian menjadi sumber permasalahan. Banyak
kritikus yang menunjukkan bahwa transformasi nilai ke harga tidak bisa
dibuktikan dalam kasus yang diperluas (dalam kondisi interdependensi cabang-
cabang produksi). Dalam kasus yang diperluas itu, input juga merupakan hasil
output sebelumnya. Problemnya, output pada periode sebelumnya merupakan
hasil transformasi nilai ke harga. Jadi input pada periode sekarang yang
berwujud nilai mestilah merupakan hasil dari transformasi harga ke nilai yang
belum ditunjukkan Marx. Jadi kita mesti mentransformasi harga output
terdahulu ke nilai input sekarang dan juga mentransformasi nilai input sekarang
ke harga output sekarang. Dengan ini dimulailah perdebatan panjang
berkenaan dengan ‘problem transformasi’ (Transformation Problem).

Catatan:

[1] Lih. Diane Elson, Introduction dalam Diane Elson (ed.), Value: The
Representation of Labour in Capitalism (London: CSE Books), 1979, hlm. i.
[2] Karl Marx, Wages, Price and Profit dalam Karl Marx dan Frederick
Engels, Selected Works Volume I (Moscow: Foreign Languages Publishing
House), 1962, hlm. 422.

[3] Ibid., hlm. 423.

[4] Ibid., hlm. 424.

[5] Seperti dikutip dalam Maurice Dobb, Theories of Value and Distribution since
Adam Smith (Cambridge: Cambridge University Press), 1973, hlm. 147.

[6] Seperti dikutip dalam Ronald L. Meek, Studies in the Labor Theory of
Value (New York: Monthly Review Press), 1973, hlm. 248.

[7] Lih. ibid., hlm. 129.

[8] Karl Marx, Poverty of Philosophy (New York: International Publishers), 1971,
hlm. 78.

[9] Karl Marx, Grundrisse diterjemahkan oleh Martin Nicolaus (London: Allen
Lane), 1973, hlm. 98.

[10] Ibid., hlm. 94.

[11] “The conclusion we reach is not that production, distribution, exchange and
consumption are identical, but that they all form the members of a totality,
distinctions within a unity. Production predominates not only over itself, in the
antithetical definition of production, but over the other moments as well. The
process always returns to production to begin anew.” Ibid., hlm. 99.

[12] Bagian ini pernah dipresentasikan pada kesempatan lain.


[13] “1 quarter of corn = x cwt of iron. What does this equation signify? It
signifies that a common element of identical magnitude exists in two different
things, in 1 quarter of corn and similarly in x cwt of iron. Both are therefore
equal to a third thing, which in itself is neither the one nor the other. Each of
them, so far as it is exchange-value, must therefore be reducible to this third
thing.” Karl Marx, Capital Volume I diterjemahkan oleh Ben Fowkes (London:
Penguin), 1979, hlm.127.

[14] Ibid., hlm. 139.

[15] “[A] commodity A […] expressing its value in the use-value of a


commodity B“. Ibid., hlm. 147.

[16] Paparan ini mengikuti Paul Sweezy, The Theory of Capitalist


Development (New York: Modern Readers), 1968, hlm. 60-61.

[17] Karl Marx, Capital I, hlm. 270.

[18] Lih. ibid., hlm. 300-301.

[19] Bagian ini pernah dipresentasikan pada kesempatan lain.

[20] Lih. Paul Sweezy, op.cit., hlm. 63.

[21] Ibid, hlm. 96.

[22] Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works Volume II (Moscow:
Foreign Languages Publishing House), 1958, hlm. 461-462.

[23] Seperti dikutip dalam Ronald L. Meek, op.cit., hlm. 189.

[24] Lih. Karl Marx, Capital Volume III diterjemahkan oleh David Fernbach
(London: Penguin Books), 1981, hlm. 118. Marx memberikan bentuk rumusan
yang berbeda, yakni h = t – s. Namun karena t = c + v + s, maka t – s = k + v
dan artinya h = k + v.

[25] Ibid., hlm. 256. Tabel yang saya buat mengacu pada tabel Ronald Meek
yang memuat keterangan lebih lengkap. Lih. Ronald L. Meek, op.cit., hlm. 190.

[26] Lih. Ronald L. Meek, ibid., hlm. 191.

DAFTAR PUSTAKA

Dobb, Maurice. 1973. Theories of Value and Distribution since Adam Smith.
Cambridge: Cambridge University Press.

Diane Elson ed. Value: The Representation of Labour in Capitalism. London:


CSE Books.

Marx, Karl. 1958. Letter to Kugelman, 11 July 1868 dalam Karl Marx dan
Frederick Engels, Selected Works Volume II. Moscow: Foreign Languages
Publishing House.

________. 1962. Wages, Price and Profit dalam Karl Marx dan Frederick
Engels, Selected Works Volume I. Moscow: Foreign Languages Publishing
House.

________. 1971. The Poverty of Philosophy. New York: International Publishers.

________. 1973. Grundrisse diterjemahkan oleh Martin Nicolaus. London: Allen


Lane.

________. 1979. Capital Volume I diterjemahkan oleh Ben Fowkes. London:


Penguin.
________. 1981. Capital Volume III diterjemahkan oleh David Fernbach.
London: Penguin.

Meek, Ronald L. 1973. Studies in the Labor Theory of Value. New York: Monthly
Review Press.

Sweezy, Paul. 1968. The Theory of Capitalist Development. New York: Modern
Readers.

SHARE

Anda mungkin juga menyukai