Martin Suryajaya Marx
Martin Suryajaya Marx
Teori nilai adalah pokok kunci dalam sejarah panjang perdebatan ekonomi-
politik Marxian. Persoalan ini sudah diperdebatkan bahkan sejak terbitnya
buku Kapital jilid I oleh kritikus seperti Adolph Wagner. Terbitnya Kapital jilid III
juga memicu perdebatan lebih lanjut tentang teori nilai Marx yang diawali
dengan kritik Eugen von Böhm-Bawek. Perdebatan tentangnya mewarnai
sejarah perkembangan ekonomi Marxian abad ke-20 dengan deretan
kontributor ternama seperti Rudolf Hilferding, Isaak Illich Rubin, Maurice Dobb,
Paul Sweezy dan sebagainya. Perdebatan ini berjalan nyaris tanpa putus sampai
hari ini—tepatnya, satu setengah abad sejak Kapital terbit—dengan para
ekonom Marxis di awal abad ke-21 seperti, antara lain, Guglielmo Carchedi,
Duncan Foley, Gerard Duménil, Andrew Kliman dan Simon Mohun. Kendati
konsep nilai itu sendiri tidak secara langsung menjelaskan konjungtur aktual
kapitalisme, namun konsep tersebut menjadi ‘fondasi’ teoretik dari totalitas
kajian ekonomi-politik Marx.[1] Di bawah ini, kita akan mengkaji posisi Marx
berkenaan dengan teori nilai-kerja, mulai dari asumsi dasar yang digunakan
Marx hingga pembuktiannya atas aktualitas teori tersebut.
Kita mulai dari persoalan metodologis. Untuk menjelaskan teori Marx tentang
nilai, kita akan mulai dari makalahnya di tahun 1865, Value, Price and
Profit (dalam edisi Moskow: Wages, Price and Profit). Kita akan berfokus pada
hubungan antara nilai dan harga. Dalam teks itu dikatakan bahwa pada
dasarnya, harga “tidak lain ketimbang ekspresi moneter dari nilai.”[2] Bagi
Marx, ekspresi atau bentuk penampakan (Erscheinungsform) dari sesuatu tidak
identik dengan sesuatu itu sendiri. Marx, sebagaimana Smith dan Ricardo,
mengakui perbedaan antara nilai dan harga. Nilai sebuah komoditas adalah
jumlah waktu kerja sosial yang dicurahkan untuk memproduksinya. Sementara
harganya (atau ‘harga pasar/aktual’ dalam kosakata Klasik) adalah proporsi
permintaan dan penawaran terhadap komoditas terkait.
Kemudian Marx juga sepakat dengan Smith yang mengatakan bahwa ‘harga
alamiah’ suatu komoditas (‘nilai’ dalam kosakata Marx, kendati minus sewa dan
laba) adalah pusat gravitasi bagi fluktuasi harga pasar. Marx sendiri mengakui
adanya fluktuasi harga yang disebabkan oleh disproporsi antara penawaran dan
permintaan komoditas. Namun fluktuasi yang terjadi sehari-hari ini sejatinya
menyembunyikan struktur dasar yang melandasinya. Dengan berpijak pada
penelitian Samuel Tooke dalam bukunya, History of Prices, Marx menunjukkan
bahwa harga pasar nyatanya hanyalah harga pada jangka pendek, sementara
dalam jangka panjang harga pasar cenderung mengalami ekuilibrasi
(penghapusan disproporsi supply-demand) sehingga berkisar di sekitar
nilainya.[3] Argumen Marx kemudian adalah apabila kita menggunakan asumsi
jangka panjang yang lebih struktural itu, maka penjelasan tentang laba yang
berbasis pada argumen tentang penjualan komoditas di atas nilainya mesti
ditolak. Argumen bahwa laba diperoleh karena pedagang menjual komoditas di
atas nilainya ini ditolak karena argumen itu bergantung pada persoalan tipu-
menipu—persoalan etis yang serba relatif dan kontinjen. Kita tidak bisa
menggunakan sesuatu yang relatif untuk mengukur yang relatif.
Apa fungsi asumsi ‘Hukum Nilai’ ini? Pertama, di sana secara tersirat ada upaya
Marx untuk menyelam ke balik dunia fenomena (dunia fluktuasi harga pasar
yang berubah-ubah setiap detik) untuk menemukan hukum dasar yang
mengatur fenomena itu. Hukum dasar ini menyatakan syarat minimal bagi
keberadaan tata ekonomi kapitalis, yakni bahwa komoditas dijual sesuai dengan
nilainya. Kedua, melalui titik tolak ‘Hukum Nilai’ Marx akan leluasa membaca
dan mengkritik modus produksi kapitalis tanpa menjatuhkan putusan-putusan
moral atasnya. Dengan memulai analisisnya dengan asumsi bahwa komoditas
dijual sesuai nilainya, Marx mengecualikan semua perkara yang timbul
berkenaan dengan problem moralitas seperti ketamakan (menjual di atas nilai
komoditas) dan kekejian (buruh tidak dibayar sesuai hasil yang diproduksinya).
Ketiga, berangkat dari asumsi tersebut Marx dapat menjalankan kritik imanen
atas ekonomi-politik—kritik dari titik pijak ekonomi borjuis itu sendiri—dan
dengan itu membuktikan kontradiksi sistem berdasarkan kriteria yang internal
terhadap sistem. Di balik ketiga fungsi ini, terdapat sebuah pengertian
mendasar tentang apa yang dimengerti sebagai ekonomi dalam totalitasnya.
Dari cara Marx memilih pendekatan teori nilai-kerja (ketimbang teori nilai-
utilitas kaum merkantilis dan Say) dan memilih asumsi ‘Hukum Nilai’ sebagai
prakondisi analisis dasar, kita dapat melihat bahwa Marx sedang mengajukan
sebuah posisi pijak dasar dalam memandang totalitas ekonomi-politik. Posisi
pijak dasar itu adalah produksi. Dalam ekonomi-politik dikenal adanya
pembagian momen dari totalitas realitas ekonomi ke dalam empat momen
besar: produksi, distribusi, sirkulasi dan konsumsi. Momen produksi mencakup
keseluruhan proses pembuatan barang-barang, momen distribusi berkenaan
dengan pembagian pendapatan (atau alokasi barang hasil produksi) dalam
kelas-kelas sosial, sirkulasi merupakan momen pertukaran riil barang-barang
dan, terakhir, momen konsumsi memuat proses subjektif pemakaian barang-
barang hasil produksi tersebut. Kekhasan ekonomi-politik Klasik terletak dalam
pandangannya tentang hierarki prioritas di antara keempat momen itu:
produksi menentukan distribusi menentukan sirkulasi menentukan konsumsi.
Pandangan ini sepenuhnya berkebalikan dengan ekonomi Neoklasik yang
berangkat dari konsumsi dan sirkulasi untuk menjelaskan produksi dan
distribusi.
Berdasarkan posisi pijak Klasik, oleh karena produksi adalah jantung ekonomi,
maka analisis selalu dimulai dengan analisis pembagian kerja dan analisis kelas.
Ini terlihat jelas dalam Smith yang mengawali Wealth of Nations dengan teori
pembagian kerja dan distribusi pendapatan ke dalam tiga kelas (pekerja, tuan
tanah, kapitalis). Akibatnya, pada aras metodologisnya, ekonomi-politik Klasik
selalu berangkat dengan holisme metodologis. Keseluruhan (totalitas)
menjelaskan bagian-bagian: adanya pembagian kerja dan stratifikasi kelas
menjelaskan individu, baik itu personal maupun badan usaha individual. Dengan
kata lain, supply menentukan demand. Berkebalikan dengan itu, oleh karena
ekonomi Neoklasik berangkat dengan proses sirkulasi dan konsumsi, maka
analisis selalu dimulai dengan perilaku individu dan preferensinya. William
Stanley Jevons, salah seorang pendiri ekonomi Neoklasik, pernah menyatakan
bahwa “teori ekonomi mesti diawali dengan teori yang benar tentang
konsumsi.”[6] Oleh karenanya, ekonomi Neoklasik selalu menganut
individualisme metodologis. Bagian-bagian menjelaskan keseluruhan: analisis
tentang individu dan hasratnya menjadi microfoundation untuk menjelaskan
realitas ekonomi dalam totalitasnya. Dengan kata
lain, demand menentukan supply.
Asal-Usul Nilai-Lebih
Ada dua komponen utama dalam proses produksi, yakni bahan dasar (termasuk
sarana produksi) dan tenaga kerja.[16] Kapitalis membeli keduanya untuk
memproduksi komoditas. Sekarang andaikan bahwa sang kapitalis membelinya
pada tingkat harga ekuilibrium dan menjual hasilnya juga pada tingkat harga
ekuilibrium. Kalau dari penjualan ini sang kapitalis memperoleh laba, maka kita
pantas bertanya: dari mana asal mula laba ini? Tidak mungkin dari bahan dasar
dan alat produksi sejauh keduanya bukan merupakan benda gaib yang secara
misterius menelurkan nilai. Nilai keduanya (dipotong penyusutan) hanya akan
ditransfer menjadi nilai output komoditas. Kalau begitu, apakah laba itu muncul
dari ranah sirkulasi (misalnya, karena kecerdasan sang kapitalis dalam mencari
peluang pasar)? Kalau laba sepenuhnya dihasilkan dalam sirkulasi, maka setiap
kapitalis bisa saja menjual komoditasnya dengan harga setinggi mungkin
sehingga akibatnya tak ada seorang kapitalis pun yang mampu membeli bahan
dasar yang ia perlukan sendiri. Maka satu-satunya kemungkinan adalah tenaga
kerja.
Pertanyaannya: apabila kerja adalah sumber nilai, berapakah nilai dari sumber
nilai ini? Melampaui ekonom-politik Klasik, Marx membuat distingsi penting
antara kerja dan tenaga kerja. Dalam modus produksi kapitalis, pekerja tidak
menjual kerjanya pada sang pemodal. Artinya, si pekerja tidak menjual
keseluruhan hidupnya seperti seorang budak. Apa yang dibeli oleh kapitalis
adalah ‘kapasitas kerja’-nya (Arbeitsvermörgen) atau ‘tenaga kerja’-nya
(Arbeitskraft).[17] Yang dijual oleh pekerja adalah kemampuannya untuk
bekerja selama jangka waktu tertentu. Di sini Marx menunjukkan letak kunci
permasalahannya: adanya diskrepansi antara nilai-pakai tenaga kerja dan
nilainya.[18] Nilai-pakai tenaga kerja adalah sejumlah nilai produk yang dapat
dihasilkannya. Sementara nilai tenaga kerja adalah sejumlah nilai yang
proporsional terhadap syarat-syarat produksinya (seperti bahan pokok dan
pelatihan) dan dibayarkan sebagai upah. Andaikan hasil kerja dan upah pekerja
diekspresikan dalam satu komoditas yang sama, misalnya jagung. Apabila nilai-
pakai dan nilai tenaga kerja diekspresikan dalam sejumlah jagung, maka kita
bisa segera melihat selisih jumlah dari keduanya. Dalam sehari seorang pekerja
dapat menghasilkan komoditas yang setara dengan 20 jagung. Sementara
dalam sehari juga si pekerja hanya membutuhkan komoditas senilai 10 jagung
untuk mereproduksi tenaga kerjanya. Oleh karena 10 jagung itu sudah
memenuhi syarat produksi dari adanya tenaga kerja dalam satu hari, maka
upahnya adalah 10 jagung. Dengan kata lain, nilai tenaga kerja adalah 10
jagung. Di sini kita dapat lihat selisih nilai-pakai tenaga kerja dari nilainya,
yakni selisih 10 jagung yang diperoleh dari pengurangan 10 jagung yang
diperlukan untuk hidupnya sehari terhadap 20 jagung yang dihasilkannya per
hari. Selisih 10 jagung itulah laba yang masuk ke gudang kapitalis. Itulah nilai-
lebih.
Setelah mengerti sumber nilai-lebih pada jantung produksi, kini kita akan
mempelajari bagaimana nilai sejatinya menstruktur totalitas ekonomi kapitalis,
bagaimana kategori nilai menjelaskan keseluruhan kategori yang bermain
dalam kapitalisme. Kita akan mengikuti rekonstruksi Paul Sweezy dalam The
Theory of Capitalist Development (1942). Dalam sistem produksi komoditas
yang sederhana (simple commodity production), surplus komoditas yang tidak
berguna bagi pemiliknya dijual agar dapat membeli komoditas yang berguna.
Ini dapat digambarkan dengan kumparan Ka – U – Kb (komoditas a dijual dan
uang hasil penjualan itu digunakan untuk membeli komoditas b). Masing-
masing ujung dari kumparan ini berbeda secara kualitatif. Dalam modus
produksi kapitalis, yang terjadi tidak demikian. Uang digunakan untuk membeli
komoditas tertentu yang dapat menghasilkan uang lebih banyak. Ini
digambarkan dengan kumparan U – K – U’. Berbeda dengan kumparan
pertama, masing-masing ujung dari kumparan ini hanya berbeda secara
kuantitatif. Dalam modus produksi kapitalis, kumparan ini dapat diuraikan
sebagai berikut:
Artinya, kapitalis membelanjakan uangnya untuk membeli sarana produksi (SP)
termasuk bahan baku dan tenaga kerja (TK) untuk menghasilkan komoditas
yang dapat dijual dan merealisasikan laba. Proses peningkatan uang inilah
(kumparan U – K – U’) yang disebut Marx sebagai formula umum kapital. U’
adalah kapital yang dapat digunakan untuk memperbaharui proses ini dan
selisih uang pada akhir proses ini, yakni U’ – U atau ΔU, adalah nilai-lebihnya.
k+v+s=t
Rumusan derivat kedua adalah apa yang disebut Marx sebagai ‘komposisi
organik kapital’ (organic composition of capital). Yang hendak dinyatakan
dengan ini adalah proporsi antara kapital konstan terhadap total kapital. Apabila
komposisi organik ini kita notasikan dengan o, maka rumusnya demikian.
L = s’ (1 – o)
Berdasarkan rumus ini kita dapat melihat bahwa, dengan mengandaikan tingkat
nilai-lebih (s’) tetap, kenaikan komposisi organik kapital (o) meniscayakan
turunnya tingkat laba (L).[21] Inilah yang dikenal sebagai ‘hukum tentang
kejatuhan tendensial tingkat laba’ (falling rate of profit). Melalui rumusan di
muka terlihat bahwa hukum tersebut bertumpu pada dua asumsi: 1) ada
tendensi historis dalam kapitalisme yang mendorong kenaikan komposisi
organik kapital (kenaikan kapital konstan di atas kapital variabel); 2) tingkat
nilai-lebih diandaikan tetap (sebab bila ada kenaikan tingkat nilai-lebih hal ini
dapat mengkompensasi kenaikan komposisi organik kapital sehingga membuat
tingkat laba tidak jatuh). Melalui hukum ini ditunjukkan bahwa ada kontradiksi
internal dalam kapitalisme yang tak terpecahkan oleh modus produksi itu.
Sesudah Kapital jilid I terbit, banyak komentator yang mengkritik Marx karena
tidak mengawali paparannya, sebagaimana Ricardo dan ekonom-politik pada
umumnya, dengan sebuah Bab tentang nilai. Tidak hanya itu, Bab tentang nilai
bahkan sama sekali tidak ada di dalam risalah tersebut. Marx menanggapi ini
dalam suratnya kepada Kugelmann tanggal 11 Juli 1868:
h=k+v
Keberhasilan transformasi yang dibuat Marx ini masih dikondisikan oleh batasan
asumsi yang ia gunakan. Asumsi yang paling problematis secara aktual adalah
asumsi tentang independensi dari masing-masing cabang produksi. Dalam
kenyataan sehari-hari, apalagi dalam era industri maju seperti sekarang ini,
jarang sekali ada komoditas yang agar bisa diproduksi tidak mensyaratkan
input komoditas dari cabang produksi lain. Industri kecap, misalnya,
mensyaratkan input agrikultural kacang kedelai. Marx sendiri tidak mencoba
membuktikan transformasinya dalam kondisi interdependensi cabang produksi
seperti itu. Ia hanya menyatakan bahwa apa yang ia buktikan di sini juga pada
prinsipnya berlaku untuk kasus di mana terdapat interdependensi
produksi.[26] Inilah yang kemudian menjadi sumber permasalahan. Banyak
kritikus yang menunjukkan bahwa transformasi nilai ke harga tidak bisa
dibuktikan dalam kasus yang diperluas (dalam kondisi interdependensi cabang-
cabang produksi). Dalam kasus yang diperluas itu, input juga merupakan hasil
output sebelumnya. Problemnya, output pada periode sebelumnya merupakan
hasil transformasi nilai ke harga. Jadi input pada periode sekarang yang
berwujud nilai mestilah merupakan hasil dari transformasi harga ke nilai yang
belum ditunjukkan Marx. Jadi kita mesti mentransformasi harga output
terdahulu ke nilai input sekarang dan juga mentransformasi nilai input sekarang
ke harga output sekarang. Dengan ini dimulailah perdebatan panjang
berkenaan dengan ‘problem transformasi’ (Transformation Problem).
Catatan:
[1] Lih. Diane Elson, Introduction dalam Diane Elson (ed.), Value: The
Representation of Labour in Capitalism (London: CSE Books), 1979, hlm. i.
[2] Karl Marx, Wages, Price and Profit dalam Karl Marx dan Frederick
Engels, Selected Works Volume I (Moscow: Foreign Languages Publishing
House), 1962, hlm. 422.
[5] Seperti dikutip dalam Maurice Dobb, Theories of Value and Distribution since
Adam Smith (Cambridge: Cambridge University Press), 1973, hlm. 147.
[6] Seperti dikutip dalam Ronald L. Meek, Studies in the Labor Theory of
Value (New York: Monthly Review Press), 1973, hlm. 248.
[8] Karl Marx, Poverty of Philosophy (New York: International Publishers), 1971,
hlm. 78.
[9] Karl Marx, Grundrisse diterjemahkan oleh Martin Nicolaus (London: Allen
Lane), 1973, hlm. 98.
[11] “The conclusion we reach is not that production, distribution, exchange and
consumption are identical, but that they all form the members of a totality,
distinctions within a unity. Production predominates not only over itself, in the
antithetical definition of production, but over the other moments as well. The
process always returns to production to begin anew.” Ibid., hlm. 99.
[22] Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Works Volume II (Moscow:
Foreign Languages Publishing House), 1958, hlm. 461-462.
[24] Lih. Karl Marx, Capital Volume III diterjemahkan oleh David Fernbach
(London: Penguin Books), 1981, hlm. 118. Marx memberikan bentuk rumusan
yang berbeda, yakni h = t – s. Namun karena t = c + v + s, maka t – s = k + v
dan artinya h = k + v.
[25] Ibid., hlm. 256. Tabel yang saya buat mengacu pada tabel Ronald Meek
yang memuat keterangan lebih lengkap. Lih. Ronald L. Meek, op.cit., hlm. 190.
DAFTAR PUSTAKA
Dobb, Maurice. 1973. Theories of Value and Distribution since Adam Smith.
Cambridge: Cambridge University Press.
Marx, Karl. 1958. Letter to Kugelman, 11 July 1868 dalam Karl Marx dan
Frederick Engels, Selected Works Volume II. Moscow: Foreign Languages
Publishing House.
________. 1962. Wages, Price and Profit dalam Karl Marx dan Frederick
Engels, Selected Works Volume I. Moscow: Foreign Languages Publishing
House.
Meek, Ronald L. 1973. Studies in the Labor Theory of Value. New York: Monthly
Review Press.
Sweezy, Paul. 1968. The Theory of Capitalist Development. New York: Modern
Readers.
SHARE