Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ULUMUL HADITS

“Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas”


Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadits
Dosen Pembimbing: Jaya Sukmana, MA.

Disusun oleh :
Raden Muhammad Aqil A.
Sultan Syahni
Waly Mujahidin

Program Studi Ilmu Al-Qur’an & Tafsir


Sekolah Tinggi Agama Islam Asy-Syukriyyah Tangerang
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, serta inayah-Nya kepada kami sehingga dapat meyelesaikan makalah Ulumul Hadits
mengenai “Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitasnya” ini dengan lancar. Sholawat serta
salam kami panjatkan kepada baginda Nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang
menjauhkan kita dari jalan kegelapan.

Makalah yang berjudul “Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitasnya” disusun
untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadits jurusan Ilmu Al-Qur’an
& Tafsir, Sekolah Tinggi Agama Islam Asy-Syukriyyah.

Dengan ini kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini jauh dari kesempurnaan.
Karena kesempurnaan hanya milik Allah Subhanahu Wa Ta’ala semata. Untuk itu, segala kritik
dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami nantikan.

Tangerang, Oktober 2019

Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................... 2
2.1 Pembagian Hadits Ditinjau dari Segi Kualitas...................................................... 2
2.2 Hadits Shahih…………........................................................................................ 2
2.3 Hadits Hasan..........................................................................................................6
2.4 Hadits Dha’if……………………………..............................................................7

BAB III..................................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan......................................................................................................... 13

Daftar Pustaka........................................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hadist merupakan salah satu sumber hukum bagi umat Islam. Kedudukannya sebagai
sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an menjadikan pemahaman terhadap hadist adalah
penting, terlebih akan penerapannya dalam kehidupan umat Islam. Jenis-jenis hadist dibagi
bukan hanya dari satu sudut pandang, namun jenis hadis dilihat dari segi kuantitas seperti
banyaknya sanad dan perowi maupun kualitas hadis tersebut. Tidak semua hadis dapat
diterapkan dalam aspek kehidupan umat Islam, penting untuk mempelajari hadis mana yang
dapat dijadikan pedoman atau pegangan dan dapat diamalkan dalam kehidupan seharihari.
Oleh karena itu, makalah ini dibuat untuk membahas pembagian hadist dari segi kualitasnya,
baik dari kualitas keshahihannya, hasan maupun kedho’ifan hadits tersebut beserta
kehujjahannya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat disimpulkan dalam rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apa saja pembagian hadits ditinjau dari segi kualitasnya ?
2. Apakah pengertian dari hadis shahih, pembagian dan contoh-contohnya serta
kehujahannya ?
3. Apakah pengertian dari hadis hasan, pembagian dan contoh-contohnya serta
kehujahannya ?
4. Apakah pengertian dari hadis dhaif, pembagian dan contoh-contohnya serta
kehujahannya ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PEMBAGIAN HADIS DITINJAU DARI SEGI KUALITAS


Hadis merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam. Hadis dikelompokkan
berdasarkan segi kuantitas dan kualitasnya. Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadis dibagi
menjadi dua yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Sedangakn, para ulama ahli hadis
membagi hadits ditinjau dari segi kualitasnya, menjadi dua, yaitu hadis maqbul dan hadis
mardud.1

1. Hadis Maqbul
Maqbul menurut bahasa berarti makhudz (yang diambil) dan mushaddaq (yang
dibenarkan atau yang diterima), sedangkan menurut istilah adalah:
‫ت ِف ْي ِه َجمِ ْي ُع ش ُُر ْو ِط ْالقَب ُْو ِل‬
ْ ‫َما ت ََوافَ َر‬
Artinya;
“Hadis yang telah sempurna syarat-syarat penerimaannya.” 2
Hadis maqbul atau hadis yang dapat diterima digolongkan menjadi dua, yaitu hadis
shahih dan hadis hasan.
2. Hadis Mardud
Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak atau yang tidak diterima, sedangkan
menurut istilah ialah:
ُّ ‫فَ ْقد ُ ت ِْلكَ ال‬
ِ ‫ش ُر ْوطِ أ َ ْو بَ ْع‬
‫ض َها‬
“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagian syarat hadis maqbul.”
Hadis mardud atau hadis yang tidak diterima digolongkan pada hadis Dhaif.

2.2 Hadits Shahih

1. Pengertian Hadits Shahih

1 Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 141


2 Ibid, 141-142

2
Shahih merupakan kalimat musytaq dari kalimat shahha – yashihhu – suhhan wa
sihhatan artiya sembuh, sehat, selamat dari cacat, benar. Sedangkan secara istilah yaitu :

‫لى ُم ْنت َ َهاهُ ِمنْ غَي ِْر شُذ ُ ْو ٍذ َوالَ ِعلَّ ٍة‬
َ ِ‫عنْ مِ ثْلِ ِه إ‬
َ ِ‫سنَ ُدهُ بِنَ ْق ِل العَ ْد ِل الضَابِط‬ َ َّ ‫َما اِت‬
َ ‫ص َل‬
“Apa yang sanadnya bersambung dengan periwayatan yang adil, dhobit ( memiliki
hafalan yang kuat) dari awal sampai akhir sanad dengan tanpa syadz dan tidak pula
cacat”

Imam Al-Suyuti mendifinisikan hadits shahih dengan “hadits yang bersambung


sanadnya, dfiriwayatkan oleh perowi yang adil dan dhobit, tidak syadz dan tidak
ber’ilat”. Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:
Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perowi yang dapat dipercaya pengamalan
agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur mermahami hadits yang diriwayatkan
dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan lafadnya; mampu
meriwayatkan hadits secara lafad, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan hadits
secara lafad, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan hadits yang diriwayatkan
orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat). Kedua, rangkaian riwayatnya
bersambung sampai kepada Nabi SAW. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.
2. Syarat-syarat Hadits Shahih
Dari pengertian di atas bahwa suatu hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi
lima syarat, yaitu
a. Sanadnya Bersambung
Setiap perawi dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari perawi terdekat
sebelumnya. Keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari suatu hadits.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rangkaian para perawi hadits shahih sejak
perawi terakhir sampai kepada perawi pertama (para sahabat) yang menerima hadits
langsung dari Nabi,bersambung dalam periwayatannya.
Sanad suatu hadits dianggap tidak bersambung bila terputus salah seorang atau
lebih dari rangkaian para perawinya. Bisa jadi rawi yang dianggap putus itu adalah
seorang rawi yang dha’if, sehingga hadits yang bersangkutan tidak shahih.
b. Perawinya Adil
3
Seseorang dikatakan adil apabila ada padanya sifat-sifat yang dapat mendorong
terpeliharanya ketaqwaan, yaitu senantiasa melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan, dan terjaganya sifat Muru’ah, yaitu senantiasa berakhlak baik dalam segala
tingkah laku dan hal-hal lain yang dapt merusak harga dirinya.
c. Perwainya Dhabith
Seorang perwai dikatakan dhabit apabila perawi tersebut mempunyai daya ingat
yang sempurna terhadap hadits yang diriwayatkannya. Menurut Ibnu Hajar al-
Asqalani, perawi yang dhabit adalah mereka yang kuat hafalannya terhadap apa yang
pernah didengarnya, kemudian mampu menyampaikan hafalan tersebut kapan saja
manakala diperlukan. Ini artinya, bahwa orang yang disebut dhabit harus mendengar
secara utuh apa yang diterima atau didengarnya, kemudian mampu
menyampaikannya kepada orang lain atau meriwayatkannya sebagaimana aslinya.
d. Tidak Syadz
Syadz (janggal/rancu) atau syudzuz adalah hadits yang bertentangan dengan
hadits lain yang lebih kuat atau lebih tsiqqah perawinya. Maksudnya, suatu kondisi di
mana seorang perawi berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya. Kondisi ini
dianggap syadz karena bila ia berbeda dengan rawi lain yang lebih kuat posisinya,
baik dari segi kekuatan daya hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak, maka para
rawi yang lain itu harus diunggulkan, dan ia sendiri disebut syadz. Maka timbullah
penilaian negatif terhadap periwayatan hadits yang bersangkutan.
e. Tidak Ber’illat
Hadits ber’illat adalah hadits-hadits yang cacat atau terdapat penyakit karena
tersembunyi atau samar-samar, yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan
samar-samar, karena jika dilihat dari segi zahirnya, hadits tersebut terlihat shahih.
Adanya kesamaran pada hadits tersebut, mengakibatkan nilai kualitasnya menjadi
tidak shahih.

Dengan demikian, yang dimaksud hadits tidak ber’illat, ialah hadits yang di
dalamnya tidak terdapat kesamaran atau keragu-raguan. ‘Illat hadits dapat terjadi
baik pada sanad mapun pada matan atau pada keduanya secara bersama-sama.

4
Namun demikian, ‘illat yang paling banyak terjadi adalah pada sanad. Adapun
contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut;

َ ‫عنْ أَبِ ْي ِه قَا َل‬


ُ‫س ِمعْت‬ َ ‫عنْ ُم َح َّم ِد ب ِْن ُجبَي ِْر ب ِْن ُم ْطع ِِم‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ف قَا َل أ َ ْخبَ َرنَا َما ِل ٌك ع َِن اب ِْن‬
ٍ ‫ش َها‬ َ ُ‫َح َّدثَنَا عَ ْب ُدهللاِ ْب ُن يُ ْوس‬
ِ ‫م قَ َرأ َ فِي ا ْل َم ْغ ِر‬.‫َرسُ ْو َل هللاِ ص‬
)‫ب بِالطُّ ْو ِر (رواه البخاري‬
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah
mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair
bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw
membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR.Bukhari,KitabAdzan).
3. Pembagian Hadits Shahih
Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam, yaitu:
a. Hadits Shahih li-Dzatihi
Hadits Shohih li-Dzatihi adalah suatu hadits yang sanadnya bersambung dari
permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil, dhabith yang
sempurna, serta tidak ada syadz dan ‘Illat.
b. Hadits Shahih li-Ghairihi
Adalah hadits yang belum mencapai kualitas shahih, misalnya hanya berkualitas
hasan li-dazatihi, lalu ada petunjuk atau dalil lain yang menguatkannya, maka hadits
tersebut meningkat menjadi hadits shahih li-ghairihi. Ulama hadits mendefinisikan
hadits shahih li-ghairihi.

‫هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحا فظ الضا بط مع كونه مشهورا بالصدق حتى يكون حديثه حسنا ثم‬
‫وجد فيه من طريق اخر مساو لطريقه أوارجح ما يجبر ذالك القصورالواقع فيه‬
“Yaitu hadits shahih karena adanya syahid atau mutabi’. Hadits ini semula
merupakan hadits hasan, karena adanya mutabi’ dan syahid, maka kedudukannya
berubah menjadi shahih li-Ghairihi.”
4. Kehujahan Hadits Shahih
Hadits yang telah memenuhi persyaratan hadits shahih wajib diamalkan sebagai
hujah atau dalil syara’ sesuai ijma’ para uluma hadits dan sebagian ulama ushul dan
fikih. Kesepakatan ini terjadi dalam soal-soal yang berkaitan dengan penetapan halal
atau haramnya sesuatu, tidak dalam hal-hal yang berhubungan dengan aqidah. Sebagian
besar ulama menetapkan dengan dalil-dalil qat’i, yaitu al-Quran dan hadits mutawatir.

5
oleh karena itu, hadits ahad tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan-
persoalan yang berhubungan dengan aqidah.

2.3 Hadits Hasan


1. Pengertian Hadis Hasan
Hasan menurut lughot adalah sifat musybahah dari ‘Al-Husna’, artinya bagus.
Menurut Ibnu Hajar, hadis hasan adalah khabar ahad yang dinukil oleh orang yang
adil, kurang sempurna hapalanya, bersambung sanadnya, tidak cacat dan tidak syadz3.
Untuk membedakan antara hadis sahih dan hasan, kita harus mengetahui batasan
dari kedua hadis tersebut. Batasanya adalah keadilan pada hadis hasan disndang oleh
orang yang tidak begitu kuat ingatannya, sedangkan pada hadis sahih terdapat rawi-rawi
yang benar-benar kuat ingatannya. Akan tetapi, keduanya bebas dari keganjilan dan
oenyakit. Keduanya bisa dijadikan hujjan dan kandungannya bisa dijadikan sebagai
penguat.4
2. Pembagian Hadis Hasan
Sebagaimana hadis shahih, hadis hasan pun terbagi atas hasan li dzatih dan hasan li
ghairih. Hadits yang memenuhi syarat-syarat hadis hasan disebut hasan li dzatih. Syarat
untuk hadis hasan adalah sebagaimana syarat untuk hadis shahih, hanya saja perawi
hanya termasuk kelompok keempat (shoduq) atau istilah lain yang setaraf atau sama
dengan tingkatan tersebut.5
Adapun hasan li ghairih adalah hadis dhaif yang bukan dikarenakan rawinya
pelupa, banyak salah dan orang fasik, yang mempunyai mutabi’ dan syahid. Hadits
Dha’if yang karena rawinya buruk hapalannya (su’u al-hifdzi), tidak dikenal
identitasnya (mastur) dan mudallis (menyembunyikan cacat) dapat naik derajatnya
menjadi hasan li ghairihi karena dibantu, oleh hadits-hadits lain yang semisal dan
semakna atau karena banyak rawi yang meriwayatkannya.
Contoh hadis hasan li ghairihi:
: ‫سلَ ِم قَا َل‬ َ ُ‫صلَّى للا‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َ ‫ع ِن النَّ ِبى‬ َ ‫سيْن‬ َ ‫ع ْن ع ِْم َران ب ِْن ُح‬َ ‫ع ْن أَبِي َر َجاء‬ َ ‫وف‬ ُ ‫ع‬ َ ‫َحدَّثَنَا عُثْ َمان ب ِْن ال َه ْيت َِم َحدّثَنَا‬
)‫ ( رواه البخارى‬.‫سا ُء‬ َ ِّ‫ار َف َرأَيْتُ أ َ ْكث َ َر أ ْه ِل َها الن‬ َ ‫طلَ ْعتُ فِى ْال َجنَّ ِة فَ َرأَيْتَ أ َ ْكث َ َر أ َ ْه ِل َها ْالفُ َق َرا ُء َوا‬
ِ َّ‫طلَ ْعتُ فِي الن‬ َ ‫ا‬

3 Ath-Thahhan. op, cit. hlm. 38.


4 Subhi Ash-Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997. Hlm. 142.
5 M.M. azami. Metodologi Kritik Hadits. Terj. A. yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah. 1992, hlm. 103.

6
Aku pergi ke surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah orang faqir dan
aku pergi ke neraka kudapati sebagian besar penghuninya adalah wanita. (HR
BUKHARI)
3. Kedudukan Hadits Shahih dan Hasan dalam Berhujjah
Kebanyakan ulama ahli hadits dan fuqaha bersepakat untuk menggunakan hadits
shahih dan hadits hasan sebagai hujjah. Di samping itu, ada ulama yang mensyaratkan
bahwa hadits hasan dapat digunakan sebagai hujjah, bilamana memenuhi sifat-sifat
yang dapat diterima. Pendapat terakhir ini memerlukan peninjauan yang seksama.
Sebab, sifat-sifat yang dapat diterima itu ada yang tinggi, menengah, dan rendah. Hadits
yang sifat dapat diterimanya tinggi dan menengah adalah hadits shahih, sedangkan
hadits yang sifat dapat diterimanya rendah adalah hadits hasan.
Hadits-hadits yang mempunyai sifat dapat diterima sebagai hujjah disebut hadits
maqbul, dan hadits yang tidak mempunyai sifat-sifat yang dapat diterima disebut hadits
mardud.
Yang termasuk hadits maqbul adalah:
a. Hadits sahih, baik sahih li dzatihi maupun sahih li ghairih.
b. Hadits hasan, baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairih.
Yang termasuk hadits mardud adalah segala macam hadits dha’if. Hadits mardud
tidak dapat diterima sebagai hujjah karena terdapat sifat-sifat tercela pada rawi-rawinya
atau pada sanadnya.
4. Kitab-kitab yang mengandung Hadits Hasan
Para ulama belum menyusun kitab khusus tentang hadits-hadits hasan secara
terpisah sebagaimana mereka melakukannya dalam hadist sahih, tetapi hadits hasan
banyak kita dapatkan pada sebagian kitab, diantaranya:
a. Jami’ At-Tirmidzi, dikenal dengan Sunan At-Tirmidzi, merupakan sumber untuk
mengetahui hadits hasan.
b. Sunan Abu Dawud.
c. Sunan Ad-Daruquthi.

2.4 Hadits Dha’if


1. Pengertian Hadits Dha’if

7
Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫)الضعيف‬berarti lemah
lawan dari al-Qawi (‫)القوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif ini karena sanad
dan matannya tidak memenuhi kriteria hadits shahih atau pun hasan yang diterima
sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :
َ ‫ه َُو َما لَ ْم يَ ْج َم ْع ِصفَه ُ ا ْل َح‬
‫س ِن بِفَ ْق ِد ش َْرطٍ مِ نْ شُ ُر ْوطِ ِه‬
“Adalah hadits yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa
syarat yang tidak terpenuhi”
Atau defenisi lain yang biasa diungkapkan mayoritas ulama :
َ ‫ه َُو َما لَ ْم يَ ْج َم ْع ِصفَه ُ الصَّحِ يْحِ َواْل َح‬
‫س ِن‬
“Hadits yang tidak menghimpun sifat hadits shahih dan hasan”
Sehingga hadits dhaif merupakan hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung (muttasshil),
para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik dalam sanad atau
matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada sanad atau matan.
2. Macam-macam hadits dhoif
f. Dhoif pada sanad
‫السند هو سلسلة الراوىالموصّله الىالمتن‬
Sanad adalah rangkaian nama-nama orang yang meriwayatkan hadits dari awal
hingga matan. Dhoif pada sanad yaitu disebabkan oleh :
 Terputus sanad
1) Mursal ; hadits yang terputus sanadnya diawal (generasi sahabat)
2) Muallaq : hadits yang terputus sanadnya diakhir (tabiut-tabi’in)
3) Munqoti : hadits yang terputus sanadnya ditengah satu orang (tabi’in besar
atau kecil )
4) Mu’dlal : hadits yang terputus sanadnya ditengah dua orang
5) Mudallas : hadits yang terputus sanadnya karena perawi tidak menyebutkan
nama gurunya.
g. Dhoif pada matan
‫امانتهى اليه سند من الكالم‬
Matan adalah ucapan yang berada pada ujung sanad. Dho’if pada matan disebabka
oleh :

8
 Cacat Perawi / Matan ada 10 macam yaitu :
1) Maudlu : hadits yang dinisbahkan kepada rasul secara sengaja, berbohong,
dan mengada-ada.
2) Matruk : yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta.
3) Munqothi : yang diriwayatkan oleh orang yang banyak lalai, salah, fasik.
4) Mudraj : yang disisipi oleh ucapan perawi, yang seharusnya ucapan rasul
5) Mushohaf : yang didalamnya sudah trdapat perubahan kata karena ada
kesalahan penempatan titik.
6) Muharraf : yang didalamnya terdapat perubahan kata karena salah
penempatan huruf
7) Mudldharib : yang didalamnya terdapat perubahan kata karena tertukar pada
kata-kata yang berlawanan.
8) Maqlub : yang didalamnya terdapat kata yang tertukar yaitu kata yang
didepan dibelakangkan begitu pula sebaliknya.
9) Muallal : yang didalamnya terdapat illat.
3. Pembagian hadits dhaif
Hadis dhaif berdasarkan tingkat kedha’ifannya dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Dhaif muhtamal
Yaitu yang bias ditahan (diterima) atau ringan, bukan dha’if yang berat. Hal ini
ketika ada hadis semisal yang membantu tertutupnya kedha’ifan hadis tersebut dan
terangkat menjadi hadis hasan li ghairihi.
b. Dha’if syadid
Yaitu dha’if yang sangat berat. Hal ini ketika ada hadis yang semisalnya tertapi
tetap tidak tertutup kedha’ifan hadis tersebut dan tidak terangkat derajatnya.
4. Contoh hadits dhaif
Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram dari Abu
Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :
َ ‫َو َمنْ أَت َي َحائِضَا أ َ ِوا ْم َرأ َ ٍه ِمنْ ُدبُ ِر أ َ ْو كَا ِهنَا فَقَ ْد َكفَ َر ِب َما ا ُ ْن ِز َل‬
‫علَي ُم َح َّم ٍد‬
"Barangsiapa shalatnya tidak dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munknr,
maka ia tidak menambah sesuatu pun dari Allah SWT kecuali kejauhan."

9
Hadits tersebut batil, meskipun hadits tersebut sangat dikenal dan sering menjadi
pembicaraann, namun sanad maupun matannya tidaklah sahih. Dari segi sanad, telah
diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam kitab al-Mu'jaru al-Kabir, al-Qudha'i dalam kitab
Musnad asy-SyihabII/43, Ibnu Hatim dalam Tafsir Ibnu Katsir II/414 dan kitab al-
Kswahibad.-Dararil/2/83, dari sanad Laits, dari Thawus, dari Ibnu Abbasr .a.
Ringkasnya, hadits tersebut sanadnya tidak sahih sampai kepada Rasulullah tapi hanya
sampai kepada Ibnu Mas'ud r.a. dan merupakan ucapannya dan juga hanya sampai
kepada Ibnu Abbas r.a. Karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Kitabul - Irnan
halaman 12, tidak menyebut- butnya kecuali sebagai riwayat mauquf yang hanya
sampai kepada Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas r.a. Di samping itu, matannya pun tidak
sahih sebab zhahirnya mencakup siapa saja yang mendirikan shalat dengan memenuhi
syarat rukunnya. Padahal syara’ tetap menghukuminya sebagai yang benar atau sah,
kendati pun pelaku shalat tersebut masih suka melakukan perbuatan yang bersifat
maksiat. ladi, tidaklah benar bila dengannya (yakni shalat yang benar) justru akan makin
menjauhkan pelakunya dari Allah SWT. Ini sesuatu yang tidak masuk akal dan tidak
pula dibenarkan dalam syariat. Karena itu, Ibnu Taimiyah menakwilkan kata-kata "tidak
menambahnya kecuali jauh dari Allah" jika yang ditinggalkann yaitu merupakan
kewajibanya yang lebih agung dari yang dilakukannya. Ini berarti pelaku shalat tadi
meninggalkan sesuatu sehingga shalatnya tidak sah, seperti rukun-rukun dan syarat-
syaratnya. Kemudian, tampaknya bukanlah shalat yang demikian (yakni yang sah dan
benar menurut syara') yang dimaksud dalam hadits mauquf tadi. Dengan demikian
jelaslah bahwa hadits tersebut dha'if, baik dari segi sanad maupun matannya. Wallhu
a'lam bishshawab.
5. Kehujjahan hadits dhaif
Kehujjahan hadits dha’if dapat dilihat dari segi :
a. Hukum periwayatan hadits dhaif
Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara hadits
dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya
hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur.

10
Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya pendusta. Maka para ulama
memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun tanpa menjelaskan
kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :
1) Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah
2) Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram, tetapi,
berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits tentang
ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain.
Dalam meriwayatkan hadit dhaif, jika tanpa isnad atau sanad sebaiknya tidak
menggunakan bentuk kata aktif (mabni ma’lum) yang meyakinkan (jazam)
kebenarannya dari Rasulullah, tetapi cukup menggunakan bentuk pasif (mabni
majhul) yang meragukan (tamridh) misalnya : ‫ي‬
َ ‫ ُر ِو‬diriwayatkan, ‫ نُ ِق َل‬dipindahkan,
‫ي‬
َ ‫ فِ ْيمِا ي ُْر ِو‬pada sesuatu yang diriwayatkan dating. Periwayatan dhaif dilakukan
karena berhati-hati (ikhtiyath).
b. Pengamalan hadits dhaif
Para ulama berpendapat dalam pengamalan hadits dhaif. Perbedaan itu dapat
dibagi menjadi 3 pendapat, yaitu :
1) Hadits dhaif tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam keutamaan amal
(Fadhail al a’mal) atau dalam hukum sebagaimana yang diberitahukan oleh Ibnu
sayyid An-Nas dari Yahya bin Ma’in. pendapat pertama ini adalah pendapat Abu
Bakar Ibnu Al-Arabi, Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu hazam.
2) Hadits dhaif dapat diamalkan secara mutlak baik dalam fadhail al-a’mal atau
dalam masalah hukum (ahkam), pendapat Abu Dawud dan Imam Ahmad. Mereka
berpendapat bahwa hadits dhaif lebih kuat dari pendapat para ulama.
3) Hadits dhaif dapat diamalkan dalam fadhail al-a’mal, mau’izhah, targhib (janji-
janji yang menggemparkan), dan tarhib (ancaman yang menakutkan) jika
memenuhi beberapa persyaratan sebagaimana yang dipaparkan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqolani, yaitu berikut :
 Tidak terlalu dhaif, seperti diantara perawinya pendusta (hadits mawdhu’) atau
dituduh dusta (hadits matruk), orang yan daya iangat hafalannya sangat kurang,
dan berlaku fasiq dan bid’ah baik dalam perkataan atau perbuatan (hadits
mungkar).

11
 Masuk kedalam kategori hadits yang diamalkan (ma’mul bih) seperti hadits
muhkam (hadits maqbul yang tidak terjadi pertentanga dengan hadits lain),
nasikh (hadits yang membatalkan hukum pada hadits sebelumnya), dan rajah
(hadits yang lebih unggul dibandingkan oposisinya).
 Tidak diyakinkan secara yakin kebenaran hadits dari Nabi, tetapi karena
berhati-hati semata atau ikhtiyath.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan
ahli fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib
diamalkan.
Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits
hasan sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama
yang memasukkan hadits hasan kedalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun
hasan li ghairihi.
Jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka
hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sambai dua atau tiga
syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah
mardud (tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

13
Daftar Pustaka

.
Subhi Ash-Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Hadits. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.

M.M. azami. Metodologi Kritik Hadits. Terj. A. yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah.

Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

Alfatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadits (Yogyakarta: Penebit Teras, 2010)

Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2010)

Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012)

14

Anda mungkin juga menyukai