Anda di halaman 1dari 3

INISIASI 1

KONSEP DAN SEJARAH PERKEMBANGAN LOGIKA

Tentunya, Anda sudah mengerti asal-usul kata LOGIKA baik secara etimologis
maupun terminologis. Secara konseptual kita berangkat dari definisi
terminologis bahwa logika adalah “sistem penalaran tentang penyimpulan yang
sah” (Bakry, 2012: 1.3). Yang perlu diperhatikan dari definisi itu, yaitu sistem
penalaran dan penyimpulan yang sah. Sebelum memahami lebih dalam tentang
penalaran dan penyimpulan, kita perlu mengenal LOGIKA DEDUKTIF dan
LOGIKA INDUKTIF. Deduktif dan Induktif dapat dibedakan dengan melihat sifat
kesimpulan yang dihasilkannya. Jika logika deduktif, maka kesimpulannya
bersifat PASTI. Sedangkan logika induktif, maka kesimpulannya bersifat
MUNGKIN.

Contoh logika deduktif:


Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia
Semua bangsa Indonesia mengakui ketuhanan Yang Maha Esa
Maka, Pancasila mengakui ketuhanan Yang Maha Esa.

Selain itu, deduktif dan induktif dapat dibedakan dengan melihat BENTUK atau
ISI pernyataan yang digunakan. Logika deduktif dikenal dengan logika FORMAL,
sebab kepastiannya ditentukan oleh bentuk pernyataan atau struktur dari
penyataan yang digunakan. Contoh di atas secara formal dapat dijelaskan,
sebagai berikut:
Semua A adalah B
Semua B adalah C
Maka, semua A adalah C.

Sedangkan, logika induktif dikenal dengan logika MATERIAL, karena


kemungkinannya ditentukan oleh isi penyataan yang digunakan. Isi
penyataannya itu sesuai dengan kenyataan atau tidak, sehingga kesimpulan
yang dihasilkannya adalah kemungkinan. Kemungkinan itu benar atau salah.
Contoh logika induktif:
Perempuan adalah manusia, laki-laki adalah manusia, anak-anak adalah
manusia, waria adalah manusia
Perempuan, laki-laki, anak-anak, dan waria dipaksa, akan memberontak.
Maka, manusia dipaksa, akan memberontak.

Konsepsi logika tersebut, tidak lepas dari sejarah yang membentuknya. Secara
historis ada dua zaman yang membentuk logika, yakni: zaman Yunani dan
zaman Modern. Pada zaman Yunani, Aristoteles menjelaskan bahwa “logika
adalah ilmu yang mengkaji hukum-hukum berpikir untuk memelihara proses
penalaran dari kesalahan” (Bakry: 2012: 1.30). Logika zaman Yunani ini dikenal
dengan logika TRADISIONAL atau logika ARISTOTELES yang berpusat pada
karyanya Organon. Buku Organon berisi tentang Categoriae, De Interpretatione,
Analytica Priora, Analytica Posteriora, Topica dan Sophistici Elenchi. Pada
zamannya, konsepsi logika menurut Aristoteles diikuti oleh Theoprastus, kaum
Stoik, Megaria Porphyrius, dan berkembang pada empat wilayah, yaitu: Athena,
Iskandariah, Antiokia, dan Roma. Logika zaman Yunani berakhir pada masa
Boethius di Roma. Akhir logika tradisional dikenal dengan zaman gelap (dark
ages).

Pada abad XII atau zaman Modern, di wilayah Eropa Peter Abelard
menghidupkan kembali logika pada pendidikan tinggi di Kota Paris. Hidup
kembali logika dengan ditemukannya naskah-naskah kuno oleh Abelard tentang
Topica karya Cicero, tentang Perihermenias komentar Apuleus, tentang De
Syllogimo Hypothetico dan De Syllogismo Categorico komentar Boethius dan
komentar tentang De Interpretatione. Masa ini disebut dengan Ars Vetus atau
Logika Tua. Kemudian, berkembang pada Ars Nova atau Logika Baru, Logika
kaum Scholastik, logika golongan Port Royal hingga logika simbolik. Logika
SIMBOLIK pada abad IX dipelopori oleh Leibniz dengan idenya tentang ars
combinatoria. Logika simbolik ditujukan untuk menjelaskan logika sebagai ilmu
pasti. Setiap pengertian, pernyataan, dan hubungan digantikan dengan simbol-
simbol. Logika simbolik dikembangkan pertama oleh George Boole dan Augustus
de Morgan dalam bukunya The Mathematical Analysis of Logic (1847) tentang
logika formal. Kemudian, John Venn menulis tentang Symbolic Logic (1881).
Dalam perkembangannya logika terus berkembang pada pembahasan logika
simbolik.

Sumber bacaan:
Noor Muhsin Bakri dan Sonjoruri Budiani Trisakti. Logika. Ed. V. Jakarta:
Universitas Terbuka, 2012, hal. 1.1-1.11 dan 1.30-1.46.

Anda mungkin juga menyukai