Gangguan kecemasan adalah suatu gangguan yang paling diperngaruhi oleh kriteri
diagnostik di dalam diagnostic and stastitical manual of mental disorder edisi 3 (DSM III), edisi
ke 3 yang direvvisi (DSM III-R), dan edisi ke 4 (DSM-IV), dan oleh tumbuhnya pengetahuan
tentang biologi kecemasan. Kecemasan ada 2, kecemasan normal dan kecemasan patologis.
Penilaian tersebut didasarkan pada laporan keadaan internal pasien, perilakunya, dan
kemampuan pasien untuk berfungsi. Seorang pasien dengan kecemasan patogis memerlukan
pemeriksaan neuropsikiatri yang menyeluruh dan suatu rencana pengobatan yang disusun secara
individual. Klinisi juga harus menyadari bahwa kecemasan mungkin merupakan komponen dari
banyak kondisi medis dan gangguan mental lainyya, khusunya gangguan depresif. Kecemasan
adalah suatu penyerta yang normal dari pertumbuhan, dari perubahan, dari pengalaman sesuatu
yang baru dan belum dicoba, dan dari penemuan identitas sendiri dan arti hidup. Sedangkan
kecemasan patologis adalah respon yang tidak sesuai terhadap stiumulus yang diberikan
berdasarkan pada intensitas atau durasinya.
Kecemasan Normal
Suatu perasaan yang ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenangkan dan
samar, seringkali disertai oleh gejala otonomik seperti nyeri kepala, berkeringat, palpitasi,
kekakuan pada dada dan gangguan lambung ringan.
KECEMASAN PATOLOGIS
Teori Psikologis
Tiga bidang utama teori psikologis (psikoanalitik, perilaku dan ekstensial) telah
menyumbangkan teori tentang penyebab kecemasan.
Teori Psikoanalitik
Freud menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu
dorongan yang tidak tidak dapat diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan dan
pelepasan sadar. Di dalam teori psikoanalitik, kecemasan dapat dipandang sebagai masuk ke
dalam empat katagori utama, tergantung pada sifat akibat yang ditakutinya : kecemasan id atau
impuls, kecemasan kastrasi, dan kecemasan superego.
Teori Perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respon yang dibiasakan
terhadap stimuli lingkungan spesifik.
Teori Ekstensial
Teori ekstensial tentang kecemasan memberikan model untuk gangguan kecemasan
umum (generalized anxiety disorder) dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasi
secara spesifik untuk suatu perasaan yang kronis. Kecemasan adalah respon seesorang terhadap
kehampaan eksistansi dan arti yang berat tersebut.
Teori Biologis
Sistem Saraf Otonom
Stimulasi sistem saraf otonom menyebabkan gejala tertentu-kardiovaskular (sebagai
contoh takikardia), muskular (sebagai contoh nyeri kepala), gastrointestinal (sebagai contoh
diare) dan pernafasan (sebagai contohnya, nafas cepat). Manifestasi kecemasan perifer tersebut
tidak selalu berubungan dengan pengalaman kecemasan subjektif.
Neurotransmiter
Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan berdasarkan penelitian
pada binatang dan respon terhadap terapi obat adalah noerpinefrin, serotonin dan gamma
animobutyric acid (GABA).
Norepinefrin
Teori umum tentang peranan norepinefrin didalam gangguan kecemasan adalah bahwa
pasien yang menderita mungkin memiliki sistem noradenergik yang teregulasi secara buruk yang
secara kadang-kadang menyebabkan aktifitas.
Serotonin
Dikenalinya banyak tipe reseptor serotonin telah merangsang pencarian akan peranan
serotonin di dalam patogenesis gangguan kecemasan.
GABA.
Peranan gama-aminobutyric acid (GABA) dalam gangguan kecemasan didukung paling
kuat oleh manfaat benzodiazepin yang tidak dapat dipungkiri, yang meningkatkan reseptor
GABA pada reseptor GABAA, didalam pengobatan beberapa jenis kecemasan.
APLYSIA
Suatu model neurotransmiter untuk gangguan kecemasan didasarkan pada penelitian pada
Apylisia californica, suatu siput laut yang bereaksi terhadap bahaya dengan melarikan diri,
memasukkan dirinya ke dalam rumahnya dan menurunkan perilaku makannya.
Penelitian Genetika
Penelitan genetika telah menghasilkan data yang kuat bahwa sekurangnya suatu
komponen genetika berperan terhadap perkembangan gangguan kecemasan.
Pertimbangan Neuroanatomis
Lokus sereleus dan nukeli raphe terutama berajalan ke sistem limbik dan korteks serebral.
Dalam kombinasi dengan data dari penelitian pencitraan otak, bidang tersebut menjadi pusat
sebagian besar pembentukan hipotesis tentang substrat neuroanatomik dari gangguan kecemasan.
Gambaran Klinis
Gangguan Panik
Serangan panik seringkali sama sekali spontan, walaupun serangan panik kadang-kadang
terjadi setelah luapan kegembiraan, kelelahan fisik aktifitas seksual atau trauma emosional
sedang.
Agorafobia
Pasien agorafobia secara kaku menghindari situasi dimana akan sulit untuk mendapatkan
bantuan. Mereka lebih suka disertai seorang teman atau anggota keluarga ditempat-tempat
tertentu seperti jalanan yang sibuk, toko yang padat, ruangan yang tertutup dan kendaraan
tertutup.
Gejala Penyerta
Gejala depresif seringkali ditemukan pada gangguan panik dan agorafobia dan pada
beberap pasien suatu gangguan depresif ditemukan bersama-sama dengan gangguan panik.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk seorang pasien dengan gangguan paik adlaah sejumlah besar
gangguan medis dan juga banyak gangguan mental.
Gangguan Medis
Diferensial diagnosis untuk gangguan panik dapat meliputi beberapa gangguan organik
antara lain : penyakit kardiovaskular, pulmonal, neurologis, endokrin, intoksikasi obat dan
halusinogen.
Gangguan Mental
Diagnosis banding psikiatrik untuk gangguan panik adalah pura-pura, gangguan buatan,
hipokondriasis, gangguan depersonalisaasi, fobia sosial dan spesifik, gangguan sterss
pascatraumatik, gangguan depresif dan skizofrenia.
Terapi
Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan dramatik pada gejala
gangguan panik dan agorafobia. Dua terapi yang paling efektif adalah farmakoterapi dan terapi
kognitif-perilaku. Terapi keluarga dan terapi kelompok mungkin membantu pasien yang
menderita dan keluarganya untuk menyesuaikan dengan kenyataan bahwa pasien menderita
gangguan dan dengan kesulitan psikososial yang telah dicetuskan oleh gangguan.
Farmakoterapi
Obat trisiklik dan tetrasiklik, MAOIs, SSRIs, dan benzodiazepine adalah efektif didalam
pengobatan gangguan panik. Jika suatu obat dari suatu kelas (misal trisiklik) tidak efektif, suatu
obat dari kelas yang berbeda harus dicoba.
Terapi Kognitif dan Perilaku
Berbagai laporan telah menyimpulkan bahwa terapi kognitif dan perilaku adalah lebih
ungul dibandingkan farmakoterapi saja. Gabungan dari keduanya lebih efektif dibandingkan jika
terapi ini dilaksanakan sendiri-sendiri.
Terapi psikososial lain
Terapi keluarga
Terapi keluarga yang diarahkan untuk mendidik dan mendukung seringkali bermanfaat.
Psikoterapi berorientasi tilikan
Psikoterapi ini memusatkan pada membantu pasien mengerti arti bawah sadar dari
kecemasan, simbolisme situasi yang dihindari, kebutuhan untuk merepresi impuls dan
tujuan sekunder dari gejala. Pengoatan ini menurut penelitan dapat bermanfaat untuk
mengobati gangguan panik dan agorafobia.
Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan penghindaran yang didasari
terhadap objek, aktivitas atau situasi yang ditakuti. Situasi fobik menyebabkan ketegangan orang
yang bersangkutan dimana orang tersebut sadar bahwa reaksinya berlebihan, dan ketegangan ini
sampai menimbulkan gangguan kemampuan seseorang untuk berfungsi di dalam kehidupannya.
1. Epidemiologi
a. Fobia Spesifik
Fobia spesifik disebut juga fobia sederhana. Objek dan situasi yang biasanya
ditakuti pada orang dengan fobia spesifik adalah binatang, badai, ketinggian,
penyakit, darah, injeksi, cedera dan kematian. Prevalensi enam bulan fobiua
spesifik adalah sekitar 5-10 per 100 orang. Fobia spesifik lebih sering terjadi pada
wanita dengan perbandingan wanita dan laki-laki adalah 2 : 1.
b. Fobia Sosial
Fobia sosial disebut juga gangguan kecemasan sosial yang ditandai dengan
ketakutan yang berlebihan terhadap penghinaan dan rasa memalukan di dalam
berbagai lingkungan sosial, seperti berbicara di depan publik, buang air kecil di
wc umum (“shy bladder”) dan janji kencan. Fobia sosial seringkali sulit
dibedakan dengan gangguan kepribadian menghindar. Prevalensi fobia sosial
antara 2-3 per 100 orang. Onset terjadinya paling muda 5 tahun dan yang paling
lanjut 35 tahun.
2. Etiologi
a. Prinsip-prinsip umum
- Faktor perilaku
Pada tahun 1920, John B Watson menuliskan artikel mengenai penelitiaanya
terhadap model stimulus-respon tradisional dari pavlov tentang refleks yang
dibiasakan (conditional reflex) dimana kecemasan adalah dibangkitkan
stimulus yang secara alami menakutkan yang terjadi dalam hubungan dengan
stimulus kedua yang bersifat netral. Apabila kedua stimuli dipasangkan
berurutan , maka stimulus yang awalnya netral dapat memiliki kemampuan
untuk membangun kecemasan apabila stimukus tersebut dibiasakan secara
bertahap. Pada gejala fobik, pelemahan respon terhadap stimulus yang
dibiasakan tidak terjadi.
Pada teori pembiasaaan perilaku (operant conditioning theory), kecemasan
adalah dorongan yang memotivasiorganisme untuk melakukan apa yang dapat
menghilangkan pengaruh yang menyakitkan. Organisme belajar bahwa
tindakan tertentu memungkinkan mereka menghindari stimulus yang dapat
menimbulkan kecemasan. Model tersebut mudah diterapkan pada fobia
dimana penghindaran terhadap objek atau situasi yang menimbulkan
kecemasan memegang peranan inti dan hal ini menjadi terfiksasi sebagai
gejala yang stabil.
Teori belajar memiliki relevansi khusus terhadap fobia dan mampu
memberikan penjelasan sederhana serta dapat dimengerti dari berbagai aspek
fobia, namun berbagai kritik mengatakan bahwa teori ini sebagian besar
menggambarkan mekanisme permulaan gejala dan kurang berguna
dibandingkan teori psikoanalitik dalam memberikan pemahaman proses psikis
dasar yang terlibat.
- Faktor psikoanalitik
Sigmund Freud menghipotesiskan bahwa fungsi utama kecemasan adalah
sebagai pemberi sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan bawah sadar yang
dilarang mendorong mendapatkan ekspresi sadar, jadi mengubah ego untuk
memperkuat dan menyusun pertahanannya melawan dorongan instingtual
yang mengancam. Freud memandang bahwa fobia (histeria kecemasan)
sebagai akibat dari konflik yang terpusat pada situasi oedipal masa anak-anak
yang tidak terpecahkan.
Pada pasien fobik pertahanan yang terlibat terutama menggunakan
pengalihan, yaitu konflik seksual dialihkan pada obyek yang tidak relevan dan
tidak penting, yang selanjutnya memiliki kekuatan untuk membangkitkan
kumpulan afek, termasuk sinyal kecemasan. Objek atau situasi fobik biasanya
adalah sesuatu yang dapat dijauhi oleh seseorang. Freud pertama kali
merumuskan teoritiknya tentang pembentukan fobia dalam riwayat Little
Hans, seorang anak berusia 5 tahun yang memiliki ketakutan terhadap kuda.
Pada pengamatan klinik, didapatkan pandangan bahwa kecemasan yang
berhubungan dengan fobia memiliki berbagai sumber dan warna.
Fobia menggambarkan interaksi antara diatesis genetika-konstitusional dan
stressor lingkungan. Dari hasil penelitian longitudinal didapatkan anak-anak
tertentu memiliki predisposisi konstitusional terhadap fobia karena mereka
lahir dengan temperamen tertentu yang dikenal sebagai inhibisi perilaku yang
tidak dikenal (behavioral inhibition to the unfamiliar). Tetapi presdiposisi
temperamental harus ada untuk menciptakan fobia yang lengkap.
Sikap fobik-balik (Counterphobic Attitude). Otto Fenichel menarik perhatian
dengan menyatakan bahwa kecemasan dapat disembunyikan dengan pola
sikap dan perilaku yang mencerminkan suatu penyangkalan, dimana objek
atau situasi yang ditakuti adalah berbahaya atau bahwa seseorang ketakutan
terhadapnya. Orang fobik-balik akan mencari-cari situasi yang berbahaya dan
melawannya secara entusias. Terlihat pada olahraga yang mungkin berbahaya
seperti terjun payung dan mendaki gunung. Pola perilaku tersebut meungkin
melibatkan mekanisme pertahanan yang berhubungan yaitu identifikasi
dengan agresor
b. Fobia Spesifik
Perkembangan fobia spesifik dapat disebabkan dari pemasangan (pairing) objek
atau situasi tertentu dengan emosi ketakutan dan panik. Pada umumnya, suatu
kecenderungan tidak spesifik untuk mengalami kecemasan dan ketakutan
membentuk kelompok latar (backgroup); jika suatu peristiwa spesifik (misalnya
mengemudi) dipasangkan dengan pengalaman emosional (misalnya kecelakaan).
Mekanisme asosiasi lain antara objek fobik dan emosi fobik adalah modeling,
dimana seseorang mengamati reaksi pada orang lain (sebagai contohnya orang
tua) dan pengalihan informasi, dimana seseorang diajarkan atau diperingatkan
tentang bahaya objek
c. Fobia Sosial
Teori psikoanalisa
Teori genetik
Teori Neurotransmiter
Mekanisme Dopaminergik
Mekanisme Serotonergik
Mekanisme Noradrenergik
Penderita fobia sosial sangat sensitif terhadap perubahan kadar epinefrin sehingga
dengan cepat terjadi peningkatan denyut jantung, berkeringat dan tremor. Pada
orang normal, gejala fisik yang timbul akibat peningkatan epinefrin mereda atau
menghilang dengan cepat. Sebaliknya pada penderita fobia sosial tidak terdapat
penurunan gejala. Bangkitan gejala fisik yang meningkat semakin mengganggu
penampilan di depan umum. Pengalaman ini juga membangkitkan kecamasan
pada penampilan berikutnya sehingga mengakibatkan orang tidak berani tampil
dan menghindari panampilan selanjutnya
Pencitraan Otak
3. Diagnosis
a. Fobia Spesifik
Kriteria diagnostik untuk Fobia Spesifik :
o rasa takut yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak
beralasan, ditunjukkan oleh adanya atau antisipasi suatu objek atau
situasi tertentu (misalnya naik pesawat terbang, ketinggian, binatang,
dll)
o pemaparan dengan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respon
kecemasan yang segera, yang dapat berupa serangan panik yang
berhubungan dengan situasi atau dipredisposisikan oleh situasi.
o orang menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak
beralasan.
o situasi fobik dihindari atau jika tidak dapat dihindari, dihadapi dengan
kecemasan atau penderitaan yang kuat.
penghindaran, antisipasi kecemasan, atau penderitaan dalam situasi
yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas normal orang,
fungsi pekerjaan atau aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain,
atau terdapat penderitaan yang jelas karena menderita fobia.
o pada individu dibawah 18 th, durasi sekurangnya 6 bulan.
b. Fobia Sosial
Menurut DSM-IV
Kriteria A
Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau tampil
didepan orang yang belum dikenal atau situasi yang memungkinkan ia dinilai oleh
orang lain atau menjadi pusat perhatian. Ada perasaan takut bahwa ia akan
berperilaku memalukan atau menampakkan gejala cemas atau bersikap yang dapat
merendahkan dirinya.
Kriteria B
Apabila pasien terpapar dengan situasi sosial, hampir selalu timbul kecemasan atau
bahkan mungkin serangan panik.
Kriteria C
Pasien menyadari bahwa ketakutannya sangat berlebihan dan tidak masuk akal.
Ketakutan tersebut tidak merupakan waham atau paranoid.
Kriteria D
Pasien menghindar dari situasi sosial atau menghindar untuk tampil di depan umum
atau pasien tetap bertahan pada situasi sosial tersebut tetapi dengan perassan sangat
cemas atau sangat menderita.
Kriteria E
Penghindaran dan kecemasan atau penderitaan akibat ketakutan terhadap situasi
sosial atau tampil di depan umum tersebut mempengaruhi kehidupan pasien secara
bermakna atau mempengaruhi fungsi pekerjaan, aktivitas dan hubungan sosial atau
secara subjektif pasien merasa sangat menderita.
Kriteria F
Untuk yang berusia di bawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.
Kriteria G
Ketakutan atau sikap menghindar tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologik zat
atau kondisi medik umum atau gangguan mental lain (gangguan panik dengan atau
tanpa agoraphobia, gangaguan dismorfik, gangguan perkembangan prevasif, atau
dengan gangguan kepribadian skizoid).
Kriteria H
Bila terdapat kondisi medik umum atau gangguan mental lain, ketakutan pada kriteria
A tidak berhubungan dengannya (gagap, Parkinson, atau gangguan perilaku makan
seperti bulimia atau anoreksia nervosa) Kriteria A merupakan kunci gejala fobia
sosial. Hal yang penting pada kriteria ini yaitu adanya situasi yang dapat
membangkitkan fobia yaitu situasi yang dinilai atau diamati oleh orang lain dan juga
ketakutan akan memperlihatkan kecemasan atau bertingkah dengan cara yang
memalukan.
Sedangkan berdasarkan PPDGJ - III diagnosis fobia sosial ditegakkan bardasarkan
yaitu
Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
gejala psikologis, perilaku atau otonomilk yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari anxietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
anxietasnya harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu
(outside the family circle); dan
menghindari situasi fobik harus atau sudah merupaken gejala yang menonjol
Bila terlalu sulit untuk membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia,
hendaknya diutamakan diagnosa agorafobia.
4. Gambarang klinis
a. Fobia Spesifik
Gejala psikologis atau otonomik harus merupakan manifestasi primer dari
anxietas, dan bukan sekunder dari gejala2 lain seperti waham atau pikiran
obsesif
Anxietas harus terbatas adanya objek situasi fobik tertentu
Situasi fobik tersebut sedapat mungkin dihindarinya
Ketakutan berlebih yang disebabkan oleh benda, atau peristiwa traumatik
tertentu, misalnya: ketakutan terhadap kucing (ailurfobia), ketakutan terhadap
ketinggian (acrofobia), ketakutan terhadap tempat tertutup (agorafobia), fobia
terhadap kancing baju, dsb.
b. Fobia Sosial
Gejala fobia sosial dapat berupa:
1. Takut berbicara di depan umum
2. Takut makan di restoran
3. Takut menulis di depan umum
4. Takut berbicara dengan orang asing atau orang yang baru dikenal
5. Takut bergabung dengan kelompok sosial
6. Takut berhadapan dengan orang yang memiliki otoritas (kekuasaan, jabatan,
pengaruh, dan lain-lain)
b. Fobia Sosial
Gangguan depresif & agorafobia sering sulit dibedakan dgn fobia sosial.
Hendaknya diutamakan Dx agorafobia, depresi jgn ditegakkan kecuali ditemukan
sindrom depresif yg lengkap & jelas
Terapi pemaparan
suatu tipe terapi perilaku. Ahli terapi mendesensitisasi pasien, dengan
menggunakan pemaparan stimulus fobik yang serial, bertahap, dan dipacu diri
sendiri. terapist akan mengajari pasien tentang berbagai tehnik untuk menghapai
kecemasan termasuk relaksasi, kontrol pernasafan, dan pendekatan kognitif
terhadap gangguan. Pendekatan kognitif adalah termasuk mendorong kenyataan
bahwa situasi tersebut pada dasarnya adalah aman. Keberhasilan terapi ini
tergantung pada komitemen pasien terhadap pengobatan, masalah dan tujuan yang
diindentifikasi dengan jelas, dan strategi alternatif yang tersedia untuk mengatasi
perasaan.
b. Fobia Sosial
Suatu kombinasi farmakoterapi dan psikoterapi pada umumnya diberikan untuk para
orang dengan fobia sosial.
Farmakoterapi
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIS): SSRIS dengan cepat menjadi first-
line pengobatan yang baku untuk fobia sosial. Paroxetine menerima pengakuan badan
Makanan Dan Administrasi Obat/Racun (FDA) untuk indikasi ini pada tahun 1999
dan SSRI yang pertama memperolehnya. Penelitian menyatakan bahwa SSRIS juga
mungkin efektif.
Psikoterapi
Tingkah laku
Kognitif
Gangguan obsesif kompulsif adalah suatu contoh dari efek positif dimana penelitian
modern telah menemukan gangguan di dalam waktu singkat. Suatu obsesi adalah pikiran,
perasaan, idea tau sensasi yang mengganggu (intrusive). Suatu kompulsif adalah pikiran atau
perilaku yang disadari, dibakukan, dan rekuren, seperti menghitung, memeriksa atau
menghindari. Obsesi meningkatkan kecemasan seseorang, sedangkan melakukan kompulsi
menurunkan kecemasan seseorang. Tetapi jika seseorang memaksa melakukan suatu kompulsi,
kecemasan adalah meningkat. Seorang dengan gangguan obsesif kompulsif biasanya menyadari
irasionalitas dari obsesi dan merasakan bahwa obsesi dan kompulsi sebagai ego-distonik.
Gangguan obsesif kompulsif dapat merupakan gangguan yang menyebabkan ketidakberdayaan,
karena obsesi dapat menghabiskan waktu dan dapat mengganggu secara bermakna pada rutinitas
normal seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas social yang biasanya, atau hubungan dengan teman
dan anggota keluarga.
1. Epidemiologi
Prevalensi seumur hidup gangguan obsesif kompulsif pada populasi umum
diperkirakan adalah 2 sampai 3 persen. Beberapa peneliti telah memperkirakan bahwa
gangguan obsesif kompulsif ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat jalan di klinik
psikiatri. Angka tersebut menyebabkan gangguan obsesif kompulsif sebagai diagnosis
psikiatri tersering yang keempat setelah fobia, gangguan berhubungan zat, dan gangguan
depresi berat.
Untuk orang dewasa laki-laki dan wanita sama mungkin terkena, tetapi untuk remaja
laki-laki lebih sering terkena gangguan obsesif kompulsif dibandingkan perempuan. Usia
onset rata-rata adalah umur 20 tahun, walaupun laki-laki memiliki onset usia yang lebih awal
(sekitar 19 tahun) dibandingkan wanita (rata-rata 22 tahun). Secara keseluruhan kira-kira dua
per tiga dari pasien memiliki onset gejala sebelum usia 25 tahun, dan kurang dari 15 persen
pasien memiliki onset gejala setelah 35 tahun. Gangguan obsesif kompulsif dapat memiliki
onset pada masa remaja atau masa kanak-kanak, pada beberapa kasus dapat pada usia 2
tahun. Orang yang hidup sendirian lebih banyak terkena gangguan obsesif kompulsif
dibandingkan orang yang menikah, walaupun temuan tersebut kemungkinan mencerminkan
kesulitan yang dimiliki pasien dengan gangguan obsesif kompulsif dalam mempertahankan
suatu hubungan. Gangguan obsesif kompulsif ditemukan lebih jarang diantara golongan kulit
hitam dibandingkan kulit putih.
2. Etiologi
1. Faktor biologis
Neurotransmiter. Banyak uji coba klinis yang telah dilakukan terhadap berbagai obat
mendukung hipotesis bahwa suatu disregulasi serotonin terlibat di dalam pembentukan gejala
obsesi dan kompulsi dari gangguan. Obat serotonergik lebih efektif dibandingkan obat yang
mempengaruhi sistem neurotransmitter lain. Serotonin terlibat di dalam penyebab gangguan
obsesif kompulsif adalah tidak jelas. Penelitian klinis telah mengukur konsentrasi metabolit
serotonin (5-hydroxyindoleacetic acid/ 5-HIAA) di dalam cairan serebrospinalis, dan afinitas
sertai jumlah tempat ikatan trombosit pada pemberian imipramine (yang berikatan dengan
tempat ambilan kembali serotonin) dan telah melaporkan berbagai temuan pengukuran
tersebut pada pasien dengan gangguan obsesif kmpulsif. Beberapa peneliti mengatakan
bahwa system neurotransmitter konergik dan dopaminergik pada pasien dengan gangguan
obsesif kompulsif adalah dua bidang penelitian riset untuk masa depan. Penelitian
pencitraan otak. Penelitian pencitraan otak fungsional (positron emission tomoghrapy/PET)
telah menemukan peningkatan aktivitas (metabolisme dan aliran darah) di lobus frontalis,
ganglia basalis (khususnya kauda) dan singulum pada pasien dengan gangguan obsesif
kompulsif. Terapi farmakologis dan perilaku telah dilaporkan membalikkan kelainan
tersebut. Baik CT maupun MRI telah menemukan adanya penurunan ukuran kaudata secara
bilateral pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Prosedur neurologis yang
melibatkan singulum kadang-kadang efektif dalam pengobatan pasien dengan gangguan
obsesif kompulsif. Suatu penelitian MRI baru-baru ini melaporkan peningkatan waktu
relaksasi T1 di korteks frontalis, suatu temuan yang konsisten dengan lokasi kelainan yang
ditemukan pada penelitian PET.
Genetika. Penelitian kesesuaian pada anak kembar untuk gangguan obsesif kompulsif
menemukan adanya angka kesesuaian yang lebih tinggi secara bermakna pada kembar
monozigot dibandingkan kembar dizigot. Penelitian keluarga pada pasien gangguan obsesif
kompulsif telah menemukan bahwa 35 persen sanak saudara derajat pertama pasien
gangguan obsesif kompulsif juga menderita gangguan. Data biologis lainnya. Penelitian
elektrofisiologis, penelitian EEG tidur, dan penelitian neuroendokrin telah menyumbang data
yang menyatakan adanya kesamaan antara gangguan depresi dengan gangguan obsesif
kompulsif penelitian EEG tidur telah menemukan kelainan yang mirip dengan yang terlihat
pada gangguan depresif, seperti penurunan latensi REM (rapid eye movement). Penelitian
neuroendokrin seperti nonsupresi pada dexamethason-supression test pada kira-kira sepertiga
pasien dan penurunan sekresi hormone pertumbuhan pada infus clonidine.
2. Faktor perilaku
Menurut ahli teori belajar, obsesi adalah stimuli yang dibiasakan. Stimulus yang relative
netral menjadi disertai dengan ketakutan atau kecemasan melalui proses pembiasaan
responden dengan memasangkannya dengan peristiwa yang secara alami adalah berbahaya
dan menghasilkan kecemasan. Objek dan pikiran yang sebelumnya netral menjadi stimuli
yang terbiasakan yang mampu menimbulkan kecemasan atau gangguan.
Kompulsi dicapai dalam cara yang berbeda. Seseorang menemukan bahwa tindakan
tertentu menurunkan kecemasan yang berkaitan dengan pikiran obsesional. Jadi strategi
menghindar yang aktif dalam bentuk perilaku kompulsi atau ritualistic dikembangkan untuk
mengendalikan kecemasan. Karena manfaat perilaku tersebut dalam menurunkan dorongan
sekunder yang menyakitkan (kecemasan), stretegi menghindar menjadi terfiksasi sebagai
pola perilaku kompulsi yang dipelajari. Teori belajar memberikan konsep yang berguna
untuk menjelaskan aspek tertentu dari fenomena obsesif-kompulsif (sebagai contoh
kemampuan gagasan untuk menimbulkan kecemasan adalah tidak selalu menakutkan bagi
dirinya sendiri dan menegakkan pola perilaku kompulsif.
3. Faktor psikososial
Faktor kepribadian. Gangguan obsesif kompulsif adalah berbeda dari gangguan
kepribadian obsesif-kompulsif. Sebagian besar pasien gangguan obsesif kompulsif tidak
memiliki gejala kompulsif pramorbid. Dengan demikian sifat kepribadian tersebut tidak
diperlukan atau tidak cukup untuk perkembangan gangguan obsesif kompulsif. Hanya kira-
kira 15-35 persen pasien gangguan obsesif kompulsif memiliki sifat obsesional pramorbid.
Factor psikodinamika. Sigmund Freud menjelaskan tiga mekanisme pertahanan
psikologis utama yang menentukan bentuk dan kualitas gejala dan sifat karakter obsesif
kompulsif; isolasi, meruntuhkan dan pembentukan reaksi.
Isolasi. Isolasi adalah mekanisme pertahanan yang melindungi seseorang dari afek dan
impuls yang mencetuskan kecemasan. Kondisi pada seseorang yang mangalami secara sadar
afek dan khayalan dari suatu gagasan yang mengandung emosi, terlepas apakah ini berupa
fantasi atau ingatan terhadap suatu peristiwa. Jika terjadi isolasi, afek dan impuls yang
didapatkan darinya adalah dipisahkan dari komponen ideasional dan dikeluarkan dari
kesadaran. Jika isolasi berhasil sepenuhnya, impuls dan afek yang terkait seluruhnya
terepresi, dan pasien secara sadar hanya menyadari gagasan yang tidak memiliki afek yang
berhubungan
dengannya.
Meruntuhkan (undoing). Karena adanya ancaman terus-menerus bahwa impuls mungkin
dapat lolos dari mekanisme primer isolasi dan menjdi bebas, operasi pertahanan sekunder
adalah diperlukan untuk melawan impuls dan menenangkan kecemasan yang mengancan
keluar ke kesadaran. Tindakan kompulsif menyumbangkan manifestasi permukaan operasi
defensif yang ditujukan untuk menurunkan kecemasan dan mengendalikan impuls dasar yang
belum diatasi secara memadai oleh isolasi. Operasi pertahanan sekunder yang cukup penting
adalah mekanisme meruntuhkan (undoing). Seperti yang dinyatakan oleh katanya,
meruntuhkan adalah suatu tindakan kompulsif yang dilakukan dalam usaha untuk
mencegah atau meruntuhkan akibat yang secara irasional akan dialami pasien akibat pikiran
atau impuls obsesional yang menakutkan.
Pembentukan reaksi (reaction formation). Baik isolasi maupun meruntuhkan adalah
tindakan pertahanan yang terlibat erat dalam menghasilkan gejala klinis. Pembentukan gejala
menyebabkan pembentukan sifat karakter, bukannya gejala. Pembentukan reaksi melibatkan
pola perilaku yang bermanifestasi dan sikap yang secara sadar dialami yang jelas berlawanan
dengan impuls dasar.
Faktor psikodinamika lainnya. Pada teori psikoanalitik klasik, gangguan obsesif
kompulsif dinamakan neurosis obsesif kompulsif dan merupakan suatu regresi dari fase
perkembangan oedipal ke fase psikoseksual anal. Jika pasien dengan gangguan obsesif
kompulsif merasa terancam oleh kecemasan tentang pembalasan dendam atau kehilangan
objek cinta yang penting, mereka mundur dari posisi oedipal dan beregresi ke stadium
emosional yang sangat ambivalen yang berhubungan dengan fase anal. Ambivalensi adalah
dihubungkan dengan menyelesaikan fusi yang halus antara dorongan seksual dan agresif
yang karakteristik dari fase oedipal. Adanya benci dan cinta secara bersama-sama kepada
orang yang sama menyebabkan pasien dilumpuhkan oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
Suatu cirri yang melekat pada pasien dengan gangguan obsesif kompulsif adalah derajat
dimana mereka terpaku dengan agresi atau kebersihan, baik secara jelas dalam isi gejala
mereka atau dalam hubungan yang terletak dibelakangnya.dengan demikian, psikogenesis
gangguan obsesif kompulsif mungkin terletak pada gangguan dan perkembangan
pertumbuhan normal yang berhubungan dengan fase perkembangan analsadistik.
Ambivalensi. Ambivalensi adalah akibat langsung dari perubahan dalam
karakteristikkehidupan impuls. Hal ini adalah ciri yang penting pada anak normal selama
fase perkembangan anal-sadistik; yaitu anak merasakan cinta dan kebencian kepada suatu
objek. Konflik emosi yang berlawanan tersebut mungkin ditemukan pada pola perilaku
melakukantidak melakukan pada seorang pasien dan keragu-raguan yang melumpuhkan
dalam berhadapan dengan pilihan. Pikiran magis. Pikiran magis adalah regresi yang
mengungkapkan cara pikiran awal, ketimbang impuls; yaitu fungsi ego dan juga fungsi id,
dipengaruhi oleh regresi. Yang melekat pada pikiran magis adalah pikiran kemahakuasaan.
Orang merasa bahwa mereka dapat menyebabkan peristiwa di dunia luar terjadi tanpa
tindakan fisik yang menyebabkannya, semata-mata hanya dengan berpikir tentang peristiwa
tersebut. Perasaan tersebut menyebabkan memiliki suatu pikiran agresif akan manakutkan
bagi pasien gangguan obsesif kompulsif.
3. Diagnosis
Walaupun kriteria diagnosis untuk gangguan obsesif kompulsif di dalam diagnostic and
statistic manual of mental disorder edisi ketiga yang direvisi (DSM-III-R) banyak yang
dipertahankan di dalam edisi keempatnya (DSM-IV), telah dibuat modifikasi penting di
dalam definisi DSM-IV tentang obsesi dan kompulsi. DSM-IV memperkenalkan pengamatan
klinis bahwa pikiran (yaitu tindakan mental) dapat merupakan obsesi atau kompulsi,
tergantung pada apakah ia menyebabkan peningkatan kecemasan (obsesi) atau menurunkan
kecemasan (kompulsi). DSM-IV juga memperbaharui definisi obsesi untuk menghindari
istilah “ego-distonik” di dalam edisi ketiganya dan kata tanpa perasaan (senseless) di dalam
edisi ketiga yang direvisi, keduanya memiliki arti yang kurang jelas dan sulit untuk
operasinalisasi.
Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif kompulsif
A. Salah satu obsesi atau kompulsi:
1. Pikiran, impuls atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten yang dialami,
pada suatu saat selama gangguan, sebagai intrusive dan tidak sesuai, dan menyebabkan
kecemasan dan penderitaan yang jelas.
2. Pikiran, impuls atau bayangan-bayangan tidak semata-mata kekhawatiran yang
berlebihan tentang masalah kehidupan yang nyata.
3. Orang berusaha atau mengabaikan atau menekan pikiran, impuls atau bayangan-
bayangan tersebut untuk menetralkannya dengan pikiran atau tindakan lain.
4. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls atau bayangan-bayangan obsesional adalah
keluar dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan pikiran).
B. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari bahwa obsesi atau
kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. Catatan: ini tidak berlaku pada anak-
anak.
C. Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas; menghabiskan waktu; atau
secara bermakna mengganggu rutinitas normal orang, fungsi pekerjaan, atau aktivitas
atau hubungan social yang biasanya.
D. Jika terdapat gangguan aksis I lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak terbatas padanya
(misalnya preokupasi dengan makanan jika terdapat gangguan makan; menarik rambut
jika teradapat trikotilomania; permasalahan pada penampilan jika terdapat gangguan
dismorfik tubuh; preokupasi dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat;
preokupasi dengan menderita suatu penyakit serius jika terdapat hipokondriasis;
preokupasi dengan dorongan atau fantasi seksual jika tedapat parafilia; atau perenungan
bersalah jika terdapat gangguan depresif berat).
E. Tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya obat yang disalahgunakan,
medikasi) atau kondisi medis umum. Sebutkan jika: dengan tilikan buruk: jika selama
sebagian besar waktu selama episode terakhir, orang tidak menyadari bahwa obsesi dan
kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan.
4. Gambaran klinis
Gejala mungkin bertumpang tindih dan berubah sesuai dengan berjalannya waktu.
Gangguan ini memiliki 4 pola gejala utama, yaitu obsesi terhadap kontaminasi, obsesi
keragu-raguan diikuti pengecekan yang kompulsi, pikiran obsesional yang
mengganggu dan kebutuhan terhadap simetrisitas atau ketepatan.
Gejala-gejala obsesi harus mencakup hal-hal berikut:
a) Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri
b) Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun
adalainnya yang tidak lagidilawan oleh pasien
c) Pikiran untuk melakukan trindakan tersebut diatas bukan merupakan hal yang member
kepuasan atau kesenangan
d) Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang
tidak menyenangkan.
Ada kaitan erat antara gejala obsesi, terutama pikiran obsesi, dengan depresi. Pasien
dengan obsesi kompulsi seringkali menunjukkan gejala depresi dan sebaliknya pasien
gangguan depresi berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesi selama episode
depresinya.
Gejala obsesi sekunder yang terjadi pada gangguan skizofre nia, sindrom tourette atau
gangguan mental organik, harus di anggap sebagai bagian dari kondisi tersebut.
5. Diagnosis Banding
Ritual-ritual yang sesuai dgn perkembangan anak dalam bermain dan berperilaku.
• Ggn Cemas Menyeluruh
• Tic disorders (mis: Taurret’s syndrome)
• Ggn Psikotik
7. Terapi
Penatalaksanaan meliputi farmakoterapi dan psikoterapi. Pengobatan farmakoterapi
standar adalah dengan obat spesifik serotonin seperti klomipramin atau penghambat ambilan
kembali serotonin spesifik(SSRI) seperti fluoksetin. Bila terapi gagal, terapi dapat diperkuat
dengan menambahkan litium atau penghambat monoamine oksidase(MAOI) khususnya
fenelzin
Psikoterapi meliputi terapi perilakudengan desentisisasi dan terapi keluarga bila terdapat
faktor disharmoni keluarga yang mempengaruhi timbulnya gangguan tersebut.
1. Epidemiologi
Gangguan stress pascatraumatik mempengaruhi setidaknya 8% orang kadangkala
sepanjang hidup mereka, termasuk masa kanak-kanak. Banyak orang mengalami
peristiwa traumatik, seperti veteran perang dan korban pemerkosaan atau kegiatan
kekerasan lainnya, mengalami gangguan stress pascatraumatik.
2. Etiologi
Mengalami atau melihat peristiwa yang traumatik yang mengancam kematian atau
luka serius bisa mempengaruhi seseorang lama setelah pengalamam berlalu. Ketakutan
hebat, ketidakberdayaan, atau pengalaman menakutkan selama peristiwa traumatik bisa
menghantui seseorang.
Peristiwa yang bisa menyebabkan gangguan tekanan yang paska- traumatik termasuk
dibawah ini :
Berhubungan dengan peperangan.
Mengalami atau melihat kekerasan fisik atau seks.
Terkena bencana, baik alam (misalnya, angin topan) atau buatan manusia (misal,
kecelakan mobil hebat).
3. Diagnosis
a. Gangguan stress akut
Gambaran gejala campuran yang biasanya berubah-ubah
Depresif
Keadaan terpaku/bengong
Anxietas
Kemarahan
Kekecewaan
Overaktif
Penarikan diri
Kasus-kasus yang dapat dialihkan dari lingkup stresornya menimbulkan gejala-gejalanya
dapat menghilang dengan cepat (beberapa jam). Bila stres berkelanjutan/tak dapat
dialihkan, maka gejala mereda seletah 1-3 hari. Termasuk :
Reaksi krisis akut
Kelelahan bertempur
Keadaan krisis
“shock” psikis
4. Gambaran klinis
a. Gangguan stress akut
Gangguan sementara yang cukup parah – beberapa jam atau hari. Stressor berupa
pengalaman traumatik luar biasa ancaman serius atas keamanan atauu integritas fisik
individu sendiri atau orang-orang yang dicintai, seperti :
Bencana alam
Kecelakaan
Peperangan
Serangan tindakan kriminal
Perubahan luar biasa yang mendadak
b. Gangguan stress pascatarumatik
Timbul sebagai akibat atau respons yang berkepanjangan dan atau tertunda
terhadap kejadian atau situasi yang menimbulkan stres
Faktor predisposisi yaitu ciri kepribadian (misalnya kompulsif astenik) dapat
menurunkan kadar ambang
Gejala khas : episode bayangan kejadian traumatik terulang kembali (“flash
backs”) atau mimpi, terjadi perasaan “beku” dan penumpukan emosi, menjauhi
orang lain, tidak responsif terhadap lingkungannya, anhedonia, menghindari
aktivitas atau situasi yang berkaitan dengan ingatan traumatik, bisa mendadak
ketakutan, panik atau agresif
Terjadi bangkitan otonomik berlebihan dengan kenekatan yang berlebih, mudah
kaget, tertegun, insomnia. Bisa disertai anxietas dan depresi, serta ide bunuh diri
Pada gangguan stress pascatraumatik, orang mengalami frekwensi, ingatan yang
tidak diinginkan menimbulkan kembali peristiwa traumatik. Mimpi buruk adalah
biasa. Kadangkala peristiwa hidup kembali sebagaimana jika terjadi (flashback).
Gangguan hebat seringkali terjadi ketika orang berhadapan dengan peristiwa atau
keadaan yang mengingatkan mereka kepada trauma asal. Misal beberapa ingatan
adalah perayaan pada peristiwa traumatik tersebut, melihat senjata setelah dipukul
dengan senjata ketika perampokan, dan berada di perahu kecil setelah kecelakaan
tenggelam.
Orang secara terus menerus menghindari benda yang mengingatkan pada trauma.
Mereka bisa juga berusaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau
pembicaraan mengenai peristiwa traumatik dan menghindari kegiatan, keadaan,
atau orang yang bisa mengingatkan. Penghindaran bisa juga termasuk kehilangan
ingatan (amnesia) untuk aspek tertentu pada peristiwa yang traumatik. Orang
mengalami mati rasa atau kematian pada reaksi emosional dan gejala yang
muncul meningkat (seperti kesulitan tertidur, menjadi waspada terhadap tanda
bahaya beresiko, atau menjadi mudah terkejut). Gejala pada depresi adalah
umum, dan orang menunjukkan sedikit ketertarikan pada aktifitas menyenangkan
sebelumnya. Perasaan bersalah juga biasa. Misal, mereka bisa merasa bersalah
bahwa ketika mereka bertahan hidup ketika orang lain tidak.
5. Terapi
Pengobatan memerlukan psikoterapi (termasuk terapi kontak) dan terapi obat.
Karena sering kegelisahan hebat yang dihubungkan dengan kenangan yang
menggoncangkan jiwa, psikoterapi mendukung memainkan tugas yang teramat penting
pada pengobatan. Ahli terapi ialah secara terbuka empati dan bersimpati dalam mengenal
rasa sakit psikologis. Ahli terapi menenteramkan orang bahwa respon mereka nyata tetapi
menganjurkan mereka menghadapi kenangan mereka (sebagai bentuk terapi kontak).
Mereka juga diajar cara untuk kegelisahan kontrol, yang menolong memodulasi dan
mengintegrasikan kenangan menyiksa ke dalam kepribadian mereka.
Psikoterapi insight-oriented bisa membantu orang yang merasa merasa bersalah
memahami mengapa mereka menghukum diri mereka sendiri dan membantu
menghilangkan perasaan bersalah.
Obat antidepresi kelihatannya memberikan beberapa keuntungan. Selective
serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), obat antidepresi trisiklik, dan monoamine oxidase
inhibitors (MAOIs) sungguh membantu.
Gangguan stress pascatraumatik chronic bisa tidak hilang tetapi seringkali sangat
berkurang seiring waktu bahkan tanpa pengobatan. Meskipun demikian, beberapa orang
menjadi cacat tetap dengan gangguan tersebut.
Gangguan Kecemasan Umum
Gangguan kecemasan umum (general anxiety disorder; GAD) merupakan bentuk gangguan
kecemasan dimana individu secara terus-menerus merasakan ketegangan yang tinggi dalam
kehidupan sehari-harinya. Hampir secara keseluruhan waktu yang dimiliki individu cenderung
bereaksi secara berlebihan terhadap stres yang ringan sekalipun. Penderita gangguan kecemasan
ini tidak mampu membuat dirinya santai, secara terus-menerus merasa takut dengan hal-hal yang
menyangkut masa depan, pengambilan keputusan dan sulit untuk berkonsentrasi.
Individu yang mengalami gangguan kecemasan umum berkaitan erat dengan kemunculan
serangan panik, suatu episode ketakutan berat dan terjadi secara mendadak. Perasaan ini ditandai
dengan meningkatnya debaran jantung secara cepat, tremor, berkeringat, sesak napas, mual dan
pingsan. Penderita GAD mungkin tidak mengetahui secara pasti mengapa mereka mengalami
ketakutan (free-floating), hal ini disebabkan kecemasan yang muncul tidak dipicu oleh peristiwa
tertentu saja melainkan dalam pelbagai situasi pemicu stres yang beragam.
1. Epidemiologi
Penyakit ini sering terjadi, sekitar 3-5% orang dewasa pernah mengalaminya. 2 kali lebih
sering terjadi pada wanita. Seringkali berawal pada masa kanak-kanan atau remaja. Keadaan ini
berfluktuasi, semakin memburuk ketika mengalami stres dan menetap selama bertahun-tahun.
Prevalensi gangguan cemas sekitar 8,3 – 27 %. Pada usia sekolah berkisar antara 3% dan pada
usia remaja sekitar 3,7%
2. Etiologi
Faktor Biopsikososial
- ciri temperamen: pemalu, menarik diri pada situasi unfamiliar
- kualitas maternal attachment
Faktor Pembelajaran Sosial
- orangtua yg takut berlebihan pada anak akan memiliki adaptasi fobik terhadap situasi-
situasi baru.
Faktor Genetik
- Orang tua memiliki gangguan cemas
3. Diagnosis
Secara diagnostik seseorang dikatakan GAD bila luapan kecemasan muncul dalam setiap hari
secara bervariasi selama ―setidaknya selama 6 bulan. Beberapa simtom yang ada lainnya;
- Kekhawatiran terhadap sesuatu hal yang tidak pasti
- Sulit berkonsentrasi
- Gelisah, tidak dapat bersikap santai
- Kesulitan tidur atau mengalami gangguan tidur
- Kecemasan setiap saat atau pada saat tertentu setiap harinya
- Sering berdebar tanpa sebab yang jelas
- Pucat, mudah letih dan tubuh terasa lebih hangat
- Mual dan rasa sesak napas bahkan kadang seperti kejang
- Sakit kepala
- Ketegangan otot
- Gemetar dan berkeringat
- Sering ke kamar mandi
Individu yang mengalami GAD ringan dapat berfungsi penuh secara sosial dan dapat melakukan
pekerjaan dengan baik, mereka tidak selalu menghindari situasi sebagai akibat gangguan
kecemasan tersebut, akan tetapi mereka kesulitan dalam melakukan beberapa kegiatan sehari-
harinya ketika terjadinya peningkatan kecemasan. Kemunculan GAD tidak terjadi dengan begitu
saja, sering diawali dengan kemunculan gangguan kecemasan (anxiety disorder), depresi atau
pengalaman trauma dan kekerasan pada masa lalu.
5. Terapi
Farmakoterapi
Treatment GAD pada dasarnya hampir sama dilakukan pada penderita gangguan kecemasan
lainnya.
Obat acuan SSRI (Selective Serotonin-Reuptake Inhibitors) adalah Venlafaxine (Effexor).
Penggunaan obat jenis SSRI ini memunculkan rasa gugup pada pengguna awal, disamping itu
jenis obat-obatan ini haruslah dibawah pengawasan dokter secara ketat. Dosis yang tidak tepat
dapat mengakibatkan terjadinya penurunan (disfungsi) seksual.
Psikoterapi
Psikoterapi yang sering digunakan untuk gangguan GAD adalah cognitive-behavioural
therapy (CBT), sama halnya dengan treatment yang diberikan pada gangguan cemas pada
umumnya. Lamanya terapi minimal dilakukan adalah selama 12 minggu, biasanya dipilih group
terapi dengan kondisi anggota group adalah sama dengan pasien dianggap lebih efektif dalam
penyembuhan.
Dalam CBT, terapis akan memberikan latihan pernafasan dan teknik relaksasi ketika
menghadapi kecemasan, dalam terapi ini terapis berusaha membantu pasien menemukan
ketenangan dengan menciptakan rileks dalam diri individu, bersamaan dengan itu pasien juga
diberikan sugesti bahwa kecemasan-kecemasan yang muncul itu tidak realistis.
CBT diberikan bila adanya keinginan dan kerjasama antara pasien dan terapis untuk
efektivitas treatment yang akan dilakukan. Pasien haruslah bekerjasama sepenuhnya dan
melakukan semua perintah-perintah yang terapis berikan, oleh karenanya CBT tidak akan
diberikan bila tidak adanya keinginan pasien untuk melakukan psikoterapi. Pada akhir CBT,
beberapa tugas akan diberikan oleh terapis untuk dikerjakan dan dilakukan oleh pasien di rumah,
pasien juga harus melaporkan efektivitas dan kemajuan yang diraihnya selesai CBT diberikan.