Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH TENTANG SUKU BADUY

NAMA KELOMPOK
-NAZHIR AHMAD BASKORO-

-KARTIKA ALVIANTI PUTRI. A-

-DEWI SEPTI ANGGRAENI-

-ARTIKA SARI. S-

-WINDA APRILIANI-

-RIDO-

-BRILLIANT PRASETYO-

-RAFID EKA PUTRA-

-M. ALFARIZI-
BAB 1

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki beragam suku dan budaya. Bahkan di tengah era modern dan serba digital
ini, masih ada suku yang memegang teguh adat istiadat seperti Suku Baduy. Masyarakat Suku
Baduy juga disebut dengan nama Urang Kanekes, disesuaikan dengan tempat tinggal suku
Baduy di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Lebak, Banten.

KELOMPOK SUKU BADUY

Dengan jumlah populasi sekitar 26.000 jiwa, suku Baduy terbagi menjadi dua kelompok, yakni
Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar. Khusus Suku Baduy Dalam, kelompok ini masih sangat
patuh dan menjalankan adat istiadat yang berlaku. Misalnya saja tidak menggunakan alat
elektronik, transportasi kendaraan, hingga alas kaki.

Ciri khas dari Suku Baduy Dalam ini adalah mereka selalu berjalan kaki ke manapun mereka
pergi. Pakaiannya juga mudah dikenali yakni putih dan biru tua, serta memakai ikat kepala
berwarna putih. Sesekali masyarakat Suku Baduy Dalam terlihat di ibu kota, walaupun bisa
dibilang sangat jarang bila dibandingkan dengan masyarakat Suku Baduy Luar.

Sedikit lebih modern dari Suku Baduy Dalam, Suku Baduy Luar telah mengenal teknologi dan
ada yang sudah menggunakan telepon sebagai alat komunikasi. Mereka juga sudah
menggunakan peralatan rumah tangga masa kini seperti kasur dan bantal untuk alas tidur,
piring, serta gelas kaca dan alat plastik.

KEHIDUPAN DI RUMAH ADAT BADUY

Selain kebiasaan sehari-hari, adat istiadat Suku Baduy juga bisa dilihat dari bangunan
rumahnya. Rumah di Suku Baduy hanya menghadap utara atau selatan saja. Ini dimaksudkan
agar sinar matahari dapat menyinari bagian dalam rumah dengan baik.

Biasanya rumah Suku Baduy terdiri dari 3 ruangan, yakni ruang tamu sekaligus ruang tenun
yang ada di depan, ruang tidur sekaligus ruang keluarga di bagian tengah, dan tempat memasak
serta tempat menyimpan hasil ladang di bagian belakang. Seluruh lantai rumah dilapisi dengan
anyaman bambu. Bagian atap rumah dibuat dari serat ijuk atau daun kelapa.

Perempuan Suku Baduy punya kebiasaan menenun dan hasil tenunannya bisa dilihat di pakaian
adat Baduy untuk keseharian mereka. Kamu juga bisa membeli hasil tenun Suku Baduy saat
berkunjung ke sini, lho. Bisa buat oleh-oleh atau dipakai sendiri, nih. Selain itu masyarakat Suku
Baduy juga memanfaatkan kulit kayu pohon terep untuk dibuat tas yang dikenal dengan nama
koja atau jarog
1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

13.487 pulau, karenanya Indonesia juga disebut sebagai “Nusantara”. Indonesia terbentang dari
Sabang sampai Meurauke yang terdiri dari berbagai adat, tradisi, budaya, dan bahasa daerah
yang berdeda-beda. Perbedaan yang beraneka ragam membuat Indonesia berdiri sebagai
negara multikultural. Namun, segala perbedaan yang beraneka ragam tersebut tidak
menjadikan masyarakat Indonesia tercerai berai. Hal ini dikarenakan masyarakat Indonesia
yang menjunjung tinggi sikap pluralisme.

Sikap pluralisme masyarakat Indonesia juga ditujukan kepada suku Baduy, yaitu suku
yang masih sangat tradisional dan tidak menerima pengaruh apapun dari luar. Perkembangan
zaman yang semakin maju dengan segala macam teknologi canggih yang menyertainya,
ternyata tidak mampu mengusik eksistensi suku Baduy untuk tetap memegang teguh adat
istiadat yang telah diwariskan oleh para leluhurnya hingga sampai sekarang ini. Sungguh hal
yang sangat luar biasa apabila kita berbicara tentang prinsip dan pedoman yang diterapkan oleh
masyarakat suku Baduy, yang lebih memilih untuk tetap terisolasi dari dunia luar dan
berpegang teguh dengan pola hidup yang sederhana dan tradisional. Betapa tidak, Banten
adalah sebuah kota modern, dan letaknya tidak jauh dari jantung ibukota negara Indonesia,
Jakarta, yang identik dengan kemewahan dan segala kecanggihannya.
Dengan segala keaslian dan keunikan tersebut, sudah tentu banyak orang atau
wisatawan yang ingin berkunjung kesana. Orang Baduy terbuka kepada siapa pun yang datang
berkunjung, asalkan mereka menaati peraturan yang ada. Namun, semakin banyak orang yang
datang kesana, ditakutkan akan merusak alam yang telah dijaga oleh suku Baduy selama
bertahun-tahun.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu suku baduy ?

2. Bagaimana bahasa suku baduy ?

3. Bagaimana pengetahuan suku baduy ?

4. Apa mata pencaharian suku baduy ?

5. Apa alat/pekakas yang digunakan dalam memenuhi kebutuhannya ?

6. Bagaimana politik kebijakan suku baduy ?

7. Bagaimana kesenian/kebudayaan suku baduy ?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui tentang suku baduy

2. Mengetahui bahasa suku baduy

3. Mengetahui pengetahuan suku baduy

4. Mengetahui mata pencaharian suku baduy

5. Mengetahui alat/pekakas yang digunakan dalam memenuhi kebutuhannya

6. Mengetahui politik kebijakan suku baduy

7. Mengetahui kesenian/kebudayaan suku baduy


BAB 2

PEMBAHASAN

Urang Kanekes, Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat
adat sub-etnis Sunda di wilayah Kanekes secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” –
6°30’0” LS dan 108°3’9” – 106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki
pegunungan Kendeng di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten-
Rangkasbitung, Banten, . berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang
merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 – 600 m di atas
permukaan laut (DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan
kemiringan tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara),
tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu rata-rata 20
°C, Perkampungan masyarakat baduy pada umumnya terletak pada daerah. Populasi mereka
sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan
isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya
penduduk wilayah Baduy dalam.

Sebutan "Baduy" berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan
mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah
(nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada
di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang
Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang
mengacu kepada nama kampung mereka.

Baduy atau biasa disebut juga dengan masyarakat kanekes adalah nama sebuah kelompok
masyarakat adat Sunda di Banten. Mereka mandiri, menolak bantuan luar, merajut, bertanam
dan berpikir ke depan dengan otak jernih, jujur dan tulus. Tidak ada keributan sesama mereka
di sana. Tak ada saling iri, dengki dan culas di tengah mereka.Suku Baduy adalah kelompok
kehidupan yang begitu patuh pada adat, ritual dan agama yang mereka anut. Suku Baduy
tinggal di pedalaman Jawa Barat, desa terakhir yang bisa di jangkau oleh kendaraan adalah
Desa Ciboleger (jawa barat). Dari desa ini kita baru bisa memasuki wilayah suku baduy luar.
Tetapi sebelum kita masuk kewilayah suku baduy kita harus melapor dulu dengan pimpinan
adatnya yang di sebut Jaro.

Penampilan fisik dan bahasa suku baduy mirip dengan orang-orang Sunda pada
umumnya yang membedakan adalah sistem kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang
Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka
yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas
memeluk Islam.

Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Kelompok tangtu

Kelompok ini yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat
mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Ciri
khas Orang Kanekes Dalam adalah :

¨ Pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih.

¨ Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing.

Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes
Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.

* Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:

* Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi

* Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki

* Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua
adat)

* Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)

* Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri
serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.

2. Kelompok Panamping

Mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai
kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk,
Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas :

¨ Mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.

¨ Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik.


¨ Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu,
seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.

¨ Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang
menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos
oblong dan celana jeans.

¨ Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca &
plastik.

¨ Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.

¨ Sebagian di antara mereka telah terpengaruh dan berpindah agama menjadi seorang
muslim dalam jumlah cukup signifikan.

Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes
Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes
Luar:

- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.

- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam

- Menikah dengan anggota Kanekes Luar

3. Kelompok Dangka

Kelompok Kanekes Dangka tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal dua
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung
Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar.

Perbedaan Suku Baduy Dalam dan Luar

Mengenal Suku Baduy Dalam dan Luar dapat tercirikan dari perbedaan yang cukup
kentara, terutama mengenai pantangan yang ditaati masyarakatnya. Dilihat dari penampilan,
masyarakat Baduy luar menggunakan pakaian serba hitam atau biru donker untuk menyatakan
bahwa mereka tidak lagi suci. Sementara masyarakat Baduy dalam relatif menggunakan
pakaian yang didominasi warna putih, meski kadang ditambahkan ikat kepala hitam.

Masyarakat baduy luar juga mengenali teknologi berupa alat-alat elektronik, walaupun
sesuai pantangan adat yang berlaku mereka sama sekali tidak mempergunakannya, dan bahkan
menolak penggunaan listrik.
Dalam pembuatan rumah, masyarakat Baduy luar juga menggunakan alat bantu seperti
palu, gergaji, dan sebagainya yang masih dilarang keras untuk dipergunakan oleh masyarakat
Baduy dalam. Begitu juga dengan penggunaan bahan kimia seperti sabun dan sampo yang
diperbolehkan digunakan oleh masyarakat Baduy luar, sementara masih berupa larangan oleh
masyarakat Baduy dalam karena dianggap dapat mencemari alam.

Bukan hanya pantangan yang berlaku bagi seluruh masyarakat Baduy, penduduk luar yang
berkunjung pun wajib menaati pantangan yang diberikan, terutama yang diberlakukan oleh
masyarakat tertutup dari Baduy dalam. Misalnya saja tidak boleh mengambil foto kawasan
Baduy Dalam, mengikuti aturan adat istiadat yang diberlakukan saat berkunjung, dan tidak
menerima tamu negara asing keturunan kaukasoid, mongoloid, juga negroid.

Nilai Hidup dalam Budaya Suku Baduy

Walaupun berbeda, nilai luhur dalam adat suku Baduy masih dipegang kuat dan terus
diwariskan turun-temurun oleh seluruh masyarakatnya. Hal tersebut telah ditanam sedari kecil
melalui tradisi ngolak, yaitu pendidikan orangtua terhadap anaknya untuk mengajarkan hidup
yang apa adanya, kesederhanaan, kekeluargaan lewat jiwa gotong royong, juga bermacam
kebisaan seperti berladang atau menenun.

2.2 Asal Usul Suku Baduy

Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula
dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan
mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau
asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.

Pendapat mengenai asal usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah,
yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa
prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar
Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan
Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar
Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini
merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang
cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah
tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umun menganggap bahwa kelestarian sungai
perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat
terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung
Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya
menjadi cikal bakal Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu
Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut
membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka
sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Kanekes sendiri dari
serangan musuh-musuh Pajajaran.

Van Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli daerah tersebut
yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna, 1993b: 146). Orang Kanekes
sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang pelarian dari
Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda. Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang
Baduy merupakan penduduk setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi
oleh raja, karena penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur
atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal dengan
kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli, asal, pokok, jati). Oleh
karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda Wiwitan.

2.3 Kepercayaan Suku Baduy

Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, ajaran
leluhur turun temurun yang berakar pada penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur
dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini
adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga
sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian hari ajaran
Islam.

Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga
dan melestarikan alam; yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata
air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-
tingginya kepada alam, dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian
dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan
dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari
orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah
konsep "tanpa perubahan apa pun", atau perubahan sesedikit mungkin.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang
lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut
dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Di kompleks Arca Domas tersebut
terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan
batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat
Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan
panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka
merupakan pertanda kegagalan panen.

Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat
mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya
apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun
dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda
akan terjadi kegagalan pada panen.

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.

(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang


pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang,
sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak
membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan.
Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang
penyangga rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun
jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-
menawar. Sistem kepercayaan yang dianut Mayoritas suku Baduy mengakui kepercayaan sunda
wiwitan yang meyakini akan adanya Allah sebagai Guriang Mangtua dan melaksanakan
kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini.
Kewajiban dalam kepercayaan Ada 5 Upacara penting yaitu :

1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu
yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa
selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.

2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas
terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau
yang bsering disebut lebaran.

3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan
tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk
penghargaan dari masyarakat baduy.
4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai
penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.

5. Upacara Kelahiran yang dilakukan suku Baduy melalui urutan kegiatan yaitu:

§ Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.

§ Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.

§ Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.

§ Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.

§ Akikah yaitu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot)
yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.

Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang


dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda
secara umum sebelum masuknya Islam. Suku baduy memiliki keunikan, yaitu :

1. Gotong royong masih menjadi kegemaran yang terus dilestarikan

Jika mungkin sifat gotong royong lama kelamaan telah hilang tergerus oleh perkembangan
zama, namun hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Suku Baduy Dalam. Sifat gotong royong
selalu diterapkan oleh Suku Baduy Dalam pada saat mereka harus berpindah tempat dari satu
wilayah ke wilayah lain yang lebih subur. Sebagai suku nomaden (tidak memiliki tempat tetap)
dan menganut sistem ladang terbuka, membuat Suku Baduy Dalam hidup saling membantu.
Kerukunann dan gotong royong masih sangat dijunjung tinggi oleh orang Baduy.

2. Kebahagiaan sederhana khas Suku Baduy Dalam

Suku Baduy Dalam memang masih belum dialiri listrik. Hal inilah yang menjadikan wilayah ini
menjadi seolah ‘mati’ begitu malam hari tiba. Tidak banyak aktivitas yang bisa kita lakukan pada
malam hari karena keterbatasan cahaya. Namun justru hal inilah yang akan membuat kita
memperoleh pengalaman baru. Biasanya warga memainkan alat musik seperti kecapi untuk
menemani malam mereka, sembari tak lupa mengobrol dan bertukar cerita dengan tetangga.

3. Hidup hemat ala Suku Baduy bisa kita lihat dari kegemaran orang orangnya berjalan kaki

Suku Baduy memang dikenal sebagai salah satu suku yang masih sangat memegang teguh ilmu
ilmu leluhur. Salah satunya yakni adanya larangan menggunakan kendaraan seperti motor atau
pun mobil. Namun hal tersebut tak lantas membuat Suku Baduy Dalam merasa terasing dari
dunia luar. Dolaners akan dibuat kagum setelah mengetahui bahwa warga Suku Baduy Dalam
selalu berjalan kaki apabila mengunjungi kerabatnya yang tinggal di kota besar untuk bertamu
maupun berjualan hasil ladang dan kerajinan tangan khas Suku Baduy Dalam. Bahkan tak jarang
mereka berjalan jauh sampai ke kota kota besar, tanpa rasa mengeluh sedikitpun.

4. Pu’un, seseorang yang diangap layaknya presiden di Kampung Baduy Dalam

Setiap suku yang tinggal di Indonesia pasti memiliki kepala adat yang berfungsi mengatur
warganya. Begitu juga Suku Baduy Dalam yang memiliki kepala adat yang biasa dipanggil Pu’un.
Pu’un adalah orang yang memiliki kelebihan yang berbeda dibanding warga biasa. Tugas dari
Pu’un yaitu menentukan masa tanam dan panen. Menerapkan hukum adat kepada warganya,
mengobati yang sakit. Pu’un sangat dihormati dan dianggap seperti seorang presiden orang
masyarakat Suku Baduy Dalam. Oleh karenanya tidak sembarangan orang bisa bertemu dengan
beliau, hanya orang orang yang berkepentingan khusus dan mendesak saja yang bisa bertemu
dengan Pu’un.

5. Bentuk rumah tak mencermikan status sosial kekayaan Suku Baduy

Jika pada umumnya, seseorang yang memiliki rumah mewah dianggap sebagai orang kaya,
berpangkat tinggi, dan dipandang banyak orang, namun hal ini tidak berlaku pada masyarakat
Suku Baduy Dalam. Suku Baduy Dalam memiliki bentuk rumah yang hampir serupa satu sama
lainnya. Pada peraturan Suku Baduy ini, yang membedakan status kekayaan mereka adalah
tembikar yang dibuat dari kuningan yang disimpan di dalam rumah. Semakin banyak tembikar
yang disimpan, menandakan status keluarga tersebut semakin tinggi dan dipandang orang.

6. Batang Bambu yang menjadi pengganti gelas

Pelarangan menggunakan gelas serta piring sebagai tempat untuk menyimpan air dan alas
untuk makan tidak membuat Suku Baduy Dalam kehilangan akal. Dibekali sumber daya alam
yang banyak, Suku Baduy Dalam membuat gelas serta tadah air minum yang terbuat dari
bambu panjang. Dan justru dengan bambu panjang inilah aroma khas yang timbul secara alami
semakin membuat minuman yang di seduh di dalamnya mengahsilkan cita rasa yang berbeda
dan bahkan lebih lezat.

7. Hidangan olahan Ayam dianggap makanan mewah oleh masyarakat Baduy

Tidak seperti masyarakat pada umumnya yang biasanya menyediakan menu ayam pada setiap
makanan yang disajikan, tidak begitu dengan Suku Baduy Dalam. Meskipun sebenarnya, pada
saat kita berkunjung ke wilayah Suku Baduy, maka dengan gampangnya kita bisa menemukan
ayam berkeliaran bebas di kampung, bukan berarti ayam bisa menjadi makanan sehari hari.
Suku Baduy Dalam hanya menyantap hidangan ayam setidaknya 1 bulan sekali atau hanya pada
saat upacara upacara besar, seperti pernikahan dan kelahiran. Hal ini karena hidangan olahan
ayam dianggap makanan yang mewah dan istimewa disini.

8. Orang tua Suku Baduy Dalam yang punya cita-cita sederhana

Jika kebanyakan yang memiliki cita cita adalah kita yang masih memiliki masa depan yang
panjang, alias masih belia. Namun hal yang unik bisa kita dapatkan ketika sedang mengunjungi
kampung Baduy. Dimana, disini tak hanya kawula muda saja yang memiliki cita cita, namun
para orang tua pun juga menyimpan cita cita. Cukup sederhana, mereka hanya ingin anak anak
mereka kelak membantu berladang. Sangat sederhana jika didengar oleh telinga orang
‘modern’ seperti kita, namun justru di situlah kearifan lokal mereka sangat terasa.

9. Salah satu tradisi yang dianggap lumrah dan masih dilakukan, perjodohan

Perjodohan. Ya, kata tersebut nampaknya identik dengan zaman dahulu. Sebuah hal yang tidak
lazim dilakukan pada zaman sekarang namun masih berlaku di Suku Baduy Dalam. Seorang
gadis yang sudah berumur 14 tahun akan dijodohkan dengan laki laki yang berasal dari Suku
Baduy Dalam. Selama masa penjodohan, orang tua dari laki laki Baduy Dalam bebas memilih
wanita Baduy Dalam yang disukainya. Namun jika belum menemukan pilihan yang cocok, laki
laki maupun perempuan harus menuruti pilihan sang orang tua ataupun pilihan yang diberikan
oleh sang Pu’un.

10. larangan berkunjung selama 3 bulan

Salah satu tradisi dari warga Baduy Dalam yang hingga kini masih terus dijalankan adalah tradisi
Kawalu. Kawalu adalah puasa yang dijalankan oleh warga Baduy Dalam yang dirayakan tiga kali
selama tiga bulan. Pada puasa ini warga Baduy Dalam berdoa kepada Tuhan agar negara ini
diberikan rasa aman, damai, dan sejahtera. Pada saat tradisi Kawalu dijalankan, para wisatawan
dilarang masuk ke dalam wilayah Baduy Dalam. Apabila ada kepentingan, biasanya wisatawan
hanya diperbolehkan berkunjung sampai Baduy Luar dan itupun tidak diperbolehkan menginap.

2.4 Bahasa Suku Baduy

Bahasa Baduy adalah bahasa yang digunakan suku Baduy. Penuturnya tersebar di gunung
Kendeng, Rangkasbitung, Lebak; Pandeglang; dan Sukabumi. Dari segi linguistik, bahasa Baduy
bukan dialek dari bahasa Sunda, tapi dimasukkan ke dalam suatu rumpun bahasa Sunda, yang
sendirinya merupakan kelompok dalam rumpun bahasa Melayu-Sumbawa di cabang Melayu-
Polinesia dalam rumpun bahasa Austronesia.Mereka juga dapat berbahasa Indonesia untuk
komunkasi dengan masyarakat luar.
2.5 Pengetahuan Suku Baduy

Orang Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun fasilitas sekolah
di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak era Suharto pemerintah telah
berusaha memaksa mereka untuk mengubah cara hidup mereka dan membangun fasilitas
sekolah modern di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.
Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.

Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala
perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy
memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa sosial, dan teknik bertani yang diwariskan oleh
leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka
belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya,
tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan
(pengembara).

Sistem perladangan berpindah atau perladangan daur ulang telah dipraktekkan selama
berabad-abad dan merupakan bentuk pertanian yang paling awal di wilayah tropika dan
subtropika. Sistem pertanian dilakukan adalah tanaman pangan dalam waktu dekat (pada
umumnya 2 – 3 tahun), dan kemudian diikuti dengan fase regenerasi atau masa bera yang lebih
lama (pada umumnya 10 – 20 tahun). Pembukaan hutan biasanya menggunakan alat
sederhana, dilakukan secara tradisional, dan menggunakan cara tebang bakar.

Masyarakat Baduy masih mengikuti pola pertanian tradisional zaman Kerajaan Sunda
(Pajajaran), telah mempraktekkan sistem perladangan berpindah tersebut sejak kurang lebih
600 tahun yang lampau. Mereka membuka huma untuk ditanami padi selama 1 sampai 2 tahun,
dan kemudian ketika hasil panen telah menurun akan meninggalkan huma tersebut dan
membuka kembali huma baru dari bagian hutan alam yang mereka peruntukkan bagi
kepentingan tersebut. Huma yang ditinggalkan pada suatu saat akan diolah kembali dan
periode masa bera tersebut pada awalnya 7 sampai 10 tahun.

Sebagaimana masyarakat agraris lainnya di Indonesia, masyarakat Baduy mempunyai


jadwal pertanian yang tertentu setiap tahunnya dan didasarkan kepada letak benda astronomi
tertentu, seperti kemunculan bintang tertentu dan letak matahari. Adapun patokan bintang
yang digunakan adalah bintang kidang (Waluku atau rasi Orion) dan bintang Kartika atau
bintang Gumarang. Dalam prakteknya bintang kidang lebih banyak dipakai karena lebih jelas
terlihat. Kemunculan bintang kidang tersebut menandai dimulainya proses berladang karena
masyarakat mulai bersiap-siap turun ke ladang dan mulai mengolah lahan pertanian. Dalam
ungkapan mereka disebutkan: “Mun matapoe geus dengek ngaler, lantaran jagad urang geus
mimiti tiis, tah dimimitian ti wayah eta kakara urang nanggalkeun kidang, tanggal kidang mah
laju turun kujang”. (Terjemahan: “Jika matahari telah condong ke utara, ketika bumi kita telah
mulai dingin, mulai saat itu baru kita mengamati penanggalan dengan munculnya bintang
kidang, waktu muncul bintang kidang kita mulai menggunakan alat pertanian (kujang)”

Adapun alat pertanian yang mereka gunakan adalah terbatas sekali, dan prinsip
pengolahan lahan mereka adalah sesedikit mungkin mengganggu tanah. Mereka membuka
huma dengan bedog atau parang panjang dan kujang (parang pendek atau pisau), dan
menanam benih padi dengan cara menugal atau melubangi tanah dengan sepotong kayu.
Pengolahan lahan dengan cara mencangkul atau membajak adalah terlarang.

Kalender sebagai penanda waktu pada masyarakat Baduy adalah kalender yang
berpatokan pada perputaran bulan (komariah). Satu tahun dibagi menjadi 12 bulan. Menurut
Narja, seorang penduduk kampung Cibeo, urutan bulan-bulan tersebut adalah sebagai berikut:
Kapat, Kalima, Kanem, Katujuh, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapit Lemah, Hapit Kayu,
Kasa, Karo, Katiga. Urutan bulan tersebut juga mengikuti tahapan dalam proses perladangan.
Bulan Kasa, Karo, dan Katiga, yang merupakan bulan-bulan akhir masa berladang dan masa
panen disebut pula masa Kawalu yang dipenuhi dengan berbagai upacara adat dan berbagai
bentuk larangan. Pada masa tersebut tamu atau pengunjung dari luar biasanya tidak diterima.

Masyarakat Baduy menerapkan cara pertanian ladang berpindah yang merupakan cara
bercocok tanam tahap awal evolusi cara bertani. Sistem perladangan berpindah tersebut sangat
tergantung pada keberadaan dan kelestarian hutan di wilayah tersebut. Dengan demikian
hutan memegang peran penting dalam hubungan antara masyarakat Baduy dengan lingkungan
alamnya. Keberadaan mereka menurut sejarah dan kepercayaan adalah dalam rangka menjaga
hutan dan mata air Sungai Ciujung yang menjadi sungai utama pada jaman Kerajaan
Sunda/Pajajaran. Masyarakat Baduy diperintahkan untuk mengelola Daerah Aliran Sungai (DAS)
Ciujung yang berperan sangat penting dalam bidang transportasi dan pertanian, beserta hutan
yang melindungi mata airnya, yang mereka sebut sebagai Sirah Cai atau kepala air.

Kebiasaan masyarakat kanekes dalam membangun rumah pada hakekatnya merupakan


pencerminan keteguhan masyarakat dalam melaksanaan peraturan peraturan adat sebagai
tradisi turun temurun dari nenek moyangnya. Membongkar tanah adalah buyut. Apabila
permukaan tanah tempat mendirikan rumah ternyata tidak rata, maka bukan permukaan
tanahnya yang diratakan, melainkan tiang tiang panggung rumah yang disesuaikan tinggi atau
rendahnya menurut kelerengan permukaan rumah. Rumah tradisional baduy berupa panggung
dengan lantai pelepah bambu dan berdinding bilik anyaman bambu. Atapnya terbuat dari daun
rumbia dan ijuk. Konstruksi rumah tidak menggunakan paku dan cat, umumnya terdiri dari lima
bagian; SOSORO atau Serambi, TEPAS atau Ruang Tamu, IMAH atau Ruang Utama yang juga
berfungsi sebagai kamar, MUSUNG atau Tempat Penyimpanan Barang dan PARAKO atau
Tempat Penyimpanan Barang diatas Tungku.

2.6 Mata Pencaharian Suku Baduy

Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang
mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa,
masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali
dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.

Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk
luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke
kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan
jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan
barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan
buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak
diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti
pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

Hasil pertanian mereka berupa beras biasanya mereka simpan di lumbung padinya yang
ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja yang
bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan
tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma dan
berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan
tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan.

2.7 Alat/Pekakas Suku Baduy

Alat-Alat Produksi

Golok/Bedog

Golok atau bedog menjadi atribut sehari-hari lelaki Baduy. Ada dua macam Golok yang dibuat
dan digunakan oleh orang Baduy, yaitu golok polos dan golok pamor. Golok polos dibuat
dengan proses yang biasa, menggunakan besi baja bekas per pegas kendaraan bermotor yang
ditempa berulang-ulang. Golok ini digunakan oleh orang Baduy untuk menebang pohon,
mengambil bambu, dan keperluan lainnya. Golok pamor memiliki urat-urat atau motif gambar
yang menyerupai urat kayu dari pangkal hingga ujung golok pada kedua permukaannya. Proses
pembuatannya lebih lama dan memerlukan pencampuran besi dan baja yang khusus. Kekuatan
dan ketajaman golok pamor melebihi golok polos biasa, di samping memiliki kharisma tersendiri
bagi yang menyandangnya.

Golok buatan orang Baduy-Dalam berbeda dengan buatan orang Baduy-Luar. Secara jelas
perbedaannya terletak pada sarangka dan perah-nya, baik yang berpamor maupun tidak.

Kujang

Kujang adalah alat untuk keperluan bercocok tanam di huma, misalnya untuk nyacar, ngored,
dan dibuat. Benda seperti ini di daerah Sunda yang lain sering dinamakan arit. Kujang dibuat
dari bahan besi dan baja yang ditempa. Alat ini disebut kujang karena berbentuk mirip kujang
sebagai senjata khas Pajajaran dan kini menjadi simbol daerah Jawa Barat.

Istilah kujang ditujukan untuk bentuk seperti kujang dengan bagian bawah (tangkai)nya seperti
golok , dan alat ini banyak digunakan oleh orang Baduy Dalam. Sedangkan bagi orang Baduy
Luar biasanya menggunakan istilah kored (alat untuk pekerjaan ngored/membersihkan
rerumputan di huma).

Kapak Beliung

Baliung adalah alat untuk menebang pohon besar atau sebagai salah satu perkakas untuk
membangun rumah. Di daerah lain disebut juga kapak. Gagangnya terbuat dari kayu yang agak
panjang (30-35 cm). Tenaga dan daya tekan Baliung harus lebih besar daripada golok, dan
karena itu dibuat dari besi baja yang lebih besar dan tebal pada bagian pangkal (yang
tumpulnya).

Senjata

Ada dua kampung di Baduy Luar yang terkenal pembuatan perkakas tajam, yaitu kampung Batu
Beulah dan Cisadane. Kedua kampung ini letaknya tidak berjauhan, dan berada di sebelah
Selatan Baduy (Kanekes). Tukang membuat perkakas tajam ini dinamakan Panday Beusi. Yang
dibuatnya antara lain Golok, Kujang, dan Baliung. Kampung yang sangat populer goloknya yaitu
dari panday beusi Batu Beulah dan Cisadane. Sejak dahulu kedua kampung yang berdekatan ini
sudah terkenal buatan goloknya yang sangat hebat (karena kekuatan, ketajaman, dan
pamornya)

Salah satu kegiatan wanita suku Baduy adalah mencari lahang untuk dijadikan gula aren. Setiap
pagi mereka membawa lodong, gelonggong bambu sepanjang 1 meter, untuk menampung
lahang (air nira) dari pohon aren yang tumbuh di sekitar kampung dan hutan.
Setelah terkumpul, digodoklah lahang itu hingga kental sebelum kemudian dicetak
menggunakan tempurung menjadi gula aren yang siap jual. Dalam sehari setidaknya dia dapat
membuat 40 tangkup gula aren. Setangkup gula aren yang dihasilkan dari dua keping
tempurung dijualnya Rp 4.000.

2.8 Politik Kebijakan Suku Baduy

Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang
mengikuti aturan negara Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang
dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa
yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat
tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".

Puun merupakan pemimpin tertinggi pada masyarakat Baduy.dilaksanakan oleh jaro, Dalam
melaksanakan kehidupan sehari-hari pemerintahannya dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu
jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Adapun tugas-tugas mereka
antara lain:

1. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya.

2. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di
dalam dan di luar Kanekes.

3. .Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut
sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.

4. Jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes
dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot
lembur atau tetua kampong.

Desa Kanekes ini dipimpin oleh kepala desa yang disebut Jaro Pamerentah. Seperti
kepala desa atau lurah di desa lainnya, ia berada di bawah camat, kecuali untuk urusan adat
yang tunduk kepada kepala pemerintahan tradisional (adat) yang disebut puun. Uniknya bahwa
bila kepala desa lainnya dipilih oleh warga, tetapi untuk Kanekes ditunjuk oleh puun, baru
kemudian diajukan kepada bupati (melalui camat) untuk dikukuhkan

Dikarenakan masyarakat kanekes mengenal dua system pemerintahan, yaitu Sistem


Nasional, yang mengikuti atauran Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Sistem Adat yang
mengikuti adat istiadat yang dipercaya masayarakat tersebut. Kedua system tersebut
digabungkan atau diakulturasikan sedemikian rupa sehinga tidak terjadi pembenturan. Secara
Nasional penduduk kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagi Jaro Pamarentah,
yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pemimpin data kanekes yang
tertinggi, yaitu “puun” .

Untuk bertahan mereka diikat oleh sistem pemerintahan yang mengatur kehidupan
sosio-politik dan keagamaan. Pengaturan kehidupan keseharian warga masyarakat sepenuhnya
di bawah kendali sistem pemerintahan yang bersandar pada pikukuh karuhun yang dikenal
sebagai pamarentahan Baduy dengan ketiga puun sebagai pucuk rujukan mereka yang
berkedudukan di tiga daerah tangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Praktek
kepemimpinan ketiga puun masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda sesuai dengan
kedudukan dan perannya dalam hirarki kekerabatan. Puun Cibeo yang dihubungkan oleh garis
keturunan yang paling muda bertindak sebagai pemimpin politik yang berperan mengatur
warga masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup duniawi dan Puun Cikeusik yang
ditentukan oleh garis keturunan yang paling tua berperan memimpin agama dalam rangka
mewujudkan dan mempertahankan identitas budaya, sedangkan Puun Cikartawana
kedudukannya di antara kepemimpinan agama dan politik.

Dari segi pemerintahan tradisional, masyarakat Baduy bercorak kesukuan yang disebut
kapuunan, karena puun menjadi pimpinan tertinggi. Puun di wilayah Baduy ini terdapat tiga
Cikartawana. Puun-puun ini merupakan tritunggal, karena selain berkuasa di wilayahnya
masing-masing, juga secara bersama-sama memegang kekuasaan pemerintah tradisional
masyarakat Baduy. Walaupun merupakan satu kesatuan kekuatan, ketiga puun tersebut juga
mempunyai wewenang tugas yang berlainan. Wewenang kapuunan Cikeusik menyangkut
urusan keagamaan dan ketua pengadilan adat, yang menentukan pelaksanaan upacara-upacara
(seren tahun, kawalu, dan seba), dan memutuskan hukuman bagi pelanggar adat. Wewenang
kapuunan Cibeo menyangkut pelayanan kepada warga dan tamu ke kawasan Baduy, termasuk
pada urusan administratur tertib wilayah, pelintas batas dan berhubungan dengan daerah luar.
Sedangkan wewenang kapuunan Cikartawana menyangkut urusan pembinaan warga,
kesejahteraan, keamanan, atau sebagai badan pelaksana langsung di lapangan yang memonitor
permasalahan yang berhubungan dengan kawasan Baduy.

SISTEM POLITIK MASYARAKAT KANEKES

Masyarakat Kakenes mengenal dua sistem perintahan, yaitu sistem pemerintahan


nasional dan sistem pemerintahan tradisional yang mengikuti adat dan istiadat yang dipercaya
masyarakat setempat. Kemudian, kedua sistem tersebut mereka gabungkan sedemikian rupa
sehingga tidak terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh seorang
Kepala Desa (Kades) yang dengan bahasa mereka disebut dengan Jaro Pamarentah yang
kedudukanya berada di bawah Camat. Sedangkan secara adat, penduduk Kanekes tunduk pada
pimpinan adat kanekes teringgi yang mereka sebut dengan Puun. Puun itu sendiri ada tiga
orang yang tersebar di tiga kampung, tempat berdomisilinya masyarakat Kanekes kelompok
tangtu, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Salah satu ciri dari sistem politik adalah adanya
diferensiasi dalam sistem politik tersebut. Maksudnya adalah adanya pembagian peran dan
kerja (division of labor) dan fungsi yang berbeda-beda namun saling berkaitan demi
menjalankan mesin politik untuk menghasilkan kebijakan yang menguntungan semua pihak.
Bila dalam sistem politik Indonesia kita mengenal istilah eksekutif, legislatif, yudikatif, partai
politik, dll sebagai pembagian tugas yang memiliki fungsi dan peranya masing-masing, di dalam
sistem politik tradisional masyarakat kanekes, kita akan menemui istilah Puun, Jaro, Kokolot,
dsb. Pada masyarakat Kanekes, Puun adalah pangkat tertinggi dalam pemerintahan adat
mereka. Jabatan Puun tersebut berlangsung turun temurun. Namun tidak otomatis dari Bapak
ke Anak, melainkan dapat juga ke kerabat lainya. Jangka waktu jabatan seorang Puun pun tidak
ditentukan, hanya berdasarkan kemampuan seseorang memegang jabatan. Sedangkan
pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh Jaro yang
dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu Jaro Tangtu, Jaro Dangka, Jaro Tanggungan, dan Jaro
Pamarentah.

Unit-unit dalam sistem politik merupakan tindakan-tindakan yang ada hubunganya


dengan pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, maka dalam sistem politik dikenal istilah input,
konversi atau proses, dan output. Perefleksian input, konversi, dan output ini juga dapat dilihat
pada pemerintahan ataupun sistem politik masyarakat Kanekes, meskipun dalam skala yang
lebih kecil.

Secara teori, input dalam sistem politik bisa berupa tuntutan (demand), ataupun
dukungan (support). Dalam masyarakat Kanekes, contoh sebuah permasalahan, misalnya, input
berupa tuntutan datang dari masyarakat Kanekes sendiri akibat ketidaknyamanan yang
ditimbulkan dari meningkatnya volume pengunjung yang mengunjungi daerah mereka akibat
semakin tersosialisasikan dengan baik informasi mengenai kehidupan mereka yang masih
tradisional sehingga menimbulkan banyak orang luar dari berbagai kalangan yang berminat
mengunjungi Kanekes. Secara sengaja ataupun tidak, para pengunjung itu membuat kehidupan
masyarakat setempat tidak nyaman karena adanya beberapa pelanggaran adat yang dilakukan
oleh mereka, seperti memotet, mencemari air sungai mereka, dsb. Lalu, masyarakat Kanekes
pun memprotes dan menuntut pemerintah kapuunan secara tradisional untuk segera
mengambil tindakan demi mengatasi permasalahan ini dengan cara terbaik. Tuntutan
masyrakat itu bisa dikategorikan sebagai input.
Kemudian, oleh pemerintah kapuunan, input itupun diterima dan di konversi atau
dengan kata lain adalah diproses dengan cara dirundingkan secara adat dengan para pejabat
pemerintah kapuunan, antara lain puun, para jero, tangkesan, baresan, girang seurat, jaro
pamarentah, kokolot, carik, dsb, dengan tetap menggunakan ruang lingkup adat mereka, dalam
hal ini khususnya, peran kokolot atau yang lebeih kita kenal adalah sesepuh menjadi sangat
penting sebagai sumber referensi untuk pengambilan kebijakan yang tetap dalam koridor
tradisionalisme mereka. Perundingan adat itupun menghasilkan suatu keputusan berupa
kebijakan yang disepakati bersama dan disahkan oleh puun. Perundingan adat yang terjadi itu
disebut konversi, sedangkan keputusan ataupun kebijakan yang dihasilkan dari perundingan
serta disahkan oleh puun disebut sebagai output.

Output yang berupa kebijakan itupun di sosialisasikan secara adat pula kepada
masyarakat Kenekes itu sendiri ataupun kepada pengunjung Kenekes. Kebijakan itu, misalnya,
berupa persyaratan bagi para pengunjung kenekes, bahwa setiap pengunjung harus mematuhi
adat istiadat masyarakat Kenekes asli dengan tidak berfoto di daerah Kenekes, tidak
menggunakan sabun atau odol di sungai, pelarangan masuk daerah Kenekes bagi WNA, dsb.

2.9 Kesenian/Kebudayaan Suku Baduy

Kesenian

Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk


memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:

1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung (pantun) yang digunakan dalam acara
pernikahan).

2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)

3. Seni Ukir Batik.

Angklung Buhun salah satu kesenian masyarakat Baduy yang pertaman kali lahir,
kesenian Tradisonal ini berbau magis dan mempunyai unsure saklar. Angklung Buhun bukannya
kesenian pagelaran yang setiap saat bisa ditonton, tetapi Angklung Buhun dipentaskan pada
satu tahun sekali, dengan gaya dan versi yang sama. Semua ungkapan bertumpu pada pakem,
yang dijadikan keharusan, disamping tembang, tari, dan tabuhannya harus bisa menyatu
dengan seniman yang memainkannya. Kesenian Angklung Buhun hadir bersama dengan orang
Baduy, dan punya arti penting sebagai penyambung amanat, kepada para ahli waris untuk
mempertahankan kelangsungan anak-keturunan Baduy. Unsure seninya sebagai daya tarik yang
mampu menyentuh rasa, pementasan merupakan jembatan sebagai alat komunikasi dalam
menyampaikan, ajakan, peringatan, laranagn, dan penerangan.

Rendo Pengiring Pantun merupakan salah satu alat kesenian Tradisional masyarakat
Baduy memberikan warna kehdupan budaya bervariasi, sebagai pembangkit rasa ingat para
warga kepada amanat leluhurnya. Rendo hadir pada setahun sekali secara pasti, setelah selesai
musim ngored, menjelang pohon padi mulai berbunga. Peristiwa ini merupakan waktu
senggang yang digunakan untuk kesibukan membaca pantun,dalam membuka tabir sejarah
perjalanan hidup leluhurnya.

Kegiatan mantun biasanya dipimpin oleh tokoh masyarakat, yang lebih mengetahui,
serta bertanggung jawab untuk menyampaikan amanat. Mantun merupakan upacar kecil yang
dilakukan dari rumah ke rumah, pada malam hari untuk lek-lekan sampai larut malam.

Kebudayaan Adat Istiadat Suku Baduy

Hukum di Tatanan Masyarakat Baduy

Menurut keterangan Bapak Mursyid, Wakil Jaro Baduy Dalam, beliau mengatakan bahwa
di lingkungan masyarakat Baduy, jarang sekali terjadi pelanggaran ketentuan adat oleh anggota
masyarakatnya. Dan oleh karenanya, jarang sekali ada orang Baduy yang terkena sanksi
hukuman, baik berdasarkan hukum adat maupun hukum positif (negara). Jika memang ada
yang melakukan pelanggaran, pasti akan dikenakan hukuman. Seperti halnya dalam suatu
negara yang ada petugas penegakkan hukum, Suku Baduy juga mempunyai bidang tersendiri
yang bertugas melakukan penghukuman terhadap warga yang terkena hukuman. Hukuman
disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran
ringan.

Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un
untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain
cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.

Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku
pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi
peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum juga akan dimasukan ke dalam
lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat selama 40 hari untuk dijaga sambil
diberi nasehat, pelajaran adat, dan bimbingan. . Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya
kembali apakah dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga
Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar dalam
menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.

Uniknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang
sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala
orang kota, sebagaimana kita berpakaian di masyarakat kota, juga termasuk pelanggaran berat
yang harus diberikan hukuman berat. Masyarakat Baduy tidak pernah berkelahi sama sekali,
paling hanya cekcok mulut saja.

Masyarakat Baduy sejak dahulu memang selalu berpegang teguh kepada seluruh
ketentuan maupun aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pu’un (Kepala Adat – red) mereka.
Kepatuhan kepada ketentuan-ketentuan tersebut menjadi pegangan mutlak untuk menjalani
kehidupan bersama. Selain itu, didorong oleh keyakinan yang kuat, hampir keseluruhan
masyarakat Baduy Luar maupun Baduy Dalam tidak pernah ada yang menentang atau menolak
aturan yang diterapkan sang Pu’un.

Dengan menjalani kehidupan sesuai adat dan aturan yang ditetapkan oleh Kepala Adat di
sana, tercipta sebuah komunitas dengan tatanan masyarakat yang amat damai dan sejahtera.
”Di masyarakat Baduy, tidak ada orang kaya, namun tidak ada orang miskin. Kehidupan mereka,
hakekatnya, sama seperti layaknya kehidupan masyarakat lainnya. Hanya saja yang
membedakannya adalah begitu banyak aturan tradisional yang terkesan kolot yang harus
mereka patuhi.

Bulan Puasa Kawalu

Di saat Kawalu, orang dari luar komunitas Baduy Dalam dilarang keras memasuki wilayah
mereka.Inilah salah satu ketentuan adat Baduy Dalam, mereka harus menjalani puasa yang
mereka sebut “Kawalu” dan jatuh bulannya adalah di Bulan Adapt. Di saat Kawalu, ada banyak
kegiatan adat dan tidak ada kegiatan lain. Semua kegiatan yang dilakukan difokuskan kepada
prosesi Kawalu. Pada bulan ini mereka tidak diperbolehkan membetulkan rumah atau
selamatan - selamatan melainkan mempersiapkan penyambutan datangnya hari besar bagi
masyarakat Baduy yang disebut Seba, berakhirnya masa Kawalu.

Satu-satunya kegiatan utama sebagai pesiapan yang mereka lakukan adalah mengumpulkan
hasil panen padi dari ladang-ladang mereka dan menumbuknya menjadi beras. Dalam satu
tahun masyarakat Baduy melaksanakan puasa selama 3 bulan berturut-turut sesuai dengan
amanah adat-nya.
Pernikahan

Di dalam proses pernikahan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy hampir serupa dengan
masyarakat lainnya. Namun, pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang
namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan
memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.

Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran.


Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa
daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang,
dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai
mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta
seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.

Pelaksanaan akad nikah dan resepsi dilakukan di Balai Adat yang dipimpin langsung oleh Pu’un
untuk mensahkan pernikahan tersebut. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak
mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika
salah satu dari mereka telah meninggal.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Suku baduy merupakan suku asli di tanah sunda yang berlokasi di daerah Banten. Suku
baduyn masih menjaga tradisi mereka dan menjaga amanat dari nenek moyang mereka untuk
selalu menjaga alam. Mereka sudah tidak lagi nomaden atau berpindah seperti yang dikatakan
oleh para ahli sejarah. Mereka sudah menetap dan bercocok tanam bahkan masyarakat baduy
luar tidak lagi menutup diri, mereka sudah dapat berbaur dengan masyarakat luar. Suku baduy
merupakan bagian dari suku di Indonesia yang menjadi bukti bawa Indonesia kaya akan
keanekaragaman budaya yang harus dibanggakan dan menghargai keberadaan mereka karena
bagaimanpun juga mereka adalahwarga Negara Indonesia yang masih memegang teguh
kepercayaan kebuyutan atau amanat dari nenek moyang.

3.2 Saran
Kebudayaan masyarakat baduy merupakan kebudayaan yang khas oleh karena itu,
pemerintah harus memperhatikan kebudayaan masyarakat baduy agar kebudayaan mereka
tetap lestari. Sebaiknya pemerintah daerah kabupaten Lebak tetap memberikan kebebasan
bagi suku baduy untuk mengatur masyarakatnya dengan kebudayaan asli mereka. Maka
kebudayaan suku baduy akan menjadi salah satu kekayaan budaya bangsa kita yang memiliki
bermacam-macam kebudayaan dan adat istiadat yang beragam. Namun walaupun memiliki
keanekaragaman adat istiadat, bangsa kita tetap mempunyai jiwa persatuan yang kuat seperti
yang tercantum dalam semboyan kita Bhineka Tunggal Ika.

Kami yakin dalam pembelajaran dan pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangannya. Sebagai bahan bagi kemajuan kami dalam pembuatan makalah ini, kami
mohon kritik dan sarannya. Karena kesempurnaan hanya milik Allah Yang Maha Esa.

http://rezasuryasesanti.blogspot.co.id/2013/02/makalah-kebudayaan-suku-baduy.html

http://www.academia.edu/19846109/MAKALAH_KEBUDAYAAN_SUKU_BADUY
https://alhudristai.wordpress.com/2014/02/13/10-pertanyaan-suku-baduy-kanekes-untuk-
pengetahuan-anda/

http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/sitem-pengetahuan.html

http://miragustina90.blogspot.co.id/2014/03/mata-pencaharian-suku-badui-baduy.html

http://layarasdos.blogspot.co.id/2014/02/unsur-unsur-kebudayaan-suku-baduy.html

http://vyruzpurple.blogspot.co.id/2009/03/sistem-politik-masyarakat-kanekes.html

http://lib.unnes.ac.id/7312/

http://unj-pariwisata.blogspot.co.id/2012/05/kesenian-masyarakat-baduy.html

http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.co.id/2012/06/suku-baduy-di-provinsi-
banten.html

https://kumeokmemehdipacok.blogspot.co.id/2014/01/kebudayaan-adat-istiadat-suku-
baduy.html

Anda mungkin juga menyukai