Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

DEMAM THYPOID

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. PENGERTIAN
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan
bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang bersifat difus,
pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di distal ileum. (Soegeng
Soegijanto, 2002)
Merupakan suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Sallmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang
dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur endothelia atau endokardial dan invasi
bakteri sekaligus multiplikasi kedalam sel fagosit monocular dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan peyer’s patch dan dapat menular pada orang lain melalui
makanan atau air yang terkontaminasi. (Sumarno, 2002)

2. ETIOLOGI
Penyebab utama demam thypoid ini adalah bakteri salmonella thypi.
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H)
yang terdiri dari protein dan envelopo antigen (K) yang terdiri dari polisakarida.
Mempunyai makromekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar
dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat
memperoleh plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple
antibiotic. (Sumarno, 2002)
Kuman tubuh pada suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41 oc
(optimum 37oc) dan pH pertumbuhan 6-8. Faktor pencetus lainnya adalah
lingkungan, sistem imun yang rendah, feses, urin, makanan atau minuman yang
terkontaminasi, fomitus dan lain sebagainya. Penyebab penyakit thypoid adalah
kuman salmonella thyposa salmonella parathypi A,B, dan C memasuki saluran
pencernaan. Penularan salmonella thypi dapat ditularkan berbagai cara, yang dikenal
dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus (muntah), Fly
(lalat), dan melalui Feses.
3. PATHWAY

Kuman Salmonela Thypi Lolos dari asam lambung


yang masuk ke saluran Malaise, perasaan tidak
gastrointestinal enak badan, nyeri
Bakteri masuk usus haus abdomen

Pembuluh Limfe inflamasi Komplikasi intestinal:


perdarahan usus, perforasi
usus(bag.distal ileum),
Peredaran darah Masuk retikulo endothelial peritonitis
(bakteremia primer) (RES) terutama hati dan
limfa

Inflamasi pada hati dan Empedu Masuk ke aliran darah


limfa (bakteremia sekunder)

Rongga Usu pada kelenjar


limfoid halus Endotoksin

Terjadi kerusakan sel


Hapatomegali Pembesaran limfa

Merangsang melepas zat


Nyeri tekan → Nyeri akut Splenomegali epirogen oleh leukosit

Mempengaruhi pusat
thermoregulator di
Lase plak peyer Penurunan mobilitas usus hipotalamus

Erosi Penurunan peristaltik usus Ketidakefektifan


termoregulasi

Konstipasi Peningkatan asam


lambung

Resik kekurangan volume


cairan Anoreksia mual muntah

Nyeri Ketidakseimbangan nutrisi


Perdarahan masif
kurang dari kebutuhan tubuh

Komplikasi perforasi dan perdarahan usus


4. PATOFISIOLOGI
Kuman salmonella typhosa masuk kedalam saluran cerna, bersama makanan
dan minuman, sabagian besar akan mati oleh asam lambung HCL dan sebagian ada
yang lolos (hidup), kemudian kuman masuk kedalam usus (plag payer) dan
mengeluarkan endotoksin sehingga menyebabkan bakterimia primer dan
mengakibatkan perdangan setempat, kemudian kuman melalui pembuluh darah limfe
akan menuju ke organ RES terutama pada organ hati dan limfe.
Di organ RES ini sebagian kuman akan difagosif dan sebagian yang tidak
difagosif akan berkembang biak dan akan masuk pembuluh darah sehingga menyebar
ke organ lain, terutama usus halus sehingga menyebabkan peradangan yang
mengakibatkan malabsorbsi nutrien dan hiperperistaltik usus sehingga terjadi diare.
Pada hipotalamus akan menekan termoregulasiyang mengakibatkan demam
remiten dan terjadi hipermetabolisme tubuh akibatnya tubuh menjadi mudah lelah.
Selain itu endotoksin yang masuk kepembuluh darah kapiler menyebabkan
roseola pada kulit dan lidah hiperemi. Pada hati dan limpa akan terjadi hepatospleno
megali. Konstipasi bisa terjadi menyebabkan komplikasi intestinal (perdarahan usus,
perfarasi, peritonitis) dan ekstra intestinal (pnemonia, meningitis, kolesistitis,
neuropsikratrik).

5. MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika dibandingkan
dengan penderita dewasa. Masa tunas rata-rata 10-20 hari. Yang tersingkat 4 hari
jika infeksi terjadi melalui makanan, sedangkan yang terlama 30 hari jika infeksi
melalui minuman. Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodomal
yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersamangat
kemudian menyusul gejala klinis sebagai berikut:
a. Demam
Berlangsung selama 3 minggu, bersifat febris remiten dan suhu tidak
terlalu tinggi. Selama minggu pertama duhu berangsur-angsur meningkat, biasanya
turun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Pada minggu
ke-2 penderita terus demam dan minggu ketiga penderita demamnya berangsur-
angsur normal.
b. Gangguan pada saluran pencernaan
Nafas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, lidah putih kotor
(coated tongue) ujung dan tepi kemerahan, perut kembung, hati dan limpa
membesar. disertai nyeri pada perabaan.
c. Gangguan kesadaran
Kesadaran menurun walaupun tidak berapa dalam yaitu apatis sampai samnolen.

6. KOMPLIKASI
Dapat terjadi pada:
a. Usus halus
Umumnya jarang terjadi, akan tetapi sering fatal yaitu:
1) Perdarahan usus bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Bila perdarahan banyak terjadi melena dan bila berat dapat
disertai perasaan nyari perut dengan tanda-tanda rejatan
2) Perforasi usus
3) Peritonitis ditemukan gejala abdomen akut yaitu: nyeri perut yang hebat, diding
abdomen dan nyeri pada tekanan
b. Diluar anus
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakterimia) yaitu meningitis,
kolesistitis, ensefelopati. Terjadi karena infeksi sekunder yaitu
bronkopneumonia

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan
laboratorium, yang terdiri dari :
a. Pemeriksaan leukosit
Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat
leukopenia dan limposistosis relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah
sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam typhoid, jumlah leukosit pada
sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-kadang terdapat
leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder. Oleh karena itu
pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk diagnosa demam typhoid.
b. Pemeriksaan SGOT Dan SGPT
SGOT Dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat
kembali normal setelah sembuhnya typhoid.
c. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila
biakan darah negatif tidak menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid.
Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung dari beberapa faktor :
1. Teknik pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium
yang lain, hal ini disebabkan oleh perbedaan teknik dan media biakan yang
digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah pada saat demam
tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.
2. Saat pemeriksaan selama perjalanan Penyakit
Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu
pertama dan berkurang pada minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh
biakan darah dapat positif kembali.
3. Vaksinasi di masa lampau
Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat
menimbulkan antibodi dalam darah klien, antibodi ini dapat menekan
bakteremia sehingga biakan darah negatif.
4. Pengobatan dengan obat anti mikroba
Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti
mikroba pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil biakan
mungkin negatif.
5. Uji Widal
Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam
serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang yang pernah
divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi
salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji
widal ini adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum klien yang
disangka menderita tthypoid.
Uji widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibody terhadap
kuman Salmonella typhi. Uji widal dikatakan bernilai bila terdapat kenaikan
titer widal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O >
1/320, titer H > 1/60 (dalam sekali pemeriksaan) Gall kultur dengan media
carr empedu merupakan diagnosa pasti demam tifoid bila hasilnya positif,
namun demikian, bila hasil kultur negatif belum menyingkirkan kemungkinan
tifoid, karena beberapa alasan, yaitu pengaruh pemberian antibiotika, sampel
yang tidak mencukupi. Sesuai dengan kemampuan SDM dan tingkat
perjalanan penyakit demam tifoid, maka diagnosis klinis demam tifoid
diklasifikasikan atas:
1. Possible Case dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan gejala
demam, gangguan saluran cerna, gangguan pola buang air besar dan
hepato/splenomegali. Sindrom demam tifoid belum lengkap. Diagnosis ini
hanya dibuat pada pelayanan kesehatan dasar.
2. Probable Case telah didapatkan gejala klinis lengkap atau hampir lengkap,
serta didukung oleh gambaran laboraorium yang menyokong demam tifoid
(titer widal O > 1/160 atau H > 1/160 satu kali pemeriksaan).
3. Definite Case Diagnosis pasti, ditemukan S. Thypi pada pemeriksaan
biakan atau positif S.Thypi pada pemeriksaan PCR atau terdapat kenaikan
titerWidal 4 kali lipat (pada pemeriksaan ulang 5-7 hari) atau titer widal O>
1/320, H > 1/640 (pada pemeriksaan sekali) (Widodo, D. 2007. Buku Ajar
Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI.

8. PENATALAKSANAAN
A. Medis
1. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :
a. Klorampenicol
b. Amoxicilin
c. Kotrimoxasol
d. Ceftriaxon
e. Cefixim
2. Antipiretik (Menurunkan panas) :
a. Paracetamol
B. Keperawatan
1. Observasi dan pengobatan
2. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang
lebih dari selam 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah
terjadinya komplikasi perforasi usus.
3. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
4. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah
pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan
dekubitus.
5. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi
konstipasi
6. Diet
a. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.
b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.
c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim
d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama
7 hari (Smeltzer & Bare. 2010. Keperawatan Medikal Bedah III. Jakarta:
EGC).
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Meliputi nama,, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama,
status perkawinan, tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik.
b. Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun,
nyeri perut, pusing kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan
kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.
d. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya pernah sakit demam tifoid.
e. Riwayat penyakit keluarga
Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.
f. Riwayat psikososial dan spiritual
Biasanya klien cemas, bagaimana koping mekanisme yang digunakan.
Gangguan dalam beribadat karena klien tirah baring total dan lemah.
g. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme
Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat
makan sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.
2) Pola eliminasi
Eliminasi alvi. Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring
lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami gangguan, hanya warna
urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam tifoid terjadi
peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa
haus, sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
3) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi
komplikasi maka segala kebutuhan klien dibantu.
4) Pola tidur dan istirahat
Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.
5) Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan penyakitnya dan ketakutan
merupakan dampak psikologi klien.
6) Pola sensori dan kognitif
Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya
tidak mengalami kelainan serta tidak terdapat suatu waham pad klien.
7) Pola hubungan dan peran
Hubungan dengan orang lain terganggu sehubungan klien di rawat di rumah
sakit dan klien harus bed rest total.
8) Pola reproduksi dan seksual
Gangguan pola ini terjadi pada klien yang sudah menikah karena harus
dirawat di rumah sakit sedangkan yang belum menikah tidak mengalami
gangguan.
9) Pola penanggulangan stress
Biasanya klien sering melamun dan merasa sedih karena keadaan ssakitnya.
10) Pola tatanilai dan kepercayaan
Dalam hal beribadah biasanya terganggu karena bedrest total dan tidak boleh
melakukan aktivitas karena penyakit yang dideritanya saat ini.
h. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 380 C – 410 C,
muka kemerahan.
2) Tingkat kesadaran
Dapat terjadi penurunan kesadaran (apatis).
3) Sistem respirasi
Pernafasan rata-rata ada peningkatan, nafas cepat dan dalam dengan gambaran
seperti bronchitis.
4) Sistem kardiovaskuler
Terjadi penurunan tekanan darah, bradikardi relatif, hemoglobin rendah.
5) Sistem integumen
Kulit kering, turgor kullit menurun, muka tampak pucat, rambut agak kusam

6) Sistem gastrointestinal
Bibir kering pecah-pecah, mukosa mulut kering, lidah kotor (khas), mual,
muntah, anoreksia, dan konstipasi, nyeri perut, perut terasa tidak enak,
peristaltik usus meningkat.
7) Sistem muskuloskeletal
Klien lemah, terasa lelah tapi tidak didapatkan adanya kelainan.
8) Sistem abdomen
Saat palpasi didapatkan limpa dan hati membesar dengan konsistensi lunak serta
nyeri tekan pada abdomen. Pada perkusi didapatkan perut kembung serta pada
auskultasi peristaltik usus meningkat.

2. DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN


Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan
Tujuan dan Intervensi Rasional
criteria hasil

Hipertermi Suhu tubuh akan 1. Monitor tanda-tanda Infeksi pada umumnya


berhubungan kembali normal, infeksi menyebabkan peningkatan
dengan keamanan dan suhu tubuh
gangguan kenyaman pasien
Deteksi resiko peningkatan
hipothalamus dipertahankan
suhu tubuh yang ekstrem,
oleh pirogen selama 2. Monitor tanda vital
pola yang dihubungkan
endogen. pengalaman tiap 2 jam
dengan patogen tertentu,
demam dengan
menurun idhubungkan
kriteria suhu
denga resolusi infeksi
antara 366-373 0C,
RR dan Nadi Memfasilitasi kehilangan
dalam batas panas lewat konveksi dan
normal, pakaian konduksi
dan tempat tidru 3. Kompres dingin
pasien kering, pada daerah yang
tidak ada reye tinggi aliran Kehilangan panas tubuh
syndrom, kulit darahnya melalui konveksi dan
dingin dan bebas 4. Berikan suhu evaporasi
dari keringat yang lingkungan yang
berlebihan nyaman bagi pasien.
Febril dan enselopati bisa
Kenakan pakaian
terjadi bila suhu tubuh
tipis pada pasien.
yang meningkat.
5. Monitor komplikasi
neurologis akibat
demam
Menggantikan cairan yang
hilang lewat keringat
6. Atur cairan iv sesuai
order atau anjurkan
intake cairan yang
Aspirin beresiko terjadi
adekuat.
perdarahan GI yang
7. Atur antipiretik,
menetap.
jangan berikan
aspirin
Diare Pasien akan 1. Ukur output Menggantikan cairan yang
berhubungan kembali normal hilang agar seimbang
dengan infeksi pola eliminasinya
Mengurangi kram perut
pada saluran dengan kriteria
(hindari antispasmodik)
intestinal makan tanpa 2. Kompres hangat
muntah, mual, pada abodmen
tidak distensi
Mendeteksi adanya kuman
perut, feses lunak,
patogen
coklat dan 3. Kumpulkan tinja
berbentuk, tidak untuk pemeriksaan
nyeri atau kram kultur.
perut. 4. Cuci dan bersihkan
kulit di sekitar Mencegah iritasi dan
daerah anal yang kerusakan kulit
terbuka sesering
mungkin
Resiko tinggi Pasien akan bebas 1. Kumpulkan darah, Pengumpulan yang salah
infeksi (kontak infeksi dan urine dan feses bisa merusak kuman
pasien) komplikasi dari untuk pemeriksaan patogen sehingga
berhubungan infeksi salmonella sesuai aturan. mempengaruhi diagnosis
dengan adanya dengan kriteria dan pengobatan
salmonella tanda vital dalam
pada tinja dan batas normal,
urine. kultur darah, urine 2. Atur pemberian Anti infeksi harus segera
dan feses negatif, agen antiinfeksi diberikan untuk mencegah
hitung jenis darah sesuai order. penyebaran ke pekerja,
dalam bataas pasien lain dan kontak
normal, tidak ada pasien.
perdarahan.
Mencegah transmisi
3. pemeriksaan feses kuman patogen
negatif terhadap S.
Thypi

4. Cegah pasien
Membatasi terpaparnya
terpapar dengan
pasien pada kuman
pengunjung yang
patogen lainnya.
terinfeksi atau
petugas, batasi
pengunjung
Meyakinkan bahwa pasien
5. Terlibat dalam
diperiksa dan diobati.
perawatan lanjutan
pasien

Mencegah infeksi berulang

6. Ajarkan pasien
mencuci tangan,
kebersihan diri,
kebutuhan makanan
dan minuman,
mencuci tangan
setelah BAB atau
memegang feses.
Resiko tinggi Keseimbangan 1. Kaji tanda-tanda Intervensi lebih dini
kekurangan cairan dan dehidrasi
cairan tubuh elektrolit
berhubungan dipertahankan 2. Berikan minuman Mempertahankan intake
muntah dan dengan kriteria per oral sesuai yang adekuat
diare. turgor kulit toleransi
normal, membran 3. Atur pemberian
mukosa lembab, cairan per infus Melakukan rehidrasi
urine output sesuai order.
normal, kadar 4. Ukur semua cairan
darah sodium, output (muntah, Meyakinkan keseimbangan
kalium, diare, urine. Ukur antara intake dan ouput
magnesium dna semua intake
kalsium dalam cairan.
batas normal.
Konstipasi Pasien bebas dari 1. Observasi feses Mendeteksi adanya darah
berhubungan konstipasi dengan dalam feses
dengan invasi kriteria feses 2. Monitor tanda-
Untuk intervensi medis
salmonella lunak dan keluar tanda perforasi dan
segera
pada mukosa dengan mudah, perdarahan
intestinal. BAB tidak lebih
dari 3 hari.
Distensi yang tidak
3. Cek dan cegah membaik akan
terjadinya distensi memperburuk perforasi
abdominal pada intestinal
4. Atur pemberian
Untuk menghilangkan
enema rendah atau
distensi
glliserin sesuai
order, jangan beri
laksatif.
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J (1997). Buku Saku Keperawatan. Edisi VI.EGC: Jakarta


Doengoes M.E (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi III. EGC : Jakarta
Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi XII. EGC : Jakarta
Soegeng Soegijanto. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan
Penatalaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.
Sumarmo, herry ,2002. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis edisi kedua.idai. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai