Anda di halaman 1dari 24

PROPOSAL

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA METABOLIT


SEKUNDER EKSTRAK ETIL ASETAT DARI BATANG
BENALU KOPI (Scurrula ferruginea Jack.)

NAMA : DESI ZAHIRA HAYATI


NIM : 4162210003

Diajukan untuk memenuhi syarat melakukan penelitian guna menyelesaikan


studi s-1 dan memperoleh gelar sarjana sains

PROGRAM STUDI KIMIA


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Senyawa metabolit sekunder merupakan kandungan yang penting dalam
tanaman sehingga tanaman tersebut berfungsi sebagai tanaman obat. Senyawa
metabolit sekunder terdiri dari berbagai jenis senyawa seperti flavonoid, alkaloid,
steroid, terpenoid, saponin dan tannin. Senyawa metabolit sekunder banyak yang
berperan sebagai antioksidan , anti bakteri, maupun ati serangga. Senyawa yang
berperan dalam antioksidan umumnya mengandung banyak senyawa flavonoid
dan alkaloid. Alkaloid mempunyai efek dalam bidang kesehatan berupa pemicu
sistem saraf, menaikkan tekanan darah, mengurangi rasa sakit, anti mikroba, obat
penenang, obat penyakit jantung dan lainnya (Simbala, 2007).
Pencarian bahan-bahan kimia alami sampai saat ini tetap membuahkan
hasil yang menguntungkan. Hal ini terbukti dari penemuan obat-obat yang relative
baru yang langsung dapat digunakan dalam bentuk alami atau aslinya, seperti
vinkristin dan vinblastin dari tanaman tapak dara (Catharanthus roseus) sebagai
obat kanker, siklosporin (immunosuppressant) yang berasal dari jenis lapuk yang
ditemukan di Norwegia dan invermektin (obat cacing parasit) dari sejenis jamur
yang ditemukan di Jepang (Eisnher, 1990).
Pemanfaatan tumbuhan benalu sebagai obat-obatan tradisional telah lama
digunakan untuk upaya penyembuhan berbagai macam penyakit. Benalu
digunakan oleh masyarakat sebagai obat antiradang, pereda sakit (analgesik),
antivirus, antikanker, dll (Katrin dkk, 2005). Beberapa contoh benalu yang
digunakan sebagai obat adalah benalu kopi biasa digunakan untuk penyakit
campak, benalu jeruk nipis digunakan sebagai obat amandel sedangkan benalu teh
dan benalu mangga digunakan sebagai obat antikanker (Purnomo, 2000).
Penggunaan benalu tanaman sebagai antikanker yang menjanjikan masih
membutuhkan eksplorasi lebih lanjut baik dari sisi budaya maupun formulasi,
benalu dalam bentuk sediaan tradisional (jamu) dapat digunakan sebagai obat
untuk meringankan beban penderita kanker dan meningkatkan taraf kesehatan
masyarakat (Ikawati, 2008).
Scurrula ferruginea (Jack) Danser (Loranthaceae) atau yang lebih dikenal
dengan nama benalu kopi merupakan salah satu tumbuhan yang digunakan dalam
pengobatan tradisional. Bagian tanaman benalu kopi yang dimanfaatkan sebagai
obat adalah daunnya. Berdasarkan penelitian farmakologi sebelumnya benalu kopi
berkhasiat untuk pengobatan kanker atau sitotoksik (Davehat,et al, 2002) dan
vasorelaksan (Ameer, et al, 2009). Secara tradisional benalu digunakan juga oleh
masyarakat sebagai obat batuk, amandel, campak, diabetes dan kanker (Pitojo,
1996).
Berbagai penelitian telah dilakukan dalam rangka mengeksplorasi
pengembangan tumbuhan benalu kopi (Scurrula ferruginea) sebagai senyawa
antikanker diantaranya adalah senyawa kuersetin yang berasal dari Scurrula
ferruginea memperlihatkan bioaktivitas sebagai antitumor yang tinggi pada sel
glioblastoma U251 (Devehat et al., 2002). Kuersetin hasil isolasi benalu kopi yang
termasuk kedalam golongan flavonoid memiliki aktivitas yang poten sebagai
antikanker payudara dan lebih banyak terdapat pada batang dibandingkan daun
dan bunga dari benalu kopi itu sendiri (Marvibaigi et al., 2016).

Mengingat potensi yang dimiliki oleh benalu kopi ini (Scurrula


ferruginea) serta keanekaragaman senyawa-senyawa yang terkandung
didalamnya, maka dilakukan penelitian tentang karakterisasi simplisia, skrining
fitokimia dan isolasi flavonoida dari ekstrak etil asetat benalu kopi (Scurrula
ferruginea). Ekstrak etil asetat herba pugun tanoh dipisahkan dengan cara
kromatografi lapis tipis (KLT) dan dipisahkan dengan KLT preparatif. Isolat yang
diperoleh diidentifikasi dengan spektrofotometer UV dan IR.

1.2. Rumusan masalah


Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah senyawa metabolit sekunder
apa saja yang terkandung dalam ekstrak etil asetat pada batang benalu kopi
(Scurrula ferruginea) serta komponen mana yang paling dominan terkandung
didalamnya?

1.3. Batasan Masalah


Penelitian ini dibatasi pada ekstraksi batang benalu kopi dengan pelarut etil
asetat serta skrining fitokimianya. Selanjutya dilakukan isolasi fraksi estrak etil
asetat dari batang tumbuhan Scurrula ferruginea yang kemudian dilanjutkan
dengan elusidasi struktur menggunakan spektrofotometer FT-IR dan 1H-NMR.
1.4. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini pada dasarnya adalah untuk mengetahui
komponen metabolit sekunder apa saja yang terkandung didalam ekstrak etil
asetat dari benalu kopi (Scurrula ferruginea Jack.) serta memperkirakan
bagaimana struktur dari komponen senyawa tersebut.
1.5. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Memberikan informasi penting mengenai kandungan senyawa metabolit
sekunder dari benalu kopi (Scurrula ferruginea).
2) Memberikan informasi mengenai keanekaragaman senyawa kimia yang
terkandung pada tumbuhan endemic Indonesia.
3) Memberikan kontribusi bagi ilmu pengetahuan khususnya bagi ilmu kimia
bahan alam.
BAB II TINJAUAN TEORITIS

2.1. Tumbuhan Benalu Kopi


Klasifikasi Benalu kopi hasil identifikasi tumbuhan di laboratorium
Herbarium Medanense (MEDA) Universitas Sumatera Utara, adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Santalales
Famili : Loranthaceae
Genus : Loranthus
Spesies : Loranthus parasiticus (L.) Merr.
Nama Lokal : Benalu Kopi (Herbarium Medanense, 2015)
Benalu (Loranthus) merupakan jenis tumbuhan yang hidupnya tidak
memerlukan media tanah. Ia hidup sebagai parasit, melekat pada sel inang, dan
menghisap nutrisi yang dimilikinya sehingga menyebabkan kematian pada sel
inang tersebut. Adanya klorofil menyebabkan tanaman benalu memiliki
kemampuan melakukan proses fotosintesis. Akan tetapi, tanaman ini tidak mampu
mengambil air dan unsur hara secara langsung dari tanah yang menjadikannya
sebagai tanaman parasit (Pitojo,1996).
Berdasarkan pengalaman, benalu yang menempel pada tumbuhan tertentu
telah digunakan dalam pengobatan tradisional. Benalu pada umumnya digunakan
sebagai obat campak, sedangkan benalu pada jeruk nipis dimanfaatkan sebagai
ramuan obat penyakit amandel. Benalu kopi sendiri digunakan untuk mengobati
sakit pinggang, diabetes, rematik, batuk, diare dan antikanker. Kandungan kimia
yang terdapat dalam benalu adalah flavonoid, tanin, asam amino, karbohidrat,
alkaloid, dan saponin (Anonim, 1996; Ritcher, 1992). Berdasarkan berbagai
penelitian yang ada, senyawa flavonoid pada benalu yang berperan dalam
melawan kanker adalah kuersetin. Kuersetin memiliki aktivitas antioksidan yang
dimungkinkan oleh komponen fenoliknya yang sangat reaktif. Kuersetin akan
mengikat radikal bebas sehingga dapat mengurrangi reaktivitas radikal bebas
tersebut. Bentuk daun benalu kopi yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat
pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Daun Benalu Kopi


Benalu kopi adalah salah satu tanaman parasit yang biasa digunakan dalam
pengobatan tradisional. Sebagai tanaman parasit benalu tidak banyak
dimanfaatkan,hal ini berkaitan dengan sifat parasit benalu yang dapat merusak
tanaman inangnya,sementara sebagai salah satu tanaman obat,benalu mempunyai
peranan yang penting. Secara tradisional benalu digunakan antara lain sebagai
obat batuk,amandel,campak,diabetes dan kanker (Pitojo,1996).
Benalu kopi mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder. Metabolit
sekunder tersebut antara lain asam lemak: asam oleat, asam linoleat, asam
linolenat, asam oktadeka-8-10-dinoat, asam (Z)-oktade-12-ena-8-10-dioat dan
asam oktadeka-8-10-12- trinoat; kuersitrin, kuersetin, rutin, ikarisid B2, avikulin,
(+)-katekin,(-)-epikatekin,(-)- epikatekin3-O-galat dan (-) epigalokatekin-3- O-
galat (BPOM RI, 2010).

2.2. Senyawa Metabolit Sekunder


Senyawa metabolit pada makhluk hidup dapat dikelopmpokkan menjadi dua
yaitu, senyawa metabolit primer dan senyawa metabolit sekunder. Senyawa
metabolit sekunder didefinisikan sebagai produk akhir dalam proses metabolisme
makhluk hidup yang fungsinya sangat esensial bagi kelangsungan hidup
organisme itu sendiri dan terbentuknya secara intraseluler. Contohnya protein,
lemak, karbohidrat dan DNA. Senyawa metabolit sekunder merupakan
biomolekul yang dapat digunakan sebagai lead compounds dalam penemuan dan
pengembangan obat-obat baru (Atun, S, 2003). Senyawa-senyawa kimia yang
merupakan hasil metabolisme sekunder pada tumbuhan sangat beragam dan dapat
diklasifikasikan dalam beberapa golongan senyawa bahan alam yaitu alkaloid,
flavonoid, terpenoid, saponin dan tanin (Lenny, S, 2006).

Dalam perkembangannya senyawa metabolit sekunder tersebut dipelajari


dalam disiplin ilmu tersendiri yaitu kimia bahan alam (natural product chemistry).
Contoh metabolit sekunder adalah antibiotik, pigmen, toksik, efektor kompetisi
ekologi dan simbiosis, feromon, inhibitor enzim, agen immunemodulasi, reseptor
antagonis dan agonis, pestisida, agen antitumor, dan promotor pertumbuhan
binatang dan tumbuhan. Identifikasi kandungan metabolit sekunder merupakan
langkah awal yang penting dalam penelitian pencarian senyawa bioaktif baru dari
bahan alam yang dapat menjadi prekursor bagi sintesis obat baru atau prototipe
obat beraktivitas tertentu (Rasyid, 2012). Identifikasi ini merupakan uji fitokimia.
Metode yang dilakukan merupakan metode uji berdasarkan yang telah
dimodifikasi. Uji yang dilakukan antara lain uji flavonoid, senyawa fenolik,
alkaloid, saponin, tanin dan terpenoid (Harbone, 1987).

2.2.1. Flavonoid
Senyawa-senyawa flavonoida adalah senyawa-senyawa polifenol yang
mempunyai 15 atom karbon, terdiri dari dua cincin benzena yang dihubungkan
menjadi satu oleh rantai linier yang terdiri dari tiga atom karbon.
Senyawasenyawa flavonoida adalah senyawa 1,3 diaril propana, senyawa
isoflavonoida adalah senyawa 1,2 diaril propana, sedangkan senyawa-senyawa
neoflavonoida adalah 1,1 diaril propana.
Istilah flavonoida diberikan pada suatu golongan besar senyawa yang berasal
dari kelompok senyawa yang paling umum, yaitu senyawa flavon, suatu jembatan
oksigen terdapat diantara cincin A dalam kedudukan orto, dan atom karbon benzil
yang terletak disebelah cincin B. Senyawa heterosoklik ini, pada tingkat oksidasi
yangberbeda terdapat dalam kebanyakan tumbuhan. Flavon adalah bentuk yang
mempunyai cincin C dengan tingkat oksidasi paling rendah dan dianggap sebagai
struktur induk dalam nomenklatur kelompok senyawasenyawa ini (Markham,
1988).
Senyawa flavonoida sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan
termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga, buah, dan biji. Flavonoida ini
berada di dalam tumbuh-tumbuhan, kecuali alga. Ada juga flavonoida yang
terdapat pada hewan, misalnya dalam kelenjar bau berang-berang dan sekresi
lebah. Sayap kupu-kupu mengandung flavonoida yang berasal dari tumbuh-
tumbuhan yang menjadi makanan hewan tersebut dan tidak dibiosintesis di dalam
tubuh mereka. Penyebaran jenis flavonoida pada golongan tumbuhan yaitu
angiospermae, klorofita, fungi, briofita. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal
dari tumbuhan telah diidentifikasi. Kerangka dasar flavonoida biasanya diubah
sedemikian rupa sehingga terdapat lebih banyak ikatan rangkap, menyebabkan
senyawa itu menyerap cahaya tampak, dan ini membuatnya berwarna(Markham,
1988).
2.2.2. Tannin
Tanin merupakan salah satu metabolit sekunder yang dapat digunakan
tumbuhan untuk melindungi dari serangan bakteri dari cendawan (Salisbury,
1995). Secara kimiawi tanin merupakan kompleks, biasanya merupakan campuran
polifenol yang sulit dipisahkan karena tidak mengkristal. Apabila tanin
direaksikan dengan air membentuk larutan koloid yang memberikan reaksi asam
dan reaksi yang tajam (Harborne, 1996). Tanin memiliki peranan fisiologis yang
kompleks mulai dari pengendap protein hingga pengkhelat logam. Tanin juga
dapat berfungsi sebagai antioksidan biologis (Hagerman, 2002).

2.2.3. Alkaloid
Alkaloid merupakan senyawa kimia bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen, umumnya tidak berwarna, dan berwarna jika mempunyai
struktur kompleks dan bercincin aromatik. Alkaloid pada umumnya juga
mempunyai kereaktifan fisiologi yang menonjol, sehingga oleh manusia alkaloida
sering dimanfaatkan sebagai pengobatan. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu
golongan heterogen. Secara fisik, alkaloida dipisahkan dari kandungan tumbuhan
lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau
pikrat (Harbone, 1987).
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid
memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme yang diduga adalah dengan
cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga
lapisan dinding sel terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel tersebut
(Robinson, 1995).
Alkaloid tanaman diturunkan saat ini digunakan secara klinis termasuk
analgesik, agen anti-neoplastik, relaksan otot, antivirus, sitotoksik, antinosiseptik,
antiinflamasi (Seifu et al, 2002)

2.2.4. Terpenoid
Terpenoid adalah merupakan komponen-komponen tumbuhan yang
mempunyai bau dan dapat diisolasi dari bahan nabati dengan penyulingan disebut
sebagai minyak atsiri. Minyak atsiri yang berasal dari bunga pada awalnya dikenal
dari penentuan struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom
hidrogen dan atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu 8 : 5 dan dengan
perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa tersebut adalah golongan
terpenoid (Lenny, S, 2006).
Terpenoid tumbuhan mempunyai manfaat penting sebagai obat tradisional,
anti bakteri, anti jamur, dan gangguan kesehatan (Thomson, 1993). Beberapa hasil
penelitian menunjukkan bahwa senyawa terpenoid dapat menghambat
pertumbuhan dengan mengganggu proses terbentuknya membran dan atau dinding
sel, membran atau dinding sel tidak terbentuk atau terbentuk tidak sempurna
(Ajizah, 2004).

2.2.5. Saponin
Saponin merupakan glukosida yang larut dalam air dan etanol, tetapi tidak
larut dalam eter. Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu
stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakterilisis, jadi
mekanisme kerja saponin termasuk dalam kelompok antibakteri yang
mengganggu pemeabilitas membran sel bakteri, yang mengakibatkan kerusakan
membran sel dan menyebabkan keluarnya berbagai kompone penting dari dalam
sel bakteri yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida (Ganiswarna, 1995).

2.3. Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan awal
dengan menggunakan pelarut (Syamsuni,2006). Zat aktif yang terdapat dalam
simplisia tersebut dapat digolongkan ke dalam golongan alkaloid, flavonoid dan
lain-lain(Depkes, 2000). Tujuan utama ekstraksi ini adalah untuk mendapatkan
atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan
(Syamsuni, 2006).
Berdasarkan prinsipnya, proses ekstraksi dapat berlangsung bila terdapat
kesamaan dalam sifat kepolaran antara senyawa yang diekstraksi dengan senyawa
pelarut. Suatu zat memiliki kemampuan terlarut yang berbeda dalam pelarut yang
berbeda. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara zat terlarut dengan pelarut.
Senyawa polar akan larut dalam pelarut polar, begitu juga sebaliknya. Sifat
penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran
senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti OH, COOH, dan lain
sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah
selektivitas, kemampuan untuk mengekstrak, toksisitas, kemudahan untuk
diuapkan, dan harga (Harbone, 1987).
Ekstraksidengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara
yaitu :
A. Cara Dingin
1) Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur ruangan (Ditjen POM
RI, 2000).
2) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi
penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar.
Proses ini terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara,
tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) (Ditjen POM
RI, 2000).
B. Cara panas
1) Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan
dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses
pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses
ekstraksi sempurna (Ditjen POM RI, 2000).
2) Soxhlet
Soxhlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang umumnya dilakukan
dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut
relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM RI, 2000).
3) Digesti
Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang
lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50 (Ditjen POM RI, 2000).
4) Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati
dengan air pada suhu 90selama 15 menit (Ditjen POM RI, 1979).
5) Dekok
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati
dengan air pada waktu yang lebih lama ± 30 menit dangan temperatur
sampai titik didih air (Ditjen POM RI, 2000).

2.4. Kromatografi
Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan
perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam
(dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat
cair). Kromatografi serapan dikenal berdasarkan fase diamnya,jika fase diamnya
berupa zat cair maka disebut sebagai kromatografi partisi (Sastrohamidjojo,
1985). Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan
menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat
digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987).

2.5. Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisah
terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyangga berupa plat
gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan
yang di totolkan baik berupa bercak ataupun pita. Plat atau lapisan dimasukkan ke
dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak)
pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan) (Stahl, 1985). Fase
gerak akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada
pengembangan secara menaik (ascending) atau karena pengaruh gravitasi pada
pengembangan secara menurun (descending) (Rohman, 2007).
Kromatografi lapis tipis merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat
sedikit, baik penjerap maupun cuplikan. KLT dapat digunakan untuk memisahkan
senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofilik seperti lipid-lipid dan hidrokarbon yang
sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. Bahan lapis tipis seperti silika gel
adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi-pereaksi yang lebih reaktif
seperti asam sulfat (Fessenden, 2003).
Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara.
Pengamatan dengan sinar ultraviolet adalah cara sederhana yang dilakukan untuk
senyawa tak berwarna. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika
disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang
(366 nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba
dengan penyemprotan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama
tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Rohman, 2007).
Nilai utama Kromatografi Lapis Tipis pada penelitian senyawa flavonoida
ialah sebagai cara analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit. Menurut
Markham, Kromatografi Lapis Tipis terutama berguna untuk tujuan berikut:
1. mencari pelarut untuk kromatografi kolom
2. analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom
3. Identifikasi flavonoida secara ko-kromatografi.
4. isolasi flavonoida murni skala kecil
5. penyerap dan pengembang yang digunakan umumnya sama dengan
penyerap dan pengembang pada kromatografi kolom dan kromatografi
kertas (Markham, 1988).

2.5.1. Fase diam


Fase diam pada kromatografi lapis tipis berupa lapisan tipis yang terdirI
atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya
terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan melekat
pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau
amilum (pati).Penyerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah
silika gel, alumina, kieselgur, dan selulosa (Gritter, et al., 1985).
Dua sifat yang penting dari fasediam adalah ukuran partikel dan
homogenitasnya, karena adhesi terhadap penyokong sangat tergantung pada kedua
sifat tersebut.Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25 mikron. Partikel
yang butirannya sangat kasar tidak akan memberikan hasil yang memuaskan dan
salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan
fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan aliran
pelarut yang lebih lambat dan resolusi yang lebih baik (Sastrohamidjojo, 1985).

2.5.2. Fase gerak


Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa
pelarut.Jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu
campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen
(Stahl, 1985).
Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur.Tujuan
menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang
baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masing-masing pelarut,
sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok.
Pelarut pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain:
nheksana, karbontetraklorida, benzena, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton,
etanol, metanol dan air (Gritter, et al., 1985).

2.5.3. Harga Rf
Proses mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi sangat lazim
menggunakan harga Rf (Retordation Factor) yang didefinisikan sebagai:

Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yangmempengaruhi harga


Rf (Sastrohamidjojo, 1985):
a. struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
b. sifat Penjerap
c. tebal dan kerataan dari lapisan Penjerap
d. pelarut dan derajat kemurniannya
e. derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana
f. teknik percobaan
g. jumlah cuplikan yang digunakan
h. suhu
i. kesetimbangan

2.6. Kromatografi kolom


Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai
alat untuk memisahkan komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa
gelas yang dilengkapi suatu kran di bagian bawah kolom untuk mengendalikan
aliran zat cair. Ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan
dipindahkan. Pemisahan tergantung kepada kesetimbangan yang terbentuk pada
bidang antar muka di antara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta
kelarutan relatif komponen pada fase bergeraknya (Gritter, et al., 1985).
Kromatografi cair yang dilakukan dalam kolom besar merupakan metode
kromatografi terbaik untuk pemisahan dalam jumlah besar (lebih dari 1 g).
Penggunaan kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan
berupa pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca,
tabung logam, dan tabung plastik. Pelarut atau fasa gerak dibiarkan mengalir
melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong
dengan tekanan. Pita senyawa yang larut bergerak melalui kolom dengan laju
yang berbeda, memisah, dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas
kolom (Gritter, et al., 1985).
Menggunakan cara ini, skala isolasi flavonoida dapat ditingkatkan hampir ke
skala industri. Secara umum cara ini meliputi penempatan campuran flavonoida
(berupa larutan) diatas kolom yang berisi serbuk penyerap (seperti selulose, silika,
atau poliamida), dilanjutkan dengan elusi beruntun setiap komponen
menggunakan pelarut yang cocok. Kolom hanya berupa tabung kaca yang
dilengkapi dengan keran pada salah satu ujung. Menempatkan larutan cuplikan
pada kolom sedemikian rupa sehingga terbentuk pita yang siap dielusi lebih lanjut
(Markham, 1988).

Pengisian kolom harus dikerjakan seragam, setelah adsorben dimasukkan


dapat diseragamkan kerapatannya dalam kolom dengan menggunakan vibrator.
Selain itu dapat juga dikerjakan dengan memasukkan adsorben dalam bentuk
larutan dan partikelnya dibiarkan mengendap. Pengisian kolom yang tidak
seragam dapat menghasilkan rongga-rongga ditengah-tengah kolom. Dibagian
bawah dan atas dari isian kolom diberi wool untuk menyangga isian. Saat kolom
telah diisi bahan isian permukaan cairan tidak boleh dibiarkan turun dibawah
permukaan bahan isian bagian atas, karena akan memberikan peluang masuknya
gelembung-gelembung udara masuk kedalam kolom (Hosttetman, 1995).

2.7. Spektrofotometri
Spektrofotometri adalah metode pengukuran dimana sumber energinya berupa
sinar atau cahaya dan sistem detektornya menggunakan sel fotolistrik (Noerdin,
1985).

2.7.1. Spektrofotometri Ultraviolet


Serapan molekul di dalam daerah ultra violet yang terlihat dari spectrum
bergantung pada struktur ultra elektronik dari molekul yang disinari. Penyerapan
sejumlah energi, menghasilkan percepatan dari elektron dalam orbital tingkat
dasar ke orbital yang berenergi lebih tinggi di dalam keadaan tereskitasi
(Silverstein, dkk., 1986).
Spektrum Flavonoida biasanya ditentukan dalam larutan dengan pelarut
Metanol (MeOH) atau Etanol (EtOH). Spektrum khas terdiri atas dua maksima
pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Kedudukan yang tepat
dan kekuatan nisbi maksima tersebut memberikan informasi yang berharga
mengenai sifat flavonoida dan pola oksigenasinya. Ciri khas spektrum tersebut
ialah kekuatan nisbi yang rendah pada pita I dalam dihidroflavon, dihidroflavonol,
dan isoflavon serta kedudukan pita I pada spektrum khalkon, auron dan antosianin
yang terdapat pada panjang gelombang yang tinggi (Markham, 1988).

2.7.1.1. Pereaksi geser


Kedudukan gugus hidroksi fenol bebas pada inti flavonoida dapat ditentukan
dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengamati
puncak serapan yang terjadi (Markham,1988). Langkah pertama yang dilakukan
dalam menafsirkan spektrum yaitu menentukan jenis flavonoida dengan
memperhatikan:
1. bentuk umum spektrum dalam methanol
2. panjang gelombang pita serapan
3. data kromatografi kertas
Langkah kedua adalah memperhatikan arti perubahan spektrum yang
disebabkan oleh penambahan berbagai pereaksi geser (Markham, 1988).

2.8. Spektrofotometri inframerah


Spektrum inframerah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi
getaran yang berlainan. Pancaran inframerah yang kerapatannya kurang dari 100
cm-1 (panjang gelombang lebih daripada 100 μm) diserap oleh sebuah molekul
organik dan diubah menjadi putaran energi molekul. Penyerapan ini tercantum,
namun spektrum getaran terlihat bukan sebagai garis-garis melainkan berupa pita-
pita. Hal ini disebabkan perubahan energi getaran tunggal selalu disertai sejumlah
perubahan energi putara (Silverstein, dkk ., 1986).
Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan , yaitu vibrasi regang dan
vibrasi lentur (Noerdin, 1985).
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif meliputi


pengumpulan dan pengolahan sampel, pembuatan ekstrak, skrining fitokimia,
fraksinasi secara Kromatografi Lapis Tipis(KLT), isolasi secara Kromatografi
Kolom (KK), uji kemurnian isolat dan identifikasi isolat secara spektrofotometri
UV dan spektrofotometri IR. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Medan.
3.1. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas
laboratorium, blender (Panasonic), seperangkat alat destilasi, seperangkat alat
kromatografi kolom, oven listrik (Stork), neraca analitik (Vibra AJ), neraca kasar
(Saherand), penangas air (Yenaco), seperangkat alat kromatografi lapis tipis,
lemari pengering, spektrofotometer UV (Shimadzu) dan spektrofometer IR (IR-
Prestige 21).

3.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah batang benalu kopi.
Semua bahan yang digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas
proanalisisyaitu n-heksana, etilasetat, etanol, amil alkohol, toluen, metanol, eter,
isopropanol, alfa naftol, ammonia pekat, besi (III) klorida, iodium, raksa (II)
klorida, timbal (II) asetat, kalium iodida, asam asetat glasial, asam sulfat pekat,
asam klorida pekat, asetat anhidrida, serbuk magnesium, bismuth (III) nitrat, plat
pra lapis silika gel GF254, silika gel 60H, kloralhidrat dan n-heksana.

3.3. Preparasi sampel


3.3.1. Pengumpulan bahan tumbuhan
Bahan yang digunakan adalah daun benalu yang tumbuh pada tanaman kopi
ateng dan banyak terdapat di perkebunan kopi Kabupaten Simalungun, provinsi
Sumatera Utara.
3.3.2. Pembuatan simplisia
Batang benalu kopi dibersihkan dari kotoran dengan cara mencuci di dalam air
mengalir hingga bersih lalu ditiriskan, kemudian dikeringkan di dalam lemari
pengering pada suhu 40OC. Tumbuhan dianggap kering apabila sudah rapuh,
selanjutnya tumbuhan diserbukkan dengan menggunakan blender.
3.4. Pembuatan ekstrak
Ditimbang serbuk daun benalu kopi sebanyak 600 g, dimaserasi dengan
menggunakan pelarut metanol selama 3×24 jam. Kemudian disaring. Dilakukan
pengulangan hingga larutan berwarna jernih. Filtrat yang diperoleh dirotari
evaporator dan ekstrak pekat metanol yang diperoleh dipekatkan kembali pada
penangas air sampai diperoleh ekstrak bebas dari pelarut metanol dan ditimbang.
Sebagian ekstrak kering metanol dilarutkan dengan pelarut etil asetat,kemudian
disaring. Dilakukan pengulangan hingga larutan berwarna jernih. Filtrat yang
diperoleh dirotari evaporator dan ekstrak pekat etil asetat yang diperoleh dipekatkan
kembali pada penangas air sampai diperoleh ekstrak bebas dari pelarut etil asetat dan
ditimbang. Ekstrak kering yang dihasilkan diuji skrining fitokimia dan aktivitas
antioksidan.
3.5. Skrining fitokimia
3.5.1. Uji alkaloid
Ekstrak metanol dan etil asetat batang benalu kopi masing-masing dimasukkan
dalam tabung reaksi. Tabung I ditetesi pereaksu Wagner, jika terbentuk endapan
jingga, maka positif mengandung alkaloid. Tabung II ditetesi pereaksi Maeyer, jika
terbentuk endapan putih,maka positif mengandung alkaloida. Tabung III ditetesi
pereaksi Boucahardat, jika terbentuk endapan cokelat, maka positif mengandung
alkaloida dan tabung IV ditetesi dengan pereaksi Dragendorf, jika terbentuk endapan
jingga, maka positif mengandung alkaloida.
3.5.2. Uji flavonoid
Ekstrak metanol dan etil asetat batang benalu kopi masing-masing dimasukkan
kedalam 2 tabung reaksi. Tabung I ditetesi NaOH 10%, jika terbentuk larutan warna
biru violet maka positif mengandung flavonoida. Tabung II ditambah serbuk Mg dan
HCl pekat, jika terbentuk larutan warna jingga maka positif mengandung flavonoida.
3.5.3. Uji tannin
Ekstrak metanol dan etil asetat batang benalu kopi masing-masing dimasukkan
kedalam tabung reaksi, kemudian ditambah dengan FeCl 3 5%. Jika terbentuk larutan
warna biru kehitaman maka positif mengandung tanin.
3.5.4. Uji terpenoid
Ekstrak metanol dan etil asetat batang benalu kopi masing-masing dimasukkan
dalam tabung reaksi kemudian ditambah dengan CeSO 4 1% dalam H2SO4 10%. Jika
terbentuk endapan warna merah kecoklatan maka positif mengandung terpenoida.
3.5.5. Uji saponin
Ekstrak metanol dan etil asetat daun benalu kopi masing-masing ditambah 10 ml
aquades, kemudian dikocok kuat-kuat. Jika muncul busa yang stabil maka positif
mengandung saponin.
3.6. Pemisahan secara KLT
Fase gerak terbaik adalah fase gerak yang dapat menghasilkan bercak paling
banyak yang digunakan untuk fase gerak pada kromatografi kolom. Hasil ekstrak
etil asetat dilakukan analisis secara KLT menggunakan fase diam silica gel dan
fase gerak campuran n-heksana–etilasetat dengan perbandingan (80:20), (70:30),
(60:40), (50:50) dan (40:60), sebagai penampak bercak digunakan sinar UV
dengan panjang gelombang 366 nm dan diamati bercak fluoresensi yang timbul.
Cara kerja: Ekstrak dilarutkan dalam metanol, kemudian ditotolkan dengan
penotol pada plat pra lapis sampai plat jenuh, kemudian dimasukan ke dalam
chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak, ketika mencapai batas
pengembangan plat dikeluarkan dan dikeringkan, plat diamati dibawah sinar UV
dengan panjang gelombang 366 nm.
3.7. Isolasi secara kromatografi kolom
Kromatografi kolom dipakai untuk memperoleh komponen campuran dalam
jumlah yang memadai (mg sampai g) dalam keadaan murni sehingga komponen
itu dapat dicirikan lebih lengkap atau dapat dipakai pada reaksi berikutnya
(Gritter, et al., 1985). Kandungan kimia yang terdapat dalam ekstrak etil asetat
dipisahkan secara kromatografi kolom menggunakan pelarut landaian nheksana-
etilasetat dengan perbandingan (100:0), (90:10), (80:20), (70:30), (60:40), (50:50),
(40:60), (30:70), (20:80), (10:90), (0:100) dan metanol.
Cara kerja:Seperangkat alat kromatografi kolom dipasang sedemikian rupa
dan pada dasar kolom dimasukkan kapas yang telah bebas dari lemak, kemudian
dimasukkan larutan fase gerak. Silika gel 60 H dibuat bubur dengan larutan fase
gerak sampai bebas gelembung udara, kran dibuka kemudian bubur silica
dimasukkan kedalam kromatografi kolom secara perlahan-lahan sambil dinding
kolom diketuk-ketuk dan fase gerak tetap dialiri sampai silika gel turun, lalu
didiamkan sampai kolom kompak, selanjutnya fase gerak turun sampai setinggi
lebih kurang 1cm diatas fase diam, kran ditutup, kemudian fraksi etil asetat yang
sebelumnya telah dicampur dengan silika gel 60 H dimasukkan kedalam bejana
kromatografi kolom sambil fase gerak ditambah sedikit demi sedikit, setelah
sampel turun kran dibuka perlahan-lahan sambil fase gerak terus ditambah. Eluat
yang keluar ditampung dalam vial, masing-masing sebanyak 10 ml. Hasil
dipantau dengan kromatografi lapis tipis menggunakan fase gerak n-heksana-
etilasetat (60:40), sebagai penampak bercak digunakan sinar UV dengan panjang
gelombang 366 nm. Hasil eluat yang mempunyai pola kromatogram yang sama
digabung menjadi satu.
3.8. Uji kemurnian isolate
Isolat yang diperoleh dilakukan uji kemurnian dengan KLT menggunakan
beberapa fase gerak yang berbeda yaitu, toluen-etil asetat (7:3); kloroform-etil
asetat (5:5); n-heksana-etil asetat (8:2); metanol-etil asetat (1:9) dan diamati
dengan visual dengan sinar UV 254 nm, serta sinar UV 366 nm.
Cara kerja:Isolat ditotolkan pada plat pra lapis silika gel ukuran 10 x 2 lalu
dielusi memakai masing-masing fase gerak yaitu, toluen-etil asetat (7:3);
kloroform-etil asetat (5:5); n-heksana-etil asetat (8:2); metanol-etil asetat (1:9)
hingga mencapai batas pengembangan, kemudian plat dikeluarkan dari dalam
bejana dan dikeringkan, setelah plat kering diamati noda yang terbentuk secara
visual dengan sinar UV 254 nm, dan 366 nm.
3.9. Identifikasi isolate
3.9.1. Identifikasi isolate secara spektrofotometri UV
Cara kerja:Isolat hasil isolasi dilarutkan dalam pelarut metanol, kemudian
dimasukkan kedalam kuvet yang telah dibilas dengan larutan sampel. Selanjutnya
absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 200 - 400 nm. Menurut
Markham (1988), penggunaan pereaksi geser sebagai berikut:
a. setelah mengukur spektrum cuplikan dalam metanol (spektrum MeOH),
tambahkan tiga tetes NaOH ke dalam kuvet (1 ml, volume 2 ml) , campur,
lalu rekamlah spektrum NaOH. Untuk memeriksa apakah ada penguraian,
sprektrum NaOH direkam lagi setelah kira-kira lima menit. Kemudian
cuplikan dibuang dan kuvet yang telah dicuci diisi lagi dengan larutan
flavonoid persediaan.
b. Enam tetes pereaksi AlCl3 ditambahkan ke dalam larutan flavonoid, campur
lalu ukur spektrum AlCl3. Selanjutnya ditambahkan tiga tetes HCl, campur
dan ukur spektrum AlCl3/HCl. Akhirnya cuplikan dibuang dan kuvet
dicuci.Sekarang tambahkan serbuk natrium asetat ke dalam larutan flavonoid
persediaan dalam kuvet sedemikian rupa sehingga terdapat kira-kira 2 mm
lapisan natrium asetat pada dasar kuvet. Campuran harus dikocok baik-baik
sebelum spektrum natrium asetat diukur. Lalu spektrum natrium
asetat/asamborat diukur setelah ditambahkan asam borat dan dicampur
(banyaknya asam borat kira-kira setengah dari natrium asetat).
3.9.2. Identifikasi isolate secara spektrofotometri IR
Cara kerja:Identifikasi isolat secara Spektrofotometri IR dilakukan dengan
cara mencampurkan 1 mg isolat dengan 150 mg kalium bromida menggunakan
alat mixture vibrator, kemudian dicetak menjadi pelet pada tekanan 11,5 ton dan
pellet tersebut dimasukkan kedalam alat spektrofotometer inframerah serta diukur
absorbansinya pada bilangan gelombang 400-4000 cm-1.
DAFTAR PUSTAKA

Ajizah, A. 2004 . Sensitivitas Salmonella Tyhimurium Terhadap Ekstrak Daun


Psidium Guajava L. Jurnal Bioscientiae. Volume 1. Nomor 1. Halaman
36.
Ameer, O.Z., Salman, I,M., Yam, M.F., AbdAllah, H.H., Abdulla, M.H., Shah,
A.M. (2009). Vasorelaxant properties of Loranthus Ferrugineus
Roxb.Methanolic Extract. International journal of pharmacology. 5: 44-
50.
Anonim. 1996. Laporan Pengkajian Tahun Anggaran 1996 / 1997, Kapsulisasi
Ekstrak Daun Benalu di Daerah Istimewa Yogyakarta, sentra P3T Propinsi
D.I Yogyakarta.
Atun, S. 2003. Pemanfaatan Bahan Alam Bumi Indonesia Menuju Riset yang
Berkualitas Internasional. Jurusan Kimia FMIPA Universitas Yogyakarta.
Badan Pengawas Obat dan Makan RepublikIndonesia. (2010). Acuan Sediaan
Herbal.Volume kelima. Edisi I. Jakarta: BadanPengawas Obat dan Makan
RepublikIndonesia. Halaman 129-131.
Davehat, F.L., Tomasi, S., Fontanel, D.,Boustie, J. 2002. Flavonols from Scurrula
ferruginea Danser (Loranthaceae). Z. Naturforsch. 57c:1092-1095.
Departemen Kesehatan RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI.
Jakarta:Departemen Kesehatan RI. Halaman 297-326, 333-340.
Ditjen POM RI. (1979). Materia Medika Indonesia.Jilid III. Jakarta: Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Halaman 815, 840
Ditjen POM RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman1-11.
Ganiswara, S.G dkk. 1995. Farmakologi dan Terapi. Edisi IV. Gaya baru. Jakarta.
Gritter, R.J., Bobbitt, J .M., dan Schwarting, A.E. (1985). Introduction To
Chromatography. Penerjemah: Padmawinata, K. (1991).Pengantar
Kromatografi. Edisi II.Bandung: Penerbit ITB. Halaman107-146.
Harborne, J. B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerjamah : Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Edisi
Ketiga. Bandung : ITB Press.
Hagerman, A. E. 2002. Tannin Handbook. Department of Chemistry and
Biochemistry, Miami University.
Harborne, J.B. 1996. Metode Fitokimia. Terbitan kedua. Penerbit ITB. Bandung.
Hostettmann, K., Hostettmann, M., dan Marston, A. (1995). Cara Kromatografi
Preparatif: Penggunaan Pada Isolasi Senyawa Alam. Penerjemah:
Kokasih Padmawinata. Bandung: ITB
Katrin AA., Soemardji AG, Soeganda S, Iwang, K Padmawinata. Pengaruh
berbagai ekstrak daun benalu (Dendrophthoe petandra (L) Miq). J Bahan
Alam Indonesia. 2005;4(1).
Lenny, S. 2006. Senyawa Terpenoida dan Steroida. Karya Ilmiah. Medan :
Universitas Sumatera Utara.
Markham, K.R. (1988). Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit
ITB. Halaman 1, 12, 15
Marvibaigi,M., Amini, N., Supriyanto, E., Majid, F.A.A., Jaganathan,S.K.,
Jamil,S., Almaki,J.H., Nasiri, R. (2016). Antioxidant activity and ROS-
Dependent Apoptotic Effect of Scurrula feruginea (Jack) Danser Methanol
Extract in Human Breast Cancer Cell MDA-MB-231. J.Plos One. 11(7).
Noerdin, D. (1985). Elusidasi Struktur Senyawa Organik Dengan Cara
Spektroskopi Ultralembayung dan Inframerah. Bandung: Penerbit
Angkasa. Halaman 88
Pitojo, S. 1996. Benalu Holtikultura Pengendali dan Pemanfaatan. Slawi: Trubus
Agriwidya.
Purnomo, B. 2000. Uji Ketoksikan Akut Fraksi Etanol Daun Benalu
(Dendropthoe Sp) Pada Mencit Jantan Dan Uji Kandungan Kimia. Skripsi.
Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Rasyid, A. 2012. Identifikasi Senyawa Metabolit Sekunder – Serta Uji Aktivitas
Antibakterian dan Antioksidan Ekstrak Metanol Teripang Stichopus
Hermanii, Jurnal Ilmu dan Teknik Kelautan Tropis, Vol.4, No.2, Halaman
360-368
Robinson, T. (1995). Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. Edisi VI.
Diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB.
Halaman 154.
Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sastrohamidjojo, H. (1985). Kromatografi. Edisi I. Cetakan I Yogyakarta:
Penerbit Liberty. Halaman29-31.
Silverstein, R. M., Bassler, G.C., dan Morrill, T. C.(1981). Spectrometric
Identification Of Organic Compounds. Fourth Edition. Penerjemah:
Hartomo A. J.,dan Purba, A. V. (1984). Penyidikan Spektrometrik
Senyawa Organik. Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Erlangga. Halaman
67-87
Simbala, H. E. I. 2007. Keanekaragaman Floristik dan Pemanfaatan Sebagai
Tumbuhan Obat di Kawasan Konservasi II Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone (Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara)[disertasi].
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Stahl, E. (1973). Drug Analysis By Chromatography And Microscopy: Practical
Supplement To Pharmacopoias. Penerjemah: Padmainata, K., dan Sudiro,
I. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung:
ITB. Halaman 3-18.

Anda mungkin juga menyukai