Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penglihatan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam seluruh
aspek kehidupan dan merupakan salah satu jalur memperoleh informasi, serta
merupakan organ yang rentan terganggu kesehatannya dari organ lainnya.
Meskipun fungsinya bagi kehidupan manusia sangat penting, namun sering kali
kesehatan mata kurang terperhatikan, sehingga banyak penyakit yang menyerang
mata tidak diobati dengan baik dan menyebabkan gangguan penglihatan (kelainan
refraksi) sampai kebutaan.1
Penurunan tajam penglihatankarena kelainan refraksi yang tidak dikoreksi
dapat mejadi masalah kesehatan yang serius. Menurut Kemenkes RI (2005),
prevelensi gangguan penglihatan akibat kelainan refraksi di Indonesia adalah
sebesar 22,1%. Sementara 10% dari 66 juta anak usia sekolah adalah penderita
kelainan refraksi. Sampai saat ini angka pemakaian kacamata koreksi masih rendah,
yaitu 12,5% dari prevalensi. Apabila keadaan ini tidak ditangani dengan baik akan
berdampak negatif pada perkembangan kecerdasan anak dan proses pembelajaran,
yang selanjutnya akan mempengaruhi produktivitas angkatan kerja (15-55 tahun).2
Kelainan refraksi dibagi menjadi empat, yaitu miopia, hipermetropia,
astigmatisma, dan presbiopia. Astigmatisma merupakan salah satu dari kelainan
refraksi yang umum terjadi di negara-negara seperti Indonesia, Taiwan, dan Jepang.
Sekitar setengah dari jumlah populasi di negara-negara tersebut menderita
astigmatisma. Prevalensi astigmatisma bekisar antara 30%-77% di Indonesia.3
Dalam sebuah studi astigma dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain umur, jenis kelamin, genetika, dan bahkan faktor lingkungan. Penyebab dari
astigmatisma adalah poligenetik/polifaktorial. Sekitar 90% karena kelainan kornea
yaitu perubahan lengkung kornea dengan atau tanpa pemendekan atau pemanjangan
diameter anteroposterior. Penderita astigmatisma akan mengeluhkan gejala ringan
hingga berat yaitu mata lelah khususnya jika melakukan pekerjaan yang terus-
menerus, kabur penglihatan jika melihat jauh maupun dekat, dll.3,4

1
BAB II
TINJAUN PUSTAKA

2.1 Anatomi Mata

Gambar 1. Anatomi Mata


Mata adalah sepasang organ penglihatan dan terdiri dari bola mata dan saraf
optik. Bola mata terdapat di dalam orbita bersama dengan struktur visual lainnya.
Wilayah orbital adalah area wajah yang menutupi orbita dan bola mata, termasuk
kelopak mata atas dan bawah serta aparatus lakrimal.5 Mata memiliki beberapa
bagian, yaitu:
a. Palpebra2
Anatomi palpebra atau kelopak mata dibagi menjadi tujuh struktur
lapisan, yaitu: (1) kulit dan otot orbikularis, (2) lempeng tarsal atau tarsus,
(3) otot protraktor (otot levator dan otot muller), (4) septum orbita, (5) lemak
orbita, (6) otot retraktor (otot kapsulo palpebra dan otot tarsal inferior), dan
(7) konjungtiva palpebra.
Palpebra berfungsi memberikan perlindungan atau proteksi mekanik
pada bola mata bagian depan dan mencegah mata dari kekeringan dengan
berkedip (aktivitas otot orbikularis okuli sebagai pompa air mata),
mensekresi lapisan minyak pada air mata yang diproduksi kelenjar Meibom,
menyebarkan air mata ke seluruh permukaan konjungtiva dan kornea serta

2
melakukan proses drainase air mata melalui pungta ke sistem drainase
lakrimal.
b. Konjungtiva6
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang
membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis)
dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva
bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra dan dengan epitel kornea di
limbus.
c. Sklera dan Episklera6
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang
hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna
putih serta berbatasan dengan kornea di anterior dan duramater nervus
optikus di posterior. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah
lapisan tipis jaringan elastik halus yang disebut episklera. Episklera
mengandung banyak pembuluh darah untuk memperdarahi sklera.
d. Kornea6,7
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya
sebanding dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea dewasa ratarata
tebalnya 550 μm di pusatnya (terdapat variasi menurut ras), diameter
horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm. Dari anterior ke
posterior, kornea memiliki lima lapisan yang berbeda yaitu lapisan epitel,
lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel. Stroma
menyusun sekitar 90% ketebalan kornea. Transparansi kornea disebabkan
oleh strukturnya yang seragam, avaskular, dan deturgensinya.
Endotelium janin mulai terlihat bersamaan dengan epitelium tetapi
berasal dari krista neural. Lapisan ektoderm neural dan mesoderm tidak
terlibat dalam pembentukan kornea. Pada usia bayi dua tahun, diameter
kornea sudah sama dengan kornea usia dewasa, akan tetapi dengan
kurvatura yang lebih datar. Kornea merupakan bagian mata yang tembus
cahaya dan menutup bola mata di bagian depan. Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea, dimana 40 dari 50 dioptri pembiasaan sinar masuk
kornea.

3
e. Traktus Uvealis2,6
Traktus uvealis terdiri atas iris, korpus siliaris, dan koroid. Bagian ini
merupakan lapisan avaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan
sklera. Struktur ini ikut memperdarahi retina.
1) Iris dan Pupil
Iris adalah perpanjangan korpus siliaris ke anterior. Iris berupa
permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah yang
disebut pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior
lensa, memisahkan bilik mata depan dari bilik mata belakang, yang
masing-masing berisi humor akuos. Iris mengendalikan banyaknya
cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya
ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas
parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi
yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatis.
2) Korpus Siliaris
Korpus siliaris berbentuk segitiga pada potongan melintang,
membentang ke depan dari ujung anterior koroid ke pangkal iris (sekitar
6 mm). Korpus siliaris terdiri atas zona anterior yang berombak (pars
plicata), dan zona posterior yang datar (pars plana). Prosesus siliaris dan
epitel siliaris pembungkusnya berfungsi sebagai pembentuk humor
akuos. Muskulus siliaris tersusun dari gabungan serat longitudinal,
sirkular, dan radial. Fungsi serat-serat ini adalah untuk mengubah
tegangan pada kapsul lensa sehingga lens dapat memiliki berbagai
fokus baik untuk objek berjarak dekat atau jauh.
3) Koroid
Koroid adalah segmen posterior uvea, di antara retina dan sklera.
Koroid tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid yaitu besar,
sedang, dan kecil. Kumpulan pembuluh darah ini berguna untuk
memperdarahi bagian luas retina yang menyokongnya.
4) Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna dan
hampir transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya

4
9 mm. Lensa tergantung pada zonula zinii di belakang iris. Zonula
menghubungkannya dengan korpus siliaris. Humor akuos terletak di
depan lensa, dan di posteriornya terdapat humor vitreus. Enam puluh
lima persen lensa terdiri atas air, sedangkan 35%-nya tersusun atas
protein. Lensa tidak memiliki serat nyeri, pembuluh darah, atau saraf.
Lensa mata mampu membiaskan cahaya karena memiliki indeks
bias sekitar 1,4 di tengah dan 1,36 di bagian tepinya, berbeda dengan
indeks bias humor akuos dan korpus vitreus yang mengelilinginya.
Dalam keadaan tanpa akomodasi, lensa memiliki kontribusi sekitar 15-
20 dioptri, sedangkan udara dan permukaan kornea memilki kekuatan
refraksi kurang lebih 43 dioptri.
5) Humor Akuos
Humor akuos diproduksi oleh korpus siliaris. Setelah memasuki
bilik mata belakang, humor akuos melalui pupil akan masuk ke bilik
mata depan, kemudian ke perifer menuju sudut bilik mata depan.
6) Retina
Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi-
transparan yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding
bola mata. Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serata dan 0,56
mm pada kutub posterior. Di tengah retina terdapat makula lutea dengan
diameter 5,5-6 mm.
7) Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua per tiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi
ruangan yang dibatasi oleh lensa, retina, dan diskus optikus. Vitreus
terdiri dari 99% air dan 1%-nya berupa kolagen dan asam hialuronat.
2.2 Fisiologi Penglihatan7,8,,9
Penglihatan dimulai dari masuknya cahaya ke dalam mata dan difokuskan
pada retina. Cahaya yang datang dari sumber titik jauh, ketika difokuskan di retina
akan menjadi bayangan yang sangat kecil. Hasil pembiasan sinar pada mata
ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa,
badan kaca, dan panjang bola mata. Pada orang normal, susunan pembiasan oleh

5
media penglihatan dan panjang bola mata seimbang, sehingga bayangan benda
setelah melalui media penglihatan akan dibiaskan tepat pada daerah makula lutea.
Mata yang normal disebut mata emetrop dan akan menempatkan bayangan benda
tepat di retina pada keadaan mata tidak berakomodasi.
Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif mata adalah
kornea dan lensa. Permukaan kornea adalah struktur pertama yang dilalui cahaya
ketika memasuki mata. Bentuk permukaan kornea yang melengkung berperan
paling besar dalam kemampuan refraktif total mata karena perbedaan kepadatan
pertemuan udara dengan kornea jauh lebih besar dibandingkan dengan kepadatan
antara lensa dan cairan yang mengelilinginya. Tidak semua cahaya yang melewati
kornea mencapai fotoreseptor peka cahaya karena adanya iris. Cahaya masuk ke
bagian dalam mata melalui lubang di bagian tengah iris (pupil). Ukuran pupil
tersebut dapat disesuaikan oleh variasi kontraksi otot-otot iris untuk mengatur
jumlah cahaya yang masuk. Berkas cahaya akan diterima lensa mata yang bersifat
bikonveks. Permukaan lensa mata yang bikonveks (cembung pada dua sisi) akan
menyebabkan konvergensi atau penyatuan berkas cahaya yang merupakan syarat
agar bayangan dapat jatuh pada titik fokus.
Akomodasi merupakan kemampuan menyesuaikan kekuatan lensa sehingga
baik sumber cahaya dekat maupun jauh dapat difokuskan di retina. Kekuatan lensa
bergantung pada bentuknya yang diatur oleh otot siliaris. Otot siliaris melekat ke
lensa mata melalui ligamentum suspensorium. Pada saat penglihatan jauh, otot
siliaris relaksasi, ligamentum suspensorium kontraksi dan menarik lensa, sehingga
lensa mendatar dengan kekuatan refraksi yang minimal. Pada saat penglihatan
dekat, otot siliaris berkontraksi, ligamentum suspensorium relaksasi, sehingga lensa
menjadi lebih cembung dan lebih kuat. Ketika cahaya sampai ke retina, maka sel
fotoreseptor retina yang terdiri dari sel batang dan sel kerucut akan mengubah
energi cahaya menjadi sinyal listrik untuk disalurkan ke sistem saraf pusat.
Bayangan yang tertangkap pada retina adalah terbalik, nyata, diperkecil.
Namun, persepsi otak terhadap benda tetap dalam keadaan tegak, tidak terbalik
seperti bayangan yang terjadi di retina. Hal tersebut terjadi karena otak sudah dilatih
menangkap bayangan yang terbalik itu sebagai keadaan normal.

6
2.3 Astigmatisma
2.3.1 Definisi2
Astigmatisma adalah kelainan reftraksi, yaitu berkas sinar sejajar yang masuk
ke dalam mata, pada keadaan tanpa akomodasi, dibiaskan pada lebih dari satu titik
fokus. Pada keadaan ini pembiasan dari berbagai median tidak sama.
2.3.2 Etiologi dan Patofisiologi2
Penyebab dari astigmatisma adalah kelainan bentuk kornea dan lensa,
kelainan posisi dan kelainan indeks refraksi lenda. Kelainan bentuk kornea sebagian
besar bersifat kongenital, yang tersering adalah kurvatura vertikal lebih besar dari
horizontal. Pada saat lahir umumnya bentuk kornea sefiris. Astigmat baru timbul
68% pada saat anak usia 4 tahun dan 95% pada usia 7 tahun. Dengan bertambahnya
usia dapat menghilang dengan sendirinya atau berubah sebaliknya kurvatura
horisontal lebih besar dari vertikal. Kelainan ini didapat misalnya pada berbagai
penyakit kornea seperti ulkus kornea, trauma pada kornea bahkan trauma bedah
pada operasi katarak. Kelainan posisi lensa misalnya subluksasi yang menyebabkan
efek desentring. Sedangkan kelainan indeks refraksi lensa merupakan hal yang
fisologis dimana terdapat sedikit perbedaan indeks refraksi pada beberapa bagian
lensa, namun hal ini dapat makin berat jika kemuadian didapatkan katarak.
2.3.3 Klasifikasi2,6,7
Berdasarkan axis meridian utama:
a. Astigmatisme Reguler
Astigmatisma jenis ini memiliki dua meridian utama yang saling tegak
lurus yang masing-masing memiliki daya bias terkuat dan terlemah.
Bayangan yang terjadi pada astigmatisma reguler dengan bentuk yang teratur
dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran.
b. Astigmatisme Ireguler
Pada astigmatisma jenis ini terjadi tidak mempunyai 2 meridian saling
tegak lurus atau meridian utamanya berubah disepanjang lubang pupil. Juga
didapatkan titik fokus yang tidak beraturan dengan penyebab tersering karena
kelainan kornea (dapat berupa sikatriks atau keratokonus) dan dapat juga
disebabkan kelainan lensa seperti pada katarak imatur.
c. Astigmatisme With The Rule

7
Meridian – meridian utamanya saling tegak lurus dan sumbu – sumbunya
terletak di dalam 20 derajat horizontal dan vertikal dengan meridian vertikal
memiliki daya bias lebih besar.
d. Astigmatisme Against The Rule
Meridian – meridian utamanya saling tegak lurus dan sumbu – sumbunya
terletak di dalam 20 derajat horizontal dan vertikal dengan meridian
horizontal memiliki daya bias lebih besar.
e. Astigmatisme Oblik
Meridium utama lebih 20 derajat dari meridian vertikal atau horizontal,
misal pada 45 dan 135 derajat.

Gambar 2. Jenis astigmatisme berdasarkan orientasi meridian-meridian utama dan


orientasi sumbu silinder pengoreksi
Berdasarkan tipenya:
a. Astigmatisme hipermetrop simpleks
Salah satu meridian utama emetropia dan meridian utama lainnya
hipermetropia.
b. Astigmatisme miopia simpleks
Salah satu meridian utamanya emetropia dan meridian utama lainnya miopia.
c. Astigmatisme hipermetropia kompositus
Kedua meridian utama hipermetropia dengan derajat yang berbeda.
d. Astigmatisme miopia kompositus
Kedua meridian utama miopia dengan derajat yang berbeda.
e. Astigmatisme mikstus
Salah satu meridian utama hipermetropia dan meridian lain miopia.

8
Gambar 3. Jenis-jenis astigmatisme reguler berdasarkan posisi kedua garis fokal
terhadap retina
2.3.4 Gejala Klinis2
a) Ringan
1 Mata lelah khususnya jika melakukan suatu pekerjaan terus menerus
pada jarak tetap.
2 Transient blurred vision pada jarak penglihatan dekat yang hilang
dengan mengucek mata.
3 Nyeri kepala di daerah frontal.
b) Berat
3 Mata kabur.
4 Keluhan asthenopia atau nyeri kepal kadang bisa terjadi.
5 Memiringkan kepala/memutar kepala/memicingkan mata untuk
memperjelas penglihatan.
6 Sering mendekatkan bahan bacaan ke mata dengan tujuan
mendapatkan bayangan yang lebiah besar meskipun kabur.
2.3.5 Diagnosis2
Uji Refraksi
i. Subjektif
Optotipe Snellen dan Trial lens
Metode yang digunakan adalah “trial and error” Jarak pemeriksaan 6
meter/ 5 meter/ 20 kaki. Digunakan kartu Snellen yang diletakkan setinggi

9
mata penderita, kemudian mentukan visus / tajam penglihatan masing-
masing mata. Bila visus tidak 6/6 dikoreksi dengan lensa sferis positif, bila
dengan lensa sferis positif tajam penglihatan membaik atau mencapai 6/6,
atau 5/5 maka pasien dikatakan menderita hipermetropia, apabila dengan
pemberian lensa sferis positif menambah kabur penglihatan kemudian
diganti dengan lensa sferis negatif memberikan tajam penglihatan 6/6, atau
5/5 maka pasien menderita miopia. Bila setelah pemeriksaan tersebut diatas
tetap tidak tercapai tajam penglihatan maksimal, mungkin pasien
mempunyai kelainan refraksi astigmat.
ii. Objektif
- Autorefraktometer
Yaitu menentukan besarnya kelainan refraksi dengan menggunakan
komputer. Penderita duduk di depan autorefraktor, cahaya dihasilkan
oleh alat dan respon mata terhadap cahaya diukur. Alat ini mengukur
berapa besar kelainan refraksi yang harus dikoreksi.
- Keratometri
Adalah pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius
kelengkungan kornea.
2.3.6 Terapi10,11,12
1. Kacamata
Astigmatisme dapat dikoreksi kelainannya dengan bantuan lensa silinder,
dimana pemberian kacamata merupakan pertimbangan pertama sebelum
pemberian lensa kontak atau operasi koreksi refraksi. Karena dengan koreksi
lensa cylinder penderita astigmatisme akan dapat membiaskan sinar sejajar
tepat diretina, sehingga penglihatan akan bertambah jelas.
2. Bedah Refraksi
Metode bedah refraksi yang digunakan terdiri dari:
a. Laser Assisted Subepithelial Keratectomy (LASEK)
Merupakan teknik pembedahan yang menggunakan laser untuk
mengkoreksi kelainan refraksi, khususnya untuk mengkoreksi
astigmatisme, myopia dan hipermetropia. Teknik ini merupakan
gabungan dari LASIK dan PRK dimana pada teknik ini memiliki

10
keunggulan meminimalisir resiko infeksi dan waktu penyembuhan yang
lebih cepat.
b. Laser In-Situ Keratomileusis (LASIK)
Merupakan salah satu jenis bedah refraktif yang mampu memperbaiki
ketajaman penglihatan dengan cara mengubah bentuk kornea, sehingga
secara permanen dapat mengurangi atau menghilangkan ketergantungan
penderita pada kacamata korektif seperti kacamata dan lensa kontak.
Pada astigmatisma, mata diratakan lebih panjang pada suatu sumbu
(vertikal) dibandingkan sumbu lainnya (horizontal). Prinsip dasar bedah
refraksi pada pasien astigmatisma adalah untuk meratakan kornea pada
meridian yang curam, atau mencuramkan meridian yang datar, atau
kombinasi keduanya.
c. Radial keratotomy (RK)
Dimana pola jari-jari yang melingkar dan lemah diinsisi di parasentral.
Bagian yang lemah dan curam pada permukaan kornea dibuat rata.
Jumlah hasil perubahan tergantung pada ukuran zona optik, angka dan
kedalaman dari insisi.
d. Photorefractive keratectomy (PRK)
Adalah prosedur dimana kekuatan kornea ditekan dengan ablasi laser
pada pusat kornea. Kornea yang keruh adalah keadaan yang biasa terjadi
setelah photorefractive keratectomy dan setelah beberapa bulan akan
kembali jernih. Pasien tanpa bantuan koreksi kadang-kadang
menyatakan penglihatannya lebih baik pada waktu sebelum operasi.

11
DAFTAR PUSTAKA

1 Ratanna RS, Rares LM, Saerang JSM. Kelainan Refraksi Pada Anak Di Blu
RSU Prof. Dr. R.D Kandou. Jurnal e-Clinic, 2014. Vol. 2 No. 2.
2 Sjamsu Budiono, dkk. 2013. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Mata: Refraksi.
Surabaya: Airlangga University Press.
3 Hashemi, H., Rezvan, F., Yekta, A. A., Hashemi, M., Norouzirad, R., &
Khoub, M. K. 2014. The Prevalence of Astigmatism and Its Determinants in
Rural Population of Iran: The "Nooravaran Salamat" Mobile Eye Clinic
Experience. Middle East Afr J Ophthalmology, p. 175-181.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4005184/

12
4 Suhardjo dan Hartono. 2012. Buku Ilmu Kesehatan Mata: Astigmatisma.
Yogyakarta: UGM Press.
5 Moore KL, Dalley AF. 2014. Clinically Oriented Anatomy Seventh Edition.
Baltimore: Willey Periodical.
6 Riordan-Eva P, Whitcher JP. 2009. Anatomi dan Embriologi Mata. In P.
Riordan-Eva, & J. P. Whitcher, Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum, p. 1-
17. The McGrawHill Companies.
7 Ilyas, S. 2010. Ilmu Penyakit Mata (Edisi ke-3, Cetakan ke-8). Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
8 Guyton, A. C., & Hall, J. E. 2008. Buku Ajar FIsiologi Kedokteran. Jakarta:
EGC.
9 Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: EGC.
10 Kaimbo Dieudonne dan Kaimbo Wa. Astigmatism – Definition, Etiology,
Classification, Diagnosis and Non-Surgical Treatment. 2012. Optics,
Physiology and Management, Dr. Michael Goggin.
http://cdn.intechopen.com/pdfs/29985
11 Fieldman Brad. Laser-Assisted Subepithelial Keratectomy (LASEK). 2017.
Medscape. https://emedicine.medscape.com/article/1222702-overview
12 Kapoor S, dkk. 2007. Tips and Trick LASIK Surgery. London: Jaypee Brothers
Medical Publishers.

13

Anda mungkin juga menyukai