Anda di halaman 1dari 4

Kota Mati

Pernahkah kalian terdampar di suatu kota mati tak berpenghuni tanpa ada
sesuatu petunjuk kemana kalian harus pergi agar bisa meninggalkan kota mati itu?
Pasti tak pernah bukan? Memikirkannya pun tidak.

Tapi pernahkah kalian merasakan seperti itu, seperti tersesat tak tau arah, tak
tau harus bagaimana, hanya kosong dan ragu yang ada, pernah bukan?

Aku pun pernah merasakannya, dengan seseorang. Sosok yang membuatku


tersesat bagai terdampar di kota mati. Iya kota mati-nya itu dia.

Berawal dari teman sekelas yang tak pernah berbincang walau di situasi yang
memaksa, lalu berubah menjadi perbincangan hangat setiap kali mendengar teman
curhat, dan berakhir dengan kejadian yang sedikit tak terduga dan kejadian aneh
lainnya yang menguatkan rasa ragu. Dan tentunya semakin membuatku masuk ke
tengah kota mati itu.

“Lina, aku mau bicara sebentar” ucap Adam di tengah kesibukkan ku berbicara
dengan temanku.

“Hm. Iya, ada apa?” tanyaku kepada orang yang membuatku ragu.

“Nanti. Saat pelajaran Seni Musik” ucapnya sebelum pergi dan menghilang di
balik pintu kelas.

Aku dan temanku yang berdiri di depan kelas pun bingung dengan dirinya yang
tak pernah mengajak ku mengobrol di depan orang banyak. Kalian mengertikan
maksudku? Dia. Orang yang selalu mau berbicara denganku ketika aku sendiri,
berdua dengan temanku, atau di luar sekolah. Ia sama sekali tak pernah berbicara
denganku saat di kelas maupun di tempat ramai lainnya. Seakan ada yang marah
ketika melihatku mengobrol dengannya.

Tentu saja temanku yang sudah sering kali kuceritakan tentang keraguanku
dengannya mulai berkhayal yang tidak-tidak. Bisa dibilang imajinasinya terlalu liar
sampai ku katakan ia pantas untuk menulis novel fantasi atau serial drama romantis
layaknya drama korea yang tak mungkin ada di kejadian nyata.
Sesaat memikirkan apa yang akan Adam katakan padaku, dering bel sekolah pun
berbunyi. Kami pun turun ke lantai 1 untuk ke Ruang Musik. Semuanya duduk tenang
dan bernyanyi bersama ketika kelompok yang sudah di bagikan maju ke depan untuk
memainkan sebuah lagu tahun 90-an. Saat giliran kelompok Adam yang maju, aku
tak sengaja mengobrol yang menyebabkan Adam memanggil namaku dengan
mikrofon yang ia pegang, sontak aku pun kaget tapi aku bisa memahaminya. Namun
saat aku sedang ingin berdiri untuk ke toilet, Adam kembali memanggilku dan
sekarang agak lebih keras. Aku terkejut dan melihat ke kanan-kiri, di sana juga ada
temanku yang sedang berdiri. Lalu kenapa dia marah? Toh, ia sudah selesai
menyanyikan lagunya. Apa masalahnya kalo aku berdiri dan ingin pergi?.

Aku yang menatapnya dengan wajah kesal dan hati yang sedari tadi sudah
mengutuknya karena telah membuatku malu di depan orang banyak itu pun hilang
seketika dan berubah menjadi panik saat dia mulai menghampiriku. Aku pun tak
tinggal diam, setelah menarik tangan temanku, aku langsung pergi keluar Ruang
Musik yang ternyata di ikuti oleh Adam.

“Kenapa si, Dam?” tanyaku “Perasaan tadi ada yang diri juga tapi kenapa cuma
aku yang diomelin?”

“Tau nih, kasian kan Lina jadi pusat perhatian gitu. Kalo mau ngomong sesuatu
kan bisa baik-baik” bela temanku.

Adam menyodorkan handphone ke arahku dan mendekatkannya ke telingaku.


Aku sontak menghindar dan bertanya “Kenapa?” lalu Adam hanya menjawab
“Dengerin dulu”

Aku pun mendengarnya dengan seksama dan sedikit terkejut karena liriknya
yang berkata

Kau bertanya dengan rasa ragu


Seberapa besar cintaku padamu
Akan selalu kujawab semua keraguanmu
Kan kubuktikan semuanya padamu
Setelah mendengar sepenggal lagu aku pun menjauhkan handphone Adam dan
kembali bertanya “Ini maksudnya apa?”

“Kamu gak ngerti?” Aku menganggukkan kepalaku ketika Adam bertanya seperti
itu. Adam pun menarik pangkal hidungku dan berkata “Gak lucu kan kalo aku bilang
suka ke kamu”

“Ya emang gak lucu. Emang ada ya orang ketawa setelah denger pernyataan
cinta kaya gitu? Kalo gitu dia gak ngehargain perasaan orang dong” Aku mengelus
hidungku yang merah.

“Kalo aku bilang gak suka sama kamu gimana?” tanyanya lagi.

“Gini deh, kamu tuh suka apa enggak sih. Rasanya tuh dari dulu pengen nanya
kaya gini tapi susah banget, sekarang kamu yang bikin situasi maksa aku buat nanya
kaya gitu. Aku udah capek ya tersesat di Kota Mati kaya gini. Lagu ‘Ragu’ yang
barusan kamu putar dan kasih ke aku tuh ngegambarin banget kalo aku ragu sama
kamu. Aku kira kamu sadar taunya cuma mainin doang. Udah ah kaya gini tuh cuma
bikin aku tambah bete sama kamu tau gak” Aku kesal dan meninggalkan Adam.

“Ya kan aku mikir dulu kalo mau bilang suka ke kamu. Nanti kalo di tolak kan
malu” teriak Adam.

“Bodo ah” balasku tanpa menengok ke arahnya.

Adam pun berlari mengejarku dan mencoba menghentikkan langkahku


“Dengerin dulu” ucapnya

“Apa?” jawabku dengan kesal.

“Iyaudah” ucap Adam lagi

“Apanya?”

“Ya Aku suka”

“Suka sama siapa?” Aku tertawa pelan

“Ya kamu lah”


Aku pun tertawa keras melihat mukanya yang lucu

“Katanya kalo ketawa pas denger ada yang nyatain cinta tuh artinya gak
ngehargain perasaan orang. Kamu gak ngehargain perasaan aku ya?” ucapnya kesal.

“Oh iya lupa. Habis muka kamu itu lucu banget sumpah”

“Yaudah gimana?”

“Gimana apanya?”

“Ya masa kaya gini doang”

“Ya emang gini doang. Kan kamu gak nanya ke aku ‘mau jadi pacar Adam atau
enggak?’. Kalo kamu nanya ya aku jawab”

“Yaudah jawabannya apa?”

“Maunya apa?”

Adam menyubit pipiku dan berkata “Gak usah dijawab juga aku tau jawabannya”
ucapnya dengan tersenyum.

Anda mungkin juga menyukai