Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

KONSEP PENYAKIT KRONIS

Dosen : Sri Setyowati S. kep, Ns, M. kes

KELOMPOK :V

KELAS : B/KP/VII

DISUSUN OLEH:

1. HIDAYATI INDAH SARI 04164357


2. INDAH SRI ROHANI 04164360
3. IVA NOVIYANTI 04164361
4. RAIYAN 04164373
5. RINI WAHYUNINGSIH 04164375
6. SEKAR SARI 04164379

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

STIKES SURYA GLOBAL YOGYAKARTA

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ konsep
penyakit kronis ” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai konsep penyakit kronis. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab
itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Yogyakarta, 22 Oktober 2019

penulis

2
DAFTAR ISI

Cover
Kata Pengantar ...........................................................................................................2
Daftar Isi ....................................................................................................................3
BAB I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...............................................................................................4
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................5
C. Tujuan ............................................................................................................5
BAB II. PEMBAHASAN
A. Penyakit Tidak Menular .............6
B. Karakteristik Kondisi Kronis .........................................................................12
C. Masalah Yang Muncul ...................................................................................13
D. Masalah Psikologis ........................................................................................14
E. Implikasi Keperawatan ..................................................................................16
F. Strategi Pencegahan PTM ..............................................................................17
BAB III. PENUTUP
A. Keseimpulan ..................................................................................................23
B. Saran ..............................................................................................................23

Daftar Pustaka ............................................................................................................24

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan salah satu atau masalah kesehatan
Dunia dan Indonesia yang sampai saat ini masih menjadi perhatian dalam Dunia
kesehatan karena penyakit ini merupakan salah satu dari penyebab kematian (Jansje,
Ticoalu & Samodra, 2012). Penyakit Tidak Menular (PTM) juga dikenal sebagai
penyakit kronis, tidak ditularkan dari orang ke orang, mereka memiliki durasi yang
panjang dan umumnya berkembang lambat. Menurut Bustan (2007), dalam Buku
Epidemiologi Penyakit Tidak Menular mengemukakan bahwa yang tergolong ke dalam
PTM antara lain adalah; Penyakit kardiovaskuler (jantung, atherosklerosis, hipertensi,
penyakit jantung koroner dan stroke), Diabetes Mellitus (DM) serta kanker.
Berdasarkan uraian diatas World Health Organisation [WHO] (2013),
mengemukakan bahwa PTM merupakan penyebab utama kematian di semua daerah
kecuali di Afrika, tetapi proyeksi saat ini menunjukkan bahwa pada tahun 2020
peningkatan terbesar kematian PTM akan terjadi di Afrika. Sejauh ini PTM merupakan
penyebab utama kematian di Dunia, mewakili 63 % dari semua kematian tahunan.
Penyakit Tidak Menular (PTM) membunuh lebih dari 36 juta orang setiap tahun, sekitar
80 % dari semua kematian PTM terjadi di Negara berpenghasilan rendah dan menengah
(WHO, 2013).
Menurut data Riset Kesehatan Dasar [Riskesdas] (2013), menunjukkan bahwa
prevalensi hipertensi dari hasil wawancara (apakah pernah didiagnosis oleh tenaga
kesehatan dan minum obat hipertensi) terjadi peningkatan dari 7,6% tahun 2007 menjadi
9,5% tahun 2013. Hal yang sama untuk stroke pada saat wawancara (berdasarkan
jawaban responden yang pernah didiagnosis tenaga kesehatan dan gejala) juga meningkat
dari 8,3 per 1000 (2007) menjadi 12,1 per 1000 (2013). Sama halnya untuk DM,
berdasarkan hasil wawancara juga terjadi peningkatan dari 1,1 persen (2007) menjadi
2,4% (2013) (Litbangkes, 2013 dalam Riskesdas, 2013). Kematian pada PTM seperti
penyakit kardiovaskular yaitu sebanyak 17,3 juta orang per tahun, diikuti oleh kanker 7,6
juta dan DM ada 1,3 juta. Ketiga kelompok jenis penyakit ini menyebabkan sekitar 80%

4
dari semua kematian PTM dan terdapat empat faktor risiko penting yang dapat berisiko
terhadap PTM antara lain adalah aktivitas fisik, penggunaan tembakau berlebihan dan
diet yang tidak sehat (WHO, 2013).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian penyakit tidak menular?
2. Sebutkan karakteristik kondisi kronis?
3. Jelaskan masalah yang muncul selama kondisi kronis?
4. Jelaskan masalah psikologis pada kondisi kronis?
5. Jelaskan implikasi keperawatan pada kondisi kronis?
6. Sebutkan strategi pencegahan PTM?

C. TUJUAN
1. Agar mahasiswa dapat mengetahui konsep penyakit tidak menular
2. Agar mahasiswa dapat menyebutkan karakteristik kondisi kronis.
3. Agar mahasiswa dapat menjelaskan masalah yang muncul selama kondisi kronis.
4. Agar mahasiswa dapat menjelaskan masalah psikologis pada kondisi kronis.
5. Agar mahasiswa dapat menjelaskan implikasi keperawatan pada kondisi kronis.
6. Agar mahasiswa dapat menjelaskan startegi pencegahan PTM.

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyakit tidak menular

Penyakit tidak menular adalah penyakit yang bukan disebabkan oleh infeksi
bakteri atau virus. Penyakit tidak menular yang sering dijumpai antara lain hipertensi,
diabetes mellitus, asma, penyakit kardiovaskuler, gangguan jiwa, dan kecelakaan.
Peningkatan status ekonomi, perubahan gaya hidup, dan efek modernisasi
menyebabkan prevalensi penyakit tidak menular mengalami peningkatan pada
beberapa tahun terakhir. Laporan Survailans Terpadu Penyakit (STP) Puskesmas di
DIY pada tahun 2016 menunjukkan bahwa kasus baru hipertensi esensial (29.105
kasus) dan diabetes mellitus (9.473 kasus) masuk dalam urutan kedua dan keempat
10 besar penyakit di DIY. Kemudian pada tahun 2017 untuk Hipertensi terdapat
20.309 kasus dan Diabetes Mellitus ada 5.161 kasus baru dimana keduanya masuk
dalam 10 besar penyakit.
Peningkatan prevalensi kasus penyakit tidak menular tersebut diikuti dengan
pergeseran dominasi penyebab kematian di DIY. Penyebab kematian di DIY telah
bergeser dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular sejak tahun 1997.
Data penyebab kematian di DIY didapatkan data laporan rumah sakit dan kegiatan
autobsi verbal yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di puskesmas. Namun kegiatan
autobsi verbal ini belum dapat dilaksanakan oleh 5 kabupaten dan kota di DIY, baru
dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul.
Kondisi ini diprediksi akan terus terjadi di tahun-tahun yang akan datang karena
jumlah penduduk usia tua yang semakin bertambah dan gaya hidup modern yang
semakin berkembang. Faktor-faktor risiko penyakit tidak menular terlihat mengalami
peningkatan. Data di DIY menunjukkan bahwa jumlah rumah bebas asap rokok pada
tahun 2012 (46.67%) cenderung mengalami penurunan jika dibandingkan dengan
tahun 2011 (66.1%). Sedangkan hasil Riskesdas 2013 prevalensi obesitas pada
penduduk usia lebih dari 18 tahun sebesar 15,8 sedangkan prosentase merokok

6
penduduk usia 15 – 19 tahun sebesar 21,3%. Sementara itu, kebiasaan makan cukup
sayur dan buah mengalami cenderung mengalami penurunan.
Contoh penyakit tidak menular sebagai berikut:
1. Hipertensi
Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus
sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg.
Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak
output (Wexler, 2002).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada
populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg
dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005).
Hipertensi adalah faktor risiko terjadinya stroke, gagal jantung, gagal ginjal,
serta penyakit serius lainnya. Oleh karena itu, penelitian di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa hipertensi mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar US$
73.4 di negara tersebut.
Berdasarkan etiologinya, hipertensi dibagi atas hipertensi esensial dan
hipertensi sekunder (Setiawati dan Bustami, 2005).
a. Hipertensi esensial disebut juga dengan hipertensi primer atau idiopatik. Lebih
dari 90% kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan
hemodinamik utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi
perifer. Penyebab hipertensi esensial adalah multifactor, terdiri dari faktor
genetik dan lingkungan. Faktor genetik (keturunan) bersifat poligenik dan
terlihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dari keluarga. Faktor
predisposisi genetik ini dapat berupa sensitivitas pada natrium, kepekaan
terhadap stress, peningkatan reaktivitas vascular (terhadap vasokonstriktor),
dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor lingkungan yang dapat
menyebabkan hipertensi yakni, makan garam (natrium) berlebihan, stress
psikis, dan obesitas.
b. Hipertensi sekunder. Prevalensinya hanya sekitar 5-8% dari seluruh penderita
hipertensi. Hipertensi ini dapat disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi

7
renal), penyakit endokrin (hipertensi endokrin), obat, dan lain-lain. Penyakit
lain yang dapat menimbulkan hipertensi adalah koarktasio aorta, kelainan
neurogenik, stress akut, polisitemia, dan lain-lain.
Angka pasti kasus hipertensi sulit untuk didapatkan mengingat hipertensi
adalah penyakit yang tidak menimbulkan gejala khusus kecuali dengan
pemeriksaan. Hipertensi baru disadari bila telah menyebabkan gangguan organ
seperti gangguan fungsi jantung dan stroke. Oleh karena itu, tidak jarang
hipertensi ditemukan secara tidak sengaja pada waktu pemeriksaan kesehatan
rutin atau datang dengan keluhan lain. Bahkan, 76% penduduk tidak
mengetahui bahwa mereka menderita hipertensi (tidak terdiagnosis). Padahal,
hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling berpengaruh
terhadap kejadian penyakit jantung dan pembuluh darah. (Yoga, 2012).
Prevalensi hipertensi di DIY menurut Riskesdas 2013 adalah 35,8% atau
lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka nasional (31,7%). Prevalensi ini
menempatkan DIY pada urutan ke-5 sebagai provinsi dengan kasus hipertensi
yang tinggi. Hipertensi selalu masuk dalam 10 besar penyakit sekaligus 10
besar penyebab kematian di DIY selama beberapa tahun terakhir berdasarkan
STP maupun SIRS. Laporan STP Puskesmas Tahun 2016 tercatat kasus
hipertensi 29.105 kasus.
Sedangkan laporan STP Rumah Sakit Rawat Jalan sebanyak 1.152 kasus
(hipertensi essensial). Sedangkan berdasar STP Puskesmas tahun 2017 tercatat
20.309 kasus hipertensi. Untuk STP Rawat Jalan Rumah Sakit tercatat 12.962
kasus baru.
2. Jantung
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologi dimana jantung sebagai pompa
tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gangguan
fungsi jantung ditinjau dari efek-efeknya terhadap perubahan tiga penentu utama
dari fungsi miokardium yaitu freeload (beban awal), afterload (beban akhir), dan
kontraktilitas miokardium. Freeload (beban awal) yaitu derajat peregangan
serabut miokardium pada akhir pengisian ventrikel atau diastolic. Afterload
(beban akhir) yaitu besarnya tegangan dinding ventrikel yang harus dicapai

8
selama sistol untuk memompa darah. Kontraktilitas miokardium yaitu perubahan
kekuatan kontraksi.
Gagal jantung yang sering dijumpai di DIY antara lain infark miokard. Infark
miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh karena
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung
(Fenton, 2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian
diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard
infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral (Irmalita, 1996).
Infark miokard terdiri dari infark miokard akut dan infark miokard subsequent.
Laporan hasil Survailans Terpadu Penyakit RS Rawat Jalan 2017, jumlah
kasus dan pengelompokan penyakit jantung sebagai berikut infark miokard akut
(1.650), infark miokard subsequent (645), jantung hipertensi (3.505), serta
jantung dan ginjal hipertensi (111).
3. Diabetes Mellitus (DM)
Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh warisan dari
orang tua dan atau kekurangan produksi insulin oleh pancreas, atau oleh tidak
efektifnya insulin yang diproduksi. Akibatnya, terjadi peningkatan konsentrasi
glukosa dalam darah, yang pada akhirnya akan merusak banyak sistem tubuh,
khusunya pembuluh darah dan syaraf (WHO, 2014).
Diabetes mellitus terdiri dari dua type :
a. Type 1
Diabetes mellitus type 1 (insulin-dependent) adalah kondisi dimana
pancreas gagal memproduksi insulin yang penting untuk keberlangsungan
hidup. Kondisi ini paling sering dialami oleh anak-anak dan remaja.
b. Type 2
Diabetes mellitus type 2 (non-insulin-dependent) adalah kondisi dimana
insulin yang dihasilkan oleh pancreas tidak dapat berfungsi dan merangsang
reseptor dengan benar. Diabetes mellitus type 2 terjadi lebih umum dan
menyumbang 90% dari semua kasus diabetes di dunia. Hal ini terjadi paling
sering pada orang dewasa. Namun, akhir-akhir ini sudah terjadi pada remaja.

9
Berdasar STP puskesmas tahun 2017 jumlah kasus diabetes sebanyak 8.321
kasus. Sedangkan berdasar STP rumah sakit jumlah kasus dan
pengelompokan penyakit diabetes sebagai berikut DM YTT (11.254), DM
tak bergantung insulin (6.571), DM YTD Lainnya (904), DM Bergantung
Insulin (1.817), DM berhubungan malnutrisi (185), Hasil STP Puskesmas
menunjukkan bahwa DM adalah penyakit terbanyak nomer 4 di DIY pada
tahun 2017 dengan jumlah 8.321 kasus.
4. Kanker (Neoplasma)
Kanker adalah istilah yang digunakan untuk suatu kondisi di mana sel telah
kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya sehingga mengalami
pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali. Sel-sel kanker
tumbuh dan berkembangbiak membentuk suatu massa berupa jaringan ganas yang
menyusup ke jaringan sehat di sekitarnya atau disebut dengan invasive. Selain
bersifat invasive, sel kanker dapat menyebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lain
yang jauh dari tempat asal melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening
sehingga tumbuh sel kanker baru di tempat lain dan hasil akhirnya adalah suatu
kondisi serius yang sangat sulit untuk diobati. Terdapat lebih dari 100 jenis
kanker dan setiap jenis diklasifikasikan berdasarkan jenis sel yang terlibat.
Angka kanker di DIY dapat dilihat dari STP rawat jalan dan rawat inap
rumah sakit. Meskipun begitu, angka pasti mengenai kanker sulit didapatkan. STP
Dinas Kesehatan DIY mengelompokkan kanker menjadi neoplasma ganas serviks
uteri, payudara, hati dan saluran empedu intrahepatik, dan bronchus paru.
Deteksi dini kanker leher rahim telah dilakukan pada setiap tahun oleh
Dinas Kesehatan DIY melalui metode IVA.
5. Asma dan Penyakit Paru
Dinas Kesehatan DIY menyatakan bahwa penyakit yang berhubungan
dengan organ paru termasuk dalam penyakit yang perlu diwaspadai di DIY. Hasil
Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) menunjukkan bahwa asma dan
penyakit paru lainnya selalu masuk 10 penyebab langsung dan tidak langsung
kesakitan dan kematian utama di DIY. Kualitas udara yang buruk merupakan

10
salah satu penyebab tinggiya morbiditas dan mortalitas penyakit yang
berhubungan dengan organ paru.
Kota Yogyakarta menjadi Kabupaten/Kota dengan kualitas udara paling buruk
dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di DIY. Suhu udara yang panas dan
meningkatnya asap kendaraan bermotor di Kota Yogyakarta mengakibatkan
beberapa parameter pencemaran udara sudah memasuki taraf waspada. Hasil
pantauan kualitas udara oleh Kantor Penanggulangan Dampak Lingkungan Kota
Yogyakarta menunjukkan beberapa kadar zat berbahaya di udara melebihi batas
baku mutu udara. Selain itu, hasil dari berbagai jenis survey menunjukkan bahwa
jumlah perokok di Yogyakarta mencapai >30%.
6. Kecelakaan
Kecelakaan (intra cranial injury) memperlihatkan trend peningkatan sebagai
penyebab kematian di DIY. Data Polisi Daerah (Polda) DIY mengungkapkan
bahwa kecelakaan di DIY cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Peningkatan angka kematian dini akibat kecelakaan sesungguhnya masih dapat
dicegah. Dinas Kesehatan DIY melakukan upaya peningkatan peran sistem
rujukan gawat darurat, penanganan pra rujukan, dan kualitas pelayanan di sarana
pelayanan kesehatan untuk memperingan penderitaan korban dan meminimalisir
angka kematian dini akibat kecelakaan tersebut. Sistem Penanggulangan Gawat
Darurat Terpadu pada Dinas Kesehatan DIY dengan menyediakan layanan call
center dengan nomor 119 atau (0274) 2924233 atau 119 sehingga masyarakat
atau siapapun yang melihat kasus kecelakaan di wilayah DIY dapat menghubungi
nomor tersebut sehingga akan penanganan kasus kecelakaan akan lebih cepat
dengan pengiriman ambulance dan tenaga medis. Unit Reaksi Cepat di beberapa
Kabupaten/Kota terus dikembangkan untuk memperingan penderitaan dan
mempercepat penanganan korban. Unit Reaksi Cepat ini melibatkan instansi
terkait seperti PMI. Selain itu, “Yes 118” semakin dioptimalkan di Kota
Yogyakarta dan Kabupaten lain. Sementara itu, upaya lain yang tidak kalah
penting adalah peningkatan kapasitas tenaga medis melalui berbagai pelatihan
kegawatdaruratan. Pada Tahun 2015 mulai dikembangkan Sistem Informasi

11
kegawat Daruratan (SI SPGDT) dengan tenaga layanan 24 jam yang disiagakan di
kantor BPBD DIY.

Kondisi kronis didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan


yang berhubungan dengan gejala, gangguan, ataupun ketidakmampuan dan
membutuhkan manajemen pengobatan dan perawatan dalam waktu yang lama (≥ 3
bulan). Kondisi kronis digambarkan sebagai penyakit yang berjalan lama dan
mungkin juga tidak dapat disembuhkan, Karakteristik khas penyakit kronis yang
berlangsung lama sering menimbulkan masalah dalam manajemen pengobatan dan
perawatan pasien dan Kondisi kronis memberikan dampak psikososial kultural dan
ekonomi bagi pasien dan keluarga. Reaksi psikologi dan emosional pada kondisi
akut dan kronis berbeda. Reaksi ini umumnya terjadi tidak hanya saat awal kejadian
tetapi juga saat gejala berulang terjadi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri pasien dan keluarga dengan


kondisi kronis anatara lain:

a. Kepribadian pasien sebelum memiliki penyakit


b. Sikap pasien dalam memecahkan masalah dan menghadapi kesedihan (duka
cita) sebelum memiliki penyakit
c. Situasi saat penyakit muncul (kejadian) dan dampak perubahan gaya hidup
yang terjadi secara tiba-tiba
d. Konsep keluarga dan individu dalam menghadapi stress
e. Gaya hidup pasien dan keluarga sebelumnya
f. Pengalaman dengan penyakit sebelumnya
B. Karakteristik Kondisi Kronis
Karakteristik efek yang mengikuti perkembangan penyakit kronis, yaitu:
a. Penatalaksanaan penyakit kronis melibatkan seluruh aspek, tidak hanya masalah
medis
b. Kondisi kronis akan melewati anyak fase berbeda pada perjalanan penyakit
c. Pengobatan dan perawatan kondisi kronis membutuhkan kepatuhan terhadap
manajemen pengobatan
d. Satu kondisi penyakit kronis dapat menjadi penyebab dari kondisi kronis lainnya

12
e. Penyakit kronis memberikan dampak pada keluarga
f. Terdapat tanggung jawab besar setiap harinya dalam manajemen perawatan dan
pengobatan pasien dengan penyakit kronis
g. Manajemen kondisi kronis merupakan perjalanan yang sangat panjang
h. Manejemen kondisi kronis merupakan proses kolaborasi
i. Manajemen kondisi kronis merupakan sesuatu yang sangat mahal
j. Kondisi kronis merupakan kondisi sulit yang dapat meningkatkan isu etik bagi
pasien, tenaga kesehatan dan sosial
k. Hidup dengan penyakit kronis seperti hidup dengan ketidaktentuan
C. Masalah yang Muncul Selama Kondisi Kronis
Kondisi kronis memberikan dampak pada kehidupan sehari-hari individu dan
keluarganya sebagai bagian dari sosial. Gaya hidup pasien dan keluarga dapat
mengalami perubahan. Perubahan kondisi pada pasien dapat disimpulkan di bawah ini:
a. Fokus pada pencegahan kekambuhan, mengurangi dan manajemen gejala serta
komplikasi
b. Adanya adaptasi psikologi terhadap perubahan kondisi dan ketidakmampuan yang
dialami
c. Fokus pada manajemen pengobatan dan perawatan yang telah ditentukan
d. Perubahan harga diri dan ideal diri pasien dan fungsi keluarga
e. Usaha untuk mengembalikan dan menormalkan kehidupan individu dan keluarga.
f. Hidup dengan batasan waktu (ketidakpastia), isolasi sosial, dan kesendirian
g. Harapan akan kematian dengan martabat dan kenyamanan
Setiap pasien dengan kondisi kronis memiliki pengalaman masing-masing terhadap
gangguan atau ketidakmampuan yang dialami. Faktor-faktor yang mempengaruhi
respon seseorang terhadap penyakit kronis, yaitu:

a. Faktor personal (ex: jenis kelamin, ras, umur, mekanisme koping, dan pengalaman
lalu)
b. Hubungan dan dukungan lingkungan sosial dan keluarga
c. Status sosioal dan ekonomi
d. Budaya
e. Lingkungan (fisik, sosial, dan politik)

13
f. Aktivitas (ex: kegiatan harian, hiburan, sekolah, dan pekerjaan)
g. Tujuan kehidupan individu
D. Masalah Psikologis pada Kondisi Kronis
Kondisi kronis akan memberikan stress tersendiri pada pasien. Perubahan positif
dan negatif membuat pasien harus adaptasi terhadap kondisinya dan dapat
menimbulkan stress tersendiri. Stress ini berhubungan dengan ancaman yang
digambarka oleh individu mengenai penyakitnya.

Beberapa ancaman yang terkadang dirasakan oleh pasien:

a. Ancaman untuk kehidupan dan kebaikan kondisi fisik


b. Ancaman terhadap integritas tubuh dan kenyamanan sebagai akibat dari penyakit
dan ketidakmampuan, baik itu akibat prosedur diagnostik ataupun pengobatan dan
perawatan
c. Ancaman untuk kemandirian
d. Ancaman untuk konsep diri dan peran diri
e. Ancaman untuk tujuan hidup dan rencana masa depan
f. Ancaman untuk hubungan dengan keluarga, teman dan relasi
g. Ancaman Ancaman terhadap kemampuan yang dimiliki
h. Ancaman untuk ekonomi

Masalah ini dipengaruhi oleh mekanisme koping individu dalam menghadapi


masalah. Mekanisme koping merupakan kemampuan individu untuk dapat
menghadapi stress, masalah, perubahan yang terjadi didalam kehidupannya.

Fase dalam Kondisi Kronis

Terdapat sembilan (9) fase yang umumnya dilalui oleh pasien dan keluarga dalam
menghadapi kondisi kronis:

a. Pre Trajectory Phase

Fase dimana seseorang berisiko untuk mengalami kondisi kronis yang berkembang
dari situasi atau penyakit yang dialaminya. Perkembangan kondisi ini dapat terjadi

14
akibat faktor genetik ataupun gaya hidup yang dapat memicu perkembangan
kondisi jatuh ke kondisi kronis.

b. Trajectory Phase
Karakteristik pada fase ini adalah terjadinya onset atau awal mula munculnya
gejala, gangguan ataupun ketidakmampuan yang berhubungan dengan kondisi
kronis. Sejak diagnosa ditegakkan, kondisi ketidakpastian akan kehidupan mulai
dirasakan pasien.
c. Stable Phase
Pada fase ini, individu gejala dan ketidakmampuan telah tampak dan dapat di
manajemen dengan baik. Meskipun dalam kondisi ini pasien telah dapat
memanajemen kondisinya dengan baik, tetapi dibutuhkan peran perawat untuk
memberikan reinforcement positif.
d. Unstable Phase
Pada fase ktidakstabilan, kondisi gejala penyakit, perkembangan komplikasi,
aktifitas harian pasien terganggu karena kondisi tidak terkontrol.
e. Acute Phase
Pada fase akut, kondisi penyakit kronis pasien dapat tiba-tiba mengalami serangan
mendadak yang berisiko mengalami kondisi kegawatan. Sehingga terkadang dapat
membuat pasien dan keluarga panik dan cemas.

f. Chrisis Phase
Karakteristik kondisi ini adalah kondisi pasien jatuh kedalam kondisi yang
mengancam nyawa yang membutuhkan perawatan dan pengobatan
kegawatdaruratan.
g. Comeback Phase
Pada Fase ini pasien kembali dari fase akut dan krisis. Proses belajar dan
menerima kondisi gangguan dan ketidakmampuan yang dialami perlu mendapat
dukungan oleh keluarga dan perawat.

15
h. Downward Phase

Karakteristik kondisi ini adalah adanya penurunan kondisi pasien terhadap


penyakit yang dialaminya.

i. Dying Phase
Merupakan fase persiapan kematian dengan tenang yang harus diterima oleh
keluarga dan pasien. Pada kondisi ini perawat memiliki tugas untuk membantu
pasien menghadapi kematian dengan tenang dan baik, dan mendukung keluarga
untuk dapat menerima kematian pasien.

E. Implikasi Keperawatan pada Kondisi Kronis


Mengelola seseorang dengan penyakit kronis atau ketidakmampuan tidak hanya
terfokus dengan aspek medis atau kondisi fisik yang dialami pasien tetapi juga
mengelola pasiennya secara individu, fisik, emosional dan sosial. Fokus pengelolaan
pasien dengan penyakit kronis dimulai dari pengkajian hingga evaluasi

a. Step 1 : Mengidentifikasi Trajectory Phase


Pada tahap satu ini, perlu mengidentifikasi secara spesifik masalah medis, sosial,
dan psikologi serta kebutuhan support emsional.
b. Step 2 : Merumuskan Tujuan
Pada tahap kedua ini perawat merumuskan tujuan dalam perawatan pasien.
Perawat berkolaborasi dengan pasien, keluarga, dan tim perawatan serta
pengobatan pasien.
c. Step 3 : Membuat Perencanaan untuk keberhasilan Tujuan
Pada tahap ini, perawat merumuskan intervensi yang akan dilakukan guna
mencapai keberhasilan pengobatan dan perawatan pasien.
d. Step 4 : Mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat tercapainya tujuan

Pada tahap ini, perawat mengidentifikasi faktor-faktor pendukung dan


penghambat proses perawatan. Baik itu fasilitas yang ada, kemampuan ekonomi
pasien dan keluarga, dukungan keluarga dan lingkungan. Semua faktor
biopsikososial dan cultural serta ekonomi yang mendukung perawatan pasien.

e. Step 5 : Mengimplementasikan rencana yang telah disusun

16
Pada tahap ini , perawat mengimplementasikan rencana tindakan yang telah
disusun.
f. Step 6 : Mengevaluasi Keefektifan dari Intervensi
Pada tahap ini, perawat mengevalusi keefektifan intervensi yang telah disusun
untuk melihat keberhasilan tujuan.
F. Strategi pencegahan PTM
Menyadari rumitnya hakikat dari perilaku, maka perlu dilaksanakan strategi
promosi kesehatan paripurna yang terdiri dari (1) pemberdayaan, yang didukung oleh
(2) bina suasana dan (3) advokasi, serta dilandasi oleh semangat (4) kemitraan.
1. Pemberdayaan
Pemberdayaan adalah pemberian informasi dan pendampingan dalam mencegah
dan menanggulangi masalah kesehatan, guna membantu individu, keluarga atau
kelompok-kelompok masyarakat menjalani tahap-tahap tahu, mau dan mampu
mempraktikkan PHBS.
Pemberdayaan masyarakat merupakan bagian yang sangat penting dan bahkan
dapat dikatakan sebagai ujung tombak. Pemberdayaan adalah proses pemberian
informasi kepada individu, keluarga atau kelompok (klien) secara terus-menerus
dan berkesinambungan mengikuti perkembangan klien, serta proses membantu
klien, agar klien tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek
knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi
mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice). Oleh sebab
itu, sesuai dengan sasaran (klien) nya dapat dibedakan adanya (a) pemberdayaan
individu, (b) pemberdayaan keluarga dan (c) pemberdayaan
kelompok/masyarakat.
Dalam mengupayakan agar klien tahu dan sadar, kuncinya terletak pada
keberhasilan membuat klien tersebut memahami bahwa sesuatu (misalnya Diare)
adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang klien yang
bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan
masalah, maka klien tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apa pun
lebih lanjut. Saat klien telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka

17
kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang
bersangkutan.
Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan fakta-
fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan mengajukan
harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini dapat
dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai
panutan (misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan
keluarganya tak pernah terserang Diare karena perilaku yang dipraktikkannya).
Bilamana seorang individu atau sebuah keluarga sudah akan berpindah dari mau
ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi.
Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung.
Tetapi yang seringkali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses
pemberdayaan kelompok/masyarakat melalui pengorganisasian masyarakat
(community organization) atau pembangunan masyarakat (community
development). Untuk itu, sejumlah individu dan keluarga yang telah mau,
dihimpun dalam suatu kelompok untuk bekerjasama memecahkan kesulitan yang
dihadapi. Tidak jarang kelompok ini pun masih juga memerlukan bantuan dari
luar (misalnya dari pemerintah atau dari dermawan). Di sinilah letak pentingya
sinkronisasi promosi kesehatan dengan program kesehatan yang didukungnya
dan program-program sektor lain yang berkaitan. Hal-hal yang akan diberikan
kepada masyarakat oleh program kesehatan dan program lain sebagai bantuan,
hendaknya disampaikan pada fase ini, bukan sebelumnya. Bantuan itu
hendaknya juga sesuai dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.
Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta
menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai
lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang
kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya,
baik di antara mereka maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya
pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasilguna. Setelah itu,
sesuai ciri-ciri sasaran, situasi dan kondisi, lalu ditetapkan, diadakan dan
digunakan metode dan media komunikasi yang tepat.

18
2. Bina Suasana
Bina suasana adalah pembentukan suasana lingkungan sosial yang kondusif dan
mendorong dipraktikkannya PHBS serta penciptaan panutan-panutan dalam
mengadopsi PHBS dan melestarikannya.
Bina Suasana adalah upaya menciptakan lingkungan sosial yang mendorong
individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan.
Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan
sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, organisasi siswa/mahasiswa,
serikat pekerja/ karyawan, orang-orang yang menjadi panutan/idola, kelompok
arisan, majelis agama dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum) menyetujui
atau mendukung perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk memperkuat proses
pemberdayaan, khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari fase
tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana.
Terdapat tiga kategori proses bina suasana, yaitu (a) bina suasana individu, (b)
bina suasana kelompok dan (c) bina suasana publik.
a. Bina Suasana Individu
Bina suasana individu dilakukan oleh individu-individu tokoh masyarakat.
Dalam kategori ini tokoh-tokoh masyarakat menjadi individu-individu
panutan dalam hal perilaku yang sedang diperkenalkan. Yaitu dengan
mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut (misalnya
seorang kepala sekolah atau pemuka agama yang tidak merokok). Lebih
lanjut bahkan mereka juga bersedia menjadi kader dan turut
menyebarluaskan informasi guna menciptakan suasana yang kondusif bagi
perubahan perilaku individu.
b. Bina Suasana Kelompok
Bina suasana kelompok dilakukan oleh kelompok-kelompok dalam
masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga
(RW), majelis pengajian, perkumpulan seni, organisasi Profesi, organisasi
Wanita, organisasi Siswa/mahasiswa, organisasi pemuda, serikat pekerja dan
lain-lain. Bina suasana ini dapat dilakukan bersama pemuka/tokoh
masyarakat yang telah peduli. Dalam kategori ini kelompok-kelompok

19
tersebut menjadi kelompok yang peduli terhadap perilaku yang sedang
diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan ini
dapat berupa kelompok tersebut lalu bersedia juga mempraktikkan perilaku
yang sedang diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait dan atau
melakukan kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya.

c. Bina Suasana Publik


Bina suasana publik dilakukan oleh masyarakat umum melalui
pengembangan kemitraan dan pemanfaatan media-media komunikasi, seperti
radio, televisi, koran, majalah, situs internet dan lain-lain, sehingga dapat
tercipta pendapat umum. Dalam kategori ini media-media massa tersebut
peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan. Dengan
demikian, maka media-media massa tersebut lalu menjadi mitra dalam
rangka menyebarluaskan informasi tentang perilaku yang sedang
diperkenalkan dan menciptakan pendapat umum atau opini publik yang
positif tentang perilaku tersebut. Suasana atau pendapat umum yang positif
ini akan dirasakan pula sebagai pendukung atau “penekan” (social pressure)
oleh individu-individu anggota masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau
melaksanakan perilaku yang sedang diperkenalkan.
3. Advokasi
advokasi adalah pendekatan dan motivasi terhadap pihak-pihak tertentu yang
diperhitungkan dapat mendukung keberhasilan pembinaan PHBS baik dari segi
materi maupun non materi.
Advokasi adalah upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk
mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait
(stakeholders). Pihak-pihak yang terkait ini berupa tokohtokoh masyarakat
(formal dan informal) yang umumnya berperan sebagai narasumber (opinion
leader), atau penentu kebijakan (norma) atau penyandang dana. Juga berupa
kelompok-kelompok dalam masyarakat dan media massa yang dapat berperan
dalam menciptakan suasana kondusif, opini publik dan dorongan (pressure) bagi

20
terciptanya PHBS masyarakat. Advokasi merupakan upaya untuk menyukseskan
bina suasana dan pemberdayaan atau proses pembinaan PHBS secara umum.
Perlu disadari bahwa komitmen dan dukungan yang diupayakan melalui
advokasi jarang diperoleh dalam waktu singkat. Pada diri sasaran advokasi
umumnya berlangsung tahapan-tahapan, yaitu (1) mengetahui atau menyadari
adanya masalah, (2) tertarik untuk ikut mengatasi masalah, (3) peduli terhadap
pemecahan masalah dengan mempertimbangkan berbagai alternatif pemecahan
masalah, (4) sepakat untuk memecahkan masalah dengan memilih salah satu
alternatif pemecahan masalah dan (5) memutuskan tindak lanjut kesepakatan.
Dengan demikian, maka advokasi harus dilakukan secara terencana, cermat dan
tepat. Bahan-bahan advokasi harus disiapkan dengan matang, yaitu:
a. Sesuai minat dan perhatian sasaran advokasi
b. Memuat rumusan masalah dan alternatif pemecahan masalah
c. Memuat peran si sasaran dalam pemecahan masalah
d. Berdasarkan kepada fakta atau evidence-based
e. Dikemas secara menarik dan jelas
f. Sesuai dengan waktu yang tersedia

Sebagaimana pemberdayaan dan bina suasana, advokasi juga akan lebih efektif
bila dilaksanakan dengan prinsip kemitraan. Yaitu dengan membentuk jejaring
advokasi atau forum kerjasama. Dengan kerjasama, melalui pembagian tugas dan
saling-dukung, maka sasaran advokasi akan dapat diarahkan untuk sampai
kepada tujuan yang diharapkan. Sebagai konsekuensinya, metode dan media
advokasi pun harus ditentukan secara cermat, sehingga kerjasama dapat berjalan
baik.

4. Kemitraan
Kemitraan harus digalang baik dalam rangka pemberdayaan maupun bina
suasana dan advokasi guna membangun kerjasama dan mendapatkan dukungan.
Dengan demikian kemitraan perlu digalang antar individu, keluarga, pejabat atau
instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan (lintas sektor), pemuka

21
atau tokoh masyarakat, media massa dan lain-lain. Kemitraan harus berlandaskan
pada tiga prinsip dasar, yaitu (a) kesetaraan, (b) keterbukaan dan (c) saling
menguntungkan.
a. Kesetaraan
Kesetaraan berarti tidak diciptakan hubungan yang bersifat hirarkhis. Semua
harus diawali dengan kesediaan menerima bahwa masingmasing berada
dalam kedudukan yang sama (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah).
Keadaan ini dapat dicapai apabila semua pihak bersedia mengembangkan
hubungan kekeluargaan. Yaitu hubungan yang dilandasi kebersamaan atau
kepentingan bersama. Bila kemudian dibentuk struktur hirarkhis (misalnya
sebuah tim), adalah karena kesepakatan.
b. Keterbukaan
Oleh karena itu, di dalam setiap langkah diperlukan adanya kejujuran dari
masingmasing pihak. Setiap usul/saran/komentar harus disertai dengan alasan
yang jujur, sesuai fakta, tidak menutup-tutupi sesuatu. Pada awalnya hal ini
mungkin akan menimbulkan diskusi yang seru layaknya “pertengkaran”.
Akan tetapi kesadaran akan kekeluargaan dan kebersamaan, akan mendorong
timbulnya solusi yang adil dari “pertengkaran” tersebut.
c. Saling Menguntungkan
Solusi yang adil ini terutama dikaitkan dengan adanya keuntungan yang
didapat oleh semua pihak yang terlibat. PHBS dan kegiatan-kegiatan kesehatan
dengan demikian harus dapat dirumuskan keuntungan-keuntungannya (baik
langsung maupun tidak langsung) bagi semua pihak yang terkait. Termasuk
keuntungan ekonomis, bila mungkin.

22
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kondisi kronis didefinisikan sebagai kondisi medis atau masalah kesehatan yang
berhubungan dengan gejala, gangguan, ataupun ketidakmampuan dan membutuhkan
manajemen pengobatan dan perawatan dalam waktu yang lama (≥ 3 bulan).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri pasien dan keluarga dengan
kondisi kronis anataralain: Kepribadian pasien sebelum memiliki penyakit, Sikap pasien
dalam memecahkan masalah dan menghadapi kesedihan (duka cita) sebelum memiliki
penyakit, Situasi saat penyakit muncul (kejadian) dan dampak perubahan gaya hidup
yang terjadi secara tiba-tiba, Konsep keluarga dan individu dalam menghadapi stress,
Gaya hidup pasien dan keluarga sebelumnya, Pengalaman dengan penyakit sebelumnya.

B. SARAN
Bagi pembaca dan masyarakat diharpakn utuk tetap menjaga kondisi kesehatan
agar tidak terjadi kondisi kronis seperti penjelasan yang telah dipaparkan di atas. Penulis
menyadari bahwa makalah di atas masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

23
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kesehatan DIY. 2018. Buku Profil kesehatan DIY.

Kementrian Kesehatan. 2015. Promosi kesehatan di daerah bermasalahan kesehatan dan panduan
bagi petugass kesehatan di puskesmas.

24

Anda mungkin juga menyukai