Anda di halaman 1dari 23

TUGAS PATOLOGI KLINIK

DENGUE

DOSEN:
dr. SOTIANINGSIH, Sp.PK

KELOMPOK 1:

IMAM AGASI G1A113010


MUTIA YUDHA PUTRI G1A113016
RIZKY RAFIQOH AFDIN G1A114001
ANNISA PUJA IKRIMA G1A114002
FITRAH AFDHAL G1A114056
FITRIA RISNA PUTRI G1A114062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
DENGUE

PENDAHULUAN

Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) (dengue haemorrhagic fever
(DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.

ETIOLOGI

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan
West Nile virus.

EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi
air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:
1) Vektor: perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain;
2) Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3) Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a) Respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody.
Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE);
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun seluler
terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon
gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag;
d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang, dan
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.

Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadi tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi
tromobositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya
antibody VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan
kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi tromobosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex).
PENULARAN
serotipe virus pada waktu yang bersamaan.
David Bylon (1779) melaporkan bahwa epidemiologi dengue di Batavia
disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu, virus, manusia, dan nyamuk. Vektor utama penyakit
DBD adalah nyamuk Aedes Aegypti ( di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus ( di daerah
pedesaan). Nyamuk yang menjadi vector penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi
terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam
darahnya). Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari
nyamuk ke telur-telurnya.
Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air
liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan
bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari
dan orang tersebut akan mengalami sakit demam berdarah dengue. Virus dengue
memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu. Cara
penularan DBD dari nyamuk ke manusia diilustrasikan pada gambar.

Orang yang didalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit demam
berdarah dengue. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau
bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus
dengue selama satu minggu, sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah
yang ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.
Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah :
 Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garus putih
 Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC,
tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot
tanaman air, serta tempat minum burung
 Jarak terbang ± 100 m
 Nyamuk betina bersifat ‘multiple biters’ (menggigit beberapa orang karena sebelum
nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
 Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi.

Penyebaran penyakit DBD di Jawa biasanya terjadi mulai bulan Januari sampai April
dan Mei. Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DBD antara lain :
1. Imunitas Pejamu
2. Kepadatan populasi nyamuk
3. Transmisi virus dengue
4. Virulensi virus
5. Keadaan geografis setempat

Faktor penyebaran kasus DBD antara lain :


1. Pertumbuhan penduduk
2. Urbanisasi yang tidak terkontrol
3. Transportasi
PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pada kasus penyakit DBD/DD,anamnesis yang perlu diperhatikan adalah:
a. Keluhan Utama : Demam yang tidak jelas sebabnya selama 2-7 hari
b. Riwayat penyakit sekarang

Demam Dengue GEJALA Demam Derdarah Dengue

Nyeri Kepala
Muntah
Mual
Nyeri Otot
Batuk
Pilek
Kejang
Kesadaran Menurun
Uji Tourniquet
Petekie
Pendarahan sal. Cerna
Hepatomegali
Nyeri Perut
Trombositopeni
Renjatan
Prevalensi 25% 50% 75% 100%

c. Riwayat penyakit dahulu


d. Riwayat terkena DBD di keluarga
Apabila salah satu anggota keluarga menderita sakit demam berdarah maka anggota
keluarga lain yang demam hendaknya segera berobat untuk memastikan apakah
tertular demam berdarah atau tidak
e. Riwayat kehidupan sosial, ekonomi dan pribadi seperti, kepadatan populasi nyamuk
dan kedaan geografis setempat
Demam Dengue
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih
manifestasi klinis sebagai berikut :
1. Nyeri kepala
2. Nyeri retro-orbital
3. Mialgia/atralgia
4. Ruam kulit
5. Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bendung positif)
6. Leukopenia
7. Dan pemeriksaan serologi dengue positif; atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah
dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama.
8. Trombosit < 150.000
9. Hematokrit naik 5-10%

Pasien penyakit DBD pada umumnya disertai dengan tanda-tanda berikut:


1. Demam selama 2-7 hari tanpa sebab yang jelas
2. Manifestasi perdarahan dengan tes Rumpel Leede (+), mulai dari petekie (+) sampai
perdarahan spontan seperti mimisan, muntah darah, atau berak darah-hitam
3. Hasil pemeriksaan trombosit menurun (normal: 150.0000-300.000 μL), hematokrit
meningkat (normal: pria <45, wanita <40)
4. Akral dingin, gelisah, tidak sadar (DSS, dengue shock syndrome).

Kriteria Diagnosis (WHO, 1997)


a. Kriteria klinis
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas dan berlangsung terus-menerus
selama 2-7 hari.
2. Terdapat manifestasi perdarahan
3. Pembesaran hati
4. Syok.
b. Kriteria laboratories
1. Trombositopenia (<100.000/mm3)
2. Hemokonsentrasi (Ht meningkat >20%).

Seorang pasien dinyatakan menderita penyakit DBD bila terdapat minimal 2 gejala
klinis yang positif dan 1 hasil laboratorium yang positif. Bila gejala dan tanda tersebut
kurang dari ketentuan di atas maka pasien dinyatakan menderita demam dengue.

DERAJAT PENYAKIT INFEKSI VIRUS DENGUE


Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu diketahui
klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue
DD/DBD Derajat* Gejala Laboratorium
DD Demam disertai 2 Leukopenia,
atau lebih tanda: sakit trombositopenia, tidak ditemukan
kepala, nyeri retro- bukti kebocoran plasma, serologi
orbital, mialgia, artralgia dengue positif
DBD I Gejala di atas Trombositopenia(<100.00
ditambah uji bendung 0/ul), bukti ada kebocoran
positif plasma
DBD II Gejala di atas Trombositopenia(<100.00
ditambah perdarahn 0/ul), bukti ada kebocoran
spontan plasma
DBD III Gejala di atas Trombositopenia(<100.00
ditambah kegagalan 0/ul), bukti ada kebocoran
sirkulasi (kulit dingin dan plasma
lembab serta gelisah
DBD IV Syok berat Trombositopenia(<100.00
disertai dengan tekanan 0/ul), bukti ada kebocoran
darah dan nadi tidak plasma
terukur
*DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)

2. Pemeriksaan Fisik
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie,

echymosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis

dan malena.

a. Uji tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah.

Selanjutnya diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur

yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap selama

percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5 menit, diperhatikan timbulnya

petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian

proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi

persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat lebih dari 20 petekia.13

b. Pembesaran hati (hepatomegali).


c. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,

hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.


3. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain
Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
• Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative
(>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total
leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
• Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
• Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥
20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
• Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
• Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
• SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
• Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
• Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
• Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau
komponen darah.
• Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90
hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG
mulai terdeteksi hari ke-2.
• Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji
ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
• NS 1: Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke delapan.
Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4 % dengan spesifisitas 100% sama tingginya
dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan
adanya infeksi virus dengue.

Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada
sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
USG.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.

PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terpai suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PDAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria:
 Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
 Praktis dalam pelaksanaannya.
 Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
Protokol 1 (Gambar 4)

Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

Protokol 2 (Gambar 5)

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat


Protokol 3 (Gambar 6)
Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%

Protokol 4 (Gambar 7)

Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa


Protokol 5 (Gambar 8)

Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa


Protokol 1. Penanganan Tersangka (Probable) DBD Dewasa Tanpa Syok
Prokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.
Seseorang yang tersangka menderita DBD Unit Gawat Darurat dilakukan
pemeriksaaan hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), dan trombosit, bila :
 Hb, Ht dan trombosit norma atau trombosit antara 100.000-150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24 jam
berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit tiap 24 jam) atau bila keadaan
penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat.
 Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.

Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat


Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumalah seperti rums berikut ini : Volume
cairan kristaloid per hari yang diperlukan, sesuai rumus berikut :
1500 + {20 x (BB dalam kg – 20)}
Contoh volume rumatan untuk BB 55 kg: 1500 + {20 x (55-20)}=2200 ml. Setelah
pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam:
 Bila Hb, Ht meningkat 10-20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap
seperti rumus di atas teapi pemantauan Hb, Ht trombo dilakukan tiap 12 jam.
 Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit < 100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht > 20%


Meningkatnya Ht > 20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit cairan sebanyak
5%. Pada keadaan ini terapi awal pemerian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan.
Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda hematokrit turun, frekuensi nadi turun,
tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5
ml/kg/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetap
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kg/jam. Bila dalam
pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam
kemudian.
Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6-7 ml/kg/jam tadi keadaan tidak
membaik, yang ditandai dengan hematokrit dan nadi meningkat, tekana nadi menurun < 20
mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kg/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kg/jam tetapi bila keadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka cairan infus dinaikkan menjadi 15 ml/kg/jam dan bila dalam
perkembangannya kondisi menjdai memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka pasien
ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila syok telah
teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi sperti terapi pemberian cairan awal.
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarah Spontan pada DBD Dewasa
Perdarahn spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah: perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarah
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia) perdarhan saluran kencing
(hematuria), perdarahn otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-
5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap seperti
keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemerikasaan tekanan darah, nadi, pernapasan dan jumlah
urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosis serta hemostasis
harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan
tanda-tanda koagulasi intravaskular diseminata (KID). Transfusi komponen darah diberikan
sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT
yang memanjang), PRC diberikan bila nilai Hb kurang dari 10 g/dl. Transfusi trombosit hanya
diberikan pada pasien DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <
100.000/mm3 disertai atau tanpa KID.
Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada Dewasa
Bila kita berhadapan dengan Sindrom Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang harus
diingat adalah bahwa rejatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantoancairan
intravaskular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue sepuluh
kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa rejatan, dan rejatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan/pengobatan, penatalaksanaan yang tidak
tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan
renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain
resusitasi cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan-pemeriksaan
yang harus dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, analisis gas
darah, kadar natrium, kalium dan klorida, serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengna tekanan darah sistolik 100
mmHg dan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit
dengan volume yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1
ml/kgBB/jam) jumlah cairan dikurangi menjadi 7 ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60-120 menit
keadaan tetap stabil pemberian cairan menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan
teratasi tanda-tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan
perinfus harus dihentikan (karena jika reabsorpsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi
telah terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan
hipervolemi, edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).
Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan
terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadi renjatan (karena selain proses patogenesis
penyakit masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap
dalam pembuluh darah setelah 1 jam sesaat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah
renjatan telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran,
tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati,nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan ddan epigastrik, serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2 ml/kgBB/jam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk
pemantauan perjalanan penyakit.
Bila setelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB, dan kemudian
dievaluasi setelah 20-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi, maka perhatikan nilai
hematokrit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti pembesaran plasma masih berlangsung maka
pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai hematokrit menurun, berarti terjadi
perdarahn (internal bleeding) maka penderita diberikan transfusi darah segar 10 ml/kgBB dan
dapat diulang sesuai kebutuhan.
Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mula-mula diberikan dengan tetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk
memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral, dan pemberian koloid
dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30 ml/kgBB (maksimal 1-1,5 /hari) dengan sasaran
tekanan vena sentral 15-18cmH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi
sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan targer tetapi renjatan tetap
belum teratasi maka dapay diberikan obat inotropik/vasopresor.

Pengelolaan
Skema pengelolaan DBD

Penderita atau

Penyelidikan

Ada penderita DBD lain atau ada jentik


dan ada penderita demam tanpa sebab yang jelas
pada hari itu atau seminggu sebelumnya ≥ 3 orang

Ya Tidak

 Penyuluhan  Penyuluhan
 PSN  PSN
 Pengasapan radius ± 200 m

Sumber: Dinkes Prov. Jateng; Protap Penanggulangan KLB, Semarang, 2004

Program Pemberantasan
1. Tujuan
a. Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBD.
b. Mencegah dan menanggulangi KLB.
c. Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dalam pemberantasan sarang nyamuk
(PSN).
2. Sasaran
Sasaran nasional (2000):
a. Morbiditas di kecamatan endemic DBD <2 per 10.000 penduduk.
b. CFR <2,5%

3. Strategi
a. Kewaspadaan dini.
b. Penanggulangan KLB.
c. Peningkatan keterampilan petugas.
d. Penyuluhan.

4. Kegiatan
a. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis, PE), yaitu kegiatan mendatangi
rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita lain
dan memeriksa angka jentik dalam radius ±100 m dari rumah indeks.
b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika
terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus
termasuk merujuk ke unit pelayanan kesehatan (UPK) terdekat.
c. Larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida ke dalam
penampungan air yang positif terdapat jentik Aedes.
d. Fogging focus (FF), yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation, losban)
untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per dukuh.
e. Pemeriksaan jentik rutin (PJR), adalah kegiatan yang dilakukan oleh kader desa
wisma PKK, pengurus RT, atau petugas pemantau jentik (PPJ) paling sedikit satu
minggu sekali. Petugas tersebut akan memantau jentik dalam semua rumah warga
yang diatur dengan jadwal tertentu, hasilnya akan dicatat pada kartu jentik di setiap
rumah.
f. Pemeriksaan jentik berkala (PJB), yaitu kegiatan regular tiga bulan sekali, dengan
cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampe dapat
dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah di tengah sebagai
pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan
jentik atau HI (house index).
g. Pembentukan kelompok kerja (pokja) DBD di semua level administrasi, mulai dari
desa, kecamatan, sampai tingkat pusat.
h. Penggerakan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dengan 3M (menutup dan
menguras tempat penampungan air bersih, mengubur barang bekas, dan
membersihkan tempat yang berpotensi bagi perkembangbiakan nyamuk) di daerah
endemic dan sporadic.
i. Penyuluhan tentang gejala awal penyakit DBD, tindakan pencegahan, dan rujukan
penderita.

5. Pencegahan
Kegiatan ini meliputi:
a. Pembersihan jentik
 Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
 Larvasidasi
 Menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat)

b. Pencegahan gigitan nyamuk


 Menggunakan kelambu
 Menggunakan obat nyamuk (bakar, oles)
 Tidak melakukan kebiasaan berisiko (tidur siang, menggantung baju)
 Penyemprotan.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo, Aru W. Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing.
2. Widoyono. 2011. Penyakit Tropis. Edisi II. Jakarta: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai