DENGUE
DOSEN:
dr. SOTIANINGSIH, Sp.PK
KELOMPOK 1:
PENDAHULUAN
Demam dengue (DF) dan demam berdarah dengue (DBD) (dengue haemorrhagic fever
(DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
dengan hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh.
Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.
ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang
semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe
ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang
antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis dan
West Nile virus.
EPIDEMIOLOGI
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia.
Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden
DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah
meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.
aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan dengan sanitasi
lingkungan dengan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi
air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu:
1) Vektor: perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan,
transportasi vektor dilingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain;
2) Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap
nyamuk, usia dan jenis kelamin;
3) Lingkungan: curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
PATOGENESIS
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih diperdebatkan.
Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa mekanisme imunopatologis
berperan dalam terjadinya demam berdarah dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam patogenesis DBD adalah:
a) Respons humoral berupa pembentukan antibodi yang berperan dalam proses netralisasi
virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan sitotoksisitas yang dimediasi antibody.
Antibody terhadap virus dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit
atau makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement (ADE);
b) Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran dalam respon imun seluler
terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon
gamma, IL-2 dan limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c) Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan opsonisasi antibodi. Namun
proses fagositosis ini menyebabkan peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh
makrofag;
d) Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan terbentuknya C3a dan
C5a.
Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologous infection yang
menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe yang
berbeda. Re-infeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan
konsentrasi kompleks imun yang tinggi.
Kurane dan Ennis pada tahun 1994 merangkum pendapat Halstead dan peneliti lain;
menyatakan bahwa infeksi virus dengue menyebabkan aktivasi makrofag yang memfagositosis
kompleks virus-antibody non netralisasi sehingga virus bereplikasi di makrofag. Terjadinya
infeksi makrofag oleh virus dengue menyebabkan aktivasi T-helper dan T-sitotoksik sehingga
diproduksi limfokin dan interferon gamma. Interferon gamma akan mengaktivasi monosit
sehingga disekresi berbagai mediator inflamasi seperti TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating
factor), IL-6 dan histamine yang mengakibatkan terjadinya disfungsi sel endotel dan terjadi
kebocoran plasma. Peningkatan C3a dan C5a terjadi melalui aktivasi oleh kompleks virus-
antibodi yang juga mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma.
Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme:
1. Supresi sumsum tulang, dan
2. Destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit.
Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (<5 hari) menunjukkan keadaan
hiposeluler dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadi tercapai akan terjadi peningkatan
proses hematopoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar tromobopoietin dalam darah pada saat
terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi
tromobositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya
antibody VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer.
Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan
kadar b-tromoboglobulin dan PF4 yang merupakan petanda degranulasi tromobosit.
Koagulopati terjadi sebagai akibat interaksi virus dengan endotel yang menyebabkan
disfungsi endotel. Berbagai penelitian menunjukkan terjadinya koagulopati konsumtif pada
demam berdarah dengue stadium III dan IV. Aktivasi koagulasi pada demam berdarah dengue
terjadi melalui aktivasi jalur ekstrinsik (tissue factor pathway). Jalur intrinsik juga berperan
melalui aktivasi factor Xia namun tidak melalui aktivasi kontak (kalikrein C1-inhibitor
complex).
PENULARAN
serotipe virus pada waktu yang bersamaan.
David Bylon (1779) melaporkan bahwa epidemiologi dengue di Batavia
disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu, virus, manusia, dan nyamuk. Vektor utama penyakit
DBD adalah nyamuk Aedes Aegypti ( di daerah perkotaan) dan Aedes albopictus ( di daerah
pedesaan). Nyamuk yang menjadi vector penyakit DBD adalah nyamuk yang menjadi
terinfeksi saat menggigit manusia yang sedang sakit dan viremia (terdapat virus dalam
darahnya). Menurut laporan terakhir, virus dapat pula ditularkan secara transovarial dari
nyamuk ke telur-telurnya.
Virus berkembang dalam tubuh nyamuk selama 8-10 hari terutama dalam kelenjar air
liurnya, dan jika nyamuk ini menggigit orang lain maka virus dengue akan dipindahkan
bersama air liur nyamuk. Dalam tubuh manusia, virus ini akan berkembang selama 4-6 hari
dan orang tersebut akan mengalami sakit demam berdarah dengue. Virus dengue
memperbanyak diri dalam tubuh manusia dan berada dalam darah selama satu minggu. Cara
penularan DBD dari nyamuk ke manusia diilustrasikan pada gambar.
Orang yang didalam tubuhnya terdapat virus dengue tidak semuanya akan sakit demam
berdarah dengue. Ada yang mengalami demam ringan dan sembuh dengan sendirinya, atau
bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit. Tetapi semuanya merupakan pembawa virus
dengue selama satu minggu, sehingga dapat menularkan kepada orang lain di berbagai wilayah
yang ada nyamuk penularnya. Sekali terinfeksi, nyamuk menjadi infektif seumur hidupnya.
Ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti adalah :
Sayap dan badannya belang-belang atau bergaris-garus putih
Berkembang biak di air jernih yang tidak beralaskan tanah seperti bak mandi, WC,
tempayan, drum, dan barang-barang yang menampung air seperti kaleng, ban bekas, pot
tanaman air, serta tempat minum burung
Jarak terbang ± 100 m
Nyamuk betina bersifat ‘multiple biters’ (menggigit beberapa orang karena sebelum
nyamuk tersebut kenyang sudah berpindah tempat)
Tahan dalam suhu panas dan kelembapan tinggi.
Penyebaran penyakit DBD di Jawa biasanya terjadi mulai bulan Januari sampai April
dan Mei. Faktor yang mempengaruhi morbiditas dan mortalitas penyakit DBD antara lain :
1. Imunitas Pejamu
2. Kepadatan populasi nyamuk
3. Transmisi virus dengue
4. Virulensi virus
5. Keadaan geografis setempat
Nyeri Kepala
Muntah
Mual
Nyeri Otot
Batuk
Pilek
Kejang
Kesadaran Menurun
Uji Tourniquet
Petekie
Pendarahan sal. Cerna
Hepatomegali
Nyeri Perut
Trombositopeni
Renjatan
Prevalensi 25% 50% 75% 100%
Seorang pasien dinyatakan menderita penyakit DBD bila terdapat minimal 2 gejala
klinis yang positif dan 1 hasil laboratorium yang positif. Bila gejala dan tanda tersebut
kurang dari ketentuan di atas maka pasien dinyatakan menderita demam dengue.
2. Pemeriksaan Fisik
Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie,
dan malena.
Selanjutnya diberikan tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur
yang dipasang pada lengan di atas siku; tekanan ini diusahakan menetap selama
petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga bagian
Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien tersangka demam dengue
adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin, hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah
tepi untuk melihat adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell culture) ataupun deteksi
antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain
Reaction), namun karena teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun IgG.
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
• Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis relative
(>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total
leukosit yang pada fase syok akan meningkat.
• Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
• Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit ≥
20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-3 demam.
• Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada
keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
• Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma.
• SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
• Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
• Elektrolit: sebagai parameter pemantauan pemberian cairan.
• Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan diberikan transfusi darah atau
komponen darah.
• Imunoserologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90
hari.
IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi sekunder IgG
mulai terdeteksi hari ke-2.
• Uji HI: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat pulang dari perawatan, uji
ini digunakan untuk kepentingan surveilans.
• NS 1: Antigen NS1 dapat dideteksi pada awal demam hari pertama sampai hari ke delapan.
Sensitivitas antigen NS1 berkisar 63% - 93,4 % dengan spesifisitas 100% sama tingginya
dengan spesifisitas gold standard kultur virus. Hasil negatif antigen NS1 tidak menyingkirkan
adanya infeksi virus dengue.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan tetapi apabila
terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat dijumpai pada kedua hemitoraks.
Pemeriksaan foto rontgen dada sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada
sisi badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi dengan pemeriksaan
USG.
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala
prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang dan perasaan lelah.
PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi yang spesifik untuk demam dengue, prinsip utama adalah terapi suportif.
Dengan terpai suportif yang adekuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan melalui
intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi secara bermakna.
Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PDAPDI) bersama dengan
Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria:
Penatalaksanaan yang tepat dengan rancangan tindakan yang dibuat sesuai atas indikasi.
Praktis dalam pelaksanaannya.
Mempertimbangkan cost effectiveness.
Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :
Protokol 1 (Gambar 4)
Protokol 2 (Gambar 5)
Protokol 4 (Gambar 7)
Pengelolaan
Skema pengelolaan DBD
Penderita atau
Penyelidikan
Ya Tidak
Penyuluhan Penyuluhan
PSN PSN
Pengasapan radius ± 200 m
Program Pemberantasan
1. Tujuan
a. Menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit DBD.
b. Mencegah dan menanggulangi KLB.
c. Meningkatkan peran serta masyarakat (PSM) dalam pemberantasan sarang nyamuk
(PSN).
2. Sasaran
Sasaran nasional (2000):
a. Morbiditas di kecamatan endemic DBD <2 per 10.000 penduduk.
b. CFR <2,5%
3. Strategi
a. Kewaspadaan dini.
b. Penanggulangan KLB.
c. Peningkatan keterampilan petugas.
d. Penyuluhan.
4. Kegiatan
a. Pelacakan penderita (penyelidikan epidemiologis, PE), yaitu kegiatan mendatangi
rumah-rumah dari kasus yang dilaporkan (indeks kasus) untuk mencari penderita lain
dan memeriksa angka jentik dalam radius ±100 m dari rumah indeks.
b. Penemuan dan pertolongan penderita, yaitu kegiatan mencari penderita lain. Jika
terdapat tersangka kasus DBD maka harus segera dilakukan penanganan kasus
termasuk merujuk ke unit pelayanan kesehatan (UPK) terdekat.
c. Larvasidasi selektif, yaitu kegiatan memberikan atau menaburkan larvasida ke dalam
penampungan air yang positif terdapat jentik Aedes.
d. Fogging focus (FF), yaitu kegiatan menyemprot dengan insektisida (malation, losban)
untuk membunuh nyamuk dewasa dalam radius 1 RW per 400 rumah per dukuh.
e. Pemeriksaan jentik rutin (PJR), adalah kegiatan yang dilakukan oleh kader desa
wisma PKK, pengurus RT, atau petugas pemantau jentik (PPJ) paling sedikit satu
minggu sekali. Petugas tersebut akan memantau jentik dalam semua rumah warga
yang diatur dengan jadwal tertentu, hasilnya akan dicatat pada kartu jentik di setiap
rumah.
f. Pemeriksaan jentik berkala (PJB), yaitu kegiatan regular tiga bulan sekali, dengan
cara mengambil sampel 100 rumah/desa/kelurahan. Pengambilan sampe dapat
dilakukan dengan cara random atau metode spiral (dengan rumah di tengah sebagai
pusatnya) atau metode zig-zag. Dengan kegiatan ini akan didapatkan angka kepadatan
jentik atau HI (house index).
g. Pembentukan kelompok kerja (pokja) DBD di semua level administrasi, mulai dari
desa, kecamatan, sampai tingkat pusat.
h. Penggerakan PSN (pemberantasan sarang nyamuk) dengan 3M (menutup dan
menguras tempat penampungan air bersih, mengubur barang bekas, dan
membersihkan tempat yang berpotensi bagi perkembangbiakan nyamuk) di daerah
endemic dan sporadic.
i. Penyuluhan tentang gejala awal penyakit DBD, tindakan pencegahan, dan rujukan
penderita.
5. Pencegahan
Kegiatan ini meliputi:
a. Pembersihan jentik
Program pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
Larvasidasi
Menggunakan ikan (ikan kepala timah, cupang, sepat)