Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stres Hospitalisasi
1. Definisi
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang
berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit,
menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke rumah
(Supartini, 2004). Hospitalisasi adalah keadaan kritis pada anak saat anak
sakit dan dirawat di rumah sakit karena stres akibat perubahan keadaan
sehat biasa dan rutinitas lingkungan. Anak juga memiliki jumlah mekanisme
koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor (kejadian-kejadian yang
menimbulkan stres). Stressor utama dari hospitalisasi antara lain adalah
perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan adanya nyeri. Reaksi anak
terhadap krisis-krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan anak,
pengalaman sebelumnya terhadap penyakit, perpisahan, keterampilan
koping yang mereka miliki dan dapatkan, keparahan diagnosis, dan sistem
pendukung yang ada (Wong, et al, 2009).

2. Stresor dan Reaksi Anak Terhadap Hospitalisasi


Stresor dan reaksi utama dari hospitalisasi menurut Wong (2009) adalah
sebagai berikut:
a. Cemas akibat perpisahan
Perawatan di rumah sakit memaksa anak untuk berpisah dari
lingkungan yang dirasakan aman, penuh kasih sayang dan
menyenangkan, yaitu lingkungan rumah, permainan dan teman
sepermainan (Supartini, 2004). Kecemasan dapat terlihat dalam
hubungan interpersonal dan memiliki dampak terhadap kehidupan
manusia, baik dampak positif maupun dampak negatif. Kecemasan akan
meningkat pada klien anak yang dirawat, dengan berbagai kondisi dan
situasi dirumah sakit (Asmadi, 2008). Pada kondisi cemas akibat
perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku.
Respon perilaku anak akibat perpisahan dibagi menjadi tiga tahap, yaitu
tahap protes, tahap putus asa dan tahap menolak (Nursalam, 2005).
Pada tahap protes, anak akan bereaksi seperti menangis kuat-kuat,
menjerit, memanggil orang tuanya atau menggunakan tingkah laku
agresif agar orang lain tahu bahwa ia tidak ingin ditinggalkan oleh orang
tuanya dan menolak perhatian orang asing. Tahap putus asa perilaku anak
akan cenderung tampak tenang, tidak aktif, menarik diri, menangis
berkurang, kurang minat untuk bermain, tidak nafsu makan, sedih dan
apatis. Sedangkan pada tahap menolak anak akan menerima perpisahan,
membina hubungan dangkal dengan orang lain serta terlihat menyukai
lingkungan. Fase ini biasanya terjadi saat anak berpisah lama dengan
orang tua (Nursalam, 2005).
b. Kehilangan kontrol dan otonomi
Anak akan kehilangan kebebasan dalam mengembangkan otonominya
akibat sakit dan dirawat di rumah sakit. Anak akan bereaksi agresif
dengan marah dan berontak akibat ketergantungan yang dialaminya
(Supartini, 2004).
c. Cidera tubuh dan adanya nyeri
Kondisi cemas yang timbul akibat perubahan fisik maupun biopsiko-
sosial pada anak yang dirawat di rumah sakit membuat anak merasa tidak
nyaman dan tertekan. Kondisi tersebut menimbulkan stres pada anak
selama masa perawatan. Reaksi anak usia prasekolah terhadap rasa nyeri
sama seperti waktu bayi. Anak akan merespon nyeri dengan
menyeringaikan wajah, menangis, mengatupkan gigi, mengigit bibir,
membuka mata dengan lebar, atau melakukan tindakan agresif seperti
menendang dan memukul. Namun, pada akhir periode balita anak
biasanya sudah mampu mengkomunikasikan rasa nyeri yang dialami dan
menunjukan lokasi nyeri (Nursalam, 2005).
3. Perilaku perawat dalam meminimalkan dampak hospitalisasi pada anak
Perawat memiliki peranan penting dalam memberikan dukungan bagi anak
dan keluarga guna mengurangi respon stres anak terhadap hospitalisasi.
Menurut Hockenberry dan Wilson (2007) untuk meminimalkan respon stres
terhadap hospitalisasi dapat dilakukan dengan:
a. Meminimalkan pengaruh perpisahan.
Seorang perawat harus mengerti tahap-tahap perpisahana pada
anak yang sedang mengalami hospitalisasi dan mengerti akan
keterbatasan anak mentoleransi ketidakhadiran orang tua. Anak akan
melihat bahwa kunjungan orang tua merupakan hal yang penting. Maka
pendidikan kesehatan pada orang tua perlu dilakukan untuk memfasilitasi
agar kunjungan orang tua dapat teratur dan kehadiran orang dekat lainnya
dapat dilakukan sebagai pengganti ketidakhadiran orang tua (Price &
Gwin, 2005).
Tujuan dari asuhan keperawatan salah satunya adalah menjaga
perkembangan anak saat dihospitalisasi. Cara yang dapat dilakukan
adalah dengan cara meminimalkan perpisahan, memberikan kesempatan
anak untuk ikut berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang menunjang
perkembangan.
Anak yang sakit dimungkinkan dirawat di rumah sakit khusus anak
atau di rumah sakit umum yang memiliki fasilitas ruangan khusus untuk
anak. Kebutuhan dan perkembangan anak perlu dipertimbangkan dengan
mempersiapkan sarana unit perawatan anak dengan perabotan yang
berwarna cerah dan sesuai dengan usia anak, dekorasi ruangan yang
menarik dan familiar bagi anak, serta adanya ruang bermain yang
dilengkapi berbagai macam alat bermain (Price & Gwin, 2005).
Keberagaman alat bermain diperlukan untuk melengkapi tempat bermain
tersebut terlebih alat bermain sesuai dengan usia anak. Pada usia bayi,
saat anak mengalami sakit ringan, alat permainan yang sesuai seperti
balok dengan warna yang bervariasi, buku bergambar, cangkir atau
sendok, kotak musik, boneka yang berbunyi. Sedangkan pada anak sakit
sedang, alat permainan yang dapat diberikan adalah berupa kotak musik,
giring-giring yang dipegang, boneka yang berbunyi (Wong, et al, 2009).
Pada usia toddler saat mengalami sakit ringan alat permainan yang
dapat diberikan adalah alat permainan yang dapat didorong dan ditarik,
balok-balok, mainan bermusik, alat rumah tangga, telepon mainan, buku
bergambar, kertas, krayon, dan manik-manik besar. Pada saat sakit
sedang, mainan yang diberikan dapat berupa mainan bermusik, alat
rumah tangga, telepon mainan, buku bergambar, dan manik-manik besar
(Wong, et al, 2009).
Usia pra sekolah, saat mereka mengalami sakit ringan, alat
permainan yang dapat diberikan adalah boneka-bonekaan, mobil-
mobilan, buku gambar, teka-teki, menyusun potongan gambar, kertas
untuk melipat-lipat, krayon, alat mainan bermusik dan majalah anak-
anak. Dan saat mengalami sakit sedang alat permaian yang dapat
diberikan adalah boneka-bonekaan, mobil-mobilan, buku bergambar, dan
alat mainan musik (Wong, et al, 2009).
Sedangkan pada usia sekolah anak mulai mengalami imajinasi.
Alat permainan yang dapat diberikan berupa permainan teka-teki, buku
bacaan, alat untuk menggambar, alat musik seperti harmonika. Dan pada
usia remaja, anak mulai mencurahkan kreativitas yang dimilikinya, maka
alat permainan yang dapat diberikan adalah permainan catur, alat untuk
menggambar seperti cat air, kanvas, kertas, majalah anak-anak atau
remaja, dan buku cerita (Hardjadinata, 2009).
Ketika mengembangkan ruang anak, perlu mempertimbangkan
ruang tindakan dengan ruang perawatan. Hal ini dilakukan agar tidak
mengganggu dan membuat anak lain ketakutan ketika sedang
dilaksanakan sebuah prosedur. Dengan penataan ruang anak seperti
tersebut diharapkan anak mampu meningkatkan koping strategi selama
menjalani hospitalisasi (Price & Gwin, 2005).
Pemandangan, bau, dan bunyi-bunyi asing di rumah sakit membuat
anak takut dan bingung bagi anak-anak. Penting bagi perawat untuk
mengevaluasi stimulus di lingkungan dari sudut pandang anak dan
melakukan upaya untuk melindungi anak dari pemandangan, bunyi, dan
peralatan yang menakutkan atau tidak kenal. Perawat harus memberikan
penjelasan atau persiapan pada anak untuk pengalaman-pengalaman
tersebut yang tidak dapat dihindari. Penggabungan pemandangan yang
akrab atau memberi rasa nyaman dengan hal yang tidak dikenal dapat
mengurangi ketakutan akan peralatan medis (Wong, et al, 2009).
Dampak hospitalisasi pada anak dapat diminimalisir dengan
keberadaan lingkungan yang terapetik. Lingkungan terapetik yang
diharapkan adalah penataan ruang, restrain terapetik, permainan
terapetik, seni dan terapi musik (Nesbit & Tabatt Haussmann, 2008).
Desain ruang yang terapetik di ruang rawat anak diantaranya penggunaan
sprei bergambar, hiasan bergambar kartun, restrain infuse bergambar,
permainan terapetik dan komunikasi perawat yang terapetik.
Lingkungan rumah sakit yang nyaman meningkatkan penyesuaian
anak terhadap perpisahan. Orang tua dapat membawa barang-barang
kesukaan anak dari rumah ke rumah sakit seperti selimut, alat bermain,
botol, peralatan makan atau pakaian. Adanya benda kesukaan anak dapat
memberikan rasa nyaman dan ketenangan pada anak. Banda lain yang
dapat dibawa diantaranya foto atau rekaman video anggota keluarga yang
sedang melakukan aktivitas seperti membaca cerita, menyanyikan lagu,
menceritakan kejadian-kejadian atau memperlihatkan suasana rumah.
Untuk anak yang lebih besar, memiliki benda favorit yang berharga juga
dapat membantu agar merasa lebih nyaman dilingkungan yang asing.
Melalui modifikasi lingkungan yang bernuansa anak dapat meningkatkan
keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan anak sehingga
anak selalu berkembang dan merasa nyaman di lingkungannya (Hidayat,
2005). Selain itu, mempersiapkan anak untuk dirawat di rumah sakit juga
perlu dilakukan.
Pesiapan hospitalisasi yang dapat dilakukan dengan tour keliling
rumah sakit, pertunjukan menggunakan boneka dan permainan yang
menggunakan miniatur peralatan rumah sakit yang akan dijumpai saat
proses perawatan. Persiapan dapat menggunakan buku-buku, video atau
film yang menceritakan kondisi di rumah sakit (Wong, et al, 2009).
b. Meminimalkan kehilangan kontrol dan otonomi.
Hospitalisasi pada anak merupakan proses yang dapat
menimbulkan tekanan serta berdampak negatif. Manfaat utama dari
hospitalisasi adalah penyembuhan dari penyakit, disamping itu
hospitalisasi juga dapat memberikan kesempatan kepada anak untuk
belajar menghadapi stres dan merasa kompeten dengan kemampuan
koping yang ia miliki. Lingkungan rumah sakit mampu memfasilitasi
anak untuk mengenal pengalaman baru bersosialisasi yang dapat
memperluas hubungan interpersonal anak. Untuk meminimalkan
kehilangan kendali pada anak ketika hospitalisasi dapat dilakukan dengan
beberapa cara antara lain meningkatkan kebebasan bergerak bagi anak
kecil terutama bayi dan toddler, mempertahankan rutinitas anak,
mendorong kemandirian dan meningkatkan pemahaman (Wong, et al,
2009).
Bermain adalah salah satu alat paling efektif untuk mengatasi stress
pada anak yang sedang mengalami hospitalisasi. Karena hospitalisasi
menimbulkan krisis dalam kehidupan anak, dan sering disertai stress
berlebihan, maka anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa
takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam
menghadapi stress (Wong, et al, 2009). Manfaat bermain dirumah sakit
adalah memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi. Bentuk
permainan disesuaikan dengan usia anak seperti pada anak kecil
menyukai berbagai mainan yang kecil dan berwarna-warni yang dapat
mereka mainkan di tempat tidur dan menjadi bagian dari ruang bermain
dirumah sakit (Wong, et al, 2009).
Menurut Supartini (2004), terapi bermain yang dilakukan di rumah
sakit harus memperhatikan kesehatan anak. Ada beberapa prinsip
permainan pada anak di rumah sakit. Pertama, permainan tidak boleh
bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan oleh anak.
Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang dapat
dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain dengan
kelompoknya di tempat bermain khusus yang ada di ruang rawat. Kedua,
permainan yang tidak membutuhkan banyak energy, singkat dan
sederhana. Pilih jenis permainan yang tidak melelahkan anak,
menggunakan alat permainan yang ada pada anak atau yang tersedia di
ruangan.
Ketiga, permaian harus memperhatikan keamanan dan
kenyamanan. Anak kecil perlu rasa nyaman dan yakin terhadap benda-
benda yang dikenalnya, seperti boneka yang dipeluk anak untuk member
rasa nyaman dan dibawa ke tempat tidur di malam hari (Wong, et al,
2009).
Tehnik bermain untuk anak yang dirawat di rumah sakit adalah
menyediakan alat permainan dan memberikan waktu yang cukup pada
anak untuk bermain dan menghindari interupsi dengan apa yang
dilakukan anak. Meskipun perawatan diri terbatas pada usia dan kondisi
anak, kebanyakan anak usia bayi dapat melakukan aktivitas dengan
sedikit atau tanpa bantuan. Pendekatan lain mencakup pakaian dan
makan bersama-sama, menyususn waktu dan melanjutkan aktivitas
sekolah (Wong, et al,2009).
Bermain pada anak dapat diterapkan pada prosedur atau yang
melibatkan kegiatan rutin rumah sakit dan lingkungan adalah dengan
menggunakan permainan bahasa, misalnya dengan mengenalkan gambar
dan kata-kata yang berhubungan dengan rumah sakit, serta orang-orang
dan tempat sekitar. Kemudian memberikan kesempatan pada anak untuk
menulis, menggambar dan mengilustrasikan cerita (Wong, et al, 2009).
Bermain dalam prosedur rumah sakit dapat dilakukan dengan cara
penerapan pemahaman anak dengan memberikan ilmu pengetahuan.
Tutorial yang khusus yang diterima anak dapat membantu mereka
meningkatkan pelajarannya dan berkonsentrasi pada objek-objek yang
sulit, misalnya dengan mengajarkan anak sistem tubuh, lalu buatkan
gambarnya, dan anjurkan anak mengidentifikasi sistem tubuh yang
melibatkan masalah kedokteran. Contoh lain dengan menjelaskan nutrisi
secara umum dan alasan menggunakan diet, serta mendiskusikan tentang
pengobatan anak (Wong, et al, 2009).
Sedangkan aktivitas bermain pada anak dapat diterapkan pada
prosedur khusus dengan menggunakan cangkir obat kecil dan didekorasi,
memberikan minuman yang dicampur pewarna minuman dengan
menggunakan sedotan yang menarik. Hal ini memberikan arti pentingnya
intake cairan bagi anak. Untuk melatih pernafasan anak, perawat dapat
memberikan balon untuk ditiup atau mengajarkan anak membuat
gelembung dengan air (Wong, et al, 2009). Untuk melatih pergerakan
ekstremitas anak, perawat dapat mengajarkan ROM dengan cara
menggantungkan bola di atas tempat tidur anak dan suruh untuk
menendang atau mengajarkan anak untuk mengulangi gerakan kupu-
kupu dan burung (Wong, et al, 2009).
Untuk mengurangi stress pada anak yang dilakukan injeksi perawat
dapat melatih anak dengan membiarkan memegang syringe yang bersih
tanpa jarum dan mengajarkan anak menggambar seorang anak telah
diberikan suntikan (Wong, et al, 2009).
c. Mencegah dan meminimalkan cidera tubuh dan adanya nyeri.
Anak akan dihantui rasa takut akan nyeri dalam menghadapi
prosedur yang menyakitkan. Teknik manipulasi prosedur untuk setiap
kelompok umur dapat meminimalkan ketakutan terhadap cedera tubuh.
Intervensi yang mendukung adalah dengan prosedur secepat mungkin
dan mempertahankan kontak orang tua dengan anak (Wong, et al, 2009).

B. Perilaku Caring Perawat


1. Definisi
Caring adalah suatu kemampuan untuk berdedikasi bagi orang lain,
pengawasan dengan waspada, menunjukan perhatian, perasaan empati pada
orang lain dan perasaan cinta atau menyayangi yang merupakan kehendak
keperawatan (Potter & Perry, 2005). Caring dapat diartikan sebagai
tindakan yang bertujuan memberikan asuhan fisik dan memperhatikan
emosi dengan meningkatkan rasa aman dan keselamatan klien. Caring juga
merupakan sikap peduli, menghormati dan menghargai orang lain
(Dwidiyanti, 2007).
Perilaku caring adalah suatu tindakan yang dilakukan dalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh (Dwidiyanti, 2007).
Caring dalam keperawatan adalah fenomena transkultural dimana perawat
berinteraksi dengan klien, staf dan kelompok lain. Memberikan asuhan
(caring) secara sederhana tidak hanya sebuah perasaan emosional atau
tingkah laku sederhana, karena caring merupakan kepedulian untuk
mencapai perawatan yang lebih baik, perilaku caring bertujuan dan
berfungsi membangun struktur sosial, pandangan dan nilai kultur setiap
orang yang berbeda pada satu tempat dengan tempat lain (Dwidiyanti,
2007). Maka akan mempengaruhi kinerja perawat khususnya perilaku
caring menjadi sangat penting dalam mempengaruhi kualitas pelayanan dan
kepuasan pasien terutama di rumah sakit (Potter & Perry, 2005).

2. Indikator Perilaku Caring


Menurut Watson dalam Kaltara (2009) perilaku caring ini harus
tercermin sepuluh faktor karatif yang berasal dari perpaduan nilai-nilai
humanistik dengan ilmu pengetahuan dasar. Faktor karatif membantu
perawat untuk menghargai manusia dari dimensi pekerjaan perawat,
kehidupan, dan dari pengalaman nyata berinteraksi dengan orang lain
sehingga tercapai kepuasan dalam melayani dan membantu klien. 10 faktor
karatif tersebut adalah sebagai berikut :
a. Membentuk sistem nilai humanistik-altruistik
Humanistik-altruistik dibangun dari pengalaman, belajar dan upaya-
upaya mengembangkan sikap humanis. Perawat menerapkan perilaku
kasih sayang, kebaikan dan ketenangan dalam konteks kesadaran
terhadap caring. Manifestasi caring perawat pada pengertian humanitik
adalah memanggil nama dengan panggilan kesenangan, selalu
mendengarkan keluhan anak dan kebutuhan anak. Perawat membuat anak
merasa nyaman berbicara dengan suara lembut atau menyayangi dengan
lembut atau dan dengan kontak fisik seperti memegang, memeluk,
menyentuh, serta mencium ( Potter & Perry, 2005).
b. Menanamkan keyakinan dan harapan
Perawat menggunakan kekuatan sugestif secara positif untuk
memberikan dukungan kepada pasien untuk yakin mendapat
kesembuhan. Hal ini harus diawali dari keyakinan dalam diri perawat
sendiri bahwa dengan sentuhannya pasien akan dapat sembuh.
Pengalaman dalam pelayanan memberikan kekuatan bahwa peran
perawat merupakan variabel penting untuk memberikan kepuasan dan
kesembuhan.
Perawat hadir dengan mewujudkan dan mempertahankan sistem
kepercayaan kepada klien.Kita tidak dapat mengabaikan pentingnya
suatu keyakinan dan pengharapan yang ada pada kehidupan terutama
ketika klien merasa kehilangan dan putus asa. Pengembangan hubungan
yang efektif antara klien dan perawat maka akan terjalin suatu nilai
kepercayaan dan keyakinan yang kuat dari dalam diri klien (Asmadi,
2008). Manifestasi perilaku caring perawat adalah memotivasi pasien
dan mendorong pasien mencari alternatif terapi secara rasional,
memotivasi pasien untuk menghadapi penyakitnya walaupun
penyakitnya termasuk terminal (Watson, 2008).
c. Mengembangkan sensitivitas terhadap diri sendiri dan orang lain
Ditumbuhkan dengan cara mengembangkan perasaan diri, merasakan
emosi, meningkatkan sensitivitas dalam berinteraksi dengan orang lain.
Dalam hal ini perawat dituntut untuk mengembangkan sensitivitas
terhadap klien. Apabila nilai tersebut sudah dikembangkan oleh perawat
maka dalam pemberian pelayanan perawat menjadi lebih sensitif dan
bersikap wajar kepada klien. Manifestasi perilaku caring perawat adalah
bersikap empati dan mampu menempatkan diri pada posisi klien, ikut
merasakan dan prihatin terhadap penderitaan yang diungkapkan klien
serta siap membantu setiap saat (Muhlisin & Ichsan, 2008).
d. Membina hubungan saling percaya dan saling membantu
Hubungan yang harmonis haruslah terjalin secara terbuka, jujur dan tidak
dibuat-buat (Asmadi, 2008). Perawat memberikan informasi dengan jujur
dan selalu memperhatikan klien dengan sikap empati yaitu turut
merasakan apa yang klien rasakan (Muhlisin & Ichsan, 2008).
Membangun nilai kepercayaan pada anak adalah membiarkan anak
mengobservasi hubungan yang ramah antara orang tua dan perawat
sebelum secara langsung mendekati anak. Perawat yang ramah dan
informatif, mendengarkan dengan baik tentang kekhawatiran keluarga
dan tidak menakutkan bagi anak telah membentuk dasar untuk hubungan
yang positf (Potter & Perry, 2005).
e. Mempromosikan dalam penerimaan terhadap ekspresi perasaan positif
dan negatif
Perawat harus siap menampung dan mendukung perasaan negatif dan
positif yang timbul dari diri klien. Berbagi perasaan merupakan
pengalaman yang baik bagi perawat dan klien. Perawat harus
menggunakan intelektual maupun emosional yang mereka miliki pada
saat keadaan yang berbeda. Saat klien mengeluhkan tentang masalah dan
perasaan, perawat dapat memberikan waktunya untuk mendengarkan apa
yang dikeluhkan oleh klien. Perawat dapat memotivasi pasien untuk
mengungkapkan perasaannya baik positif maupun negatif seperti
memberikan keyakinan kepada anak-anak bahwa tidak mengapa jika
menangis (Potter & Perry, 2005).
f. Membantu menyelesaikan masalah dan mengambil keputusan
Perawat menggunakan metode proses keperawatan sebagai pola pikir dan
pendekatan kepada klien. Perawat secara kreatif menggunakan diri
sendiri dab cara yang diketahui untuk terlibat dalam proses caring-
healing yang artristik (Muhlisin & Ichsan, 2008). Manifestasi perawat
dapat melibatkan anak dan keluarga dalam perencanaan perawatan dari
saat pertama dalam pertemuan pertama (Ricci & Kyle, 2009).
g. Mengajarkan hubungan interpersonal
Perawat dituntut agar memberikan pengajaran kepada klien untuk dapat
menetapkan kebutuhan pribadi dan memberikan kesempatan untuk
pertumbuhan personal klien (Muhlisin & Ichsan, 2008). Perawat
memberdayakan keluarga dan anak dengan memberikan pengetahuan
segala sesuatu yang tidak dipahami (Ricci & Kyle, 2009).
h. Menetapkan untuk mendukung perlindungan, perbaikan budaya sosial
dan spiritual
Perawat perlu mengenali pengaruh lingkungan internal dan eksternal
klien tehadap kondisi kesehatan klien. Perlunya memodifikasi
lingkungan fisik agar tidak menakutkan. Modofikasi lingkungan tersebut
dapat berupa mendesainnya seperti rumah, yaitu penataan dan dekorasi
yang bernuansa anak misalnya, menggunakan alat tenun dan tirai
bergambar bunga atau binatang lucu, hiasan di dinding bergambar dunia
binatang, papan nama pasien bergambar lucu, tangga dicat warna-warni
(Supartini, 2004).
i. Membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Nilai ini merupakan suatu kebutuhan yang memang diperlukan oleh
klien. Seorang perawat harus mengetahui kebutuhan yang komprehensif.
Kebutuhan dasar menurut Watson terdiri dari:
1) Survival needs ( biophisycal needs )
2) Fungsional needs ( phychophisical needs )
3) Integratif needs ( phychososial needs )
4) Growth-seeking needs ( intrapersonal-interpersonal needs )
j. Mengembangkan faktor kekuatan eksistensial-fenomenologis
Klien terkadang harus dihadapkan pada pengalaman yang bersifat
provokatif dengan tujuan agar klien dapat meningkatkan pemahaman
lebih mendalam tentang diri sendiri (Muhlisin & Ichsan, 2008). Nilai
eksistensi dan fenomenologis dapat menjadikan seorang klien siap dan
mempunyai kekuatan dalam menghadapi kehidupan yang nyata dan
kematian (Asmadi, 2008).
Perilaku perawat dibutuhkan dalam care giver terutama pada anak-
anak dengan hospitalisasi. Karena anak yang menjalani hospitalisasi akan
mengalami distress psikis yang meliputi kecemasan, ketakutan,
kemarahan, kekecewaan, kesedihan, malu, atau rasa bersalah. Caring
hadir sebagai suatu pendekatan yang dinamis dimana perawat bekerja
untuk lebih meningkatkan kualitas dan kepedulian kepada klien. Perawat
yang berperilaku caring berarti perawat tersebut sudah memberikan
pelayanan yang lebih baik kepada pasien. Perilaku caring berarti perawat
bersikap empati, memberi dukungan, simpati serta perlindungan kepada
pasien karena perilaku caring perawat dapat mempengaruhi kepuasan
pasien (Wong, et al, 2009).

C. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah perilaku caring perawat dalam mengatasi stres
hospitalisasi
D. Kerangka Teori
Hospitalisasi pada anak

Stressor hospitalisasi anak

1. Cemas akibat perpisahan


Perilaku perawat dalam mengatasi stressor
2. Kehilangan kontrol dan otonomi
hospitalisasi pada anak
3. Cidera tubuh dan adanya nyeri
1. Meminimalkan pengaruh cemas akibat
perpisahan
2. Meminimalkan kehilangan kontrol dan
otonomi Perilaku Caring Perawat
3. Mencegah dan meminimalkan cidera
tubuh dan adanya nyeri

Skema 2.1. Kerangka Teori

E. Kerangka Konsep

Perilaku Caring Perawat Stres Hospitalisasi

Skema 2.2. Kerangka Konsep

F. Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,
objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang diterapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (Sugiyono, 2012).
Variabel yang terdapat dalam penelitian ini adalah perilaku caring perawat
dalam mengatasi stress hospitalisasi anak

Anda mungkin juga menyukai