Anda di halaman 1dari 3

RILIS MEDIA

TANGGAPAN CIVITAS AKADEMIKA FAKULTAS HUKUM UGM


ATAS GUGATAN UJI MATERIIL UU NOMOR 32 TAHUN 2009
TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar konstitusional kita
telah menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak
konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia [Pasal 28H ayat (1)]. Peraturan tentang
Lingkungan Hidup yang telah mengalami dinamika sejak 1982 merupakan satu instrument yang
sangat dibutuhkan guna perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan
pembangunan berkelanjutan, agar lingkungan dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup
bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.
2. Dengan karakteristik lingkungan hidup yang dinamis dan kompleks, pengaturan tentang lingkungan
hidup disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek untuk dapat menjadi kerangka
pengaturan yang memayungi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Termasuk di antaranya ketentuan untuk memperhatikan kearifan lokal sebagai bentuk pengakuan,
penghormatan, dan perlindungan hukum terhadap masyarakat hukum adat sebagaimana
diamanatkan di dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D Ayat (1).
3. Kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang membersamai masyarakat di Nusantara dalam kurun
waktu lama dan dilestarikan secara turun temurun antar generasi. Nilai kearifan lokal wajib dijaga
keutuhannya secara harmonis, tanpa dipertentangkan dengan ketidakarifan nasional maupun global
yang sarat dengan kepentingan politik dan kapital. Demikian halnya dengan kearifan lokal seperti
Nataki (salah satunya), pembukaan lahan dengan membakar lahan yang telah dipraktekkan turun
temurun pada masyarakat Adat Dayak, perlu diakomodasi secara sungguh-sungguh oleh Pemerintah
agar sejalan dengan semangat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Penjabaran
pengaturan inilah yang diperlukan untuk mewadahi kearifan lokal dalam koridor hukum nasional,
tidak dengan mengebirinya.
4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
merupakan wujud nyata pengakuan dan jaminan perlindungan hukum bagi warga negara untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan bersih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia
sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 28H Ayat (1) UUD 1945. Sedemikian, ketentuan Tanggung
Jawab Mutlak (Strict Liability) yang ada difungsikan untuk melindungi warga negara atas risiko serius
atau ancaman bahaya dari suatu aktivitas usaha dan/atau kegiatan yang mana pengetahuan atau
informasi yang dimiliki oleh warga masyarakat adalah asimetris dengan informasi yang dimiliki oleh
pelaku usaha dan/atau kegiatan.
5. Perkembangan strict liability, yang dimulai sejak tahun 1868 pada putusan kasus Rylands v. Fletcher
di Inggris, didasarkan pada isu permasalahan sulitnya pembuktian dalam perkara lingkungan
maupun karakter lingkungan hidup yang sulit untuk diprediksi. Pada aras kepentingan ini, konsep
strict liability diawali dari burden-shifting doctrine, yang mana membebaskan penggugat dari beban
pembuktian. Fakta-fakta yang ada bahwa suatu bahaya, dampak negatif atau kerugian dari suatu
aktivitas pada lingkungan telah terjadi merupakan bukti yang cukup atas pelanggaran kewajiban
hukum tergugat (res ipsa loquitur).
6. Dalam perkembangan konsepnya, pertanggungjawaban berbasis strict liability dilekatkan pada suatu
sifat aktivitas usaha dan/atau kegiatan yang sangat berbahaya (extra-hazardous) maupun memiliki
risiko serius terhadap manusia dan lingkungan (risk of serious harm). Atas aras kepentingan ini strict
liability kemudian dimaknai sebagai pertanggungjawaban hukum yang melekat pada sifat dari suatu
aktivitas usaha dan/atau kegiatan, yang akan timbul seketika pada saat terjadinya perbuatan, tanpa
mempersoalkan terlebih dahulu kesalahan tergugat. Tanggung jawab dari tergugatlah untuk
membuktikan apakah dia semestinya bertanggungjawab atau tidak atas suatu bahaya atau kerugian
yang terjadi.
7. Pengalihan beban tanggung jawab pada tergugat pada dasarnya menjadi perlindungan hukum bagi
tergugat, dikarenakan dia memiliki kebebasan untuk menyampaikan bukti mengenai penaatan
hukum atau upaya pencegahan yang telah dilakukan, yang mana dalam hal penaatan hukum ini
telah dilakukan, maka semestinya bahaya atau kerugian tidak akan terjadi atau dapat dicegah.
Dalam banyak kasus, terlebih terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam (SDA), tergugat lah
yang lebih mengetahui tentang aktivitas usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan beserta dampak
atau risiko bahaya yang dapat ditimbulkan. Pada konteks inilah, perlu untuk mendorong segeranya
pengaturan tentang asuransi lingkungan sebagai bagian dari instrumen ekonomi lingkungan hidup.
8. Dari aspek peristilahan, “tanggung jawab mutlak” secara teoritikal memang tidak tepat untuk
menterjemahkan “strict liability”. Diksi “mutlak” lebih condong ke istilah Bahasa Inggris “absolute”
daripada “strict”. Dalam absolute liability yang dilekatkan adalah pada kewajiban atau tanggung
jawab untuk mengganti kerugian secara penuh/mutlak tanpa adanya batasan nilai ganti
kerugiannya. Namun demikian tanpa adanya pengalihan beban pembuktian, yang berbeda dengan
strict liability (tanggung jawab dilekatkan berdasarkan sifat berbahaya atau risiko kegiatan, dan
dengan beban pembuktian terbalik). Pada poin ini, pendapat Prof St. Munadjat Danusaputro yang
menyebut strict liability sebagai “tanggung jawab langsung dan seketika” akan lebih tepat dilekatkan
pada pemahaman tentang strict liability. Akan menjadi kemunduran hukum nasional, pada saat
ketentuan mengenai strict liability justru dikerdilkan dengan pemahaman yang menyamakan konsep
tersebut dengan konsep pertanggung-jawaban hukum pada umumnya (liability based on fault) yang
notabene taksonomi doktrinnya berbeda.
9. Indonesia belum mengenal penerapan strict liability ini untuk ketentuan pidana. Pada ketentuan
pidana yang terdapat pada UUPPLH, lebih mengedepankan delik formil yang menekankan pada
perbuatan pelanggaran ketentuan yang tercantum pada pasal suatu peraturan. Delik formil ini
identik dengan konsep administrative dependent crimes yang mana perbuatan pidana berupa
pencemaran atau perusakan lingkungan hidup berkorelasi secara signifikan dengan penaatan hukum
administrasi yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau kegiatan. Pada tataran
ini, unsur “kelalaian” pun dapat terpenuhi dalam hal tidak sesuai dengan kewajiban pemantauan
dan/atau pengelolaan lingkungan hidup yang telah tertuang di dalam dokumen lingkungan hidup
suatu usaha dan/atau kegiatan.

Dengan demikian, menyikapi adanya gugatan pengujian undang-undang (judicial review) yang diajukan
atas Pasal 69 Ayat (2), Pasal 88, dan Pasal 99 UUPPLH, Civitas Akademika Fakultas Hukum UGM
menyatakan sikap akademis sebagai berikut:

a. Konsep hukum dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup memiliki sekian kekhususan
(lex specialis), termasuk pengakuan nilai kearifan lokal maupun konsep tanggung jawab mutlak, yang
perlu diperkuat dalam penafsiran dan penerapannya. Bukan malah justru dijadikan “kambing hitam”
bagi tanggungjawab usaha dan/atau kegiatan berbasis lahan oleh korporasi skala besar.
b. Konsep strict liability merupakan doktrin pertanggungjawaban yang berlaku secara universal dan
telah diterima oleh komunitas internasional beradab. Dengan melihat dinamika pemanfaatan
lingkungan dan SDA yang semakin kompleks yang mempunyai resiko yang besar terhadap ekologi
dan sosial, maka sudah seyogyanya konsep strict liability sebagai instrument perlindungan
lingkungan harus tetap dipertahankan melengkapi doktrin konvensional yang ada (liability based on
fault). Bukan malah justru dipermasalahkan seolah bertentangan, padahal secara genetis doktrinnya
memang berbeda.
c. Atas dasar pertimbangan tersebut, selanjutnya kami Fakultas Hukum UGM menyerukan:
1) kepada semua elemen perguruan tinggi untuk dapat berkontribusi dalam menyampaikan sikap
kritis akademis terkait potensi pelemahan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup dan SDA maupun penegakan hukumnya; dan
2) kesiapan sebagai sivitas akademika untuk berperan aktif sebagai “amicus curiae” dalam
meneguhkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan SDA,
sebagaimana halnya konsep tanggung jawab mutlak ini.

Yogyakarta, 31 Mei 2017

Atas Nama Civitas Akademika


Fakultas Hukum UGM

Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum UGM Departemen Hukum Lingkungan


1. Muhaimin, S.H, C.N. (Direktur) 1. Dr. Harry Supriyono, S.H, M.Si. (Ketua)
2. Hasrul Halili, S.H, M.A. (Sekretaris) 2. Dr. Fajar Winarni, S.H, M.Hum. (Sekretaris)
3. Totok Dwi Diantoro, S.H, M.A, LL.M
4. Wahyu Yun Santoso, S.H, M.Hum, LL.M
5. Dinarjati Eka Puspitasari, S.H, M.Hum
6. Agung Wardhana, S.H, LL.M, Ph.D
Narahubung:
Hasrul Halili (087839211605)
Totok Dwi Diantoro (08122963906)
Wahyu Yun Santoso (081328605445)

Anda mungkin juga menyukai