Anda di halaman 1dari 7

Detik ini rinai hujan turun membasahi semesta ku beriringan dengan cucuran air

mataku yang tak dapat dibendung lagi. Deru guntur memainkan bunyi dalam otakku.
Gemilir angin menusuk sampai di relung hatiku. Kata demi kata, tawar menawar
mencari alasan agar tetap tinggal namun semua itu hanya meninggalkan ucapan
selamat tinggal. Bunga cinta yang dulu mekar nan indah, sekarang duri dari bunga itu
sendiri yang menusuk mahkota bunga cintaku, kumbangpun tak bersedia hinggap.
Patah hati itu nyeri

Patah hati itu pedih

Patah hati itu perih

Patah hati itu duri

Pelarian #1

Selepas peristiwa itu, hatiku yang terempas-empas seperti perahu kertas dalam
gelombang air pasang, luka yang masih mengampas seperti ampas-ampas serbuk sari
pada bunga, aku yang kecewa, aku yang terluka. mulai melangkah keluar dengan
topeng tawa yang telah terpasang. Semesta ternyata tengah berteman denganku,
kusetel lagu ungu sepanjang perjalanan.

Mobilku melaju dan berhenti di pantai yang sesekali aku kunjungi bersama dia.
Kutatap keluar jendela ada segerombolan ombak berjajar yang memaksaku keluar
untuk menari -nari bersama.

Kubuka pintu dan berjalan keluar untuk menyapa kawan tempo dulu, yang sempat
mendengar Dia berbisik katanya Dia sangat amat mencintaiku. Burung-burung pun
bersenandung mengiringi aku yang mulai menari-nari bersama ombak.
Setelah puas menari-nari, aku berjalan mengarah ayunan kayu unyu di bawa pohon
dekat pesisir pantai. Di situ ada bocah tengah memanjat pohon kelapa, dia
menurunkan dua buah kelapa.

Dia menyodorkan satu buah kelapa kepadaku, kami pun minum bersama sembari
bercerita kisah yang telah berlalu. Dia menunjuk lautan itu dan mulai bercerita, di
sana dia harus menjumpai kenyataan ayahanda telah tiada. Dia merintih tersedu
cucuran air matanya luruh meredam rindu akan potret ayahanda. Bibirku membeku,
hanya bersua berbicara pada jiwa, terpaan gelombang badai hidupnya lebih hebat
dibandingkan cerita cintaku.

Kami membisu tanpa kata hingga mentari mengucapkan salam perpisahan yang
indah untuk kami berdua.

Pelarian #2

Detik ini aku sudah mulai berani menyapa sahabat-sahabatku, berhari-hari selepas
kejadian itu aku terus-menerus berkawan dengan semestaku sendiri.

Aku tiba dahulu di kedai kopi tempat kami bakal berjumpa. Aku yang pemalu,
memilih duduk di kursi di pojok cafe itu, kupesan secangkir kopi hitam dan sepiring
timtam.

Aku melihat-lihat keluar jendela sembari melamun. Tanpa kusadari, sedari tadi
pesananku telah tersedia di atas meja. Kucicip sedikit coklat timtam, kucicip kopi
hitam dan kembali melihat keluar dengan tatapan yang kosong. Barista yang sedari
tadi mengawasi gerak gerikku, dia menuju mejaku dan menyelipkan secarik kertas
dengan tulisan. Kemudian dia pergi tanpa menyapa aku yang tak menyadari
kedatangannya. Aku terbangun dari lamunan, kaget dengan dering ponsel dari
sahabat-sahabatku, mereka sementara terkena macet. Ketika aku hendak minum
kopi, mataku tertuju akan secarik kertas , aku pun terkekeh membaca tulisan itu dan
melempar senyum untuk Barista itu. Senyum Barista itu bagaikan lukisan indah sang
mentari yang akan terbenam membuat hati tentram dan mataku nakal bagaikan cctv
yang terus memamtaunya.

Sahabat-sahabatku telah sampai dan kami melepas rindu. Di akhir pertemuan kami,
kami sepakat untuk pergi berlibur.

Pelarian #3

Waisai banyak telinga telah mengindahkan tempat ini, pijakan kaki kami disongsong
dengan senyuman manis dan lambaian tangan dari sang senja.

Di sini ini tak ada sinyal, tak bisa mengadu rindu, tak bisa bertegur sapa dengan dunia
maya. Sejenak kami mengenang warna warni pelangi persahabatan kami di masa
putih abu-abu.

Detik ini rupa rupanya kami tak berkawan dengan ombak , ombak detik ini menerpa
jantung kami yang mencetuskan bunyi dag-dig-dug.

Keelokan Piainemo melenakan indra penglihatan, terlampau alangkah berterima


kasih pada Semesta atas ciptaan. Pijakan demi pijakan kami songsong kendati surya
menyinggung kepala kami, demi ujung tertinggi, demi penenang hati. Lelah kami,
peluh kami impas oleh panorama Piainemo.

Pelarian #4

Jalur yang menanjak, penopang yang payah, semesta yang kelam, nyaris
menggagalkan angan-anganku bersua dengan sang mentari. Energiku rujuk kala
teriakan motivasi kawanku terbetik pada indra pendengaran.

Aroma sedap mie instan terhirup indra penciuman, ini isyarat kami telah menjejakan
kaki pada sabana zona mendirikan tenda.

Kurebahkan badan dalam kemah yang sudah terpasang, aku lelap tak menghiraukan
angin yang sedang mengajak bercanda , menggelitik kaki, tangan, dan mukaku yang
telah diselimuti oleh selimut kepompongku.

Aku terjaga oleh binar mentari yang tampak laksmi pula mendesak aku guna
menangkap potret bersamanya.

Aku bahagia dapat menatap mentari demikian dekap sekalipun sang mentari akan
berlalu namun mentari akan kembali berbinar-binar keesokan hari.

Sekalipun tertatih-tatih, aku berhasil menaklukan gunung ini bersama-sama


kawan-kawan seperjalanan.

Aku berlari-lari mengejar awan hingga puncak namum aku menyadari semakin awan
dikejar, awan itu akan terus menerus bergerak.

Pelarian #5

Saat itu aku dibuat mabuk dengan setiap perlakuan manis darinya, bunga-bunga
cintapun bermekaran di taman hatiku. Kenyakinanku berkata Lelaki ini dapat
menyembuhkan luka hatiku yang belum benar-benar pulih. Aku terlalu
mendewa-dewakan cinta, terlalu mendewa-dewakan dia tanpa bertanya pada
Tuhan-ku apakah dia jodohku? Cinta berakhir dengan duka nestapa, hatiku kembali
terluka, pisau penghianatan kembali tertancap tepat di bekas lukaku. Jika saat itu
kutanyakan pada Tuhan-ku, aku tak akan terluka lagi. Aku salah, aku tak menghargai
hatiku yang sudah bersusah payah untuk sembuh. Lagi-lagi aku salah, aku merasa
bersalah pada hatiku. Gelombang badai itu menghempaskanku jauh pada tempat
yang gelap, gulita dan kelam tak ada secercah cahaya di sana.

Pelarian #6

Aku terkurung dalam lorong gelap, yang begitu suram nan misterius. Berusaha
mencari ujung lorong dengan secercah cahaya namun mata dan kaki tak mampu. Aku
berlutut menangis sejadi-jadinya mencari Dia yang selama ini aku lupakan, mencari
Dia jawaban setiap masalahku, mencari Dia pijaran kasih sayang yang tulus. Tuhan,
Tuhan, Tuhan jeritan hatiku memanggil manggil nama-Nya. Jauh di dalam dasar hati
yang kelam, aku benar-benar merindukkan peluk hangat kasih-Nya. Bayangan kelam
datang menghantuiku, menghempasku lebih dalam lagi dengan tawa dan
teriakan ,Dia tak akan datang, Dia tak akan mampu menolong mu, tempat ini terlalu
kotor bagi-Nya Mungkin benar Dia tak akan datang, harapanku sirna. Dalam jiwaku
bersua mentari saja tak lagi mau bersinar, bintang malam pun tak menampakan
mukanya , bulan saja bersembunyi dibalik semestaku, apalagi Dia, mungkin Dia tak
akan datang menjumpaiku. Aku bermain-main dengan kegelapan, kami tertawa
bersama, menertawakan semesta yang tak berpihak pada kami. Akhirnya aku lelah
bermain-main dengan kegelapan, dia tak tulus menjadi kawanku, dia
mempermainkanku, meninggalkan aku begitu saja dengan keterpurukanku yang
semakin menjadi jadi.

Tangisku menjadi jadi, aku tersungkur tak mampu bertatap mata dengan Sosok yang
penuh dengan cahaya di depanku, terlampau suci bahkan jubahnya saja tak dapat
aku sentuh. Dia membungkuk dan mengarahkan tangan-Nya menarikku dalam
pelukan-Nya. Hatiku tentram, jiwaku damai, begitu tenang dalam pelukkan-Nya. Aku
dibuat-Nya tertidur pulas dalam pangkuan-Nya. Bangun merpati-Ku, sayap patahmu
telah Aku pulihkan, terbanglah kemanapun engkau mau, Aku akan terus
menyertaimu.

Aku terbangun dari mimpiku, luka, tangis, air mata tak lagi kurasakan. Kata-kataku
mulai menari-nari dalam doaku kepada Sang Raja di Singgasana-Nya.

Pelarian #7

Sayapku terlalu berani untuk terbang jauh ke negeri yang asing, bahasanya pun tak
aku pahami bahkan aku tak pernah terbang sejauh ini dari sangkarku namun Tuhan
telah membuat janji denganku dan aku percaya Dia tak akan ingkar janji.

Aku memulai kehidupanku, bertemu kawan yang baru, tempat tinggal yang baru,
suasana yang baru, dan komunitas yang baru. Imanku semakin bertumbuh setelah
aku bergabung dalam komunitas sel. Komunitas yang luarbiasa, membangun dalam
iman, mengasihi dalam kasih. Doa menjadi kekuatan kami, dikala kami sepi, rindu,
dan susah.

Di sini, di tempat ini aku mulai merasakan kasih mula-mulaku, jatuh cinta terhebatku
pada Tuhan, aku mengalami perjumpaan pribadi dengan Tuhan, aku menangis
sejadi-jadinya, air mataku bercucuran, aku bernyanyi melantunkan kidung pujian, aku
berkata-kata dalam bahasa yang tak dapat aku mengerti, aku tak mampu membuka
mataku sebab sinar itu begitu terang bercahaya, aku sungguh-sungguh
menyembahNya dan teduh dalam doaku

Untuk kamu yang sedang patah hati

Jika hatimu dipatahkan, jangan takut kamu masih punya jemari untuk dilipat,
penyanggah untuk berlutut dan mulut untuk memainkan melodi sedih pada Tuhan
mu, biarkan cucuran air mata itu menyatu dengan angin dan mengeringkannya.
Untuk hatimu biarkan Tuhan memperbaiki kepingan itu dan menggantinya dengan
kepingan murni hati-Nya.
Untuk kamu yang sedang menjalin kasih

Rawatlah kekasihmu dalam setiap doamu pada Tuhan agar selalu ada amin untuk
suatu hubungan yang direstui dan tak akan gampang untuk patah.

Detik ini sampai nanti detik terakhir hidupku, aku berjanji mau terus jatuh cinta
sungguh-sungguh pada Sang Raja yang memesonaku.

Anda mungkin juga menyukai