Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Jawab : steady state adalah suatu keadaan dimana laju obat yang meninggalkan tubuh
sama dengan laju obat yang masuk tubuh, dengan kata lain tidak ada penambahan
jumlah obat dalam tubuh
Laju masukan obat = Laju keluaran obat
(laju infusi) (laju eliminasi)
(Shargel, p.107)
10. Kapan terjadi steady state ? Apakah parameternya ?
Jawab : Secara matematis, waktu untuk mencapai konsentrasi keadaan tunak
membutuhkan waktu tak terhingga. Waktu yang diperlukan untuk mencapai
konsentrasi obat tunak dalam plasma bergantung pada tetapan laju eliminasi obat
untuk volume distribusi yang konstan. Keadaan steady state tercapai ketika laju obat
yang meninggalkan tubuh sama dengan laju obat yang masuk tubuh, dengan kata lain
tidak ada penambahan jumlah obat dalam tubuh .
Parameternya :
R = laju infus (mg/jam)
k = tetapan laju eliminasi (/jam)
Vd = volume distribusi(L)
Cpss = konsentrasi obat tunak (mg/L)
Cl = klirens obat
11. Apa yang dimaksud dengan accumulation factor ? Jelaskan rumusnya !
Accumulaton factor
D𝟎/VD[1/(1 − 𝑒 −𝑘𝑡 )]
𝑅=
𝐷𝟎/𝑉D
1
𝑅=
1 − 𝑒 −𝑘𝑡
Keterangan :
R : Faktor akumulasi
D0 : Dosis obat (mg)
VD : Volume distribusi (liter)
e : Intersep pada sumbu y dari grafik yang menghubungkan respons farmakologi
ke log konsentrasi obat
k : Tetapan laju eliminasi obat (/jam)
t : Waktu (jam)
Akumulasi obat yang diukur dengan indeks R bergantung pada tetapan eliminasi dan
jarak waktu pemberian dosis dan tidak bergantung pada dosis. Untuk suatu obat yang
diberikan dalam dosis oral berulang, waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan
tunak bergantung pada waktu paruh eliminasi obat, dan tidak bergantung ukuran
dosis, panjangnya jarak pemberian dan jumlah dosis.
(Shargel ed. 5, hal. 188)
12. Bagaimana rumus untuk menghitung pemberian infus sebelum dan setelah steady
state tercapai ? Cantumkan gambarnya !
Sebelum steady state
𝑅
Rumus : 𝐶𝑝 = (1 − 𝑒 −𝑘𝑡 )
𝑉𝑑.𝑘
Keterangan :
R = laju infus (mg/jam)
Vd = volume distribusi (liter)
K = tetapan laju eliminasi (/jam)
(Shargel ed. 5, hal. 108&110)
13. Bagaimana prinsip untuk menetapkan kadar plasma steady state (CPss) pada rentang
MEC ?
Setelah pemberian dosis tunggal, kadar obat dalam plasma meningkat di atas dan
kemudian menurun di bawah konsentrasi efektif minimal (MEC), mengakibatkan
penurunan efek terapeutik. Beberapa obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda
untuk memperpanjang aktivitas terapeutik. Kadar obat dalam plasma yang diberikan
dalam dosis ganda harus dipertahankan di dalam plasma yang diberikan dalam dosis
ganda harus dipertahankan di dalam batas yang sempit dari rentang terapeutik (misal
konsentrasi obat dalam plasma di atas MEC tetapi di bawah MTC) untuk mencapai
efektivitas klinis yang optimal.
(Shargel ed. 5, hal. 185)
14. Bagaimana profil kadar obat dalam plasma, misal : 2 jam setelah infus distop ?
Bagaimana rumusnya ?
Setelah infusi dihentikan, konsentrasi obar setelah infusi IV diperoleh dengan
menggunakan persamaan orde kesatu untuk eliminasi obat:
Cp = Cberhenti e-kt
Di mana Cberhenti = konsentrasi saat infus dihentikan, t = waktu yang terlewatkan
karena infus dihentikan.
(Shargel ed. 5, hal. 198)
15. Apakah pengertian loading dose ? apa tujuan diberikan loading dose ? Bagaimana
rumusnya ?
Dosis muatan, DL atau dosis bolus awal dari suatu obat digunakan untuk memperoleh
konsentrasi tunak secepat mungkin
Tujuan diberikan loading dose untuk mempercepat tercapainya steady state
DL = CPss . Vd
(Shargel ed. 5, hal. 115)
16. Apakah faktor yang menyebabkan perubahan kadar obat dalam plasma pada
pemberian infus ?
Perubahan kadar obat pada laju infus disebabkan oleh volume distribusi dan tetapan
laju eliminasi.
(Shargel ed. 5, hal. 108&110)
17. Bagaimanakah konsekuensinya terhadap kadar obat dalam plasma (Cp) dan waktu
mencapai steady state (tss) jika :
- LD terlalu tinggi
- LD sesuai
- LD terlalu rendah ?
Jawab :
- LD terlalu tinggi
Jika dosis muatan/loading dose yang diberikan lebih besar (gambar a) dari R/k
konsentrasi obat dalam plasma maka waktu yang diperlukan untuk menurunkan
konsentrasi obat dalam plasma ke kadar tunak tunak obat yang diinginkan lebih
panjang.
- LD sesuai
Jika loading dose yang diberikan sesuai (gambar b), maka konsentrasi tunak dapat
segera tercapai
- LD terlalu rendah
Jika dosis muatan / loading dose lebih kecil (gambar c) dari R/k konsentrasi obat
dalam plasma akan naik secara lambat ke kadar tunak obat, tetapi lebih cepat daripada
tanpa diberikan dosis muatan / loading dose.
18. Apakah tss dipengaruhi oleh laju infus atau dosis obat ? Jelaskan !
Jawab :
Suatu peningkatan laju infusi tidak akan memendekan waktu untuk mencapai
konsentrasi obat tunak. Jika suatu obat dberikan pada laju yang lebih cepat, akan
diperoleh suatu kadar obatt keadaan tunak yang lebih tinggi, tetapi waktu untuk
mencapai keadaan tunak adalah sama.
21. Kapankan digunakan metode perhitungan klirens kreatinin dengan rumus Cockroft dan
Gault? Kapankah digunakan metode perhitungan eGFR dengan rumus MDRD?
Rumus cockroft dan gault digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal dari usia 20-
100 tahun, tapi tidak sesuai untuk subyek yang obesitas. Beberapa studi menyarankan
untuk menggunakan persamaan Cockcroft and Gault secara langsung daripada
MDRD, khususnya untuk pendosisan obat-obat dengan kisar terapeutik yang sempit
atau pada pasien yang peka terhadap perubahan dosis.
Persamaan Cockroft dan Gault juga MDRD kurang tepat jika:
Pasien banyak konsumsi protein, bahan nabati (vegetarian), atau menggunakan
suplemen kreatinin atau asam amino
Berat badan pasien terlalu kurus atau gemuk
Pasien menderita gangguan otot, seperti cachexia, sarcopenia, paraplegia, otot
terlalu besar, atau amputasi
Pasien yang tergantung dialisis atau menderita gagal ginjal akut
= 40 ml/menit
23. Bagaimanakah prinsip penyesuaian dosis pada gangguan ginjal?
Terdapat beberapa pendekatan yang tersedia untuk memperkirakan aturan dosis yang
sesuai untuk pasien dengan gangguan ginjal. Setiap pendekatan memiliki asumsi yang sama
sebagaimana tercantum pada tabel berikut :
No Asumsi Komentar
Klirens Kreatinin mengukur Perkiraan klirens kreatinin dapat bias. Gangguan
1 secara akurat tingkat gangguan ginjal hendaknya juga diverifikasi dengan
ginjal diagnosis fisik dan uji klinik lain.
Obat mengikuti
Farmakokinetika tidak bergantung dosis
2 Farmakokinetika tidak
(nonlinear)
bergantung dosis
Penyakit ginjal juga dapat mempengaruhi liver dan
Eliminasi obat nonrenal tetap
3 menyebabkan suatu perubahan dalam eliminasi
konstan
obat nonrenal (metabolism obat)
4 Absorpsi obat tetap konstan Absorpsi obat dari saluran cerna tidak berubah
Klirens obat Clu menurun
Klirens normal obat dapat mencakup sekresi aktif
5 secara linear dengan klirens
dan filtrasi pasif dan tidak menurun secara linear
kreatinin, Clcr
Ikatan obat protein dapat berubah sehubungan
Ikatan obat protein tidak
6 dengan akumulasi urea, sisa nitrogen, dan
berubah
metabolit obat
Perubahan dalam komposisi elektrolit seperti
kalium dapat mempengaruhi kepekaan terhadap
Konsentrasi obat-target tetap
7 efek digoksin. Akumulasi metabolit aktif dapat
konstan
menyebabkan respons farmakodinamika yang lebih
kuat dibandingkan obat induk sendiri
Sebagian besar metode ini mengasumsikan bahwa konsentrasi terapeutik obat dalam
plasma yang dibutuhkan pada pasien uremia sama dengan yang dibutuhkan pada pasien
∞
dengan fungsi ginjal normal. Pasien uremia dipertahankan pada C𝑎𝑣 yang sama setelah dosis
oral ganda atau IV bolus ganda. Pada infusi IV, Css yang sama dipertahankan. Dua
pendekatan untuk penyesuaian dosis antara lain adalah:
a. Penyesuaian dosis yang didasarkan atas klirens obat.
Prinsip : setelah pemberian infus dosis ganda iv dan oral,
Cssav dipertahankan tetap
Klirens tubuh total (ClT ) berubah
b. Penyesuaian dosis berdasarkan perubahan tetapan laju eliminasi
Prinsip : konstanta laju eliminasi secara keseluruhan menurun pada kondisi uremia
Penyesuaian dosis, interval pemberian dibuat tetap
Interval pemberian diperpanjang, dosis dibuat tetap
Dosis dengan indeks terapi sempit harus dikurangi.
24. Bagaimana prinsip penyesuaian dosis pada gangguan liver ?
Jawab: Sebagian besar tes fungsi hati hanya menunjukkan bahwa hati telah rusak, tidak
menilai fungsi enzim sitokrom 450 atau klirens intrinsik hati. Karena tidak tersedia ukuran
dari fungsi hati yang dapat diterapkan untuk menghitung dosis yang tepat, obat-obat yang
bergantung enzim biasanya diberikan kepada pasien dengan gagal hati dalam setengah dosis
atau kurang. Respons atau kadar plasma selanjutnya harus dipantau. Pada pasien dengan
gagal hati, jika memungkinkan obat dengan klirens bergantung aliran (flow-dependent)
dihindari. Bila perlu, dosis obat-obat ini dikurangi menjadi sepersepuluh dari dosis
konvensional, untuk obat yang diberikan secara oral. Mulai terapi dengan dosis rendah dan
pemantauan respons atau kadar plasma memberikan kesempatan terbaik untuk keamanan,
kemanjuran pengobatan. (Shargel p.710 edisi ke-5)