Anda di halaman 1dari 7

HAM : SEJARAH, KOSEP, DAN PERTENTANGANNYA DENGAN ISLAM

Peringatan hari Hak Asasi Manusia jatuh pada tanggal 10 Desember besok. Untuk yang kesekian
kalinya, di negeri ini suara sumbang HAM (Hak Asasi Manusia) dinyanyikan untuk membela
kepentingan ide menyimpang sekaligus untuk menohok keagungan ajaran Islam. Mulai dari pegiat
LGBT, menjadikan HAM sebagai dalih atas penyakit jiwa dan penyimpangan seksual yang mereka
derita tanpa berpikir bahwa ide ini yang menabrak hak melahirkan, hak mengandung, dan hak
menyusui seorang ibu dari pernikahan manusia normal. Perilaku LGBT justru meniscayakan
terhambatnya hidup manusia, karena perilaku ini mustahil melahirkan generasi. LGBT justru bukti
pelanggaran nyata terhadap hak hidup manusia.

HAM juga dijadikan alibi untuk memaksakan kehendak minoritas atas mayoritas dengan alasan
kebebasan beragama. Termasuk mengacak-ngacak agama Islam seperti yang dilakukan oleh
Jama’at Ahmadiyah. Namun saat mayoritas Kristen membakar masjid di Tolikora, pegiat HAM
bungkam. Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, yang mempropagandakan kemusyirikan, menebar
dan mengagungkan patung di berbagai sudut kota, serta dengan arogan mencabik-cabik Hak Asasi
Beragama Mayoritas, justru diberi penghargaan oleh komnas HAM. Sementara daerah-daerah
yang menjaga akidah dan nilai-nilai Agama dari rongrongan kelompok Ahmadiyah justru dicap
pelanggar HAM oleh Komnas HAM.

Sejarah dan Konsep HAM


Ide-ide Hak Asasi Manusia muncul pada abad ke-17 dan ke-18 sebagai reaksi terhadap keabsolutan
Raja din Kaum Feodal di zaman itu terhadap rakyat yang mereka perintah atau manusia yang
mereka pekerjakan sebagai lapisan bawah. Namun sebenarnya jauh sebelum abad ke-17 dan ke-
18, telah dikenal berbagai aturan yang mengatur tentang Hak Asasi Manusia. Dalam Kode Hukum
Himmurabi, Raja Babylonia (abad ke-18 sM), misalnya, ada indikasi yang membenarkan bahwa
dalam masyarakat manusia di dunia Barat telah mulai tumbuh kesadaran akan martabat dan harkat
dirinya sehingga Kode Hukum Hammurabi sengaja diundangkan untuk memberantas
kecongkakan sebagian manusia atas sesamanya dan membawa keadilan bagi seluruh masyarakat.

Sedangkan pada zaman yunani kuno, Plato (42-374 sM) telah memaklumkan kepada warganya,
bahwa kesejahteraan bersama baru tercapai kalau setiap warganya melaksanakan hak dan
kewajibannya masing-masing. Iuga Aristoteles (384-322 SM) seringkali memberikan wejangan
kepada para pengikutnya bahwa negara yang baik adalah negara yang sering memperhatikan
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat banyak.
Secara historis perkembangan ide-ide HAM memang tidak dapat dilepaskan dari gagasan Iohn
Locke (1632-7704) bahwa sebelum ada negara, manusia dikuasai hukum alam. Ide-ide John Locke
yang tercantum dalam bukunya Second Creatise of The Government, ide toleransi waktu itu antara
orang Katolik dan Atheis dan menyatakan bahwa semua orang itu dinyatakan sama dan memiliki
hak-hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan.

Pengaruh lainnya adalah teori revolusioner Rene Descartes mengenai Cogito Ergo Sum yang
merefleksikan peralihan dari kekuasaan iman tradisi yang umum ke kesadaran pribadi individual
serta pemikiran seorang Humanis Belanda, Hogo Grotius (de Groot) yang pada 1609 menerangkan
hal terbentuknya negara bertitik tolak dari kodrat manusia. Akan tetapi berbeda dengan abad
pertengahan yang menganggap hukum alam sebagai manifestasinya kekuasaan Ilahi, Grotius
menetapkan landasan hukum alam adalah manusia sendiri yang mempunyai rasio untuk berpikir
(rasional), sehingga menurutnya hak-hak subjektif manusia mencakup: hak untuk menguasai
dirinya sendiri, yaitu hak kemerdekaan hak untuk menguasai orang lain; seperti kekuasaan orang
tua terhadap anak, serta hak untuk menguasai harta miliknya.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa perjuangan para bangsawan Inggris untuk


mempertahankan kembali hak-hak mereka yang telah dicampakkan oleh kekuasaan Raja John
waktu itu yang justru melahirkan Magna Carta (1215). Isinya antara lain memberikan batasan yang
jelas terhadap kekuasaan raja yang absolut dan totaliter. Semangat Magna Carta inilah yang
kemudian melahirkan Undang-undang dalam Kerajaan Inggris tahun 1689 yang dikenal dengan
Undang-Undang Hak (Bill of Right).17 Peristiwa ini dianggap sebuah keberhasilan rakyat Inggris
melawan kecongkakan Raja John sehingga timbul suatu adagium yang berintikan "mar:usia sama
di muka hukum" (Equality Before The Law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya
negara hukum dan demokrasi yang mengakui dan menjamin asas persamaan dan kebebasan
sebagai warga negara.

Pada tahun 7789, di Perancis lahir sebuah deklarasi yang dikenal dengan The French Declaration,
yang menyatakan hak-hak yang lebih rinci sebagai dasar dari The Rule of Lazo.le Deklarasi yang
lahir sebagai buah Revolusi Perancis itu telah berhasil meruntuhkan susunan masyarakat feodal
termasuk golongan pendeta agama dan susunan pemerintahan negara yang bersifat kerajaan
dengan sistem monarki absolut. Disebabkan revolusi tersebut bertujuan untuk memperoleh
jaminan hak-hak manusia dalam perlindungan undang-undang negara, maka dirumuskan tiga
prinsip yangdisebut Trisloganda, yaltu (1) Kemerdekaan (Liberte), (2) Kesamarataan (Equalite),
(3) Kerukunan dan Persaudaraan (Furniture). Ketiga semboyan ini telah melahirkan konstitusi
Perancis.

Seiring dengan berjalannya waktu dan terjadinya perkembangan dalam kemasyarakatan konsepsi
HAM terus mengalami perubahan. Isi dan ruang lingkup HAM masa lampau itu ternyata tidak
responsive dan aspiratif lagi terhadap perkembangan situasi serta funtunan realita sosial yang ada.
Lagi pula hak-hak yang harus mendapat perlindungan tidak hanya yuridis-politis, melainkan juga
hak dalam bidang kehidupan seperti ekonomi, sosial, dan budaya."

Sejak tahun 1948 pasca dicetuskannya Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia semua negara
di dunia memiliki sebuah kode internasional untuk menentukan bagaimana akan bertindak dan
bagaimana menilai yang lain. Kode ini tidak hanya memiliki sifat dilaksanakan secara universal,
tetapi irgu mencakup prinsip yang bernilai di bidang-bidang yang tadinya tidak diperhatikan dalam
konstitusi-konstitusi negara Barat dan ecara umum muatan Deklarasi Universal tersebut memuat
beberapa kategori.

HAM Instrumen Penjajahan Barat


Yang perlu disoroti adalah bahwa HAM sesungguhnya hanyalah salah satu instrumen Barat dalam
menyebarkan ideologi Kapitalisme-nya. Paham ini lahir dari sekularisme Barat, yang memisahkan
agama dalam urusan kehidupan, yang sarat dengan ide kebebasan/liberalisme. Ide dasar HAM
sendiri adalah nilai-nilai liberal (dalam bahasa lain mereka menyebutnya hak-hak alamiah/natural
right). Karena itu, liberalisasi politik, liberalisasi sosial, liberalisasi dalam berkeyakinan, ekonomi
dan sebagainya pada akhirnya akan menjadi suatu keniscayaan.

Dengan HAM, Barat juga terus berupaya menyerang dan memojokkan kaum Muslim dan hukum-
hukum Islam. Aturan-aturan Islam yang agung sering digerogoti oleh isu-isu HAM. Syariah dan
Khilafah sebagai solusi politis terhadap peradaban yang kronis sering diserang dengan HAM.
Pornografi dan pornoaksi yang jelas-jelas merusak tatanan keluarga dan sosial masyarakat,
berjalan mulus dengan lokomotif HAM. Lembaga penegak hukum seperti Kepolisian dan
Kejaksaan sering dibuat gamang dalam menindak berbagai kasus kriminal dan perilaku yang
meresahkan masyarakat ketika dihadapkan dengan HAM. Benturan terbesar Mahkamah Konstitusi
ketika memutuskan pidana mati terpidana narkotika pun adalah HAM. Di sisi lain, Lembaga HAM
tidak lebih dari sekadar keranjang sampah penampung berbagai pengaduan tindak kezaliman,
tanpa bisa berbuat apa-apa.
Ketika HAM merasuk dalam dunia politik, mainstream politik adalah liberalisasi kehidupan
politik. Politik pada akhirnya terfokus pada cara-cara meraih kekuasaan dengan menghalalkan
segala cara. Jauh dari tujuan memenuhi dan melayani kepentingan rakyat. Beberapa waktu yang
lalu, ketika di beberapa daerah terjadi bencana, para pemimpin dan pejabat malah mengambil sikap
mengungsi dan meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan (Republika.co.id,
17/09/2007). Lembaga DPR juga semakin mempertontonkan ketidakpeduliannya terhadap rakyat.
Kepentingan rakyat seperti Anggaran Pendidikan 20% yang merupakan amanat Konstitusi, jutaan
masyarakat yang menuntut pelarangan tindakan pornografi dan pornoaksi dengan UU, interpelasi
beras, interpelasi Lapindo, tidak pernah diurus.
Gejala separatis mulai dari Aceh, Papua, Riau, Maluku, serta beberapa daerah lain disuarakan atas
nama HAM. Berpisahnya Timor Timur dari NKRI adalah contoh yang paling jelas bahwa isu
HAM begitu efektif untuk mencabik-cabik negeri-negeri Islam.

Rangkaian berikutnya dari dampak HAM adalah pada kehidupan sosial masyarakat. Atas nama
HAM, liberalisasi kehidupan sosial bermasyarakat telah menghasilkan pola kehidupan tanpa
aturan. Perilaku pornoaksi dan pornografi media begitu menyeruak. Hasil survey tahun 2006 oleh
Yayasan Pengembangan Media Anak menyebutkan, hampir 50% sinetron remaja menawarkan
kekerasan, propaganda seks bebas maupun atribut sekolah yang tidak benar (Republilka, 2/10/07).
Tidak aneh jika negeri ini menjadi salah satu surga terbesar bisnis ’esek-esek’ di dunia.

Akibat buruk yang bisa kita rasakan bebasnya tata nilai kehidupan ini adalah tercerabutkan rasa
malu dan hilangnya perasaan dosa ketika generasi Muslim melakukan tindak kepornoan.
Keadaannya seolah semakin sempurna ketika TV-TV swasta menjualnya dengan melegitimasi
HAM dan keniscayaan kehidupan modern.

Dari penetapan kebebasan individu dalam pemikiran HAM Barat, dihasilkan juga sekolah
perekonomian yang akan menjadi inti berdirinya sistem Ekonomi Kapitalis. Sistem ekonomi ini
berdiri di atas ide dasar inisiatif individu, kebebasan ekonomi, dan tidak adanya intervensi negara
terhadap aktivitas ekonomi individu. Sistem ini juga bersandar pada invisible hand (tangah gaib)
bagi tercapainya keseimbangan dan stabilitas dalam negeri. Hak dasar (alamiah) Barat dalam
memandang ekonomi juga akan menghasilkan dan bahkan melegalkan kemiskinan. Kepapaan
terkonsentrasi pada orang-orang yang lemah karena mereka tidak mampu bertarung bebas dalam
kehidupan.

Pada kenyataannya sekarang, pasar bebas, privatisasi di berbagai sektor ekonomi, eksploitasi
sumberdaya alam secara bebas oleh swasta adalah konsekuensi logis dari kehidupan ekonomi
kapitalis tersebut. Sistem ekonomi pasar bebas membuat negeri-negeri Islam menjadi obyek pasar
negara-negara besar. Negeri-negeri Islam di giring pada perjanjian-perjanjian yang mengikat dan
melegalkan mereka menjadi negara yang konsumtif.

Privatisasi sektor publik seperti pendidikan dan kesehatan menjadikan masyarakat semakin
terpuruk. Orang miskin seolah dilarang sekolah dan jangan sakit! Kekayaan alam seperti minyak
bumi, gas, emas, dan bahan tambang lainnya terus dikeruk oleh swasta/asing, sementara
masyarakat hanya bisa menonton. Masyarakat di negeri ini harus mengantri beli minyak tanah, di
negeri yang kaya akan minyak. Benar-benar ironis!
HAM Bertentangan dengan Islam

Dalam kutaib (buku kecil) yang berjudul; al Hamlah al Amirikiyyah lil qadha’i ‘alal
Islam/Serangan ide-ide Amerika untuk menghancurkan Dunia Islam” yang dikeluarkan oleh
Hizbut Tahrir 1996, dijelaskan secara mendasar kerusakan ide HAM Barat ini.

Ide HAM ini bermula dari pandangan Barat yang keliru atas; tabiat manusia, interaksi individu
dengan komunitas di masyarakat, hakikat masyarakat, dan fungsi negara dalam memberikan
perlindungan kepada rakyatnya.

Atas tabiat manusia, Barat memandang bahwa tabiat dasar manusia adalah benar, tidak salah.
Menurut mereka kesalahan terjadi justru ketika dilakukan pengekangan atas keinginan tabiat asli
manusia itu. Karenanya wajar di dunia Barat selalu mengagung-agungkan ide kebebasan. Bahkan
ide ini selalu menjadi inspirator dalam berbagai sisi kehidupan. Ada kebebasan beragama
(berakidah), kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan berekonomi (memiliki), dan
kebebasan dalam berperilaku. Semua tindak kebebasan ini akan sah dengan alasan HAM.

Kemudian segi hubungan antara ibdividu dengan komunitas di masyarakat. Barat melihat bahwa
hubungan antara individu dengan komunitas di masyarakat adalah hubungan kontradiktif.
Keinginan individu berbeda dengan keinginan masyarakat. Selanjutnya pandangan ini
memenangkan kepentingan individu atas kepentingan masyarakat. Pola hidup individualis pada
akhirnya menjadi ciri khas yang menonjol di masyarakat Barat.

Adapun tentang hakikat masyarakat, Barat memandang bahwa masyarakat adalah kumpulan dari
individu-individu yang hidup di suatu tempat. Maka saat sempurna jaminan atas individu, akan
sempurna pula jaminan atas masyarakat. Perhatian terhadap problematika masyarakat cukup dan
bertumpu pada persoalan individu.

Sehingga peran negara dalam filosofi Barat adalah semata menjamin terealisirnya hak-hak
individu dalam masyarakat. Negara seringkali “kalah” saat individu menggugat untuk diberikan
perlindungan atas hak-hak asasinya. Contoh dilegalkannya LGBT di beberapa negara Barat
merupakan bukti nyata kekalahan negara dan masyarakat, atas kepentingan individu.

Jika ditelisisk secara jernih, pandangan Barat tersebut adalah keliru. Tabiat dasar manusia itu
hakikatnya tidak bisa dikatakan baik, atau juga tidak bisa dikatakan buruk –seperti yang diungkap
oleh gereja dengan konsep dosa warisan–. Yang benar adalah, bahwa pada manusia ada memiliki
potensi kehidupan, yakni potensi naluri (gharizah) dan potensi hajat/fisik (hajat adhawiyah) yang
keduanya memerlukan pemenuhan. Selain juga juga, pada manusia ada potensi –keutamaan– akal
yang memberi kemampuan bagi manusia untuk memilih cara yang baik atau yang buruk dalam
pememenuhan kedua potensi hidup tadi. Jika dia memenuhi dengan cara yang benar maka
perbuatannya dikatakan baik, dan jika dilakukan dengan cara yang salah, maka dikatakan
perbuatan buruk.

Jadi hakikatnya manusia memiliki pilihan untuk melakukan perbuatan baik atau buruk sesuai
keinginannya. Inilah pandangan yang diberikan oleh Islam. Firman Allah SWT:

َ . ‫ورهَا فَأ َ ْل َه َم َها‬


‫س َّواهَا َو َما َونَ ْفس‬ َ ‫َوتَ ْق َوا َها فُ ُج‬

“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu
(jalan) kefasikan/keburukan dan ketakwaan/kebaikan-nya. [Surat Ash-Shams 7-8]

Demikian pula Firman-Nya;

ُ‫النَّجْ دَيْن َو َهدَ ْينَاه‬

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (yakni kebaikan dan keburukan),”[Surat Al-
Balad 10]

Hubungan individu dengan masyarakat juga bukan hubungan kontradiktif sehingga harus
memenangkan perilaku individu. Bukan pula individu bagaikan gerigi dalam roda –seperti
pandangan Sosialias terhadap masyarakat–. Hakikat hubungan individu dalam masyarakat adalah
layaknya anggota badan dengan tubuh. Badan tidak akan sempurna jika tidak ada mata, tangan
atau kaki. Sementara tangan tidak berarti apa apa jika tidak melekat pada tubuh. Keindahan
hubungan individu dengan masyarakat terurai jelas dalam sabda Rasulullah saw.

‫ّللا ُحد ُود َع َلى ْالقَائم َمثَ ُل‬ َّ ‫سفينَة َع َلى ا ْست َ َه ُموا قَ ْوم َك َمثَل في َها َو ْال َواقع‬ َ ‫اب‬
َ ‫ص‬ َ َ ‫ض ُه ْم فَأ‬
ُ ‫ض ُه ْم أَع ََْلهَا َب ْع‬
ُ ‫في الَّذينَ فَ َكانَ أ َ ْسفَلَ َها َو َب ْع‬
ْ
‫أ َ َرادُوا َو َما يَتْ ُر ُكو ُه ْم فَإ ْن َف ْوقَنَا َم ْن نُؤْ ذ َولَ ْم خ َْرقًا نَصيبنَا في خ ََرقنَا أنَّا لَ ْو فَقَالوا فَ ْوقَ ُه ْم َم ْن َعلَى َم ُّروا ال َماء م ْن ا ْستَقَ ْوا إذَا أ ْسفَل َها‬
َ ُ َ ْ
‫َجميعًا َونَ َج ْوا نَ َج ْوا أَيْديه ْم َعلَى أ َ َخذُوا َوإ ْن َجميعًا َهلَ ُكوا‬
“Perumpamaan orang yang menegakkan hukum Allah dan orang yang diam terhadapnya seperti
sekelompok orang yang berlayar dengan sebuah kapal. Lalu sebagian dari mereka ada yang
mendapat tempat di atas, dan sebagian lagi di bagian bawah perahu. Kemudian orang yang berada
di bawah perahu, bila mereka mencari air untuk minum mereka harus melewati orang-orang yang
berada di bagian atas seraya berkata; “Seandainya boleh kami lubangi saja perahu ini untuk
mendapatkan bagian kami sehingga kami tidak mengganggu orang yang berada di atas kami”. Bila
orang yang berada di atas membiarkan saja apa yang diinginkan orang-orang yang di bawah itu
maka mereka akan binasa semuanya. Namun bila mereka mencegah dengan tangan mereka maka
mereka akan selamat semuanya”. (HR. Bukhari)

Adapun tentang fakta masyarakat, bahwa masyarakat hakikatnya bukan sekedar sekumpulan
individu yang hidup pada suatu tempat. Terwujudnya suatu masyarakat selain ada manusia
(individu), juga meniscayakan adanya pemikiran, perasaan, dan peraturan, untuk terwujudnya
hubungan yang kontinyu (masyarakat). Sekedar kumpulan individu tidak layak dikatakan sebuah
masyarakat. Hanya sekedar kumpulan atau kelompok orang-orang unsich.

Demikian pula sejatinya peran negara. Negara bukanlah sarana untuk melindungi –kebebasan–
perilaku individu semata. Sejatinya negara adalah institusi yang mengurusi persoalan individu,
jama’ah, dan masyarakat, baik untuk persoalan dalam negeri maupun luar negeri, dengan sebuah
sudut pandang yang menjamin hak dan kewajiban warga masyarakatnya secara utuh. Ini
merupakan tugas kemanusiaan adanya negara, sehingga akan akan terwujud peradaban yang
memanusiakan manusia.

Karenanya, HAM dalam pandangan Barat memiliki akar filosofis yang cacat dari awalnya. Dan
saat ide ini dijajakan di negeri-negeri Islam, tidak lebih dari sekedar untuk menghancurkan entitas
masyarakat muslim yang memiliki identitas, sekaligus sebagai legitimasi untuk menjajal ide-ide
Barat yang rusak. Kaum muslimin wajib menentang keras ide HAM ini dan membongkar “bau
busuk” yang melekat padanya.

Anda mungkin juga menyukai