Anda di halaman 1dari 13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Morbus Hansen

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Morbus Hansen

MH termasuk penyakit tertua. MH dinamakan juga sebagai Lepra,

Hanseniasis, Elephantiasis Graecorum, Satyriasis, Lepra Arabum, Leontiasis,

Kushta, Melats, Mal de San Lazaro. Kata Kushta berasal dari bahasa India dan

dikenal sejak 140 tahun sebelum Masehi. Kata Lepra disebut dalam kitab Injil,

terjemahan dari bahasa Hebrew, Zarath, yang sebenarnya mencakup beberapa

penyakit kulit lainya. Deskripsi mengenai penyakit dahulu ini sangat kabur,

apalagi jika dibandingkan dengan MH yang kita kenal sekarang ini (Tiarasari,

2014).

Penyakit MH adalah salah satu penyakit menular yang sifatnya kronik, dapat

disembuhkan, namun dapat menimbulkan masalah yang sangat kompleks

(Worobec, 2012). Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi

meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan

nasional. MH sampai saat ini masih menjadi ketakutan masyarakat, keluarga dan

sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan

dan adanya kepercayan yang keliru terhadap MH dan cacat yang ditimbulkannya

(Tiarasari, 2014).

Pada pertengahan tahun 2014, kasus MH dunia yang dilaporkan sebanyak

180.618 kasus. Indonesia masih menjadi penyumbang kasus MH ketiga terbanyak

5
6

di dunia setelah India dan Brasil. Di Indonesia, tercatat sejumlah 16.856 kasus

baru pada tahun 2013 (WHO, 2014). Jumlah kasus baru MH di Provinsi Bali pada

tahun 2013 sebanyak 84 kasus, dengan 9 kasus PB dan 75 kasus MB. Angka

penemuan kasus baru (NCDR) tahun 2013 sebesar 2,07 per 100.000 penduduk

(Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2014).

Penyakit MH dapat menyebabkan deformitas dan kecacatan, di mana hal ini

timbul akibat beberapa faktor resiko seperti tipe penyakit MH, lamanya penyakit

aktif dan jumlah batang saraf yang terkena. Kecacatan yang terjadi pada penderita

MH disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian dan kepercayan yang

keliru terhadap MH dan kecacatan yang ditimbulkanya (Tiarasari, 2014).

2.1.2 Etiopatogenesis Morbus Hansen

Penyebab penyakit infeksi MH adalah bakteri Mycobacterium leprae yang

bersifat intraselular obligat. Target organ yang diserang MH terutama dan pertama

adalah saraf perifer, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,

kemudian ke bagian organ lain kecuali susunan saraf pusat (Tiarasari, 2014).

Mycobacterium leprae atau kuman Hansen adalah bakteri penyebab penyakit

MH yang ditemukan oleh G. H. Armauer Hansen pada tahun 1873.

Mycobacterium leprae dimasukan dalam family Mycobacteriaceae, ordo

Actinomycetales, kelas Schyzomycetes. Secara morfologi, bakteri Gram postitif ini

berbentuk pleomorfik, lurus, batang ramping dan sisanya berbentuk paralel

dengan kedua ujungnya bulat, tidak bergerak dan tidak berspora. Bakteri ini

bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan ukuran 1 – 8 µ, lebar 0,2 – 0,5 µ,

biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama
7

jaringan yang bersuhu dingin, dan tidak dapat dikultur dalam media buatan

(Tiarasari, 2014).

Respon pertama tubuh pasien (host) terhadap invasi Mycobacterium leprae

diinisiasi dengan respon imun innate, oleh cell-wall-associated lipoprotein,

sebuah ligan terhadap Toll-like receptor 2/1 heterodimer. Respon awal ini

dianggap penting dalam interaksi host dan parasit itu sendiri. Pada membran sel

bakteri Mycobacterium leprae, terdapat senyawa spesifik yaitu Phenolic

glycolipid I. Menempelnya trigliserida spesifik pada Phenolic glycolipid I dengan

laminin-2 pada basal lamina dari sel Schwann memediasi masuknya bakteri

Mycobacterium leprae ke dalam sel saraf. Hal ini menjelaskan mengapa

Mycobacterium leprae menjadi satu-satunya bakteri yang dapat menginvasi sel

saraf perifer (Tiarasari, 2014).

Penelitian menyebutkan bahwa kedua faktor, genetik dan lingkungan

memainkan peranan penting dalam ekspresi penyakit MH. Bagian dari kromosom

10p13, termasuk di dalamnya PARK2 dan PACRG loci yang menjadi faktor

resiko pasien terkena penyakit Parkinson, juga menjadi faktor resiko yang valid

terhadap penyakit MH (Rea, et al., 2008).

Penyakit MH dapat ditularkan dari penderita MH tipe MB kepada orang lain

dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui,

tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa MH dapat ditularkan melalui

saluran pernafasan dan kulit (Tiarasari, 2014).


8

2.1.3 Gejala Klinis dan Diagnosis Morbus Hansen

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk meminimalkan timbulnya cacat dan

mencegah bertambah beratnya cacat yang sudah ada, diantaranya dengan

diagnosis dan penatalaksanan penyakit yang dilakukan secara dini, serta

pemberian edukasi kepada pasien tentang berbagai hal yang dapat menimbulkan

kecacatan (Davey, et al., 2012).

Gejala klinis penyakit MH dapat terlihat sebagai akibat dari respon host dan

akumulasi jumlah bakteri Mycobacterium leprae yang berlebihan secara meluas

pada host. (Rea, et al., 2008). Manifestasi klinis yang dialami sangat beragam

(terutama pada kulit, saraf, dan membrane mukosa) seperti bercak kemerahan atau

pucat pada kulit, kehilangan sensoris pada area bercak kulit, kelemahan atau

kelumpuhan pada ekstremitas, benjolan pada wajah atau telinga, dan luka-luka

pada ekstremitas (Kosasih, 2010)

Diagnosis MH didasarkan atas gambaran klinis, bakterioskopis dan

histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis secara klinis adalah yang terpenting

dan yang paling sederhana. Sebelum diagnosis klinis ditegakkan, harus dilakukan

anamnesa, pemeriksan klinik (pemeriksan kulit, pemeriksan saraf tepi dan

fungsinya). Untuk mendiagnosis penyakit MH pada seseorang, paling sedikit

diperlukan satu cardinal sign. Tanpa menemukan suatu cardinal sign, kita hanya

boleh mendiagnosis penyakit penderita sebagai tersangka (suspek) MH. Penderita

perlu diamati dan diperiksa kembali setelah 3 – 6 bulan sampai diagnosis MH

dapat ditegakan atau disingkirkan (Tiarasari, 2014).


9

Untuk menetapkan diagnosis klinis MH, diperlukan cardinal sign. Cardinal

sign tersebut yaitu (Depkes RI, 2007):

a. Lesi kulit yang anestesi

Ditemukan makula, plakat, papul, atau nodul dengan hilangnya rasa raba,

rasa sakit, dan suhu yang jelas. Kelainan lain pada kulit yang spesifik

berupa perubahan warna dan tekstur kulit serta kelainan pertumbuhan

rambut.

b. Penebalan saraf perifer

Penebalan saraf perifer sangat jarang ditemukan kecuali pada penyakit

MH. Pada daerah endemik MH, penemuan adanya penebalan saraf perifer

dapat dipakai untuk menegakan diagnosis.

c. Ditemukanya Mycobacterium leprae

Mycobacterium leprae terutama terdapat pada kulit, mukosa hidung, dan

saraf perifer yang superficial dan dapat ditunjukan dengan apusan sayatan

kulit atau kerokan mukosa hidung. Secara klinis telah dibuktikan bahwa

basil ini biasanya tumbuh pada daerah temperatur kurang dari 37˚C.

Beberapa klasifikasi MH yang sering digunakan adalah klasifikasi Ridley dan

Jopling dan klasifikasi WHO. Ridley dan Jopling membagi MH menjadi

Tuberculoid Polar (TT), Tuberculoid Indefinate (Ti), Borderline Tuberculoid

(BT), Mid Borderline (BB), Borderline Lepromatous (BL), Lepromatosa

indefinite (Li), Lepromatosa polar (LL).


10

Gambar 2.1 Lesi Multipel pada pasien MH Tipe BL (Rea, et al., 2008)

Gambar 2.2 Lesi pada pasien MH tipe LL (Rea, et al., 2008)

Sementara, WHO mengembangkan 2 tipe/klasifikasi untuk memudahkan

pengobatan di lapangan yaitu tipe PB dan MB. Klasifikasi WHO MH tipe PB

meliputi MH tipe I, TT, dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut

kriteria Ridley dan Jopling. Sementara MH tipe MB termasuk MH tipe LL, BL,

BB, dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan BTA positif.

Berikut merupakan klasifikasi MH tipe PB dan MB tersebut (Depkes RI, 2007):


11

Tabel 2.1 Klasifikasi WHO Morbus Hansen (Depkes RI, 2007)

Tanda Utama PB MB

Bercak/lesi MH  Jumlah 1 Jumlah > 5

 Jumlah 2-5

Penebalan saraf tepi yang Hanya 1 saraf > 1 saraf

disertai dengan gangguan

fungsi

Sediaan apusan BTA negatif BTA positif

2.1.4 Terapi Morbus Hansen

Regimen pengobatan MDT dipergunakan di Indonesia, regimen ini

berdasarkan rekomendasi WHO tahun 1998, yaitu:

a. Penderita PB

1) Penderita PB lesi 1

Pasien diberi dosis tungal ROM (Rifampicin, Ofloxacin, dan

Minocycline). Dosis dewasa 50 – 70 kg adalah Rifampicin 600 mg,

Ofloxacin 400 mg, dan Minocycline 100 mg. Dosis anak 5 – 14 tahun

adalah Rifampicin 300 mg, Ofloxacin 200 mg, dan Minocycline 50 mg.

Dalam program MH di Indonesia, regimen ROM ini tidak

dipergunakan, penderita PB dengan 1 lesi diobati seperti pada PB

dengan 2 – 5 lesi.
12

2) Penderita PB lesi 2-5

Pasien diberikan obat Rifampicin dan Dapsone. Dosis dewasa adalah

Rifampicin 600 mg, Dapsone 100 mg (diminum hari pertama di depan

petugas), dan Dapsone 100 mg (diminum di rumah hari 2 – 28). Lama

pengobatan 6 – 9 bulan (6 blister).

b. Penderita MB

Pasien diberikan obat Rifampicin, Clofazimine, dan Dapsone. Dosis

dewasa adalah Rifampicin 600 mg, Clofazimine 300 mg, Dapsone 100 mg

(diminum hari pertama di depan petugas) dan Clofazimine 50 mg,

Dapsone 100 mg (diminum di rumah hari 2 – 28). Lama pengobatan 12 –

18 bulan (12 blister). Sedangkan pada anak dibawah 10 tahun, dosis MDT

diberikan berdasarkan berat badan, yaitu Rifampicin 10 – 15 mg/kg bb,

Dapsone 1 – 2 mg/kg bb, dan Clofazimine 1 mg/kg bb.

2.2 Terapi COM pada Morbus Hansen

2.2.1 Profil COM

2.2.1.1 Clofazimine

Clofazimine adalah sebuah phenazine dye yang dapat digunakan sebagai terapi

alternatif Dapsone pada pasien MH tipe MB. Nama kimiawi dari Clofazimine

adalah 3 – (p-chloroanilino) – 10 – (p-chlorophenyl) – 2, 10 – dihydro – 2

isopropyliminophenazine (Cholo, et al., 2009).

Clofazimine menghasilkan efek bakterisidal yang lambat pada Mycobacterium

leprae dengan berinteraksi dengan DNA dan menghambat pertumbuhan

mycobacterium (Katzung, 2009).


13

Gambar 2.3 Struktur Kimia Clofazimine (Food and Drug Administration, 2010)

Mekanisme kerja Clofazimine adalah melalui interaksi dengan membran sel

bakteri. Target yang diduga terlibat adalah rantai respirasi dan transpor ion pada

sel (Cholo, et al., 2009).

Gambar 2.4 Mekanisme Kerja Clofazimine (Cholo, et al., 2009)

Absorpsi Clofazimine bervariasi di dalam saluran pencernaan. Ekskresi obat

secara umum melalui feses. Clofazimine disimpan banyak di jaringan


14

retikuloendotelial dan kulit. Waktu paruh serum Clofazimine dapat mencapai 2

bulan karena obat ini lambat dilepaskan dari penyimpanannya (Katzung, 2009).

Clofazimine dapat juga diberikan pada pasien Sulfone-resistant leprosy atau

intoleransi Sulfone. Dosis anjuran adalah 100 mg/hari secara oral. Efek samping

yang sering dijumpai adalah diskolorasi kulit dari merah – hitam sampai hitam

(Katzung, 2009).

2.2.1.2 Ofloxacin

Ofloxacin adalah antimikroba broadspectrum golongan Quinolone. Secara

kimiawi, Ofloxacin adalah sebuah Carboxyquinolone yang terfluorinasi, (±) – 9 –

fluoro – 2, 3 – dihydro – 3 – methyl – 10 – (4-methyl-1-piperazinyl) – 7 – oxo –

7H – pyrido[1,2,3-de] – 1,4 – benzoxazine – 6 – carboxylic acid, dengan rumus

empiris C18H20FN3O4 (Ortho-McNeil-Janssen Pharmaceuticals, 2011).

Gambar 2.5 Struktur Kimia Ofloxacin (WHO, 2010)

Mekanisme kerja Ofloxacin serupa dengan obat golongan Fluoroquinolone,

dengan menginhibisi bacterial topoisomerase IV dan DNA gyrase (keduanya tipe


15

II topoisomerase), enzim yang diperlukan dalam replikasi, transkripsi, reparasi,

dan rekombinasi DNA (Ortho-McNeil-Janssen Pharmaceuticals, 2011).

Fluoroquinolone, termasuk Ofloxacin, berbeda secara struktur kimiawi dan

mekanisme kerjanya dengan antibiotik Aminoglycoside, Macrolides, dan β-

lactam. Karena itu, Fluoroquinolone bersifat aktif terhadap bakteri yang resisten

terhadap golongan antibiotik tersebut. Bakteri yang resisten terhadap

Fluoroquinolone jarang ditemukan (Ortho-McNeil-Janssen Pharmaceuticals,

2011).

2.2.1.3 Minocycline

Minocycline adalah antibiotik yang termasuk ke dalam golongan Tetracycline.

Tetracycline bersifat bakteriostatik dan bekerja dengan cara menginhibisi sintesis

protein. Tetracycline, termasuk Minoclycline, memiliki efek antimikrobial yang

luas untuk bakteri Gram positif dan negatif, bakteri anaerob, rickettsiae,

chlamydiae, mycoplasma, dan beberapa protozoa. Sering terjadi resistensi silang

dari bakteri – bakteri ini terhadap Tetracycline (Triax Pharmaceuticals, 2010).

Aktivitas antimicrobial dari kebanyakan Tetracycline adalah serupa, kecuali

Tetracycline-resistant strains, yang sensitif kepada Doxycycline, Minocycline,

dan Tigecycline, yang semuanya tergolong lemah dalam efflux pump. Efflux pump

inilah yang memfasilitasi resistensi terhadap Tetracycline (Katzung, 2009).

Tetracycline masuk ke dalam mikroorganisme melalui difusi pasif dan

sebagian transport aktif yang memerlukan energi. Sel target menyimpan obat

secara intraselular. Setelah masuk ke dalam sel, Tetracycline menempel secara

reversibel dengan subunit 30S ribosom, menghambat proses menempelnya


16

aminoacyl-RNA dengan kompleks mRNA-ribosom. Hal ini mencegah

penambahan asam amino pada peptida yang sedang dibentuk (Katzung, 2009).

2.2.2 Indikasi pemberian dan dosis terapi COM

Terapi alternatif harus diberikan pada kasus MH tipe MB khusus, yaitu pada

pasien yang tidak dapat diberikan terapi Rifampicin dikarenakan alergi, penyakit

hepatitis kronis, atau infeksi Rifampicin-resistant leprosy. Pada pasien ini

dianjurkan untuk diberikan terapi MDT berupa Clofazimine (50 mg/hari),

Ofloxacin (400 mg/hari), dan Minocycline (100 mg/hari). Kombinasi terapi ini

sering disingkat sebagai COM. Terapi 6 bulan pertama menggunakan obat

Clofazimine, Ofloxacin, dan Minocycline (COM). Terapi 18 bulan berikutnya

menggunakan obat Clofazimine dengan Ofloxacin atau Minocycline (Louisiana

Office of Public Health, 2004).

2.2.3 Terapi pengganti COM

Beberapa regimen obat baru seperti Ofloxacin, Moxifloxacin, Minocycline, dan

Clarithromycin terbukti sangat bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae.

Clarithromycin yang diberikan dengan dosis 500 mg/hari dapat digunakan sebagai

pengganti Ofloxacin atau Minocycline pada 6 bulan awal terapi COM (Louisiana

Office of Public Health, 2004). Clarithromycin terbukti mampu mengatasi

penyakit MH dengan efek yang menyerupai terapi MDT standar WHO (Dapsone,

Rifampicin, dan Clofazimine) (Dogra, et al., 2013).


17

Gambar 2.6 Struktur Kimia Clarithromycin C38H69NO13 (Medicines and

Healthcare Products Regulatory Agency, 2008)

Pada beberapa pasien MB yang menolak atau tidak dapat diberikan obat

Clofazimine dikarenakan diskolorasi kulit, terapi dapat digantikan dengan

Ofloxacin 400 mg/hari atau Minocycline 100 mg/hari untuk 12 atau 24 bulan

terapi (Louisiana Office of Public Health, 2004).

Anda mungkin juga menyukai