Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CEDERA KEPALA
DI INSTALASI GAWAT DARURAT
RSUP DR. SARDJITO YOGYAKARTA

Di Susun Oleh :

Selamet Santoso

170300478

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ALMA ATA YOGYAKARTA
2018
CEDERA KEPALA

A. Pengertian
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan
disertai atau tanpa disertai perdarahan yang mengakibatkan gangguan fungsi otak.
Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois et al.
2006).
Cedera kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat mengakibatkan
perubahan fisik intelektual, enosional, dan sosial. Trauma tenaga dari luar yang
mengakibatkan berkurang atau terganggunya status kesadaran dan perbahan kemampuan
kognitif, fungsi fisik dan emosional (judha & Rahil, 2011).

B. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan morfologi
cedera.
1. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi durameter
 Trauma tumpul : Kecepatan tinggi ( tabrakan mobil )
Kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
 Trauma Tembus (luka tembus peluru dan cedera tembus lainnya)
2. Keparahan Cedera
 Ringan : skala koma glasglow (Glasglow Coma Scale,GCS) 14- 15
 Sedang : GCS 9-13
 Berat : GCS 3-8

Penilaian GCS terdiri atas 3 komponen respon yaitu membuka mata, respon motorik
dan respon verbal.
Glasgow Coma Scale

Respon Membua mata spontan 4


Membuka Mata Membuka mata bila ada rangsangan suara 3
Membuka mata bila ada rangsangan nyeri 2
tidak ada respon 1

Respon Verbal Orientasi baik 5


Kebingungan 4
Kata-Kata tidak jelas 3
Suara tidak jelas, Mengeram 2
Tidak ada respon 1

Respon Motorik Mengikuti Perintah 6


Melokalisir Nyeri 5
Reaksi Menghindar terhadap nyeri 4
Gerakan Fleksi abnormal 3
Gerakan Ekstensi abnormal 2
tidak ada respon 1

C. Etiologi
Penyebab Cedera kepala dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Cedera tertutup : kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh dan cedera olahraga
b. Cedera terbuka : Peluru atau pisau.

Benturan pada kepala dapat terjadi pada 3 jenis keadaan :

1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak


Kekuatan benda yang bergerak akan menyebabkan deformitas akibat percepatan,
perlambatan dan rotasi yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba terhadap kepala
dan jaringan otak. Trauma tersebut bisa menimbulkan kompresi dan regangan
yang bisa menimbulkan robekan jaringan dan pergeseran sebagian jaringan
terhadap jaringan otak yang lain.
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam
Kepala yang sedang bergerak dan kemudian membentur suatu benda yang keras,
maka akan terjadi perlambatan yang tiba – tiba, sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan di tempat benturan dan pada sisi yang berlawanan. Pada
tempat tempat benturan terdapat tekanan yang paling tinggi, sedangkan pada
tempat yang berlawanan terdapat tekana negatif paling rendah sehingga terjadi
rongga dan akibatnya dapat terjasi robekan.
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena menyandar pada benda lain dibentur
oleh benda yang bergerak (kepala tergencet)

D. Manifestasi Klinis
Ada bebrapa manifestasi klinis pada penderita cidera kepala :
a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
b. Kebingungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing kepala
g. Terdapat hematoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur, mungkin adanya cairan serbrosfinal yang keluar dari hidung (rhinorrea)
dan telinga (otorrhea) bila fraktur tualng temporal
Menurut Judha (2011). Tanda dan gejala dari cedera kepala antara lain :
1. Skull Fractur
Gejala yang didapatkan CSF atau cairan lain keliar dari telinga dan hidung (othorrea,
rhinorhea), darah dibelakang membran timphani, periobital ecimos (brill hematoma),
memar di daerah mastoid (battle sign), perubahan penglihatan , hilang pendengaran,
hilang indra penciuman, pupil dilatasi, berkurangnya gerakan mata dan vertigo.
2. Councussion
Tanda yang didapat adalah menurunnya tingkat kesadaran kurang dari 5 menit,
amnesia retrogarde, pusing, sakit kepala, mual dan muntah. Contusins dibagi
menjadi 2 yaitu cerebral contusion, brainsteam contusion. Tanda yang terdapat :
a. Pernafasan mungkin normal, hilang keseimbangan secara perlahan atau cepat
b. Pupil biasanya mengecil, equal, dan reaktif jika kerusakan sampai batang otak
bagian atas (saraf kranial ke III) dapat menyebabkan keabnormalan pupil.
E. Morfologi Cedera Kepala
Secara morfologi cedera kepala dapat dibagi atas: (Peter, 2009)
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala scalp
terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin, connective tissue,
apponeurosis galea, jaringan ikat longgar dan perikranium. Diantara galea
aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit
bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada
lapisan ini.
b. Faktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada
tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.
2. Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak
yang menyebabkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi
pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat.
3. Fraktur kominutif
Fraktur komunitif adalah jenis fraktur tulang kepala yang memiliki lebih dari satu
fragmen dalam satu area fraktur
4. Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang
langsung mengenai tulang kepala. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat
menyebabkan penekanan atau laserasi pada duramater dan jaringan otak, fraktur
impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna segmen yang impresi
masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
5. Fraktur basis cranii
Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar tulang
tengkorak. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
adanya rhinorrhea dan racon eyes sign (Fraktur basis kranii fossa anterior), atau
ottorhea dan battle’s sign (fraktur kranii fossa media).
c. Cedera Otak Fokal dan Difus
Tobing (2011) mengklasifikasikan cedera otak fokal dan cedera otak difus. Cedera
otak fokal meliputi:
1. Perdarahan Epidural atau epidural hematom (EDH).
EDH adalah adanya darah di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula
interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat menimbulkan penurunan
kesadaran, adanya lusid interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi
defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan dilatasi pupil ipsilateral.
Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan
hemiparesis.
2. Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH).
Perdarahan SDH adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut
(3-6 hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan
korteks cerebri.
3. Perdarahan subdural kronik atau SDH Kronik.
SDH kronik adalah terkumpulnya darah di ruang subdural lebih dari 3 minggu
setelah trauma. SDH kronik diawali dari SDH akut dengan jumlah darah yang
sedikit-sedikit.
4. Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematomn (ICH).
Intra cerebral hematom adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang
terdapat didalam parenkim otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh
benturan antara parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan oleh
gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh
darah kortikal dan subkortikal.
5. Perdarahan subarahnoid traumatika (SAH).
Perdarahan subarahnoid diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik
arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang
subarahnoid.
Cedera otak difus menurut Sadewa (2011) adalah terminologi yang
menunjukkan kondisi parenkim otak setelah terjadinya trauma. Terjadinya cedera
kepala difus disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi dan
translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak dari permukaan terhadap
parenkim yang sebelah dalam. Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan
adanya perdarahan subarahnoid traumatika yang menyebabkan terhentinya
sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi iskemia yang luas, edema otak
disebabkan karena hipoksia akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai
cedera kepala difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi, cedera
kepala difus dikelompokkan menjadi:
1. Cedera akson difus ( Difuse aksonal injury )
Difus axonal injury adalah keadaan dimana serabut subkortikal yang
menghubungkan inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut
proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti dalam satu
hemisfer (asosiasi) dan serabut yang menghubungkan inti-inti permukaan
kedua hemisfer (komisura) mengalami kerusakan.
2. Kontusio Cerebri
Kontusio cerebri adalah kerusakan parenkimal otak yang disebabkan karena
efek gaya akselerasi dan deselerasi. Mekanisme lain yang menjadi penyebab
kontusio cerebri adalah adanya gaya coup dan countercup, dimana hal
tersebut menunjukkan besarnya gaya yang sanggup merusak struktur
parenkim otak yang terlindung begitu kuat oleh tulang dan cairan otak yang
begitu kompak.
3. Edema Cerebri
Edema cerebri terjadi karena gangguan vaskuler akibat trauma kepala. Pada
edema cerebri tidak tampak adanya kerusakan parenkim otak namun terlihat
pendorongan hebat pada daerah yang mengalami edema. Edema otak
bilateral lebih disebabkan karena episode hipoksia yang umumnya
dikarenakan adanya renjatan hipovolemik.
4. Iskemia cerebri
Iskemia cerebri terjadi karena suplai aliran darah ke bagian otak berkurang
atau berhenti. Kejadian iskemia cerebri berlangsung lama (kronik progresif)
dan disebabkan karena penyakit degenerative pembuluh darah otak.

F. Patofisiologi
Cedera kepala dapat bersifat terbuka (menembus melalui durameter) atau tertutup
(trauma tumpul tanpa penetrasi menembus dura). Cedera kepala terbuka mengkinkan
pathogen-patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Patogen ini dapat
menyebabkan peradangan pada otak. Cedera juga dapat menyebabkan perdarahan.
Peradangan dan perdarahan dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Akibat perdarahan
intracranial menyebabkan sakit kepala hebat dan menekan pusat refleks muntah
dimedulla yang mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi
keseimbangan antar intake dan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat
menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran
darah otak menurun maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi cerebral
sehingga koordinasi motorik terganggu dan menyebabkan ketidakseimbangan perfusi
jaringan serebral.
Perdarahan ekstrakranial dibagi menjadi 2 yaitu perdarahan terbuka dan tertutup.
Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang lapisan mediator histamine, bradikinin,
prostalglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan nervus aferen ke
spinoptalamus menuju ke korteks serebri sampai nervus eferen sehingga akan timbul rasa
nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet)mengalami kontak dengan benda asing
akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan perdarahan tertutup
hamper sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan rasa nyeri pada kulit
kepala.(Elizabeth, J. 2001).
G. Pathway

H. Pemeriksaan Laboraturium
a. Pemeriksaan Analisa Gas Darah
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigen
yang akan meningkatkan TIK
b. Kimia/Elektrolit Darah
Pemeriksaan ini untuk mengetahui kestidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK/perubahan mental.
I. Pemerksaan penunjang
Pemeriksaan CT scan kepala masih merupakan gold standard bagi setiap pasien
dengan cedera kepala. Berdasarkan gambaran CT scan kepala dapat diketahui adanya
gambaran abnormal yang sering menyertai pasien cedera kepala (French, 1987). Jika
tidak ada CT scan kepala pemeriksaan penunjang lainnya adalah X ray foto kepala untuk
melihat adanya patah tulang tengkorak atau wajah (Willmore, 2002).
CT-Scan adalah suatu alat foto yang membuat foto suatu objek dalam sudut 360
derajat melalui bidang datar dalam jumlah yang tidak terbatas. Bayangan foto akan
direkonstruksi oleh komputer sehingga objek foto akan tampak secara menyeluruh (luar
dan dalam). Foto CT-Scan akan tampak sebagai penampang-penampang melintang dari
objeknya. Dengan CT-Scan isi kepala secara anatomis akan tampak dengan jelas. Pada
trauma kapitis, fraktur, perdarahan dan edema akan tampak dengan jelas baik bentuk
maupun ukurannya (Sastrodiningrat, 2006). Indikasi pemeriksaan CT-scan pada kasus
trauma kepala adalah seperti berikut:
1. Bila secara klinis didapatkan klasifikasi trauma kepala sedang dan berat.
2. Trauma kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak.
3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii.
4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran.
5. Sakit kepala yang hebat.
6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak.
7. Mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral (Irwan, 2009).

J. Pengkajian Keperawatan
1. Primary Survey
 Airway
 Breathing
 Circulasion
 Disability
2. Secondary Survay
 Pengkajian Head to toe
Pemeriksaan fisik Kepala, mata, hidung, telinga, leher, thoraks, abdomen,
genitalia, anus dan rektum.
K. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Pola nafas tidak efektif
c. Nyeri akut
d. Kerusakan integritas jaringan/kulit
I. Nursing care plan

No Diagnosa Keperawatan NOC NIC


1 Ketidakefektifan Bersihan Jalan Tujuan: Airway Management
Nafas 1. Respiratory status : Airway patency 1. Monitor respirasi dan status O2
Kode : (00031) 2. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
Domain : 11 (Keamanan/ Perlindungan) Kriteria Hasil: tambahan
Kelas : 2 (Cedera Fisik) Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan
jam diharapkan pasien mampu menunujukkan alat jalan nafas buatan
Definisi Status Pernapasan: Kepatenan jalan napas yang 4. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift
Ketidakmampuan untuk membersihkan dibuktikan dengan: atau jaw thrust bila perlu
sekresi atau obstruksi dari saluran nafas  Mengeluarkan secret secara efektif [5] 5. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
untuk mempertahankan bersihan jalan  Mempunyai irama dan frekuensi dalam ventilasi
nafas. rentang normal [5] 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Batasan karakteristik  Pada pemeriksaan Asukultasi suara napas 7. Lakukan suction pada mayor
Suara nafas tambahan seperti ronchi jernih [5] 8. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Kesulitan untuk icara  Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien 9. Berikan bronkodilator bila perlu
 tidak merasa tercekik) [5]
Faktor yang berhubungan Airway suction :
- Spasme Jalan Nafas Keterangan: [1 : Gangguan ekstrim, 2 : berat, 3 : 10. Pastikan kebutuhan oral / tracheal
Sedang, 4 : ringan, 5 : Tidak ada gangguan] suctioning
11. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
suctioning.
12. Informasikan pada klien dan keluarga
tentang suctioning
13. Minta klien nafas dalam sebelum suction
dilakukan.
14. Berikan O2 dengan menggunakan nasal
untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal
15. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan
tindakan
16. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
dalam setelah kateter dikeluarkan dari
nasotrakeal
17. Monitor status oksigen pasienAjarkan
keluarga bagaimana cara melakukan suction
18. Hentikan suksion dan berikan oksigen
apabila pasien menunjukkan bradikardi,
peningkatan

2 Ketidakefektifan pola nafas NOC : Airway Management


1. Respiratory status : Ventilation
kode : (00032) 2. Respiratory status : Airway patency 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin
Domain : 4 (aktivitas/istirahat) 3. Vital sign Status lift atau jaw thrust bila perlu
Kelas : 4 (respon Kriteria Hasil : 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
kardiovaskular/pulmonal) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara ventilasi
Definisi : nafas yang bersih, tidak ada sianosis dan 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan
inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak dyspneu (mampu mengeluarkan sputum, alat jalan nafas buatan
memberi ventilasi adekuat mampu bernafas dengan mudah, tidak ada 4. Pasang mayo bila perlu
pursed lips) 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau
merasa tercekik, irama nafas, frekuensi suction
pernafasan dalam rentang normal, tidak ada 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
suara nafas abnormal) tambahan
Tanda Tanda vital dalam rentang normal 8. Lakukan suction pada mayo
(tekanan darah, nadi, pernafasan) 9. Berikan bronkodilator bila perlu
10. Berikan pelembab udara Kassa basah
NaCl Lembab
11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keseimbangan.
12. Monitor respirasi dan status O2

Terapi Oksigen
1. Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
2. Pertahankan jalan nafas yang paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor aliran oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Onservasi adanya tanda tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
8.
Vital sign Monitoring

1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR


2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3. Monitor VS saat pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama,
dan setelah aktivitas
6. Monitor kualitas dari nadi
7. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
8. Monitor suara paru
9. Monitor pola pernapasan abnormal
10. Monitor suhu, warna, dan kelembaban
kulit
11. Monitor sianosis perifer
12. Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13. Identifikasi penyebab dari perubahan
vital sign
3 Nyeri Akut Tujuan : Pain Management
1. Pain Level 1. Observasi reaksi nonverbal dari
Kode : (00132) 2. Pain control ketidaknyamanan
Domain : 12 (Kenyamanan) 2. Lakukan pengkajian nyeri secara
Kelas : 1 (Kenyamanan Fisik) Kriteria Hasil : komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,
Definisi : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 durasi, frekuensi, skala, kualitas dan faktor
Sensori yang tidak menyenangkan dan x 24 jam, pasien di harapkan mampu presipitasi(otot yang sudah lama tidak
pengalaman emosional yang muncul memperlihatkan nyeri skala 4 atau 5, yang digerakkan)
secara aktual atau potensial kerusakan dibuktikan dengan : 3. Monitor penerimaan pasien tentang
jaringan atau menggambarkan adanya  Mampu mengontrol nyeri (tahu)  manajemen nyeri
kerusakan (Asosiasi Studi Nyeri  Penyebab nyeri, mampu menggunakan 4. Kontrol lingkungan yang dapat
Internasional): serangan mendadak atau tehnik non farmakologi untuk mengurangi, mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
pelan intensitasnya dari ringan sampai nyeri, mencari bantuan)  pencahayaan dan kebisingan
berat  Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 5. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
menggunakan manajemen nyeri [5] (farmakologi, non farmakologi dan inter
 Mampu mengenali nyeri (skala,intensitas, personal)
frekuensi dan tanda nyeri)  6. Lakukan tindakan kenyamanan untuk
meningkatkan relaksasi, mis. Pemijatan,
mengatur posisi, teknik relaksasi.
7. Gunakan teknik panas dan dingin sesuai
anjuran untuk meminimalkan nyeri.
8. Kolaborasikan dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
9. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri Berikan
4 Kerusakan Integritas Kulit Tujuan : Pengawasan kulit
1. Integritas jaringan 1. Observasi ekstremitas untuk warna,
Kode : (00046) keringat, nadi, tekstur, edema dan luka
Domain : 11(Keamanan / Perlindungan) Kriteria hasil : 2. Inspeksi kulit dan membran mukosa untuk
Kelas : Cedera Fisik Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama kemerahan, panas, drainase
Definisi : 3x24 jam, diharapkan pasien menunjukkan 3. Monitor kulit pada daerah kemerahan
Perubahan/ gangguan epidermis dan/ integritas jaringan kulit, yang dibuktikan dengan : 4. Monitor penyebab tekanan
atau dermis. 5. Monitor adanya infeksi
Batasan Karakteristik :  Suhu, elastisitas, dehidrasi dan sensasi, 4,5 6. Monitor warna kulit
- Kerusakan lapisan kulit  Perfusi jaringan, 5 7. Monitor temperatur kulit
 Keutuhan kulit, 5 8. Catat perubahan kulit dan membran
 9. Monitor kulit area kemerahan

Perawatan Luka
1. Bersihkan menggunakan normal saline
2. Menutup luka menggunakan perban
DAFTAR PUSTAKA

Nanda International. 2015-2017. Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi. Jakarta :


EGC

Sastrodiningrat, A.G., (2007). Pemahaman Indikator-Indikator Dini dalam Menentukan


Prognosa Cedera Kepala Berat. Universitas Sumatera 40 Utara. Available from :
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/753 [ Accessed 05 Maret 2018 ]

American College of Surgeon Committee on Trauma. (2004). Cedera Kepala dalam


Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia. Komisi trauma
IKABI

Akbar. (2008). Distribusi Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat RS Cipto


Mangunkusumo. Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Alderman, M.H. 1993. Blood

Elizabeth J. Corwin. (2002). Buku Saku Patofisiologi . Jakarta : EGC

Brown, W.R., Langlois, J.A., Thomas, K.E., Xi, Y.L. (2006). Incidence of Traumatic Brain
Injury in United States, 2003. J Head Trauma Rehabil, 21(6):544-8.

Judha M & Rahil H.N. (2011). Sistem Persarafan Dalam Asuhan Keperawatan. Yogyakarta:
Gosyen Publishing

Anda mungkin juga menyukai