Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ide Computerized Tomography Scanner (CT-Scan) yang pertama
dikemukakan oleh Oldendorf pada tahun 1961, kemudian dilakukan
pendekatan matematis oleh Cormack pada tahun 1963. Ahli fisika Housnfield
(Inggris) meletakkan dasar-dasar dalam praktek dan menguraikan prinsip-
prinsip tersebut lebih spesifik pada tahun 1968.
CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-x, komputer
dan televisi sehingga mampu menampilkan gambar anatomis tubuh dalam
manusia dalam bentuk irisan atau slice. Prinsip kerja CT-Scan menggunakan
sinar-x sebagai sumber radiasi. Sinar-x berasal dari tabung yang terletak
berhadapan dengan sejumlah detektor, dimana keduanya bergerak secara
sinkron memutari pasien sebagai objek yang ditempatkan diantaranya.(Rasad,
2000)
CT-Scan merupakan salah satu modalitas radiologi yang dapat
digunakan untuk mendiagnosis adanya kelainan-kelainan pada organ tubuh
manusia misalnya kelainan pada sinus paranasal.
Sinus paranasal (SPN) merupakan rongga yang berisi udara yang dilapisi
oleh membran mukosa yang berada di sekitar rongga hidung. Rongga udara
yang mengisi sinus paranasal biasanya disebut dengan accessory nasal sinus.
Sinus paranasal dibagi menjadi empat kelompok menurut letak tulang, yaitu
sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidalis dan sinus sphenoidalis. Sinus
maksilaris termasuk bagian dari tulang wajah sedangkan frontalis, ethmoidalis
dan sphenoidalis dimasukkan ke dalam golongan tulang cranium (Bontrager,
2010). Sinus paranasal terdiri dari empat bagian pada sisi yang berbeda,
merupakan cavitas pada tulang yang bergandengan dengan hidung. Empat
bagian tersebut keluar dari cavum nasi dan dihubungkan oleh ostia yang
merupakan jalur drainase (Medical Dictionary, 2008).

1
Pemeriksaan CT-Scan SPN dengan digunakan untuk menilai
neoplasma dan kelainan pembuluh darah, sinusitis, dan menunjukkan trauma
atau patologi kerusakan tulang. (Nesseth dan Erica K. W, 2000)
CT-Scan mampu menunjukkan konstruksi tulang dari kepala maupun
pada sinus paranasal itu sendiri. CT-scan juga mampu menunjukkan adanya
cairan maupun perdarahan pada rongga sinus paranasal akibat trauma kepala.
Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut
mengenai teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus CKR
dan Amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung dan
mengangkatnya sebagai laporan kasus yang berjudul “ TEKNIK
PEMERIKSAAN CT-SCAN SINUS PARANASAL PADA KASUS CIDERA
KEPALA RINGAN (CKR) DAN AMNESIA DI INSTALASI RADIOLOGI RUMAH
SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG ”.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus
CKR dan Amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang ?
2. Mengapa pada pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal pada penderita
dengan suspect CKR dan Amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang tidak dilakukan scanning dengan irisan coronal?
3. Apakah tujuan dilakukan scanning axial dengan menggunakan teknik satu
range pada daerah sinus paranasal dan brain pada pemeriksaan CT-Scan
sinus paranasal pada penderita dengan suspect CKR dan Amnesia di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui prosedur pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan
CKR dan Amnesia di Instalasi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.

2
2. Untuk mengetahui alasan tidak dilakukannya scanning dengan irisan coronal
pada pemeriksaan CT-Scan pada penderita dengan suspect CKR dan
Amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.
3. Untuk mengetahui tujuan dilakukannya scanning axial dengan menggunakan
teknik satu range pada daerah sinus paranasal dan brain pada pemeriksaan
CT-Scan pada penderita dengan suspect CKR dan Amnesia di Instalasi
Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang dapat diperoleh dari pembuatan laporan kasus ini antara
lain:
1. Bagi Penulis
Penulis dapat menambah pengalaman dan dapat mengetahui lebih lanjut
tentang teknik pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus CKR
dan Amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang.
2. Bagi Pembaca
Pembaca dapat memperoleh informasi dan pengetahuan tentang teknik
pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus CKR dan amnesia di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.
3. Bagi Rumah Sakit
Dapat memberikan dorongan dalam meningkatkan pelayanan diagnostik,
khususnya pada pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal dengan kasus
CKR dan amnesia.
4. Bagi Akademi
Sebagai bahan masukan bagi penulisan laporan kasus dengan kasus yang
sama.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi


1. Sinus Paranasal
Sinus paranasal merupakan rongga yang berisi udara yang dilapisi
oleh membran mukosa yang berada di sekitar rongga hidung. Rongga
udara yang mengisi sinus paranasal biasanya disebut dengan accessory
nasal sinus (Bontrager, 2010).
Sinus paranasal dibagi menjadi empat kelompok menurut letak
tulang, yaitu sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidalis dan sinus
sphenoidalis. Sinus maksilaris termasuk bagian dari tulang wajah
sedangkan frontalis, ethmoidalis dan sphenoidalis dimasukkan ke dalam
golongan tulang cranium (Bontrager, 2010).
Sinus paranasal mulai mengalami perkembangan pada fetus, tetapi
hanya sinus maksilaris yang memperlihatkan suatu rongga yang
perkembangannya begitu terbatas. Sinus frontalis dan sinus sphenoidalis
mulai tampak pada gambaran radiografi pada umur 6 – 7 tahun. Sinus
ethmoidalis adalah sinus yang mengalami perkembangan paling akhir
dibandingkan yang lainnya. Semua sinus paranasal mengalami
perkembangan secara maksimal pada akhir masa remaja. Masing-masing
bagian sinus akan dipelajari, dimulai dari sinus yang paling besar, yaitu
sinus maksilaris. (Bontrager, 2010)
1.1 Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar. Dulu
istilah yang digunakan untuk sinus maksilaris adalah “antrum”
singkatan dari “Antrum of High More”. Masing-masing sinus
maksilaris memiliki bentuk yang menyerupai suatu pyramid bila
dilihat dari anterior, bila dilihat secara lateral sinus maksilaris
lebih nampak seperti kubus.

4
Sinus maksilaris memiliki dinding tulang yang sangat tipis
bagian bawah dari sinus maksilaris superposisi dengan bagian
bawah tulang nasal. Bila dilihat pada bagian bawah sinus
maksilaris, terlihat beberapa coni celekations yang berhubungan
dengan gigi molar 1 dan 2 bagian atas. Ada kalanya batas
bawah sinus maksilaris mengalami perforasi atau mengalami
perlobangan dan mengakibatkan terjadinya infeksi pada gigi,
mempengaruhi bagian molar dan premolar dan merambat naik
ke sinus maksilaris.

Semua rongga sinus paranassal saling berhubungan dengan


lainnya dan berhubungan juga dengan rongga hidung, yang
mana dibagi menjadi dua ruangan yang sama atau disebut
dengan fossa. Pada kasus sinus maksilaris lokasi penghubung
antara nasal dan maksilari merupakan permukaan masuknya ke
middle nasal meatus kemudian diteruskan ke superior medial
aspek dari rongga sinus itu sendiri. (Bontrager, 2010)

1.2 Sinus Frontalis


Sinus frontal berada di antara bagian dalam dan luar os
frontal, ke posterior membentuk glabela dan jarang terbentuk
sebelum umur 6 tahun. Sinus frontalis pada umumnya
dipisahkan oleh septum yang menyimpang dari satu sisi dengan
sisi yang lainnya, dan menghasilkan satu rongga tunggal.
Rongga-rongga yang ada memiliki bermacam-macam ukuran
dan bentuk. Biasanya pada laki-laki ukuranya lebih besar dari
pada wanita. (Bontrager, 2010)

1.3 Sinus Ethmoidalis


Sinus ethmoidalis adalah termasuk di dalam masses lateral
atau labirin dari tulang ethmoid. Rongga udara sinus ethmoidalis
dikelompokkan menjadi anterior, middle dan posterior collections,

5
tetapi semua yang ada di atas tidak saling berhubungan.
(Bontrager, 2010)

1.4 Sinus Sphenoidalis


Sinus sphenoidalis berada di dalam bodi tulang sphenoid yang
berada di bawah sela tursika. Bodi dari tulang sphenoid terdiri
dari sinus yang berbentuk kubus dan dibagi oleh suatu sekat tipis
untuk membentuk dua rongga. Septum dan sphenoid mungkin
tidak sempurna dan menghasilkan hanya satu rongga karena
sinus sphenoid sangat dekat dengan dasar cranium, kadang-
kadang proses patologi dari cranium mengakibatkan efek pada
sinus tersebut. Suatu contoh adalah demonstrasi dari suatu air
fluid level di dalam sinus sphenoid yang kemudian
mengakibatkan trauma tulang tengkorak. Ini mungkin
membuktikan bahwa pasien mempunyai suatu fraktur dasar
kepala yang disebut dengan “sphenoid effusion”.

Keterangan :

1. Right temporal bone


2. Sinus frontal
3. Sinus ethmoidalis
4. Sinus sphenoid
5. Sinus maxilary

Gambar 2.1 Posisi Anterior Sinus Paranasal


( Bontrager, 2010 )

6
Keterangan :
1. Sinus frontal
2. Sinus ethmoid
3. Sinus maxillary
4. Sinus sphenoid
5. Left temporal bone

Gambar 2.2 Posisi Lateral Sinus Paranasal


( Bontrager, 2010 )
2. Brain
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai
agar-agar dan terletak di dalam ruangan yang tertutup oleh tulang, yaitu
cranium (tengkorak), yang secara absolut tidak dapat bertambah
volumenya, terutama pada orang dewasa. Jaringan otak dilindungi oleh
beberapa pelindung, mulai dari permukaan luar adalah kulit kepala, tulang
tengkorak, selaput otak (meninges), dan cairan cerebrospinalis. Selaput
otak terdiri atas tiga lapisan (dari luar ke dalam) : duramater, arakhnoid,
dan piamater. Di dalam tempat tertentu duramater membentuk sekat-sekat
rongga cranium dan membaginya menjadi tiga kompartemen. Tentorium
merupakan sekat yang membagi rongga cranium menjadi kompartemen
supratentorial dan infratentorial, memisahkan bagian-bagian posterior-
inferior hemisfer cerebri dan cerebelum.

7
Otak (encephalon) dapat dibagi dalam tiga komponen utama :
hemisfer cerebri (otak besar), batang otak, dan cerebellum (otak kecil).
Cerebri adalah bagian otak terbesar (85%) yang berasal dari
pronsecephalon. Ia terdiri dari sepasang hemisfer yaang berstruktur sama,
yang dipisahkan oleh flax cerebri dan dihubungkan oleh sekumpulan
serabut saraf yang disebut corpus callosum, yang berfungsi untuk
menyampaikan impuls di antara keduanya. Cerebri dari luar ke dalam
tersusun oleh korteks (massa kelabu atau subtansia grisea atau grey
matter), massa putih (subtansia alba), dan massa kelabu yang dikenal
sebagai ganglia basalis.

1
3
2
4
5
7 6

Gambar 2.3 Potongan basis otak

Keterangan :
1. Lobus frontalis
2. Lobus temporalis
3. Lobus parietalis
4. Mesencephalon
5. Pons
6. Medula
7. Cerebellum
8. Lobus oksipitalis

8
2
1
4
3
5

Gambar 2.4 Potongan lateral otak

Keterangan :
1. Lobus frontalis
2. Lobus parietalis
3. Lobus temporalis
4. Lobus oksipitalis
5. Cerebellum

Korteks cerebri (subtansi gricea) terdiri dari sel-sel saraf. Subtansia


alba cerebri berisi serabut-serabut saraf (akson) dalam saluran-saluran
yang menonjol, contoh korona radiata. Serabut-serabut ini arahnya
konvergen, membentuk kapsula interna, di sefalad otak tengah. Ganglia
basalis yang terletak di sebelah dalam cerebri, berbatasan dengan
ventrikel III, terdiri dari nukleus kaudatus, putamen dan globus palidus.
Nukleus kaudatus berjalan di lateral ventrikel lateralis dan talamus.
Talamus dan hipotalamus juga termasuk dalam substanis gricea.
Di dalam parenkim otak bagian dalam terdapat empat buah rongga
yang saling berhubungan dan berisi cairan cerebrospinalis. Rongga-rongga
ini dibatasi oleh epitel apindema, disebut ventrikel otak. Sistem ventrikel
otak terdiri atas ventriel lateralis kanan dan kiri, ventrikel III, dan ventrikel
IV. Cairan cerebrospinalis dibentuk setiap hari oleh pleksus khoroideus di
dalam ventrikel dan ruang subarakhnoid.
Batang otak, dari sefalad ke kaudal, terdiri dari empat komponen
utama : disencephalon, mesencephalon, pons, dan medulla. Diencephalon
terdiri dari talamus, hipotalamus, epitalamus, dan sub talamus.

9
Mesencephalon atau otak tengah terdiri dari tektum, tegmentum,
substansia nigra, dan pedunkulus cerebri. Saraf III dan IV keluar dari
mesensefalon. Akuaduktus silvii yang menghubungkan ventrikel III dan IV
terletak dalam otak tengah bagian dorsal. Pons merupakan penghubung
antara otak tengah dan medulla oblongata, terdiri dari bagian ventral
(basis) dan bagian dorsal (tegmentum). Ia membentuk komponen utama
dari batang otak dan berlokasi di bagian fossa medio-posterior. Saraf V-VII
berasal dari pons. Permukaan dorsal pons membentuk dasar ventrikel IV.
Medulla merupakan komponen yang paling kaudad dari batang otak. Saraf
VIII-XII berasal dari medula. Medula akan melanjutkan diri ke kaudal
sebagai medula spinalis. Medula meruncing ke kaudal dan bergabung
dengan medula spinalis servikal pada foramen magnum.
Cerebellum terletak dorsal dari pons dan medulla dan menempati
terbesar dari fossa cerebri posterior. Cerebellum terdiri dari vermis di garis
tengah dan dua lobus lateral (hemisfer).Seperti hemisfer cerebri,
cerebellum terdiri dari korteks (gray matter) dan bagian tengah (white
matter) dengan inti bagian dalam (gray matter). Cerebellum bergabung
dengan tiga segmen batang otak melalui pasangan pedunkulus :
cerebelaris inferior dengan medulla oblongata.
B. Patologi
1. Patologi Cidera Kepala
Cidera kepala didefinisikan sebagai trauma yang terjadi akibat
ruda paksa mekanis eksternal yang mencederai kepala yang
memungkinkan terjadinya gangguan kognitif, fisik, dan psikososial
baik sementara maupun permanen yang berpengaruh terhadap
berkurangnya kesadaran. (Barry, 2005)
Secara klinis trauma kepala dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu :
a. Cidera kepala ringan (Low risk)
Penderita sadar, secara fisik normal, tidak ada intoksidasi
alkohol/obat-obatan, minimal atau laserasi hematoma ringan,
pusing, pening atau penglihatan kabur.

10
b. Cidera kepala sedang (Moderate risk)
Sempat pinsan, amnesia, muntah, kejang, ada tanda fraktur di
skull, adanya tanda intoksidasi alkohol/obat-obatan. Trauma yang
tidak diketahui penyebabnya.
c. Cidera kepala berat. (Severe)
Penurunan atau kurangnya kesadaran, fraktur skull, kelainan
neurologist yang menandakan cidera intracranial.

Selain fraktur pada tulang-tulang kepala, pada trauma kepala


juga dapat terjadi cidera pada otak baik secara langsung maupun tak
langsung dan juga terjadi perdarahan. (Barry, 2005)
a. Concutio/Comotio Cerebri (gegar otak)
Adalah kehilangan kesadaran dan reflek-reflek akibat benturan
pada kepala yang menimbulkan getaran-getaran yang dialirkan ke
jaringan otak.
b. Contusio Cerebri (memar otak)
Adalah akibat tekanan tulang tengkorak yang temporer pada
selaput otak, mula-mula terdapat perdarahan khas yang letaknya
sejajar pada ujung gyrus. Perdarahan dapat terjadi pada tempat
yang sama pada daerah benturan (disebut perdarahan coup) atau
bisa juga terjadi pada daerah berlawanan dengan tempat
benturan (disebut perdarahan countrecoup).
c. Laseratio
Adalah cacat traumatik berupa robekan pada jaringan otak yang
biasanya diakibatkan karena fraktur tulang tengkorak. Laserasio
dapat menyebabkan epilepsi post traumatik.
d. Perdarahan Epidural (Epidural Hepatoma)
Yaitu perdarahan yang terjadi diantara tulang tengkorak dan
durameter yang biasanya terjadi akibat fraktur tulang spenoid
pada daerah cabang arteri meningea media. Kadang juga terjadi
akibat adanya robekan vena dan tipikalnya terjadi di regio

11
posterior fossa atau dekat daerah oksipital lobe. Perdarahan yang
berasal dari vena gejalanya bisa timbul setelah 1-3 minggu
setelah trauma. 90 % perdarahan berasal dari ateri dan biasanya
membutuhkan tindakan pembedahan segera.
e. Perdarahan Subdural (Subdural Hepatoma)
Yaitu perdarahan yang terjadi dalam ruang antara durameter dan
arakhnoid mater. Biasanya dapat terjadi secara akut maupun
kronik.
f. Perdarahan Subarachnoid (SAH)
Merupakan perdarahan intra kranial yang paling sering terjadi
yang disebabkan oleh trauma. Biasanya disertai dengan kontusio
ataupun laserasio serebri atau serebellum dan lokasinya sering
pada lobus oksipitalis dan serebelum.
g. Perdarahan Intra Cerebral (ICH)
Pada perdarahan intraserebral akan terlihat daerah hiperdens
pada daerah perdarahan parenkim otak (Sutton, 2003).
Perdarahan akan mencapai atenuasi maksimum pada 2-4 jam
pertama, yaitu pada saat pembekuan darah. Setelah itu akan
terjadi efek massa perdarahan terhadap jaringan sekitar, berupa
daerah hipodens disekeliling lesi tersebut.
2. Patologi Amnesia
Amnesia adalah gangguan ingatan yang ditandai dengan
ketidakmampuan untuk mengingat kejadian masa lalu dan untuk
mempelajari informasi hal yang baru meskipun kesadaran dan perhatian
normal.
Amnesia disebabkan oleh kerusakan otak, akibat trauma atau
penyakit, dan pengaruh obat-obatan. Penyebab fungsionalnya adalah
faktor psikologis, seperti halnya faktor pertahanan ego.
Patofisiologi amnesia yaitu sebagian lesi menyebabkan gangguan
belajar dan hilangnya ingatan segera atau perhatian. Amnesia hanya
terjadi setelah lesi bilateral dari lobus temporalis medialis. Lesi unilateral

12
dari lobus temporalis yang dominan menyebabkan defisit ingatan verbal
dan lesi dari lobus temporalis yang tidak dominan menyebabkan deficit
ingatan yang visual dan nonverbal. Tapi deficit ini jarang signifikan tanpa
adanya patologi lobus temporalis kontralateral yang ada sebelumnya.
(Kapita Selekta Kedokteran,E/3,Jilid 1-Penerbit,Media Aescapulapius,FK
UI,2001)
C. Dasar-Dasar Ct-Scan
CT-Scan merupakan perpaduan antara teknologi sinar-X, komputer dan
televisi. Prinsip kerjanya yaitu berkas sinar-X yang terkolimasi akan menembus
tubuh pasien dan ditangkap detector dan selanjutnya diproses oleh komputer.
Di dalam komputer terjadi proses pengolahan dan perekonstruksian gambar
dengan penerapan prinsip matematika atau yang lebih dikenal dengan
rekonstruksi algorithma. Setelah proses pengolahan selesai, maka data yang
telah diperoleh berupa data digital yang selanjutnya diubah menjadi data
analog untuk ditampilkan ke layar monitor. Gambar yang ditampilkan dalam
layar monitor selanjutnya diubah menjadi data analog untuk ditampilkan ke
layar monitor. Gambar yang ditampilkan dalam layar monitor berupa informasi
anatomis irisan tubuh.
Pada CT-Scan prinsip kerjanya hanya dapat menggambarkan tubuh
dengan irisan melintang tubuh. Namun dengan memanfaatkan teknologi
komputer maka gambaran axial yang telah didapatkan dapat direformat
kembali sehingga sehingga didapatkan gambaran coronal, sagital, oblik.
diagonal bahkan bentuk 3 dimensi dari objek tersebut (Rasad, 2000).
1. Perkembangan CT-Scan (Rasad, 2000)
Setelah Godfrey Hounsfield dari EMI Limited London dan James
Ambrosse dari Atkinson Morley ‘s Hospital mulai memperkenalkan CT-
Scan pada tahun 1970 di London Inggris, maka CT-Scan mengalami
perkembangan yang cukup pesat. CT-Scan pada masa tersebut hanya
dapat menggambarkan kepala dengan waktu pemeriksaan yang cukup
lama. Pada periode-periode selanjutnya CT-Scan mengalami berbagai
pembaharuan, dimulai dari CT-Scan generasi II hingga CT-Scan

13
generasi ke IV. Pada prinsipnya pembaharuan tersebut terletak pada
fungsi pemeriksaan dan waktu pemeriksaan yang semakin singkat.
Pada tahun 1990, CT-Scan mengalami kemajuan yang cukup
penting, yaitu mulai diperkenalkannya CT Helical atau CT-Spiral.
Keunggulan dari alat ini waktu eksposi yang semakin singkat. CT
Helical menggunakan metode Slip ring yang pada prinsipnya
menggantikan kabel-kabel tegangan tinggi yang terpasang pada tabung
sinar-X di dalam gantry yang disertai dengan pergerakan meja.
Dengan metode ini, tabung sinar-X dapat berotasi secara terus
menerus sambil mengeksposi pasien yang bergerak secara sinkron.
Prinsip itulah yang dikenal dengan spiral. Di dalam CT Helical dikenal
prinsip single slice. Perbedaan utama dari kedua prinsip ini terletak
pada jumlah lajur detektor yang berpengaruh pada lamanya
pemeriksaan dan resolusi gambar yang dihasilkan.
2. Komponen-komponen CT-Scan
2.1 Gantry
Di dalam CT-Scan, pasien berada di atas meja pemeriksaan dan
meja tersebut dapat bergerak menuju gantry. Gantry ini terdiri dari
beberapa perangkat keras yang keberadaannya sangat diperlukan
untuk menghasilkan suatu gambaran. Perangkat keras tersebut
antara lain tabung sinar-X, kolimator, dan detektor.
2.2 Tabung Sinar-X
Berdasarkan strukturnya tabung sinar-X sangat mirip dengan
tabung sinar-X konvensional, namun perbedaannya terletak pada
kemampuannya untuk menahan panas dan output yang tinggi.
Panas yang cukup tinggi dengan elektron-elektron yang
menumbuknya. Ukuran fokal spot yang cukup kecil (kurang dari 1
mm) sangat dibutuhkan untuk menghasilkan resolusi yang tinggi.
2.3 Kolimator
Kolimator berfungsi untuk mengurangi radiasi hambur, membatasi
jumlah sinar-X yang sampai ke tubuh pasien serta untuk

14
meningkatkan kualitas gambar, tidak seperti pada pesawat
radiografi konvensional. CT-Scan menggunakan 2 buah kolimator.
Kolimator pertama diletakkan pada rumah tabung sinar-X yang
disebut pre pasien kolimator dan kolimator yang kedua diletakkan
antara pasien dan detektor yang disebut per detektor kolimator
atau post pasien kolimator.
2.4 Detektor
Selama eksposi, berkas sinar-X (foton) menembus pasien dan
mengalami perlemahan (attenuasi). Sisa-sisa foton yang telah
terattenuasi kemudian ditangkap oleh detektor. Ketika detektor
menerima sisa-sisa foton tersebut, foton berinteraksi dengan
detektor dan memproduksi sinyal dengan arus yang kecil yang
disebut sinar output analog. Sinyal ini besarnya sebanding dengan
intensitas radiasi yang diterima. Kemampuan penyerapan detektor
yang tinggi akan berakibat kualitas gambar yang dihasilkan
menjadi lebih optimal. Detektor memiliki 2 tipe yaitu detektor solid
stete dan detektor irisan gas.
2.5 Meja Pemeriksaan (Couch)
Meja pemeriksaan merupakan tempat untuk memposisikan pasien.
Meja ini biasanya terbuat dari fiber karbon. Dengan adanya bahan
ini maka sinar-x yang menembus pasien tidak terhalangi jalannya
untuk menuju detektor. Meja ini harus kuat dan kokoh mengingat
fungsinya untuk menopang tubuh pasien selama meja bergerak ke
dalam gantry.
2.6 Sistem Konsul
Konsul tersedia dalam berbagai variasi. CT-Scan generasi awal
masih menggunakan 2 sistem konsul yaitu untuk pengoperasian
CT-Scan sendiri dan untuk perekaman dan pencetakan gambar.
Model yang terbaru sudah memiliki banyak kelebihan dan banyak
fungsi.
Bagian dari sistem konsul ini yaitu :

15
2.6.1. Sistem Kontrol
Pada bagian ini petugas dapat mengontrol
parameter-parameter yang berhubungan dengan
beroperasinya CT-Scan seperti pengaturan kV, mA dan
waktu scanning, ketebalan irisan (Slice thickness), dan
lain-lain. Juga dilengkapi dengan keyboard untuk
memasukkan data pasien dan pengontrol fungsi tertentu
dalam komputer.
2.6.2. Sistem Pencetakan Gambar
Setelah gambar CT-Scan diperoleh, gambaran
tersebut dipindahkan dalam bentuk film. Pemindahan ini
menggunakan kamera multi format. Cara kerjanya yaitu
kamera merekam gambaran di monitor dan
memindahkannya ke dalam film. Tampilan gambaran di
film dapat mencapai 2-24 gambar tergantung ukuran film
(biasanya 8 x 10 inchi atau 14 x 17 inchi).
2.6.3. Sistem Perekaman Gambar
Merupakan bagian penting yang lain dari CT-Scan.
Data pasien yang telah ada disimpan dan dapat dipanggil
kembali dengan cepat. Biasanya sistem perekaman ini
berupa disket optik dengan kemampuan penyimpanan
sampai ribuan gambar. Ada pula yang menggunakan
magnetic tape dengan kemampuan penyimpanan data
hanya sampai 200 gambar.

16
Gambar 2.5 Komponen CT-Scan
(Gantry dan Couch/ meja pemeriksaan)
(Bontrager, 2010)

Gambar 2.6 Komponen CT-Scan


(Komputer dan consol) (Bontrager, 2010)
3. Parameter CT-Scan
Gambaran pada CT-Scan dapat terjadi sebagai hasil dari
berkas-berkas sinar-X yang mengalami perlemahan serta menembus
objek, ditangkap detektor, dan dilakukan pengolahan di dalam
komputer. Penampilan gambar yang baik tergantung dari kualitas
gambar yang dihasilkan sehingga aspek klinis dari gambar tersebut
dapat dimanfaatkan dalam rangka untuk menegakkan diagnosis.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam CT-Scan dikenal
beberapa parameter untuk pengontrolan eksposi dan output gambar
yang optimal.

17
3.1. Slice Thickness
Slice thickness adalah tebalnya irisan atau potongan dari
objek yang diperiksa. Nilainya dapat dipilih antara 1 - 10 mm
sesuai dengan keperluan klinis. Pada umumnya ukuran yang
tebal akan menghasilkan gambaran dengan detail yang rendah,
sebaliknya yang tipis akan menghasilkan gambaran dengan
detail yang tinggi.
3.2. Range
Range atau rentang adalah perpaduan atau kombinasi
dari beberapa slice thickness. Sebagai contoh untuk CT-Scan
thorax, range yang digunakan adalah sama yaitu 5-10 mm mulai
dari apeks paru sampai diafragma. Pemanfaatan dari range
adalah untuk mendapatkan ketebalan irisan yang sama pada
satu lapangan pemeriksaan.
3.3. Faktor Eksposi
Faktor eksposi adalah faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap eksposi meliputi tegangan tabung (kV), arus tabung
(mA) dan waktu eksposi (s). Besarnya tegangan tabung dapat
dipilih secara otomatis pada tiap-tiap pemeriksaan. Namun
kadang-kadang pengaturan tegangan tabung diatur ulang untuk
menyesuaikan ketebalan objek yang akan diperiksa (rentangnya
antara 80 – 140 kV). Tegangan tabung yang tinggi biasanya
dimanfaatkan untuk pemeriksaan paru dan struktur tulang seperti
pelvis dan vertebra. Tujuannya adalah untuk mendapatkan
resolusi gambar yang tinggi sehubungan dengan letak dan
struktur penyusunnya.
3.4. Field of View (FoV)
Field of View adalah maksimal dari gambaran yang akan
direkonstruksi. Besarnya bervariasi dan biasanya berada pada
rentang 12-50 cm. FoV yang kecil maka akan mereduksi ukuran
pixel (picture element), sehingga dalam proses rekonstruksi

18
matriks gambarannya akan menjadi lebih teliti. Namun, jika
ukuran FoV terlalu kecil maka area yang mungkin dibutuhkan
untuk keperluan klinis menjadi sulit untuk dideteksi.
3.5. Gantry tilt
Gantry tilting adalah sudut yang dibentuk antara bidang
vertikal dengan gantry (tabung sinar-x dan detektor). Rentang
penyudutan –250 sampai + 250. Penyudutan dari gantry
bertujuan untuk keperluan diagnosis dari masing-masing kasus
yang harus dihadapi. Di samping itu, bertujuan untuk mereduksi
dosis radiasi terhadap organ-organ yang sensitif seperti mata.
3.6. Rekonstruksi Matriks
Rekonstruksi matriks adalah deretan baris dan kolom pada
picture element (pixel) dalam proses perekonstruksian gambar.
Pada umumnya matriks yang digunakan berukuran 512 x 512
(5122) yaitu 512 baris dan 512 kolom. Rekonstruksi matriks ini
berpengaruh terhadap resolusi gambar yang akan dihasilkan.
Semakin tinggi matriks yang dipakai maka semakin tinggi
resolusi yang akan dihasilkan.
3.7. Rekonstruksi Algorithma
Rekonstruksi algorithma adalah prosedur matematis
(algorithma) yang digunakan dalam merekonstruksi gambar.
Hasil dan karakteristik dari gambar CT-Scan tergantung pada
kuatnya algorithma yang dipilih. Sebagian besar CT-Scan sudah
memiliki standar algorithma tertentu untuk pemeriksaan kepala,
abdomen, dan lain-lain. Semakin tinggi resolusi algorithma yang
dipilih, maka semakin tinggi pula resolusi gambar yang akan
dihasilkan. Dengan adanya metode ini maka gambaran seperti
tulang, soft tissue, dan jaringan-jaringan lain dapat dibedakan
dengan jelas pada layar monitor.

19
3.8. Window Width
Window Width adalah rentang nilai computed tomography
yang akan dikonversi menjadi gray levels untuk ditampilkan
dalam TV monitor.
Setelah komputer menyelesaikan pengolahan gambar melalui
rekonstruksi matriks dan algorithma maka hasilnya akan
dikonversi menjadi skala numerik yang dikenal dengan nama
nilai computed tomography. Nilai ini mempunyai satuan HU
(Hounsfield Unit) yang diambil dari nama penemu CT-Scan
kepala pertama kali yaitu Godfrey Hounsfield.
Berikut ini tabel nilai CT pada jaringan yang berbeda
penampakannya pada layar monitor (Bontrager, 2010)
Tipe jaringan Nilai CT (HU) Penampakan
Tulang +1000 Putih
Otot +50 Abu-abu
Materi putih +45 Abu-abu menyala
Materi abu-abu +40 Abu-abu
Darah +20 Abu-abu
CSF +15 Abu-abu
Air 0
Lemak -100 Abu-abu gelap ke hitam
Paru -200 Abu-abu gelap ke hitam
Udara -1000 Hitam

Dasar pemberian nilai ini adalah air dengan nilai 0 HU.


Untuk tulang mempunyai nilai +1000 HU kadang sampai + 3000
HU. Sedangkan untuk kondisi udara nilai ini adalah air dengan
yang dimiliki – 1000 HU. Di antara rentang tersebut merupakan
jaringan atau substansi lain dengan nilai berbeda-beda pula
tergantung pada tingkat perlemahannya. Dengan demikian

20
penampakan tulang dalam monitor menjadi putih dan
penampakan udara hitam. Jaringan dan substansi lain akan
dikonversi menjadi warna abu-abu yang bertingkat yang disebut
Gray Scale. Khusus untuk darah yang semula dalam
penampakannya berwarna abu-abu dapat menjadi putih jika
diberi media kontras Iodine.
3.9. Window Level
Window level adalah nilai tengah dari window yang
digunakan untuk penampakan gambar. Nilainya dapat dipilih
tergantung pada karakteristik perlemahan dari struktur objek
yang diperiksa. Window level ini menentukan densitas gambar
yang akan dihasilkan.

D. Teknik Pemeriksaan CT-Scan Sinus Paranasal


1. Pengertian
Teknik pemeriksaan CT-Scan SPN merupakan pemeriksaan
radiologi untuk mendapatkan gambaran irisan dari sinus paranasal baik
secara aksial maupun coronal. CT-Scan SPN memberikan tampilan
yang memuaskan atas sinus dan dapat menilai opasitas, penyebab,
dan jenis kelainan dari sinus. CT-Scan SPN baik dalam
memperlihatkan dekstruksi tulang dan mempunyai peranan penting
dalam perencanaan terapi serta menilai respon terhadap radioterapi.
Hal-hal tersebut merupakan kelebihan CT-Scan SPN dibandingkan
dengan foto polos SPN biasa.
2. Indikasi Pemeriksaan
Indikasi pemeriksaan CT-Scan SPN menurut Nesseth dan Erica
K.W, 2000 adalah untuk mengetahui adanya neoplasma dan kelainan
pembuluh darah, sinusitis, serta untuk menunjukkan adanya
trauma/patologi kerusakan tulang.

21
3. Prosedur Pemeriksaan CT-Scan SPN
3.1. Persiapan Pasien ( Seeram, 2001 )
Persiapan pasien untuk pemeriksaan CT-Scan SPN adalah
sebagai berikut :
3.1.1. Semua benda metalik harus disingkirkan dari daerah
yang diperiksa, termasuk anting, kalung, dan jepit rambut.
3.1.2. Pasien harus diinstruksikan agar mengosongkan vesika
urinarianya sebelum pemeriksaan dilakukan, karena jika
menggunakan media kontras intra vena menyebabkan
vesika urinaria cepat terisi penuh sehingga pemeriksaan
tidak akan terganggu oleh jeda waktu ke kamar kecil.
3.1.3. Jika menggunakan media kontras, alasan
penggunaannya harus dijelaskan kepada pasien.
3.1.4. Komunikasikan kepada pasien tentang prosedur
pemeriksaan sejelas-jelasnya (inform consern) agar
pasien nyaman dan mengurangi pergerakan sehingga
dihasilkan kualitas gambar yang baik.
3.2. Persiapan Alat dan Bahan
Alat dan bahan untuk pemeriksaan CT-Scan SPN dengan
kasus mass diantaranya :
3.2.1. Pesawat CT-Scan
3.2.2. Alat-alat fiksasi kepala
3.3. Teknik Pemeriksaan
Pemeriksaan CT-Scan SPn menurut Nesseh dan Erica K.W, 2000
menggunakan dua potongan, yaitu potongan axial dan poongan
coronal.
3.3.1. Potongan Axial
a. Posisi Pasien : Pasien diposisikan supine dan head
first di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan disilang
di atas perut atau ditempatkan di samping tubuh.

22
Alas busa ditempatkan di bawah lutut untuk
mengurangi pergerakkan pasien dan demi
kenyamanan pasien. Untuk mengurangi pergerakkan
pasien kepala dan dagu di beri tali pengikat. Apron
ditempatkan di bagian tubuh pasien yang penting.
b. Posisi Objek : Kepala hiperekstensi dan
ditempatkan di head holder. Kepala diposisikan
dengan midsagital plane sejajar dengan longitudinal
cahaya. Interpupilarry line sejajar dengan posisi
horizontal cahaya.

Gambar 2.7 Posisi Pasien Potongan Axial


3.3.2. Potongan Coronal
a. Posisi Pasien : Pasien diposisikan prone dan head
first di atas meja pemeriksaan. Kedua lengan di
samping tubuh pasien. Alas busa ditempatkan di
depan permukaan cruris untuk kenyamanan pasien.
Untuk mengurangi pergerakkan pasien bagian
belakang leher/kepala diberi tali pengikat.
b. Posisi Objek : Kepala hiperekstensi dan
ditempatkan di head holder. Kepala diposisikan
dengan midsagital plane sejajar dengan longitudinal
cahaya. Interpupilarry line sejajar dengan posisi
horizontal cahaya.

23
Gambar 2.8 Posisi Pasien Potongan Coronal
3.4. Scan Parameter
Scannogram : Cranium lateral ( Nesseth dan Erica K.W,2000)
Slice thickness
axial : 5 mm
coronal : 3 mm ( Seeram, 2001 )
Anatomi Coverage
axial : batas bawah hard palatum sampai batas atas sinus
frontalis
coronal : batas depan sinus frontalis smpai dorsum sela.
Potongan coronal harus tegak lurus dengan
potongan axial. Gantry disudutkan untuk
mendapatkan angle yang tepat. ( Nesseth dan
Erica K.W , 2000 )
Standar algorithma
axial : algorithma tulang
coronal : algorithma standar
kV : 130
mAs : 60 ( Seeram, 2001)

Gambar yang dihasilkan dalam pemeriksaan CT-Scan sinus


paranasal adalah sebagai berikut :

24
1 4

2
3

Gambar 2.9 Potongan aksial I


(Jamie weir,dkk, 2011)

Keterangan Gambar :
1. Ramus of mandibula
2. Oropharynx
3. Body of C2
4. Maxyllaris sinus

25
1

2 5

Gambar 2.10 Potongan aksial II


(Jamie weir,dkk, 2011)
Keterangan Gambar :
1. Maxillary sinus
2. Sphenoid sinus
3. Mastoid air cell
4. Nasal bone
5. Posterior ethmoidal air cell

2 3

Gambar 2.11 Potongan koronal I


(Jamie weir,dkk, 2011)

26
Keterangan Gambar :
1. Frontal Bone
2. Frontal Sinus (Antrum)
3. Maxillary Sinus (Antrum)
4. Maxilla
5. Globe of eye

1 4

2
3

5
6

Gambar 2.12 Potongan koronal II


(Jamie weir,dkk, 2011)
Keterangan Gambar :
1. Nasal septum
2. Middle turbinate (concha)
3. Inferior turbinate (concha)
4. Maxillary sinus (antrum)
5. Sphenoid sinus
6. Nasopharynx
E. Prosedur Pemeriksaan CT-Scan Kepala, (Nuttawan Jaengsri, 2004)
Prosedur adalah urutan dari rangkaian pemeriksaan yang harus diikuti.
Prosedur teknik pemeriksaan CT Scan meliputi, persiapan pasien, posisi
pasien, scout view, menentukan parameter scan yang tepat, sampai
mendapatkan kualitas gambar CT Scan yang baik.

27
Adapun prosedur pemeriksaan CT Scan kepala, meliputi :

1. Persiapan Pasien : berikan penjelasan kepada pasien tentang prosedur


pemeriksaan, jika diperlukan injeksi media kontras dianjurkan bagi pasien
untuk puasa.
2. Posisi pasien : supine di atas meja pemeriksaan; head first. Atur
posisi kepala sehingga OML vertikal tegak lurus.
3. Volume investigasi : dari foramen magnum sampai vertex.
4. Scan parameter :
a. Slice thickness : 2-5 mm pada daerah fossa posterior
(foramen magnum sampai tentorium); 5-10 mm pada daerah hemisfer
(tentorium sampai vertex).
b. Inter-slice distance/pitch : 1.0
c. FOV : kira-kira 24 cm.
d. Gantry tilt : 10-120 parallel dengan supra orbito
meatal baseline (untuk mereduksi dosis radiasi pada orbita).
e. kV : standard
f. mA : diatur sesuai dengan kualitas gambar
yang diperlukan.
g. Rekonstruksi algorithm : soft tissue
h. Window width : 0-90 HU (supratentorial brain), 140-
160 HU (brain pada daerah fossa posterior), 2000-3000 HU (bone)
i. Window level : 40-45 HU (supratentorial brain), 30-40
HU (brain pada daerah fossa posterior), 200-400 HU (bone).
5. Kriteria kualitas gambar CT kepala
a. Kriteria visualisasi pencitraan : cerebrum, cerebellum, basis cranii.
b. Kriteria gambar :
1) Tampak jelas batas tegas antara substansia alba dan
substansia gricea
2) Tampak jelas daerah basal ganglia
3) Tampak jelas sistem ventrikel

28
4) Tampak jelas ruang CSF di sekitar mesencephalon dan
mengelilingi otak

Gambar 2.13 Potongan axial pertama (Bontrager, 2010)


Keterangan :
A. Bola mata
B. Nervus optikus kanan
C. Kiasma optik
D. Lobus temporal
E. Pons/otak tengah
F. Cerebelum
G. Lobus oksipital
H. Air cel mastoid
I. Sinus sphenoid atau sinus ethmoid

29
Gambar 2.14 Potongan axial keempat (Bontrager, 2010)

Keterangan :
A. Korpus kalosum anterior
B. Anterior horn ventrikel lateral kiri
C. Ventrikel tiga
D. Kelenjar pineal
E. Protuberantia occipital internal

30
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Paparan Kasus
1. Identitas pasien dan riwayat penyakit pasien
Untuk memberikan deskripsi tentang teknik pemeriksaan CT-Scan
sinus paranasal pada penderita dengan suspect CKR dan amnesia di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang, berikut
penulis sertakan identitas pasien :
1.1. Identitas Pasien
Dalam penyusunan Laporan Kasus Praktek Kerja
Lapangan III, penulis mengambil kasus pemeriksaan CT-Scan
sinus paranasal pada penderita dengan suspect CKR dan
amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang, adapun responden untuk dijadikan sampel memiliki
identitas sebagai berikut :
Nama Pasien : Tn. H
Umur : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sendang Indah RT 3/3 Genuk Semarang
Tanggal pemeriksaan : 21 Desember 2013
Diagnosa Awal : CKR dan Amnesia
Nomor Rm : 01214120
Dokter yang meminta : Dr. I
Pemeriksaan yang diminta : CT-Scan SPN
1.2. Riwayat Penyakit Pasien
Pasien datang ke Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang bagian poli bedah pada tanggal 21 Desember 2013
dengan penurunan kesadaran. Pada hari itu juga dokter spesialis
bedah merujuk pasien ke bagian radiologi untuk dilakukan
pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal.

31
2. Prosedur pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal
2.1. Prosedur Administasi dan Persiapan Pasien
Prosedur pemeriksaan CT-Scan kepala pada penderita
dengan suspect CKR dan amnesia dibagi menjadi dua, yaitu
prosedur administrasi dan prosedur pemeriksaan CT-Scan sinus
paranasal. Selanjutnya akan penulis bahas terlebih dahulu untuk
prosedur administrasi dan persiapan pasien.
Prosedur administrasi untuk pasien baik rawat jalan
maupun rawat inap di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang menggunakan billing system. Untuk
pasien rawat jalan, pendaftaran pasien langsung ke bagian
radiologi dan dilakukan pemeriksaan, sedangkan sistem
pembayarannya yaitu pasien atau keluarga menyerahkan
kuitansi rangkap dua yaitu warna putih dan warna merah yang
didapat dari kasir radiologi untuk dibayarkan ke kasir utama
kemudian menyerahkan kembali bukti kuitansi berwarna merah
yang sudah ditandatangani oleh kasir utama ke bagian radiologi,
sedangkan kuitansi warna putih merupakan milik pasien untuk
dijadikan bukti pada saat pengambilan foto. Sedangkan pasien
rawat inap, sistem pendaftarannya tetap di radiologi hanya saja
pembayarannya digunakan sistem tagihan.
Persiapan pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal pada
penderita dengan suspect CKR dan amnesia tidak ada persiapan
khusus. Persiapan lainnya yaitu memberikan penjelasan kepada
pasien atau keluarga dengan baik tentang prosedur pemeriksaan
yang akan dilakukan. Langkah selanjutnya yaitu pasien diberi
selimut agar merasa nyaman. Untuk mengurangi pergerakan
pasien saat scanning, maka tubuh pasien harus difiksasi dengan
straining straps dan fiksasi kepala dengan head clamp.

32
2.2. Persiapan alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan
CT-Scan sinus paranasal pada penderita dengan suspect CKR
dan amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan
Agung Semarang adalah sebagai berikut :
a. Pesawat CT-Scan Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang sudah menggunakan Multi Slices Computed
Tomography dengan merk Optima CT 660 produksi General
Electric dengan kemampuan 64 slices up to 500 slices
b. Tabung oksigen
c. Selimut
d. Apron
e. Head rest
f. Dry View
3. Teknik pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal pada penderita
dengan suspect mass di CKR dan Amnesia
Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan, teknik
pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal pada penderita dengan
suspect CKR dan amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang dilakukan dengan memposisikan pasien
dimana posisi pasien supine di atas meja pemeriksaan dengan
kepala dekat dengan gantry. Kepala diletakkan pada head holder.
Kedua tangan diposisikan di samping tubuh dan difiksasi dengan
straining straps.
Kemudian dilakukan pengaturan sinar, dimana lampu indikator
pertama atau lampu longitudinal sejajar dengan MSP (Mid Sagital
Plane) kepala, sedangkan lampu indikator kedua atau lampu
horizontal sejajar dengan interpupillary line. Untuk kenyamanan
pasien diberi selimut.

33
Setelah radiografer memposisikan pasien, maka langkah berikutnya
adalah mengatur scan parameter. Scan parameter yang digunakan
yaitu :
1. Scannogram : Kepala lateral
2. Range : Satu range mulai dari vertex sampai dengan
simphisis menthi
3. Slice Thickness : 5 mm
4. Jumlah slice : 19 slice
5. Gantry Tilt : 0 derajat
6. KV : 120
7. mA : 240
8. Window width : Kondisi mediastinum : 100
Kondisi bone : 2000
9. Window level : Kondisi mediastinum : 40
Kondisi Bone : 350
Dalam hal ini CT-Scan sinus paranasal pada penderita
dengan suspect CKR dan amnesia dibuat dengan satu range mulai
dari vertex sampai simphisis menthi dengan potongan axial. Hal ini
dimaksudkan agar apabila ada fraktur di daerah kepala dapat terlihat
secara jelas letak frakturnya.
Setelah dibuat scan parameter, langkah berikutnya yaitu
membuat scannogram kepala lateral. Rancangan irisan scannogram
diawali dengan menentukan OML (Orbito Meatal Line) kemudian
menentukan rancangan batas atas dan batas bawah irisan yang
sejajar dengan OML. Kemudian lakukan scanning sesuai dengan
scan parameter yang telah ditentukan. Window width dan window
level menggukan dua kondisi yaitu kondisi mediastinum untuk melihat
keadaan dalam sinus paranasal dan kondisi bone untuk melihat
apakah ada fraktur/fissure di daerah kepala.

34
Gambar 3.1 Hasil scanning CT scan Sinus Paranasal suspect CKR dan Amnesia
Tn. H

35
Gambar 3.2 Hasil scanning CT scan Sinus Paranasal suspect CKR dan Amnesia
Tn. H
4. Hasil pembacaaan
Hasil pembacaan CT-Scan sinus paranasal pasien Tn. H oleh
Dokter Spesialis Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang adalah sebagai berikut :
Pada CT-Scan sinus paranasal potongan axial tanpa media kontras :
1. Sulci, fissure, cysterna tak sempit.
2. Tampak lesi hiperdens biconveks di regio frontalis kiri.
3. Sistem ventrikel tak sempit.

36
4. Tak tampak deviasi garis tengah.
5. Batang otak dan serebelum tak jelas kelainan.
6. Tampak air fluids level di sinus maksilaris kanan-kiri, sinus ethmoid
kanan-kiri, sinus sphenoid kanan, sinus frontalis kanan-kiri.
7. Tampak disconuitas os. Frontalis kiri, sphenoid wing kiri.
8. Tampak disconuitas os. Nasal, destruksi septum nasi.
9. Tampak air buble di intracranial.
Kesan :
PERDARAHAN EPIDURAL REGIO FRONTALIS KIRI
FRAKTUR OS. FRONTALIS KIRI, SPHENOID WING KIRI, FRAKTUR
OS. NASAL DAN DESTRUKSI SEPTUM NASI.
GAMBARAN HEMATOSINUS (DI SINUS FRONTALIS KANAN-KIRI,
SINUS MAKSILARIS KANAN-KIRI, SINUS ETHMOID KANAN-KIRI,
DAN SINUS SPHENOID KANAN)
GAMBARAN PNEUMOCEPHALUS

5. Alasan penambahan scanning di daerah brain pada pemeriksaan


CT-Scan sinus paranasal pada penderita dengan suspect CKR
dan Amnesia
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan, teknik
pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal pada penderita dengan
suspect CKR dan amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam
Sultan Agung Semarang dilakukan dengan penambahan scanning
pada daerah brain. Menurut responden, penambahan scanning pada
daerah brain dilakukan dengan alasan untuk mengetahui apakah ada
fraktur atau disconuitas tulang-tulang yang ada di daerah kepala
karena cidera kepala ringan tersebut maka perlu dilakukan
penambahan scanning pada daerah brain.

37
B. Pembahasan
1. Prosedur pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal.
1.1. Prosedur Administrasi dan Persiapan Pasien
Prosedur pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal pada
penderita dengan suspect CKR dan amnesia dibagi menjadi dua,
yaitu prosedur administrasi dan prosedur teknik pemeriksaan CT-
Scan sinus paranasal. Selanjutnya akan penulis bahas terlebih
dahulu untuk prosedur administrasi dan persiapan pasien.
Prosedur administrasi untuk pasien di Instalasi Radiologi
Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang menggunakan billing
system.
Pada pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal pada penderita
dengan suspect CKR dan amnesia di instalasi radiologi Rumah Sakit
Islam Sultan Agung Semarang pada prinsipnya sudah sesuai seperti
teori dari Jaengsri, 2004 yaitu sebelum pemeriksaan dilakukan,
terlebih dahulu memberikan penjelasan tentang jalannya
pemeriksaan kepada pasien atau keluarganya. Penjelasan ini
dimaksudkan agar dalam pemeriksaan, pasien menjalankan prosedur
yang telah dijelaskan dan merasa nyaman saat pemeriksaan,
sehingga akan mengurangi pergerakan pasien yang akan
menimbulkan artefak pada radiograf yang dihasilkan, sedangkan
persiapan alat dan bahan sudah sesuai dengan standar dari Seeram,
2001.
1.2. Teknik Pemeriksaan
Teknik pemeriksaan CT-Scan kepala pada penderita dengan
suspect CKR dan Amnesia tidak sesuai dengan teori menurut
Nesseth dan Erica K. W., 2000 menurut teori dilakukan scanning
dengan irisan axial dengan satu range dan ditambah dengan irisan
coronal dengan menggunakan satu range. Sedangkan di Rumah
Sakit Islam Sultan Agung Semarang dilakukan scanning axial dengan
satu range mulai dari vertex sampai dengan simphisis menthi.

38
2. Alasan tidak dilakukannya scanning dengan irisan coronal
Alasan tidak dilakukannya scanning dengan irisan coronal pada
pemeriksaan CT-Scan sinus paranasal pada penderita dengan suspect
CKR dan Amnesia di Instalasi Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung
Semarang sudah menggunakan Multi Slices Computed Tomography
sehingga gambaran dengan irisan coronal dapat diperoleh dengan
rekonstruksi gambar melalui fasilitas software pada komputer bila
diperlukan dan pemeriksaan akan lebih cepat serta mempengaruhi
kenyamanan pasien.
3. Tujuan dilakukannya scanning axial dengan menggunakan teknik
satu range
Tujuan dilakukannya scanning axial dengan menggunakan teknik
satu range pada daerah sinus paranasal dan brain pada pemeriksaan CT-
Scan pada penderita dengan suspect CKR dan Amnesia di Instalasi
Radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang dimulai dari vertex
sampai dengan simphisis menthi bertujuan untuk mengetahui keadaan di
daerah sinus dan mengetahui adanya fraktur di daerah kepala.

39
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemeriksaan CT-Scan kepala pada penderita dengan suspect CKR dan
amnesia di Instalasi radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang
dilakukan dengan scanning di daerah sinus paranasal dan di daerah brain.
2. Tidak dilakukannya scanning coronal pada pemeriksaan CT-Scan sinus
paranasal pada penderita dengan suspect CKR dan amnesia di Instalasi
radiologi Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang dengan alasan bila
dibutuhkan gambaran dengan irisan coronal dapat diperoleh dengan
rekonstruksi menggunakan software pada komputer pemeriksaan akan lebih
cepat serta mempengaruhi kenyamanan pasien.
3. Tujuan dilakukannya scanning axial dengan menggunakan teknik satu range
pada daerah sinus paranasal dan brain pada pemeriksaan CT-Scan pada
penderita dengan suspect CKR dan amnesia di Instalasi Radiologi Rumah
Sakit Islam Sultan Agung Semarang dimulai dari vertex sampai dengan
simphisis menthi bertujuan untuk mengetahui keadaan di daerah sinus dan
mengetahui adanya fraktur di daerah kepala.

B. Saran
Sebaiknya petugas lebih menekankan penggunaan proteksi radiasi untuk
pasien, seperti penggunaan apron karena pada pemeriksaan CT-Scan SPN
daerah yang diperiksa adalah kepala.

40

Anda mungkin juga menyukai