Anda di halaman 1dari 3

APA DAN BAGAIMANA FILM DOKUMENTER

Nama : Kinanti Alifanissa M


NIM : 17312012
Semester 5b

PRODI FILM DAN TELEVISI


FAKULTAS BUDAYA DAN MEDIA
INSTITUT SENI BUDAYA INDONESIA
BANDUNG
APA DAN BAGAIMANA FILM DOKUMENTER?

Hari rabu tanggal 16 oktober 2019 kami semua ikut seminar dari seorang film maker yang bernama
Tonny Trimarsanto. Ini merupakan rangkaian acara roadshow dari Festival Dokumenter Budi
Luhur yang bekerja sama dengan BIFF ( Bandung Independent Festival).
Tonny Trimarsanto merupakan seorang Film maker Dokumenter yang cukup terkenal. Kami
dipertontonkan dua film miliknya, yang pertama adalah A Man With 12 Wives. Film tersebut
menceritakan tentang seorang kepala desa yang mempunya dua belas istri dan bagaimana dia
berlaku adil kepada smeua istrinya. Alasannya adalah agar pekerjaannya lebih mudah dengan
dibantu oleh istri-istrinya. Walaupun dari sisi agama tetap tidak diperbolehkan poligami sebanyak
itu, namun dalam film tersebut si pemeran utama menyangkal , karena yang disebut poligami
adalah yang mempunyai dua istri, sedangkan ia punya dua belas.
Lalu kami diperlihatkan lagi beberapa scene dari film “Bulu Mata” yaitu mengenai sekolompok
transgender di kota Aceh dimana kota Aceh merupakan kota yang sangat lekat dengan agama
Islam.
Menurut saya Tonny Trimarsanto merupakan orang yang sangat berani, dimana ia mulai bercerita
bahwa untuk memulai film-film dokumenter tersebut ia pergi sendiri atau hanya berdua untuk
merekam setiap peristiwa. Ia mengandalkan uang pas-pasan dan tidur di sebuah Vihara secara
gratis untuk makan dan tidur. Ia juga berani dalam mengangkat isu-isu minoritas. Ia mengangap
bahwa kaum minoritas seperti transgender layak untuk dimanusiakan juga. Ia sangat berani
mengangkat isu tersebut di tempat kelahirannya Indonesia dimana sebenarnya LGBT adalah hal
yang sangat dilarang.
Budget merupakan hal yang sangat dipermasalahkan dalam setiap produksi film, Ia percaya bahwa
film dokumenter tidak mengndalkan biaya yang sedikit dan juga tidak mendatangkan pemasukan
yang besar. Namun Tonny Trimarsanto membuktikan bahwa budget pun bukan halangan ketika
hasilnya sangat memuaskan bahkan ada yang membeli karya tersebut, bisa balik modal. Ia
mengirimkan karya-karyanya ke Festival International.
Ia tidak mengandalkan banyak orang, tapi berani dan percaya pada diri sendiri. Riset yang ia
lakukan dilakukan sambil ia rekam karena tidak semua kejadian akan terulang dua kali.
Tonny Trimarsanto mencoba berbaur dengan semua subjeknya, ia menjadi sedekat mungkin
hingga si subjek berani dan percaya lalu mau bercerita di depan kamera.Tonny lebih banyak
menggunakan pendekatan empati terhadap kelompok transgender, sehingga mereka merasa sang
sutradara seperti sahabat yang bisa dipercaya untuk berbagi cerita dan kehidupannya yang sangat
pribadi. Ia harus menjadi bagian dari komunitas untuk memahami dunia mereka jika ingin
membuat film yang bagus.
Membuat film dokumenter dengan isu-isu yang seperti itu tentu menarik, namun tetap harus
berhati-hati dan tetap dalam haluan. Untuk film “Bulu Mata” ia tidak akan pernah men screening
kan film tersebut ke Aceh karena sekolompok transgender tersebut akan benar benar ditentang
habis-habisan dan ditangkap oleh polisi yang ada disana.
Untuk tetap bertahan menjadi sineas yang bergerak di bidang Dokumenter, kita tetap harus
memperbanyak jaringan, untuk memperbanyak informasi yang didapat. Kita juga perlu sabar
karena sejatinya Dokumenter bukan film yang mudah dan sebentar. Mungkin bisa dibilang lebih
sulit karena bagaimana cara kita mengemas film tersebut agar penonton tertarik dan tidak bosan,
apalagi dokumenter harus secara fakta dan bukan cerita yang dikarang.
Film Dokumenter bisa dibilang lebih menantang, tidak ada aktor canrtik atau tampan, yang ada
hanyalah fakta dan semua yang nyata. Tidak ada yang dibuat-buat.
Film Dokumenter juga bisa dijadikan sebagai media untuk menyampaikan kegelisahan
masyarakat. Film Dokumenter bisa mengembangkan kemampuan berimprovisasi serta
menyuarakan banyak hal.

Anda mungkin juga menyukai