Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Inkontensia urin bukan merupakan konsekuensi normal dari bertambahnya usia . Usia
yang lanjut tidak menyebabkan inkontensia (Reuben dkk.1996)
Proses berkemih yang normal adalah suatu proses yang dinamik yang secara fisiologis
berlangsung di bawah kontrol dan koordinasi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi di
daerah sarkum. Saat periode pengisian kandung kemih, tekanan didalamnya tetap rendah( di
bawah 15mmH2O).
Sensasi pertama ingin berkemih biasanya timbul pada saat volume kandung kemih
mencapai antara 150-350 ml. Kapasitas kandung kemih normal bervariasi sekitar 300 - 600
ml.Umumnya kandung kemih dapat menampung urin sampai lebih kurang 500ml tanpa
terjadi kebocoran.
Bila proses berkemih terjadi, otot – otot detrusor dari kandung kemih berkontraksi, di
ikuti relaksasi dari sfingter dan uretra (Van der Cammen dkk). Secara sederhana dapat di
gambarkan , saat proses berkemih di mulai, tekanan dari otot – otot detrusor dari kandung
kemih meningkat melebihi tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar
(Reuben dkk)
Secara garis besar , proses berkemih di atur oleh pusat reflex kemih di daerah
sakrum, jaras aferen lewat persarafan somatik dan otonom , membawa informasi tentang isi
kandung kemih ke medulla spinalis sesuai pengisian kandung kemih .
Tonus simpatik akan menyebabkan penutupan kandung kemih dan menghambat tonus
parasimpatik. Pada saat proses berkemih berlangsung , tonus simpatik menurun dan
peningkatan rangsang simaptik mengakibatkan kontraksi kandung kemih . Semua proses ini
berlangsung di bawah koordinasi dari pusat yang lebih tinggi pada batang otak, otak kecil dan
korteks serebri. Seningga proses patologik yang mengenai pusat – pusat ini misalnya stroke,
sindroma Parkinson, demensia dapat menyebabkan inkontensia . Semua ini adalah deskripsi
yang di sederhanakan dari proses berkemih yang sebenarnya sangat rumit, sedangkan
keadaan neuro-fisiologik yang sesungguhnya belum sepenuhnya di ketahui (Kane dkk)
Secara umum dengan bertambahnya usia, kapasitas kandung kemih menurun. Sisa
urin dalam kandung kemih , setiap selesai berkemih , cenderung meningkat dan kontraksi
otot – otot kandung kemih yang tidak teratur maka sering terjadi. Kontraksi – kontraksi
involunter ini di temukan pada 40 – 75% orang lanjut usia yang mengalami inkontensia
(Reuben dkk).
Pada wanita , menjadi lanjut usia juga berakibat menurunnya tahanan pada uretra dan
muara kandung kemih. Ini berkenaan dengan berkurangnya kadar estrogen dan melemahnya
jaringan /otot – otot panggul karena proses – proses melahirkan , apalagi bila disertai
tindakan – tindakan berkenaan dengan persalinan tersebut.
Menurunnya pengaruh dari estrogen pada lanjut usia , juga dapat menyebabkan
vaginitis atropi dan uretritis sehingga terjadi keluhan - keluhan disuri misalnya prolaksiuri
dan dapat mencetuskan inkontensia. Pada pria pembesaran kelenjar prostat pada saat lanjut
usia mempunyai potensi untuk menyebabkan inkontensia.
Mengetahui penyebab inkontensia sangat penting untuk pengelolaan yang tepat. Pertama
– tama harus di usahakan membedakan apakah penyebab inkontensia berasal dari (whitehead,
fonda)
c. Lain lain misalnya hambatan mobilitas , situasi tempat berkemih yang tidak
memadai/ jauh dsb.
Kemudian di teliti lagi apakah( kane dkk; reuben dkk.,)
Inkontensia akut
Untuk memudahkan mengingat macam inkontensia yang akut dan yang biasanya
reversible, antara lain dapat memanfaatkan akronim DRIP, yang merupakan kependekan
dari(kane dkk)
D: Delirium
Banyak orang yang lanjut usia karena sering berkemih dan sudah menyadari adanya
kesulitan menahan keluarnya urin, mempunyai pola jadwal untuk berkemih. Sehingga bila
ada penyakit akut, misalnya terjadi fraktur radang paru atau gagal jantung akan menggangu
kebiasaan tersebut terjadi inkontensia. Dapat di mengerti inkontensia akut seperti ini akan
baik lagi bila penyebab sakit akutnya sudah teratasi(brochleus dkk: kane dkk).Derilium ,
suatu penurunan kesadaran yang terjadinya akut, antara lain di sebabkan hipoksia otak karena
oksigenasi yang berkurang misalnya pada keadaan dehidrasi , atau radang paru, dapat
berakibat pengaturan berkemih terganggu dan terjadi inkontensia. Implikasi dari feses
merupkan masalah yang banyak di jumpai pada penderita inkontensia urine. Hubungannya
belum jelas benar. Kemungkinan terjadi sumbatan secara mekanik pada muara kandung
kemih akibat rengangan dari rectum. Bila implikasi ini di hilangkan, inkontensia urine ini
juga akan membaik.
Hubungan dari bakteriuri dan piuria dengan terjadinya inkontensia belum seluruhnya
dapat di jelaskan. Tetapi semua keadaan inflamasi akut dari seluruhnya dapat di jelaskan.
Tetapi semua keadaan inflamasi akut dari saluran krmih bagian bawah dengan akibat
polaksiuri dan urgensi dapat berakibat inkontensia.
Inkontensia persisten
Inkontensia yang persisten atau kronik/ menetap, dapat di bagi menjadi 4 tipe:
1. Tipe stress(tekanan)
Inkontensia urine tipe stess di tandai dengan keluarnya urin di luar pengaturan
berkemih, biasanya dalam jumlah sedikit, akibatnya peningkatan tekanan
intra_abnormal. Misalnya saat bersin, tertawa dan olahraga.Inkontensia ini banyak di
dapatkan pada wanita usia lanjut. Kadang terjadinya tidak terlalu sering, dan urin
yang keluar hanya sedikit dan tidak terlalu berpengaruh pada kwualitas kehidupan
penderita serta tidak membutuhkan pengaruh estrogen dan sering melahirkan dengan
disertai tindakan pembedahan merupakan salah satu faktor predisposisi.Obesitas dan
batuk kronik juga sering memegang peranan.Inkontensia urin tipe stress jarang pada
pria. Dapat terjadi setelah mengalami operasi lewat uretra(trans_uretral(trans-uretral)
atau misalnya akibat terapi radiasi yang merusak struktur jaringan dari sfingter(kane
dkk, brockheusrst dkk)
2. Tipe urgensi
Gangguan local dari saluran uro-genital misalnya sistis, batu dan divertikulum dari
kandung kemih juga dapat mencetuskan inkontensia tipe urgensi.
3. Tipe luapan
4. Tipe Fungsional
Inkontensia urine tipe fungsional di tandai dnegan keluarnya urin secara dini,
akibat ketidakmampuan mencapai kandung kemih kadena ganguan fisik atau kognitif
maupun macam- macam hambatan situasi/ lingkungan yang lain , sebelum siap untuk
berkemih. Faktor – faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan
Inkontensia tipe fungsional ini.
Macam – macam tipe dari Inkontensia ini dapat terjadi pada satu penderita
secara bersamaan , sehingga membawa dampak juga pada strategi pengelolaannya.
Pengelolaan inkontensia akan cukup baik hasilnya bila semua faktor yang
berpengaruh di perhatikan , dan tipe dari inkontensia dapat di kenal serta diagnosis
penyebabnya di ketahui(fonda). Dari anamesis, beberapa informasi penting yang
harus di tanyakan antara lain:
Dari pemeriksaan fisik, beberapa hal penting yang harus di periksa adalah:
- Mobilitas dan gaya berjalan di periksa antara lain untuk menilai kemampuan
mencapai tempat kemih.
- Pemeriksaan abdomen misalnya adakah massa di daerah supra-pubik, dan
khususnya adakah kelainan daerah genitialia.
- Lain – lain yang perlu di periksa adakah tanda – tanda gagal jantung , edema
pada ekstrimitas bawah dsb.
Untuk khasus – kasus tertentu, di butuhkan konsultasi dengan bidang ilmu khusus
misalnya bagian kebidanan dan penyakit kandungan , bagian bedah urologi.Perhatikan
khusus harus di berikan pada pengelolaan inkontensia akut yang biasa di dapatkan pada
penderita yang di rawat di bangsal akut. Inkontensia ini biasanya hanya sementara bila di
kelola dengan baik. Sebaiknya pengelolaan yang tidak tepat dapat menyebabkan inkontensai
yang menetap.
Yang sering dikerjakan pada penderita lanjut usia dengan inkontensai adalah memansang
kateter secara menetap.Untuk beberapa pertimbangan . misalnya memantau produksi urin dan
keperluan mengukur balans cairan, hal ini masih dapat di terima. Tetapi sering alas an
pemasangan kateter ini tidak jelas, dan mengundang resiko untuk terjadinya kompliaksi ,
umumnya adalah infeksi.
1. Kateterisasi luar
Terutama pada pria dengan memakai sistem kateter-kondom. Efek samping yang
erutama adalah iritasi pada kulit, dan sering lepas.Tetapi ada juga laporan yang
menunjukan insidensi infeksi saluran kemih meningkat dengan katetrisasi macam ini.
Metoda ini hanya di anjurkan pada pria yang tidak menderita retensio urine dan
mobilisasinya masih cukup baik. Kateter eksternal semacam ini untuk wanita mulai di
perkenalkan tetapi manfaatnya masih belum memuaskan.
2. Kateterisasi intermiten
Kateterisasi secara intermiten dapat di coba, terutama wanita lanjut usia yang
menderita inkontensia. Frekuensi pemasangannya 2 – 4 X sehari, dengan sangat
memperhatikan sterlitas dan teknik prosedurnya.
Memang akan lebih rumit dan membutuhkan biaya serta tenaga untuk memakai pembalut –
pembalut khusus serta alas tempat tidur dengan bahan yang baik daya serapnya, dan secara
teratur memprogramkan penderita untuk berkemih . tetapi untuk jangka panjang , dapat di
harapkan resiko morbiditas yang menurun dan dengan begitu juga berpengaruh terhadap
penurunan biyaya perawatan.
Pengelolaan inkontensia pada penderita lanjut usia , secara garis besar dapat di kerjakan
sebagai berikut:
Menurut kanee dkk untuk masing – masing tipe dari inkontensia ada beberapa hal kusus yang
di anjurkan misalnya :
Pemakaian obat – obatna untuk merelaksasikan otot – otot kandung kemih , pada
umumnya mempunyai sifat anti-kholirgenik. Efek samping yang harus di perhatikan antara
lain mulut terasa kering, dan bahkan dapat mencetuskan terjadinya retensio urin.
Kemungkinan retensio urin ini di perbesar bila ada penyakit diabetes militus atau obstruksi
pada muara kandung kemih. Demikian juga obat – obatan dengan sifat antikholirgenik ini
dapat mengakibatkan penurunan fungsi kognitif , delirium dan hipotensi postural.
Penggunaan obat – obatan hormonal , bila berlangsung beberapa bulan harus di berikan
secara siklik, dan kalu perlu di tambahkan progesterone. Bila di berikan dalam kombinasi
demikian, efeksamping masing – masing obat harus di perhatikan misalnya perdarahan
pervaginam dan kemungkinan perubahan kearah keganasan.
Darmojo, R budhie. 2006. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) Edisi Ke 3
FKUI Jakarta.
PENCERNAAN
Penatalaksanaan penderita dengan diare dan mal absorbs memerlukan terapi dnegan ekstrak
pancreas.
Karsinoma pancreas
Penyakit ini mempunyai isidensi puncak pada usia lanjut di atas 80 tahun dengan
gambaran klinik klasik berupa iktrus obstruktif tanpa nyeri. Gambaran klinik lain diantaranya
anoreksia, penurunan berat badan, pembesaran hati, melena dan thrombosis vena dalam.
Tindakan diagnosis pilihan adalah USG dan ERCP.
MALABSORBSI
Penyakit coleiac
Amiloidois
Limfoma
Guna mencari penyebab malabsorbsi dilakukan tes absorbs silote, biopsy usus
kecil, kultur cairan aspirat jejunum(yang di ambil saat pelaksanaan biopsy). Juga tes
nafas dengan 14 C-glikokolic, pengukuran retensi Sechat(suatu konyugat taurin dari
garam empedu sintesis yang mengandung isotop selenium 75), tes triolin 14C sebagai
alternative perkiraan lemak fekal, ERCP dan USG pancreas.
Berbagai kelainan pada usus halus menyebabkan obstruksi fungsional, tanpa adanya
obstruksi mekanik. Abnormalitas yang terjadi karena adanya distensi perut, kembung, kolik
perut, anoreksia, nausea dan vormitus.Kadang – kadang terlihat dehidrasi dan uremia ringan.
Pada obstruksi intestinal idiopatik primer, yang terjadi karena kelainan aktivitas
neuromuskuler yang tidak serupa pada tiap penderita. Kelainan yang bersifat sporadic ini
menimbulkan pertumbuhan hebat bakteri di usus yang terkena , sehingga memberikan gejala
utama diare dan steatone.
Psedo-obstruksi sekunder pada usus halus bisa terjadi karena penyakit kolagen vaskuler
(misalnya scleroderma), gangguan neurologic, penyakit primer pada otot(distrofi otot),
penyakit endokrin DM, gangguan elektrolit atau obat – obatan. Ileus adinamik terjadi bila
terdapat gangguan penurunan/ hilangnya motilitas usus kecil. Penatalaksanaan berupa
mengatasi keadaan darurat, kemudian dilakukan tindakaan diagnostic untuk mencari
penyebab bisanya segera bisa di perbaiki, terutama pada pseudo_obstruksi sekunder.
Iskemia mesentrik
Trombosis dan emboli baik di arteri maupun vena dapat mengenai pembuluh darah
mesentrum dan menyebabkan iskemia mesenrik. Etiologi seperti pada penyakit pembuluh
darah perifer lain, diantaranya penyakit aterosklerosis, infark jantun keadaan yang
menyebabkan lamabtnya lairan darh dan sebagai penyebab emboli lain. Gejala yang khas
bisanya berupa nyeri perut mendadak yang terlokalisasi di epigastrium atau sekitar umbilicus.
Terdapat tenggang waktu antara timbulnya nyeri perut dan timbulnya gejala abdomen yang
lain. Gejala abdominal lain berupa nausea, vormitus, diare(kadang bercampur darah), perut
membesar dan pada keadaan lanjut, syok.
Pada keadaan iskemia intestinal kronik, gejala nyeri perut berulang antara 10-15
menit setelah makan, di rasakan di perut bagian atas. Nyeri kemudian menghilang setelah 1-3
jam. Keadaan ini sering menyebabkan penderita “takut makan”, sehingga terjadi sindroma
makan sedikit – sedikit(small meal syndrome)
Baik keadaan akut atau kronis diagnosis terutama di tegakkan berdasar pemeriksaan
klinis yang dikonfirmasi dengan ateriografi. Sering diagnosis baru di tegakkan pada otopsi.
Terapi pada keadaan akut berupa embolektomi atau rekonstruksi ateri dan eksisi usus yang
mengalami nekrosis. Pada iskemia kronis, tindakkan by pas untuk memperbaiki aliran darah
memberikan hasil yang baik.
Penyakit Croen mempunyai isidens biomal, dengan pucak insidensi ke 2 pada usia 70
tahunan.Bagian usus yang terkena adalah ileum dengan atau tanpa penyebaran ke kolon
kanan. Pada sekitar 40% penderita, kolon distal ikut terkena. Perjalanan penyakit tergantung
pada derah usus yang terkena. Bila mengenai ileum, gejala obstruksi dan komplikasi lain
yang menyebabkan tindakkan pembedahan sering terjadi. Pada penyakit yang hanya
mengenai kolon jarang di perlukan tindakkan bedah.
Gambaran klinik berupa gejala gastro-intestinal, antara lain diare, nyeri perut dan anus, serta
sintom sistemik yang tidak jelas, misalnya konfusio. Diagnosis seringkali sulit, emngingat
gejalanya mirip dengan penyakit divertikuler yang sering di jumpai pada usia lanjut. Terapi
kedaan akut serupa dengan yang di berikan pada colitis ulserativa, yaitu pemberian
sulfasalasin dengan atau tanpa kortikosteroid. Penambahan metronidasol memberikan
penyembuhan yang lebih baik, terutama bila lesi mengenai kolon dan perianal. Pembeian
asatoprin selain memberikan penyembuahn baik bila terdapat fistula perianal juga bisa di
gunakan sebagai pengganti kortikosteroid. Tentang terapi pemeliharaan pada saat remisi
masih merupakan kotroversi. Tindakkan bedah sering di perlukan bila terjadi komplikasi
peritonitis, abses atau fistule. Pada keadaan dimana terapi medikamentosa belum memberikan
hasil yang seperti yang di harapkan , mengistirahatkan usus dengan kolostomi perlu di
pertimbangkan. Tindakkan suportif berupa pemberian nutrisi yang adekuat(kalau perlu
dnegan nutrisi parenteral), koreksi anemia, ganguan elektrolit dan cairan akan mempercepat
penyembuhan.
Penyakit difertikuler
PEnyakit ini sering ditemukan pada usia lanjut. Prevasesinya meningakt dari 18% pada
golongan umur 4 -59 tahun menajdi sekitar 42% pada usia diatas 80tahun. Gambaran klinis
biasanya berupa nyeri perut bawah(78% penderita), konstipasi dan diare(9% penderita),
teraba massa di fossa iliaka kiri, hematokesia, nausea dan vormitus, inkontensia fekal dan
gejala uriner. Komplikasi yang sering terjadi antara lain fistula kandung kemih atau ke vagina
, pervorasi disertai peritonitis, pembentukan abses dan konstipasi. Penatalaksanaan berupa
pemberian antibioka pada penderita dengan gejala divertikulus. Pemberian diet tinggi serat
pada penderita dengan keluhan konstipasi. Pada komplikasi perforasi, abses dan fistula di
perlukan tindakkan bedah.
Kolitis pseudomembranosa
Penyakit ini timbul akibat pemakaian antibioka sprektum luas yang menyeabakan pemakaian
antibiotika sprektum luas yang menyebabkan penekanan flora bakteri komensal di usus besar
dan pertumbuhan tidak terkontrol kuman clostridium difersile di kolon. Gambaran klinik
berupa terjadinya diare (sering kali hebat) tidak bercampur darah, tanpa di sertai demam.
Biasanya terdapat leukositosis dan kadar albumin yang rendah. Diagnosis ditegakkan denga
riwayat pemakaian antibiotika bersprektum luas, gambaran klinis serta kultur Colostrum
adatu adanya toksin kuman dari feses. Secara sigmoidoskopi jelas terlihat membrane kolon
dengan bercak – bercak eksudat yang terdapat diatas mukosa kolon yang kemerahan tapi
tidak rapuh.Terapi berupa penghentian antibiotika bersprektum luas, dan pemberian
vankomisin atau metronidasol guna menekan clostridium.
Kolitis ulserativa
Seperti pada penyakit khron, colitis uslderative mempunyai isidensi biomidal, dnegan puncak
kedua terjadi setelah usia 50 tahun. Berat dan luasnya kolon yang terkena bervariasi. Pda
sebagian besar penderita, hanya rectum yang terkena, akan tetapi pda penderita lain dapat
meluas hingga ke seluruh kolon. Pada penderita dengan penyakit yang ekstensif, resiko
terjadinya keganasan pad 10 tahun pertama cukup besar, akan tetapi pda kelaian yang terbatas
resiko tersebut kecil.Komplikasi yang berat adalah terjadinya perforasi dan megakolon toksik
Gejala klinis biasanya tidak jauh berbeda denga terdapat pada usia muda. Diagnosis
ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinik, sigmoidoskopi atau radiografik dengan kontras
barium, serta biopsy.
Seperti pada penderita muda, terapi berupa pemberian sulfasalasanin dan kortikosterioid local
atau oral untuk keadaan akut / eksaserebasi akut.Untuk mencegah kekambuhan diberikan
dosis pemeliharaan sulfasalamin.Tindakkan bedah diperlukan bila terapi medikamentosa
gagal, bila terjadi komplikasi megakolon toksik atau bila terjadi penyakit yang ekstensif
selama 10 tahun, sehingga menurunkan kemungkinan timbulnya keganasan.
Merupakan keganasan yang cukup sering didapatkan pada usia lanjut. Insidensinya
meningkat bersama dnegan lanjutnya usia. Keadaan prekondisi terjadinya keganasan ini
adalah colitis ulserativ, polip kolon atau adenoma. Ditandai dengan gejala diare, inkontensia
fekal, konstipasi dan perdarahan perrektal dengan terapi atau tanpa diare dan anemia
defisiensi besi. Bisanya dapat diraba adanya massa di daerah kolon. Diagnosis ditegakkan
dengan pemeriksaan raiologik dengan kontras barium. Pemeriksaan sigmoidoskopi atau
kolonskopi sisertai pemeriksaan histologik akan lebih mengkonfirmasikan diagnosis.Oleh
karena bisanya didapatkan pada stadium lanjut dnegan mestatasis yang cukup luas(ke tulang
dan hati), angka survival 5 tahun setelah reseksi yang di lanjukan dengan sitostatika hanya
berkisar 65-80%.