Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Gagal jantung merupakan masalah penting yang memengaruhi morbiditas
dan mortalitas pada anak-anak. Gagal jantung didefinisikan sebagai suatu kelainan
jantung, baik struktur maupun fungsinya, dimana jantung tidak mampu
memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi untuk
metabolisme jaringan tubuh, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung masih
cukup tinggi.1 Gagal jantung pada anak-anak dapat muncul saat lahir (karena
penyakit janin) atau dapat berkembang pada setiap tahap masa kanak-kanak. Gagal
jantung pada anak dapat disebabkan oleh volume atau tekanan berlebih pada
miokardium normal (penyakit jantung bawaan) dan kelainan miokard primer
(kardiomiopati).2 Penyakit lain yang menyebabkan gagal jantung pada anak-anak,
yang umumnya terjadi di negara berkembang, adalah demam reumatik dan penyakit
jantung reumatik. Walaupun insiden dan prevalensi demam reumatik dan penyakit
jantung reumatik kronis terdokumentasi dengan baik, tetapi hanya sedikit data
tentang pasien tersebut yang menderita gagal jantung.3,4
Penyakit jantung reumatik (PJR) merupakan komplikasi yang membahayakan
dari demam reumatik. Katup-katup jantung tersebut rusak karena proses perjalanan
penyakit yang disebabkan oleh demam reumatik, yang diawali dengan infeksi
tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus β-hemoliticus tipe A. Pasien
dengan demam reumatik akut dapat terjadi kelainan pada jantung mulai dari
insufisiensi katup (umumnya katup mitral), gagal jantung, perikarditis bahkan
kematian. Penyakit jantung reumatik merupakan bentuk paling umum dari penyakit
jantung yang didapat pada semua kelompok umur, terhitung sebanyak 50% dari semua
penyakit kardiovaskular dan sebanyak 50% dari semua pasien jantung di negara
berkembang. Terdapat perbedaan yang mencolok dalam kejadian demam reumatik
akut dan penyakit jantung reumatik di antara berbagai kelompok etnis di negara yang
sama, terkait dengan perbedaan dalam status sosio-ekonomi, dan genetik yang dapat
meningkatkan kerentanan penyakit.5

1
Laporan WHO Expert Consultation Geneva pada tanggal 29 Oktober-
1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 menyebutkan bahwa sekitar
7,6/100.000 penduduk di Asia Tenggara, 8,2/100.000 penduduk di negara berkembang
dan 0,5/100.000 penduduk di negara maju menderita penyakit jantung reumatik.
Sementara, kasus gagal jantung kongestif terjadi pada 25% kasus penyakit jantung
reumatik dan membutuhkan perawatan inap dan operasi katup.6
Gagal jantung anak adalah kondisi yang relatif tidak umum. Sebagian besar
dokter di pelayanan primer atau gawat darurat memiliki sedikit pengalaman tentang
manifestasi klinis atau manajemen gagal jantung pada anak-anak. Setidaknya 87%
kasus gagal jantung yang baru timbul hanya mencapai diagnosis ketika pasien
dalam keadaan dekompensasi berat, dan kurang dari 50% anak-anak
yang datang dengan gejala gagal jantung bertahan hidup selama 5 tahun tanpa
transplantasi jantung.1 Manajemen gagal jantung pada anak-anak sebagian besar
telah berevolusi berdasarkan pengalaman klinis dan data orang dewasa, didukung
oleh literatur pediatrik yang terbatas. Oleh karena itu, diagnosis dini dan
pengobatan yang efektif tetap merupakan tantangan yang harus diatasi.2,7

1.2 TUJUAN
Untuk menguraikan teori-teori, mulai dari definisi hingga diagnosis, serta
tatalaksana, dan melaporkan kasus mengenai gagal jantung kongestif dan penyakit
jantung reumatik. Penyusunan laporan kasus ini sekaligus untuk memenuhi
persyaratan pelaksanaan kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 MANFAAT
Laporan kasus ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan
pemahaman penulis serta pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami
mengenai gagal jantung kongestif dan penyakit jantung reumatik pada anak
terutama tentang penegakan diagnosis dan tatalaksananya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 GAGAL JANTUNG


2.1.1 DEFINISI
Gagal jantung adalah suatu kelainan struktur atau fungsi jantung, dimana jantung
tidak mampu memompakan darah secukupnya dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi
untuk metabolisme jaringan tubuh, sedangkan tekanan pengisian ke dalam jantung
masih cukup tinggi. Gagal jantung juga didefinisikan sebagai kumpulan gejala klinis
dan patofisiologis progresif yang disebabkan oleh kelainan kardiovaskular dan non-
kardiovaskular yang menyebabkan tanda dan gejala khas termasuk edema, gangguan
pernapasan, kegagalan pertumbuhan, dan intoleransi aktivitas, disertai dengan
gangguan sirkulasi, neurohormonal, dan molekuler.7
2.1.2 ETIOLOGI
Penyebab gagal jantung anak berbeda dengan dewasa. Gagal jantung pada
anak dibedakan berdasarkan dengan dan tanpa kelainan struktur jantung. Menurut
perubahan fisiologinya, dibedakan menjadi kelainan kelebihan beban volume
jantung, kegagalan pompa, atau pun keduanya.7
Keadaan kelebihan beban volume jantung disebabkan oleh kegagalan
sirkulasi. Pada keadaan ini fungsi ventrikel kiri dalam keadaan normal atau
hiperkontraksi. Keadaan ini diakibatkan oleh left-to-right shunts (ventricular septal
defect, patent ductus arteriosus, aortopulmonary window, dan atrioventricular
defect), transposition of great arteries, anemia, dan regurgitasi mitral atau aorta
(endokarditis kongenital, reumatik, dan infektif). Kegagalan pompa dapat
diakibatkan oleh kelainan kongenital dan didapat. Fungsi ventrikel pada keadaan
ini dalam keadaan tidak normal dan dapat terjadi hipertensi pulmonal pada pasien
ini. Keadaan ini diakibatkan oleh kelainan kongenital (aortic stenosis, coarctation
of aorta, pulmonary stenosis), inflamasi (miokarditis bakterial dan viral, Chaga’s
disease), kardiomiopati dilatasi dan masalah ritme jantung (tachycardiomyopathy,
complete heart block).1,7
Etiologi gagal jantung menurut usia adalah sebagai berikut:5
Tabel 2.1 Etiologi gagal jantung pada anak
No. Masa kehidupan Penyebab
1. Prenatal / Janin Anemia
Takikardia supraventrikular
Takikardia ventricular
Complete heart block
Anomali Ebstein atau lesi sisi kanan berat
lainnya
Miokarditis
2. Neonatus (bayi baru Kelebihan cairan
lahir) Patent ductus arteriosus
Ventricular septal defect
Cor pulmonale
Hipertensi
Miokarditis
Kardiomiopati genetik, asfiksia
Arteriovenous malformation
3. Balita Left-to-right cardiac shunts (ventricular septal
defect)
Hemangioma (arteriovenous malformation)
Anomali arteri koroner kiri
Kardiomiopati genetik atau metabolic
Hipertensi akut (hemolytic-uremic syndrome)
Takikardia supraventrikular
Penyakit Kawasaki
Miokarditis
4. Anak-anak – remaja Demam reumatik, penyakit jantung reumatik
Hipertensi akut (glomerulonefritis)
Miokarditis
Tirotoksikosis
Terapi kanker (radiasi, terapi doxorubicin)
Sickle cell anemia
Endokarditis
Cor pulmonale
Kardiomiopati genetik atau metabolik
2.1.3 PATOFISIOLOGI
Pada keadaan gagal jantung, terjadi mekanisme kompensasi utama.
Mekanisme pertama adalah penurunan curah jantung yaitu, meningkatkan volume
dan tekanan akhir diastolik ventrikel. Miokardium berdilatasi untuk meningkatkan
kontraksi dan menghasilkan curah jantung optimal. Hal ini dikenal dengan
mekanisme Frank-Starling, kemampuan miokardium dioptimalkan sampai batas
maksimal dengan memperpanjang panjang awal serat otot jantung (filamen aktin
dan miosin) dan menambah elemen kontraktil untuk meningkatkan kekuatan
kontraksi miokardium dan konsumsi oksigen miokardium.8,9
Pada keadaan left-to-right shunts, penurunan curah jantung dapat terjadi
meskipun fungsi sistolik ventrikel normal. Awalnya terjadi perubahan bentuk otot
jantung, bayi yang lahir dengan shunt dari kiri ke kanan mempunyai sel otot jantung
yang berukuran sama besarnya dengan ukuran dewasa agar panjang serat otot
jantung dan daya tampung ruang jantung meningkat. Hal ini yang mengakibatkan
curah jantung meningkat.9
Mekanisme lainnya adalah kompensasi neurohormonal, yaitu aktivasi sistem
saraf simpatis dan stimulasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS). Aktivasi
saraf simpatis mengakibatkan peningkatan pelepasan dan penurunan penyerapan
norepinefrin, yang berlanjut pada vasokonstriksi perifer untuk mempertahankan
mean arterial pressure dan perfusi organ (dengan meningkatkan resistensi vaskular
sistemik). Pada keadaan stimulasi RAAS, renin bertanggung jawab mengubah
angiotensinogen dalam angiotensin I, yang diubah menjadi angiotensin II oleh
enzim pengonversi angiotensin (angiotensin-converting enzyme/ ACE).
Angiotensin II adalah vasokonstriktor kuat yang menjaga perfusi organ akhir.
Aldosteron menyebabkan retensi garam dan air, menghasilkan peningkatan preload
dan kemudian curah jantung sesuai dengan mekanisme Frank-Starling. Namun,
peningkatan aldosteron dan angiotensin II meningkatkan fibrosis dan apoptosis sel
jantung. Mekanisme-mekanisme ini untuk sementara dapat berkontribusi pada
stabilitas sirkulasi, tetapi seiring waktu menjadi maladaptif dan mendorong
perkembangan gagal jantung.9
2.1.4 MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis yang menunjukkan gagal jantung pada bayi termasuk
takipnea, kesulitan makan, diaforesis (keringat yang berlebihan), berat badan gagal
bertambah, lemah saat menangis, tampak retraksi pada dinding dada dan pernafasan
cuping hidung. Kesulitan makan pada bayi seperti waktu makan yang lama (> 20
menit) dengan penurunan asupan makan karena intoleransi, terjadi sesak napas
ketika menyusu dan muntah setelah menyusu; rewel ketika diberi makan,
berkeringat, dan bahkan bayi menolak untuk makan. Perfusi yang buruk dan
sianosis berat secara bertahap sering tidak disadari sebagai suatu kelainan. Edema
sering dianggap sebagai pertambahan berat badan normal dan intoleransi fisik
dianggap sebagai akibat kurangnya aktivitas fisik. Pada pasien ini, hepatomegali
dapat terjadi, tak terkecuali kardiomegali.1,8,9
Tanda dan gejala gagal jantung pada anak dan remaja mirip dengan gejala
klinis pada pasien dewasa, mencakup kelelahan saat beraktivitas, kesulitan menarik
napas, sesak napas, ortopnea, intoleransi fisik, anoreksia, nyeri perut, mual, muntah
dan batuk. Pada remaja mungkin lebih sering mengeluhkan gejala abdomen
dibandingkan gejala pernapasan. Peningkatan tekanan vena sistemik dapat diukur
dari tekanan vena jugularis dan hepatomegali. Ortopnea dan ronki di basal paru
pada gagal jantung cukup bervariasi. Edema dapat ditemukan pada berbagai macam
bagian pada tubuh, tetapi edema anasarka juga dapat terjadi. Kardiomegali hampir
selalu ditemukan dan didengar adanya gallop, murmur holosistolik pada regurgitasi
katup trikuspid dan mitral.2,8,9
Tingkat keparahan dari gagal jantung pada anak dapat diklasifikasikan
menggunakan klasifikasi Ross yang telah dimodifikasi. Klasifikasi gagal jantung
menurut New York Heart Association (NYHA) tidak berlaku untuk anak kecil pada
tingkat praktisi dan dianggap kurang memiliki sensitivitas yang diperlukan untuk
menilai dan menangkap perkembangan keparahan gagal jantung pada anak. Untuk
alasan ini, klasifikasi gagal jantung oleh Ross yang dimodifikasi digunakan untuk
penilaian anak dengan gagal jantung yang berusia kurang dari 6 tahun, dan
klasifikasi gagal jantung oleh NYHA untuk anak dengan gagal jantung yang berusia
lebih dari 6 tahun.1,10,11
Tabel 2.2 Klasifikasi Ross dan NYHA untuk gagal jantung pada anak10,11,12
Kelas Klasifikasi Ross yang Klasifikasi NYHA untuk gagal
dimodifikasi untuk gagal jantung pada anak > 6 tahun
jantung pada anak < 6 tahun
I Asimptomatik Tidak ada batasan aktivitas fisik.
Aktivitas fisik yang biasa tidak
menyebabkan kelelahan yang tidak
semestinya, palpitasi, dispnea (sesak
napas).
II Takipnea ringan atau diaforesis Batasan aktivitas fisik sedikit.
saat makan pada bayi; sesak Nyaman saat istirahat. Aktivitas fisik
napas (dispnea) saat biasa menyebabkan kelelahan,
beraktivitas pada anak yang jantung berdebar, dispnea (sesak
lebih besar napas).
III Takipnea atau diaforesis yang Keterbatasan aktivitas fisik yang
ditandai dengan pemberian jelas terlihat. Nyaman saat istirahat.
makan pada bayi. Waktu Aktivitas yang kurang dari biasanya
menyusui yang lebih panjang menyebabkan kelelahan, palpitasi,
dengan kegagalan atau dispnea.
pertumbuhan; Sesak napas
(dispnea) yang lebih jelas
terlihat saat beraktivitas pada
anak yang lebih besar
IV Gejala seperti takipnea, retraksi Tidak dapat melakukan aktivitas fisik
dinding dada, mendengkur, atau apa pun tanpa rasa tidak nyaman.
diaforesis saat istirahat Gejala gagal jantung saat istirahat.
Jika ada aktivitas fisik yang
dilakukan, ketidaknyamanan
meningkat.

2.1.5 DIAGNOSIS
Anak yang mengalami gejala dan tanda gagal jantung membutuhkan penilaian
segera untuk menegakkan diagnosis, menentukan status hemodinamiknya, dan
mengidentifikasi setiap penyebab gagal jantung yang dapat dicegah. Langkah pertama
dalam pendekatan diagnostik untuk gagal jantung pada anak adalah anamnesis
(manifestasi klinis dan riwayat) dan pemeriksaan fisik. Peranan pemeriksaan penunjang
dalam diagnosis dan tatalaksana gagal jantung sangat besar. Beberapa pemeriksaan
penunjang dilakukan antara lain : foto toraks, pemeriksaan darah
(darah rutin dan kimia darah), elektrokardiografi (EKG), dan ekokardiografi.2,7,10
1. Anamnesis, menanyakan kepada pasien (autoanamnesis) ataupun kepada
keluarga pasien (alloanamnesis) mengenai keluhan seperti:8,9

a. sesak napas
b. kesulitan makan atau menyusu (pada bayi)
c. bengkak pada kelopak mata dan/atau tungkai
d. gangguan pertumbuhan dan perkembangan (pada kasus kronis)
e. penurunan toleransi saat beraktivitas, maupun keringat berlebihan.
2. Pemeriksaan fisik, dengan temuan seperti:8,9
a. dispnea atau takipnea
b. diaforesis
c. peningkatan tekanan vena jugularis
d. irama gallop/murmur
e. kardiomegali
f. hepatomegali
g. edema (perifer atau anasarka)
3. Pemeriksaan penunjang2,10
a. Foto Toraks
Foto toraks diindikasikan sebagai investigasi lini pertama pada anak-
anak dengan dugaan gagal jantung. Rasio kardiotoraks (CTR) untuk menentukan
kardiomegali adalah > 60% pada neonatus dan > 55% pada anak yang lebih tua.
Foto toraks juga dapat memperlihatkan tanda gagal jantung lainnya seperti edema
paru dan efusi pleura.2,10
b. Elektrokardiografi
Elektrokardiografi menunjukkan hasil yang tidak spesifik tetapi sering
menunjukkan hasil abnormal pada pasien anak dengan gagal jantung, dengan temuan
paling umum yaitu sinus takikardia, hipertrofi ventrikel kiri, perubahan ST-T, pola
infark miokard, dan blok atrioventrikular derajat pertama.2,10
c. Ekokardiografi
Transthoracic echocardiography adalah pemeriksaan yang sangat
diperlukan dari evaluasi diagnostik awal gagal jantung anak untuk menemukan
kemungkinan penyakit struktural jantung. Oleh karena itu, ekokardiografi harus
diprioritaskan, karena keterlambatan diagnosis mengakibatkan perbaikan bedah yang
tertunda, dan kegagalan perkembangan ventrikel. Pemeriksaan ini harus mencakup
evaluasi pengukuran ventrikel kiri, termasuk shortening fraction (SF), dan pengukuran
fraksi ejeksi (EF) menggunakan estimasi volume (metode Simpson, metode panjang
area, atau algoritma 3D otomatis), dan penilaian fungsi diastolik. Data ini bersifat
instruktif untuk manajemen jangka pendek dan prognosis jangka panjang. Disfungsi
sistolik ventrikel kiri pada anak-anak saat ini didefinisikan oleh SF < 25% dan / atau EF
<55%.
d. Pemeriksaan laboratorium rutin
Gagal jantung simtomatik pada anak mungkin berhubungan dengan
gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan, status asam-basa, fungsi ginjal, fungsi hati,
fungsi tiroid, dan darah lengkap. Pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan untuk
menilai anemia dan menyingkirkan infeksi; analisis gas darah arteri dan elektrolit untuk
mengevaluasi hiponatremia, hiperkalemia, hipoksemia dan asidosis; fungsi ginjal/ hati
dan laktat untuk mengevaluasi fungsi organ; natriuretic peptide (NT-pro-BNP / BNP)
untuk mengevaluasi fungsi jantung dan tekanan pengisian ventrikel kiri; dan troponin
untuk menyingkirkan kardiomiopati peradangan atau iskemik.
2.1.6 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan gagal jantung harus ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup
dan kelangsungan hidup pasien. Perawatan gagal jantung melibatkan perawatan
penyebabnya, perawatan kondisi yang memburuk dan mempengaruhi kondisi gagal
jantung (misalnya infeksi, anemia, aritmia, demam) dan kontrol gagal jantung.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada anak dengan gagal jantung adalah sebagai
berikut:1,2,5,9
1. Tirah baring
Pengurangan aktivitas fisik merupakan kunci utama dalam pengobatan
gagal jantung dewasa, namun sukar pada anak. Beberapa pasien yang lebih tua
merasa lebih baik tidur dalam posisi semi-fowler, menggunakan beberapa bantal.
Untuk bayi dengan gagal jantung, kursi bayi mungkin disarankan. Sebelum pasien
mulai merespons pengobatan, pembatasan kegiatan dapat dilakukan sesuai
diagnosis spesifik dan kemampuan pasien.1,2
2. Diet
Bayi dan anak-anak yang sedang menderita gagal jantung kongestif
banyak kekurangan kalori karena kebutuhan metabolisme bertambah dan
pemasukan kalori berkurang. Oleh karena itu, kalori harian perlu ditambahkan.
Sebaiknya memakai makanan berkalori tinggi, bukan makanan dengan volume
yang besar. Pada bayi, dukungan nutrisi harus memastikan asupan kalori sekitar
150 kkal / kg / hari. Hal ini dicapai dengan menggunakan suplemen makanan, lebih
memilih makanan kecil dan sering yang dapat ditoleransi oleh bayi dengan lebih
baik. Pada anak-anak dan remaja, rekomendasi saat ini menunjukkan bahwa 25-30
kkal / kg / hari adalah target yang masuk akal bagi kebanyakan pasien. Pada
keadaan bayi dengan gagal jantung yang berat, pemasangan selang nasogastrik
dapat dilakukan untuk membantu pemberian nutrisi yang adekuat.5,9
Pemakaian formula diet rendah natrium untuk bayi tidak disarankan pada
pasien ini karena sediaan ini tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh bayi
dan dapat memperberat hiponatremia akibat obat diuretik. Makanan dalam bentuk
yang agak cair dapat membantu ginjal mempertahankan natrium dan keseimbangan
cairan yang cukup. Sebagian besar anak-anak dapat diberikan dengan kelola diet
“tanpa garam tambahan” dan melakukan pantangan makanan yang mengandung
banyak natrium. Diet ketat dengan natrium yang sangat rendah jarang diperlukan,
dan biasanya jarang dipatuhi oleh pasien.2,5,9
3. Farmakologi
Pengobatan dengan pendekatan tiga tingkat, yaitu memperbaiki kinerja
pompa jantung, mengendalikan retensi garam dan air yang berlebihan, dan mengurangi
beban kerja. Pendekatan pertama adalah memperbaiki kinerja pompa dengan
menggunakan digitalis, jika gagal jantung tetap tidak terkendali maka dapat digunakan
diuretik (pengurangan prabeban) untuk mengendalikan retensi garam dan air yang
berlebihan. Jika kedua cara tersebut tidak efektif, biasanya dicoba pengurangan beban
kerja jantung dengan vasodilator sistemik (pengurangan beban pasca/ afterload). Jika
pendekatan ini tidak efektif, upaya lebih lanjut memperbaiki kinerja pompa jantung dapat
dicoba dengan agen simpatomimetik atau agen inotropik positif lain. Jika tidak ada dari
cara-cara tersebut yang efektif, mungkin diperlukan transplantasi jantung.1,5
Tabel 2.3 Penatalaksanaan farmakologis untuk gagal jantung pada anak
No. Obat Dosis
1. Digoksin
Digitalisasi (per-oral/PO) Prematur/neonatus : 0,02-0,03 mg/kg*
[dosis dibagi 3] Anak-anak : 0,025-0,04 mg/kg*
Remaja : 0,5-1 mg dalam dosis terbagi*
* : Dosis Intravena (IV) = 75% dari dosis PO
Rumatan ¼ dari dosis digitalisasi dibagi setiap 12 jam
2. Diuretik
Furosemid (Lasix) IV : 1-2 mg/kg/dosis
PO : 1-4 mg/kg/hari
Klorotiazid (Diuril) PO : 20-40 mg/kg/hari
Spironolactone (Aldactone) PO: 1-3 mg/kg/day
3. Agonis Adrenergik (IV)
Dobutamin 2-20 µg/kg/min
Dopamin 2-30 µg/kg/min
Isoproterenol 0.01-0.5 µg/kg/min
Epinephrine 0.1-1.0 µg/kg/min
Norepinephrine 0.1-2.0 µg/kg/min
4. Agen penurun beban pasca/afterload
Kaptopril (PO) Prematur: dimulai dari 0.01 mg/kg/dosis; 0,1-
0,4 mg/kg/hari, dibagi 6-24 jam
Bayi: 1,5-6 mg/kg/hari, dibagi 6-12 jam
Anak : 2,5-6 mg/kg/hari, dibagi 6-12 jam
Enalapril (PO) 0,08-0,5 mg/kg/hari, dibagi 12-24 jam
Hidralazin IV: 0,1-0,5 mg/kg/dosis (maksimum: 20 mg)
PO: 0,75-5 mg/kg/hari, dibagi 6-12 jam
Nitrogliserin IV: dimulai dari dosis 0,25-0,5 µg/kg/menit;
ditingkatkan menjadi 20 µg/kg/menit
(maksimum)
Nitroprusid IV : 0,5-8 µg/kg/min
5. Penghambat -adrenergic
Karvedilol PO: dosis awal 0,1 mg/kg/ hari (maksimum:
6,25 mg), meningkat secara bertahap (biasanya
interval 2 minggu) ke maksimum 0,5-1 mg / kg
/ hari selama 8-12 minggu sesuai toleransi; dosis
maksimal dewasa: 50-100 mg / hari
Metoprolol PO, nonextended release form: 0,2 mg/kg/hari,
meningkat secara bertahap (biasanya interval 2
minggu) hingga dosis maksimum 1-2
mg/kg/hari
PO, extended release form : diberikan sekali
sehari; dosis awal dewasa 25 mg / hari, dosis
maksimum adalah 200 mg / hari
2.2 PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
2.2.1 DEFINISI
Demam reumatik akut adalah sekuel lambat non-supuratif pasca infeksi
faring Streptococcus pyogenes, atau Group A β-hemolytic Streptococcus (GABHS).
Demam reumatik adalah penyebab paling umum dari penyakit jantung yang didapat
pada anak-anak dan orang dewasa di seluruh dunia. Demam reumatik akut
diekspresikan sebagai reaksi inflamasi yang melibatkan banyak organ, terutama
jantung, sendi, dan sistem saraf pusat. Dari gejala yang terkait, hanya kerusakan
pada jaringan katup di dalam jantung, atau penyakit jantung reumatik, yang dapat
menjadi kondisi kronis yang menyebabkan gagal jantung kongestif, stroke,
endokarditis, dan kematian. Demam reumatik dan akibatnya yang lebih serius,
penyakit jantung reumatik, terus menimbulkan masalah yang signifikan di beberapa
bagian dunia. Meskipun kejadian penyakit di daerah maju telah menurun secara
signifikan setelah tahun 1950-an, penyakit jantung reumatik tetap menjadi
penyebab utama penyakit jantung yang didapat di negara-negara berkembang di
antara pasien berusia 5 hingga 30 tahun.13,14
2.2.2 ETIOLOGI
Streptokokus β-hemolitik grup A adalah patogen gram positif ekstraseluler
yang merupakan penyebab tersering faringitis dan terutama mengenai anak usia
sekolah 5-15 tahun. Beberapa serotipe protein M seperti M tipe 1,3,5,6,14,18,19,
dan 24 dari Streptococcus pyogenes dihubungkan dengan infeksi tenggorokan dan
demam reumatik.15,16
2.2.3 DIAGNOSIS
Kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk diagnosis demam reumatik
dan penyakit jantung reumatik mengkategorikan diagnosis demam reumatik menjadi
episode primer demam reumatik, serangan rekuren demam reumatik pada pasien tanpa
penyakit jantung reumatik, serangan rekuren demam reumatik pada pasien dengan
penyakit jantung reumatik, chorea reumatik, onset karditis reumatik, dan kronik penyakit
jantung reumatik. Untuk diagnosis episode primer demam reumatik, ditemukan dua
kriteria mayor atau 1 kriteriaa mayor dan 2 kriteria minor dari demam reumatik, dan bukti
infeksi streptokokus sebelumnya.6
Tabel 2.4 Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk diagnosis demam reumatik dan
penyakit jantung reumatik (berdasarkan revisi kriteria Jones)
Kategori diagnostik Kriteria
Demam reumatik serangan pertama Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
ditambah dengan bukti infeksi
streptokokus grup A sebelumnya
Demam reumatik serangan rekuren Dua mayor atau satu mayor dan dua minor
tanpa penyakit jantung reumatik ditambah dengan bukti infeksi
streptokokus grup A sebelumnya
Demam reumatik serangan rekuren Dua minor ditambah dengan bukti infeksi
dengan penyakit jantung reumatik streptokokus grup A sebelumnya
Chorea reumatik Tidak diperlukan kriteria mayor lainnya
atau bukti infeksi streptokokus grup A
Penyakit jantung reumatik (stenosis Tidak diperlukan kriteria lainnya untuk
mitral murni atau kombinasi mendiagnosis sebagai penyakit jantung
dengan insufisiensi mitral reumatik
dan/atau gangguan katup aorta)

Tabel 2.5 Kriteria Jones yang telah direvisi untuk pedoman diagnosis demam reumatik
Manifestasi Kriteria
Mayor - Karditis
- Poliartritis
- Chorea
- Eritema marginatum
- Nodul subkutan
Minor - Klinis: demam, poliartralgia
- Laboratorium : peningkatan fase akut
reaktan (laju endap darah atau hitung
leukosit)
Bukti pendukung riwayat infeksi - Elektrokardiogram : P-R interval
Streptokokus dalam 45 hari terakhir memanjang
- Peningkatan antistreptolisin-O atau
antibodi, atau streptokokus lain
- Kultur tenggorok positif
- Tes antigen cepat streptokokus grup A
- Demam skarlet terbaru
2.2.4 PENATALAKSANAAN
Keputusan perawatan medis atau invasif sepenuhnya pada pasien demam
reumatik dan penyakit jantung reumatik tergantung pada kasus yang dihadapi.
Pengobatan yang digunakan sesuai dengan Taranta dan Markowitz telah
dimodifikasi, termasuk tirah baring, pemberantasan streptokokus, dan obat anti-
inflamasi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien demam reumatik dan
penyakit jantung reumatik adalah sebagai berikut: 17,18
1. Tirah baring17,18
Durasi dan tingkat istirahat di tempat tidur tergantung pada sifat dan
beratnya serangan. Berikut adalah panduan kegiatan demam reumatik berdasarkan
gejala radang sendi dan karditis:
Tabel 2.6 Panduan aktivitas pada demam reumatik
Aktivitas Artritis Karditis Karditis Karditis
minimal sedang berat
Tirah baring 1-2 minggu 2-4 minggu 4-6 minggu 2-4 bulan/
selama masih
terdapat
gagal jantung
kongestif
Aktivitas di dalam 1-2 minggu 2-3 minggu 4-6 minggu 2-3 bulan
rumah
Aktivitas di luar 2 minggu 2-4 minggu 1-3 bulan 2-3 bulan
rumah
Aktivitas penuh Setelah 6-10 Setelah 6-10 Setelah 3-6 Bervariasi
minggu minggu bulan

2. Pemberantasan streptokokus dan pencegahan17,18


Rekomendasi untuk pencegahan streptokokus dari tonsil dan faring sama
dengan rekomendasi yang dianjurkan untuk pengobatan faringitis streptokokus, yaitu:
- Benzantin penicillin G : dosis 600.000 IU intramuskular untuk pasien
dengan berat badan kurang dari 30 kg dan 1,2 juta IU intramuskular
untuk pasien dengan berat badan lebih dari 30 kg, diberikan setiap 4
minggu atau 28 hari.
- Eritromisin (jika alergi terhadap benzantin penisilin G): dosis
40mg/kgBB/hari dibagi 2-4 dosis selama 10 hari
- Alternatif lain: Penisilin V 4x250 mg per-oral selama 10 hari
Profilaksis untuk mencegah demam reumatik berulang adalah bagian penting
dari pengobatan RHD. Pencegahan (profilaksis) primer bertujuan untuk mencegah
demam reumatik akut atau eradikasi Streptococcus beta hemolyticus group A, dengan
cara pemberian penisilin oral untuk selama 10 hari atau benzathine penicillin G 0,6-1,2
juta unit IM. Sedangkan pencegahan sekunder dilakukan pada pasien dengan diagnosis
demam reumatik dan penyakit jantung reumatik untuk mencegah komplikasi.
Pencegahan sekunder yang dapat dilakukan yaitu pemberian benzantin penisilin G dosis
600.000 IU intramuskular untuk pasien dengan berat badan kurang dari 30 kg dan
1,2 juta IU intramuskular untuk pasien dengan berat badan lebih dari 30 kg,
diberikan setiap 4 minggu atau 28 hari. Pilihan lain yaitu penisilin V per-oral dengan
dosis 125-250 mg 2 kali sehari, sulfadiazin 1 g per-oral sekali sehari, atau eritromisin 250
mg per-oral 2 kali sehari.17,18 Lama pencegahan adalah sebagai berikut:
Tabel 2.7 Lama pencegahan pasien dengan demam reumatik akut
Kategori pasien Durasi
Demam reumatik tanpa karditis Sedikitnya sampai 5 tahun setelah serangan
terakhir atau hingga usia 18 tahun
Demam reumatik dengan karditis Sedikitnya sampai 10 tahun setelah serangan
tanpa bukti adanya penyakit terakhir atau hingga usia 25 tahun, dipilih
jantung residual/kelainan katup jangka waktu yang terlama
Demam reumatik akut dengan Sedikitnya 10 tahun sejak episode terakhir
karditis dan penyakit jantung atau sedikitnya hingga usia 40 tahun, dan
residual (kelainan katup persisten) kadang-kadang seumur hidup
Setelah operasi katup Seumur hidup

3. Pengobatan anti-nyeri dan anti-radang17,18


Anti-inflamasi asetosal (aspirin) diberikan pada karditis ringan (tidak jelas
ditemukan kardiomegali) sampai sedang (kardiomegali ringan), sedangkan prednison
hanya diberikan pada karditis berat (jelas terdapat kardiomegali disertai tanda gagal
jantung). Dosis aspirin yang dapat diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari, dibagi 4-6 dosis,
sedangkan prednison adalah 2 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis. Dosis prednison di-
tappering off pada minggu terakhir pemberian dan mulai diberikan aspirin. Setelah
minggu ke-2 dosis aspirin diturunkan menjadi 60 mg/kgBB/hari.
Tabel 2.8 Panduan obat anti-inflamasi
Obat Artritis Karditis minimal Karditis sedang Karditis berat
Prednison - - 2-4 minggu 2-6 minggu
Aspirin 1-2 minggu 2-4 minggu 6-8 minggu 2-4 bulan
DAFTAR PUSTAKA

1. Jayaprasad N. Heart Failure in Children. Heart Views 2016;17:92-9.


2. Kantor PF, Lougheed J, Dancea A, McGillion M, et al. Presentation, Diagnosis,
and Medical Management of Heart Failure in Children: Canadian
Cardiovascular Society Guidelines. Can J Cardiol 2013;29:1535-52.
3. Thakur V, Fouron, JC, Mertens L, Jaeggi ET. Diagnosis and Management
of Fetal Heart Failure. Can J Cardiol 2013;29:759-67.
4. Kantor PF, Andelfinger G, Dancea A, Khairy P. Heart failure in congenital
heart disease. Can J Cardiol 2013;29:753-4.
5. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, et al. Nelson textbook of
pediatrics e-book. Elsevier Health Sciences, 2016.
6. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease :
report of a WHO Expert Consultation, Geneva, 29 October —
1 November 2001. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data, 2004.
7. Sharma M, Nair MN, Jatana SK, et al. Congestive Heart Failure in Infants
and Children. MJAFI, 2003;59(3):228-33.
8. Hsu DT & Pearson GD. Heart Failure in Children Part I: History, Etiology,
and Pathophysiology. Circ Heart Fail, 2009;2:63-70.
9. Masarone D, Valente F, Rubino M, et al. Pediatric Heart Failure:
A Practical Guide to Diagnosis and Management. Pediatrics and
Neonatology, 2017;58:303e312
10. Das BB. Current state of Pediatric Heart Failure. Children, 2018;5:88
11. Ross RD. The Ross Classification for Heart Failure in Children After 25
Years: A Review and an Age-Stratified Revision. Pediatr Cardiol,
2012;33:1295–1300
12. Ali M. Gagal jantung pada bayi dan anak. Dalam: Ali M, Dimyati Y,
Adriansyah R, Trisnawati Y. Tatalaksana awal kegawatan pada bayi dan
anak. Medan: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Sumatera Utara; 2012.
p.83-102.
13. Seckeler MD, Hoke TR. The worldwide epidemiology of acute rheumatic
fever and rheumatic heart disease. Clin Epidemiol. 2011;3:67-84.
14. Robertson KA, Volmink JA, Mayosi BM. Antibiotics for the primary
prevention of acute rheumatic fever: A meta-analysis. BMC Cardiovasc
Disord. 2005;5:11.
15. Siregar AA. Demam Reumatik dan Penyakit Jantung Reumatik:
Permasalahan Indonesia. USU e-Repository. 2007.
16. Mota CC, Meira ZM, Graciano RN, Graciano FF, Araújo FD. Rheumatic
fever prevention program: Long-term evolution and outcomes. Front
Pediatr. 2015;2:141.
17. IDAI. Pedoman Pelayanan Medis IDAI Edisi II. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 2011
18. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan penyakit jantung
pada bayi dan anak. First edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2005.
p.36-46

Anda mungkin juga menyukai