Anda di halaman 1dari 20

1.

Konsep Dasar Penyakit


A. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang
dialami oleh pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang
nyata Keliat, (2011) dalam Zelika, (2015). Halusinasi adalah persepsi sensori
yang salah atau pengalaman persepsi yang tidak sesuai dengan kenyataan
Sheila L Vidheak,( 2001) dalam Darmaja (2014).
Menurut Surya, (2011) dalam Pambayung (2015) halusinasi adalah
hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal
(pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi
atau tanggapan dari pancaindera tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal
(Stuart & Laraia, 2001).Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana
pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi
adalah gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu
melalui panca indera tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan
ilusi, dimana klien mengalami persepsi yang salah terhadap stimulus, salah
persepsi pada halusinasi terjadi tanpa adanya stimulus eksternal yang terjadi,
stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu yang nyata ada oleh klien.

B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom
tertentu. Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor
penentu gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian.
Anak kembar identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia
sebesar 50% jika salah satunya mengalami skizofrenia, sementara jika
dizigote, peluangnya sebesar 15%. Seorang anak yang salah satu orang
tuanya mengalami skizofrenia berpeluang 15% mengalami
skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya skizofrenia maka
peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya
dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak
seimbang dengan kadar serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat
menjadi faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi
skizofrenia antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang
pencemas, terlalu melindungi, dingin, dan tak berperasaan,
sementara ayah yang mengambil jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
a. Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
b. Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
c. Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat
sistem syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan.
d. Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan
hidup, pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan
orang lain, isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja,
kurang ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan,
ketidakmampuan mendapat pekerjaan.
e. Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah,
putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri,
merasa punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak
seperti orang lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya
kernampuan sosialisasi, perilaku agresif, ketidakadekuatan
pengobatan, ketidakadekuatan penanganan gejala.

C. Klasifikasi
Menurut Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain:
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara
orang, biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan
apa yang sedang dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan
sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran
cahaya, gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang
luas dan kompleks. Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang
menjijikkan seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau
harum.Biasanya berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa
stimulus yang terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari
tanah, benda mati atau orang lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan
menjijikkan, merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah
mengalir melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan
urine.
7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.

D. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum
atautertawa yang tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara,
bicarasendiri,pergerakan mata cepat, diam, asyik dengan
pengalamansensori,kehilangan kemampuan membedakan halusinasi dan
realitas rentangperhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau menit,
kesukaranberhubungan dengan orang lain, tidak mampu merawat diri.
perubahan Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden,
(1998) dalam Yusalia (2015).

E. Rentang halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu respon maldaptive individual yang


berbeda rentang respon neurobiologi (Stuart and Laraia, 2005) dalam Yusalia
2015. Ini merupakan persepsi maladaptive. Jika klien yang sehat persepsinya
akurat, mampu mengidentifisikan dan menginterpretasikan stimulus
berdasarkan informasi yang diterima melalui panca indera (pendengaran,
pengelihatan, penciuman, pengecapan dan perabaan) klien halusinasi
mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun stimulus tersebut
tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang karena
suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah mempersepsikan stimulus
yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalami jika
interpresentasi yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai
stimulus yang diterimanya,rentang respon tersebut sebagai berikut:
Respon adaptif Respon maladaptif

 Pikiran logis  Kadang-  Waham


 Persepsi akurat kadang proses  Halusinasi
 Emosi pikir terganggu  Sulit berespons
konsisten (distorsi  Perilaku
dengan pikiran disorganisasi
pengalaman  Ilusi  Isolasi sosial
 Perilaku sesuai  Menarik diri
 Hubungan  Reaksi emosi
sosial harmonis >/<
 Perilaku tidak
biasa
F. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya
Stuart & Sundeen, (2006) dalam Bagus, (2014), membagi fase halusinasi
dalam 4 fase berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien
mengendalikan dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat
mengalami ansietas dan makin dikendalikan oleh halusinasinya.

Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien


1 2 3
Fase 1 : Comforting- Klien mengalami keadaan Menyeringai atau
ansietas tingkat emosi seperti ansietas, tertawa yang tidak
sedang, secara kesepian, rasa bersalah, dan sesuai, menggerakkan
umum, halusinasi takut serta mencoba untuk bibir tanpa
bersifat berfokus pada penenangan menimbulkan suara,
menyenangkan pikiran untuk mengurangi pergerakan mata yang
ansietas. Individu mengetahui cepat, respon verbal
bahwa pikiran dan yang lambat, diam dan
pengalaman sensori yang dipenuhi oleh sesuatu
dialaminya tersebut dapat yang mengasyikkan.
dikendalikan jika ansietasnya
bias diatasi
(Non psikotik)
Fase II: Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem
Condemning- menjijikkan dan menakutkan, syaraf otonom yang
ansietas tingkat klien mulai lepas kendali dan menunjukkan ansietas,
berat, secara umum, mungkin mencoba untuk seperti peningkatan
halusinasi menjadi menjauhkan dirinya dengan nadi, pernafasan, dan
menjijikkan sumber yang dipersepsikan. tekanan darah;
Klien mungkin merasa malu penyempitan
karena pengalaman kemampuan
sensorinya dan menarik diri konsentrasi, dipenuhi
dari orang lain. dengan pengalaman
sensori dan kehilangan
(Psikotik ringan) kemampuan
membedakan antara
halusinasi dengan
realita.
Fase III: Controlling- Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti
ansietas tingkat perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
berat, pengalaman halusinasi dan menyerah pada halusinasinya daripada
sensori menjadi halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
berkuasa halusinasi menjadi menarik, berhubungan dengan
dapat berupa permohonan. orang lain, rentang
Klien mungkin mengalarni perhatian hanya
kesepian jika pengalaman beberapa detik atau
sensori tersebut berakhir. menit, adanya tanda-
(Psikotik) tanda fisik ansietas berat
: berkeringat, tremor,
tidak mampu mengikuti
petunjuk.
Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-
mengancam dan menakutkan teror seperti panik,
Panik, umumnya jika klien tidak mengikuti berpotensi kuat
halusinasi menjadi perintah. Halusinasi bisa melakukan bunuh diri
lebih rumit, melebur berlangsung dalam beberapa atau membunuh orang
dalam halusinasinya jam atau hari jika tidak ada lain, Aktivitas fisik yang
intervensi terapeutik. merefleksikan isi
halusinasi seperti amuk,
(Psikotik Berat) agitasi, menarik diri,
atau katatonia, tidak
mampu berespon
terhadap perintah yang
kompleks, tidak mampu
berespon terhadap lebih
dari satu orang.

G. Penatalaksanaan

Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan


untuk membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina
hubungan saling percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat
penting dijalin sebelum mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien
harus difasilitasi untuk merasa nyaman menceritakan pengalaman aneh
halusinasinya agar informasi tentang halusinasi yang dialami oleh klien dapat
diceritakan secara konprehensif. Untuk itu perawat harus memperkenalkan
diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa keberadaan perawat adalah
betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus sabar, memperlihatkan
penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien saat
menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau
menertawakan klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh
dan menggelikan bagi perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar
tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan
selanjutnya adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi
halusinasi, waktu, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan
munculnya halusinasi, dan perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah
klien menyadari bahwa halusinasi yang dialaminya adalah masalah yang harus
diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih bagaimana cara yang bisa
dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses ini dimulai dengan
mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa usaha
yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan,
sementara jika cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu
dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang
bisa dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus
berusaha melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien
dilatih untuk mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini
dianjurkan untuk dilakukan bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien
mengenal halusinasi, jelaskan cara-cara kontrol halusinasi, ajarkan pasien
mengontrol halusinasi dengan cara pertama yaitu menghardik halusinasi:
2. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat
ketidakseimbangan neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk
itu, klien perlu diberi penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi
halusinasi, serta bagairnana mengkonsumsi obat secara tepat sehingga
tujuan pengobatan tercapai secara optimal. Pendidikan kesehatan dapat
dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian obat agar klien patuh
untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien
yang mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini
penting dilakukan dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di
mana klien berasal. Pengaruh sikap keluarga akan sangat menentukan
kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah mampu mengatasi masalahnya,
tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa mengalami kegagalan, dan
halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi sebagai salah satu
gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien pulang ke
rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga
tentang cara penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi
terapis begitu klien kembali ke rumah. Latih pasien menggunakan obat
secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan
intramuskuler. Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti
peningkatan dosis hingga mencapai 300 mg perhari. Dosis ini
dipertahankan selama satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali
pada malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila gejala psikosa
belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara perlahan – lahan sampai 600
– 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma,
keracunan alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang
hipersensitif terhadap derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya
untuk penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan
gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran
irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan
intoksikasi.
b. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette
pada anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat
pada anak – anak.
Cara pemberian:
Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg
untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg
intramuskuler setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan.
Kontra indikasi:
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang jarang adalah
nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan
otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi
hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis
melebihi dosis terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan,
tremor, hipotensi, sedasi, koma, depresi pernapasan.
c. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah ( 12,5 mg
) diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan
25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali suntikan,
tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali
suntikan sebaiknya peningkatan perlahan – lahan.
Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala – gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis dan
suportif, atasi hipotensi dengan levarteronol hindari menggunakan
ephineprine ISO, (2008) dalam Pambayun (2015).
3. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan
meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat memvalidasi
persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus
eksternal jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi
fokus perhatian klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber
halusinasinya. Latih pasien mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu
bercakap-cakap dengan orang lain:
4. Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian. Kebanyakan
halusinasi muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak dimanfaatkan
dengan baik oleh klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya. Untuk
itu, klien perlu dilatih menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun
pagi sampai malam menjelang tidur dengan kegiatan yang bermanfaat.
Perawat harus selalu memonitor pelaksanaan kegiatan tersebut sehingga
klien betul-betul tidak ada waktu lagi untuk melamun tak terarah. Latih
pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga, yaitu melaksanakan
aktivitas terjadwal:
2. Konsep Asuhan Keperawatan

A. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses
keperawatan. Terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau
masalah klien.data pengkajian jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor
predisposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan
kemampuan koping yang dimiliki pasien (stuart & Larai, 2001) dalam (Direja,
2011).
1. Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress. Faktor
predisposisi meliputi:
a. Faktor Perkembangan
Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal
terganggu, maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.
b. Faktor social Budaya
Kehidupan sosial budaya dapat mempengaruhi gangguan orientasi realita
seperti kemiskinan, konflik sosial budaya (peperangan atau kerusuhan) dan
kehidupan yang terisolasi atau seseorang yang merasa disingkirkan disertai
stress sehingga orang tersebut merasa kesepian di lingkungan yang
membesarkannya. Stress yang menumpuk dapat menunjang terhadap
skizofrenia dan gangguan psikotik lain tetapi diyakini sebagai peenyebab
utama gangguan.
c. Faktor Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak susunan syaraf pusat dapat
menimbulkan gangguan orientasi realitas. Gejala yang mungkin timbul
adalah hambatan dalam belajar, berbicara, daya ingat dan muncul perilaku
menarik diri.
d. Faktor Psikologis

Teori psikodinamika yang menggambarkan bahwa halusinasi terjadi karena


adanya isi alam tidak sadar yag masuk alam sadar sebagai respon terhadap
konflik psikologis dan kebutuhan yang tidak terpenuhi, sehingga halusinasi
merupakan gambaran dan rangsangan keinginan dan ketakutan yang
dialami oleh klien. Hubungan interpersonal yang tidak harmonis serta
adanya peran ganda bertentangan yang sering diterima oleh seseorang akan
mengakibatkan stress dan kecemasan yang tinggi dan berakhir pada
gangguan orientasi realitas. Gangguan orientasi realitas meliputi : penolakan
atau kekerasan dalam kehidupan klien. Mudah kecewa, mudah putus asa,
kecemasan tinggi, menutup diri, ideal diri tinggi, harga diri rendah, identitas
diri tidak jelas, krisis peran, gambaran diri negatif, dan koping destruktif.
e. Herediter
Adanya pengaruh herediter (keturunan) berupa anggota keluarga terdahulu
yang mengalami skizofrenia dan kembar monozigot.
2. Presipitasi

a. Biologi

Stressor biologi yang berhubungan dengan respon neurobiologi yang


maladaptif, termasuk gangguan dalam putaran umpan balik otak yang
mengatur proses informasi dan abnormalisasi pada mekanisme pintu
masuk dalam otak yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk selektif
menghadapi rangsangan.

b. Stress lingkungan

Secara biologis menetapkan ambang toleransi terhadap stress yang


berinteraksi terhadap stressor lingkungan yang menentukan terjadinya
gangguan perilaku.
c. Pemicu gejala

Pemicu yang biasanya terdapat pada respon neurobiologi yang maladaptif


berhubungan dengan kesehatan (gizi buruk, infeksi), lingkungan rasa
bermusuhan/lingkungan yang penuh kritik, gangguan dalam hubungan
intrpersonal, sikap dan perilaku (keputusasaan, kegagalan).
2. Perilaku

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa rasa curiga, takut, tidak
aman, gelisah dan bingung, berperilaku yang merusak diri, kurang
perhatian, tidak mampu mengambil keputusan, serta tidak dapat
membedakan kenyataan nyata dan tidak nyata. Ketidakmampuan untuk
mempersepsikan stimulus secara nyata dapat menyulitkan kehidupan
klien. Rawlins dan Heacock (1993) mencoba memecahkan masalah
halusinasi berlandaskan atas hakikat keberadaan seorang individu sebagai
makhluk yang dibangun atas dasar unsur-unsur bio-psikososio-spiritual
sehingga halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu sebagai berikut :
a. Dimensi fisik

Manusia dibangun oleh sistem indera untuk menanggapi rangsangan


eksternal yang diberikan oleh lingkungannya. Halusinasi dapat
ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang luar
biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol, dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
b. Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan karena problema atau masalah yang


tidak dapat diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari
halusinasi dapat berupa perintah memaksa dan menakutkan.

Klien tidak sanggup lagi menentang printah tersebut sehingga berbuat


sesuatu terhadap ketakutannya.
c. Dimensi intelektual

Dimensi intelektual menerangkan bahwa individu yang mengalami


halusinasi akan memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada
awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan
impuls yang menekan, tetapi pada saat tertentu menimbulkan
kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak
jarang akan mengontrol semua perilaku klien.
d. Dimensi sosial

Dimensi sosial pada individu yang mengalami halusinasi


menunjukkan kecenderungan untuk menyendiri. Individu asyik
dengan halusinasinya, seolah-olah ia merupakan tempat untuk
memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri, dan harga diri
yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
sistem kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi
berupa ancaman, maka hal tersebut dapat mengancam dirinya atau
orang lain. Oleh karena itu, aspek penting dalam melaksanakan
intervensi keperawatan pada klien yang mengalami halusinasi adalah
dengan mengupayakan suatu proses interaksi yang meenimbulkan
pengalaman interpersonal yang memuaskan, serta mengusahakan agar
klien tidak menyendiri. Jika klien selalu berinteraksi dengan
lingkungannya diharapkan halusinasi tidak terjadi.
e. Dimensi spiritual

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk sosial, sehingga interaksi


dengan manusia lainnya merupakan kebutuhan yang mendasar. Klien
yang mengalami halusinasi cenderung menyendiri hingga proses di
atas tidak terjadi. Individu tidak sadar dengan keberadaannya dan
halusinasi menjadi sistem kontrol dalam individu tersebut. Saat
halusinasi menguasai dirinya, individu kehilangan kontrol terhadap
kehidupan nyata.
3. Sumber Koping

Sumber koping merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping dan


strategi seseorang. Individu dapat mengatasi stress dan ansietas dengan
menggunakan sumber koping yang ada di lingkungannya. Sumber koping
tersebut dijadikan sebagai modal untuk menyelesaikan masalah.
Dukungan sosial dan keyakinan budaya dapat membantu seseorang
mengintegrasikan pengalaman yang menimbulkan stress dan
meengadopsi strategi koping yang efektif.
4. Mekanisme Koping

Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi diri sendiri dari


pengalaman yang menakutkan berhubungan dengan respon neurobiologi
termasuk
a. Regresi, menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku
kembali seperti pada perilaku perkembangan anak atau berhubungan
dengan masalah proses informasi dan upaya untuk menanggulangi
ansietas.
b. Proyeksi, keinginan yang tidak dapat ditoleransi, mencurahkan emosi
pada orang lain karena kesalahan yang dilakukan sendiri (sebagai
upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi).
c. Menarik diri, reaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik
maupun psikologis, reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari
menghindar sumber stressor misalnya menjauhi polusi, sumber
infeksi, gas beracun dan lain-lain. Sedangkan reaksi psikologis
individu menunjukkan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak
berminat, sering disertai rasa takut dan bermusuhan.

B. Diagnosa
Prioritas diagnosa keperawatan (Muhith, 2015) Masalah Keperawatan
1. Halusinasi
2. Harga diri rendah
3. Gangguan hubungan sosial
C. Intervensi
Diagnosa I : Perubahan sensori persepsi: Halusinasi Tujuan umum : klien
tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya dasar untuk kelancaran
hubungan interaksi selanjutnya Tindakan :
Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik dengan cara :
a. Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
f. Tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
Berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat mengenal halusinasinya Tindakan :
a. Adakan kontak sering dan singkat secara bertahap
b. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya: bicara dan
tertawa tanpa stimulus memandang ke kiri/ke kanan/ kedepan seolah-olah ada
teman bicara
3. Bantu klien mengenal halusinasinya
a. Tanyakan apakah ada suara yang didengar
b. Apa yang dikatakan halusinasinya
c. Katakan perawat percaya klien mendengar suara itu , namun perawat sendiri
tidak mendengarnya.
d. Katakan bahwa klien lain juga ada yang seperti itu
e. Katakan bahwa perawat akan membantu klien

4. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi (marah,
takut, sedih, senang) beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannya
Diskusikan dengan klien :
a. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
b. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, malam)
5. Klien mendapat dukungan dari
keluarga dalam mengontrol
halusinasinya Tindakan :
a. Anjurkan klien untuk memberitahu keluarga jika mengalami
halusinasi

b. Diskusikan dengan keluarga (pada saat berkunjung/pada saat


kunjungan rumah):

c. Gejala halusinasi yang dialami klien

d. Cara yang dapat dilakukan klien dan keuarga untuk memutus


halusinasi

e. Cara merawat anggota keluarga yang halusinasi dirumah, diberi


kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama

f. Beri informasi waktu follow up atau kenapa perlu mendapat bantuan :


halusinasi tidak terkontrol, dan resiko mencederai diri atau orang lain

6. Klien memanfaatkan obat dengan


baik Tindakan :
a. Diskusikan dengan klien dan keluarga tentang dosis, frekuensi dan
manfaat minum obat
b. Anjurkan klien meminta sendiri obat pada perawat dan merasakan
manfaatnya

c. Anjurkan klien bicara dengan dokter tentang manfaat dan efek


samping minum obat yang dirasakan
d. Diskusikan akibat berhenti obat-obat tanpa konsultasi

e. Bantu klien menggunakan obat dengan prinsip 6 benar.


D. Implementasi Keperawatan
Implementasi Keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. (Setiadi 2012)
Implementasi keperawatan adalah pelaksaan rencana keperawatan oleh
perawat dan pasien (Riyadi, 2010)

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi Keperawatan adalah mengkaji respon pasien setelah dilakukan
intervensi keperawatan dan mengkaji ulang asuhan keperawatan yang telah
diberikan.(Deswani, 2009)
Evaluasi keperawatan adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan untuk
menentukan apakah rencana keperawatan efektif dan bagaimana rencana
keperawatan dilanjutkan, merevisi rencana atau menghentikan rencana
keperawatan (Manurung,2011)
DAFTAR PUSTAKA

Berhimpong, E., Rompas, S., & Karundeng, M. (2016). Pengaruh Latihan Keterampilan
Sosialisasi Terhadap Kemampuan Berinteraksi Klien Isolasi Sosial. E-Journal
Keperawatan

Dalami, Ermawatidkk. 2009. AsuhanKeperawatanKlienDenganGangguanJiwa. Jakarta:


Cv. Trans Info Media

Hidayat, A. A. (2012). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba
medika.
Hidayat, A. Z. (2008). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Ibrahim. (2011). SKIZOFRENIA, Spliting Personality. Tangerang: Jelajah Nusa


Ilahi, S., Hendarsih, S., & Sutejo. (2015). Gambaran Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia
Di Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta. Yogyakarta: Poltekes
Kemenkes Yogyakarta.
Irma. (2015). Efektifitas tak-sp (sesi 1 sesi 2) terhadap kemampuan pasien menghardik
halusinasi di ruang parkit rsj dr.radjiman wediodingrat lawang
Katona, C., Cooper, C., & Robertson, M. (2008). Psychitry At a Glance Fourth Edition.
Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kusumawati, F., & Hartono, R. (2012). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta:
Salemba Medika.
Maramis, W. F. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa edisi 2. Surabaya:
Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai