Anda di halaman 1dari 11

Nama : Deby Tri wahyuni

NIM : 021911006
Matkul : Agama

Memahami Agama Dengan Pendekatan Dimensional


Studi agama pada intinya adalah belajar atau mempelajari, memahami,
dan mendalami gejala-gejala agama, baik gejala keragaan maupun kejiwaan.
Sebab, dalam realitasnya bagi kehidupan manusia, kehadiran agama adalah
sebatas pada gejala-gejala agama dan keagamaannya itu, yang dari gejala agama
serta fenomena keagamaan itulah manusia mengekspresikan religiusitasnya
sehingga ia kemudian disebut “beragama”. Hal ini mengharuskan adanya unsur
penelitian atas aspek-aspek suatu agama secara mendalam, terutama yang
terkait dengan simbolitas keagamaan.

Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang
digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama
sebagai refleksi tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud
dalam tindakan kolektivitas dan bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut
sebagai bentuk dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan menjadi beberapa
dimensi religiositas, yaitu :

1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada
dalam lubuk hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama
menjadi religious atau tidak religious.
2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang
adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk
halus, dan kehidupan abadi setelah kematian.
3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system
kepercayaan dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara
manusia dan Tuhan, dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang
menganut system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara
keagamaan.

Roland Cavanagh mengemukakan bahwa agama merupakan berbagai


macam ekspresi simbolik tentang dan respon tepat terhadap segala nilai yang
tidak terbatas bagi mereka (Cavanagh, 1978: 20). Definisi ini memang terlalu
umum sehingga perlu batasan-batasan tertentu. Yang tampaknya paling tepat
dalam pemberian batasan ini adalah apa yang dikemukakan Charles Glock dan
Rodney Stark yang mengidentifikasi lima dimensi saling berbeda, namun hanya
dengan kelimanya seseorang disebut “religious”: eksperimental, ideologis,
ritualistic, intelektual, dan konsekuensional (Holm, 1977: 18). Berikut
penjelasannya,

1. Dimensi kepercayaan (belief), yaitu keyakinan akan kebenaran dari


pokok-pokok ajaran imannya. Tak pelak lagi, ini merupakan unsur yang
amat penting dalam kekristenan, bahkan juga di agama-agama lain. Tanpa
keyakinan akan kebenaran dari pokok-pokok ajaran iman, tentu seseorang
tidak akan menjadi bagian dari komunitas orang beriman tersebut,
misalnya bila seseorang tidak percaya bahwa Yesus adalah Juruselamat
manusia, maka tidak mungkin ia menjadi seorang anggota gereja.
2. Dimensi praktis, terdiri dari dua aspek yaitu ritual dan devosional. Ritual
diuraikan sebagai suatu ibadah yang formal, seperti menghadiri kebaktian
Minggu, menerima sakramen, melangsungkan pernikahan di gereja.
Secara asasi ritual adalah bentuk pengulangan sebuah pengalaman agama
yang pernah terjadi pada masa awal pembentukan agama itu sendiri.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan devotional adalah ibadah yang
dilakukan secara pribadi dan informal, seperti misalnya berdoa, berpuasa,
membaca Alkitab.
3. Dimensi pengalaman (experience), yaitu pengalaman berjumpa secara
langsung dan subyektif dengan Allah. Atau dengan kata lain, mengalami
kehadiran dan karya Allah dalam kehidupannya. Pengalaman keagamaan
ini (religious experience) bisa menjadi awal dari keimanan seseorang,
tetapi juga bisa terjadi setelah seseorang mengimani suatu agama tertentu.
Entahkah pengalaman itu berada di awal ataupun di tengah-tengah,
pengalaman ini berfungsi untuk semakin meneguhkan iman percaya
seseorang.
4. Dimensi pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan tentang elemen-
elemen pokok dalam iman keyakinannya, atau yang sering kita kenal
dengan dogma, doktrin atau ajaran gereja. Hal ini tentu saja sangat
berkaitan dengan dimensi pertama (kepercayaan). Seseorang akan
terbantu untuk menjadi semakin yakin dan percaya apabila ia mengetahui
apa yang dipercayainya.
5. Dimensi etis, di mana umat mewujudkan tindakan imannya (act of faith)
dalam kehidupan sehari-harinya. Dimensi etis ini mencakup perilaku,
tutur kata, sikap dan orientasi hidupnya. Dan hal ini tentu saja dilandasi
pada pengenalan atau pengetahuan tentang ajaran agamanya dan percaya
bahwa apa yang diajarkan oleh agamanya adalah benar adanya.

Pengalaman agama hanya terjadi satu kali saja, sama seperti api cukup
sekali dinyalakan. Tugas kita adalah menjaga agar kehangatan api itu terus
dapat dirasakan untuk jangka waktu yang lama. Untuk itu pengalaman agama
tersebut haruslah senantiasa direvitalisasikan, disegarkan kembali, yaitu melalui
keikutsertaannya dalam ibadah (ritual) dan dengan cara selalu memperbarui
relevansi dari (doktrin, dogma) agama itu sendiri. Tanpa relevansi tersebut
hangatnya api akan hilang dengan sendirinya, dan agama hanya akan tinggal
menjadi abu saja.

Sebelum masuk pada rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama,


Joachim Wach menguraikan dengan sangat mendalam tentang hakekat
keberagamaan (religious experience), yaitu:

1) doktrin, dogma, dan mite (Thought),


2) upacara agama dan pengabdian (Practive), dan
3) organisasi atau kelompok-kelompok agama (followship) .

Sedangkan Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama, ia


menggunakan analisis pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi
agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia. Ninian Smart dalam
karyanya The Religious Experience Of Mankind (1967) menyebutkan, bahwa
dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu:

1) dimensi praktis atau ritual,


2) naratif atau mistis (Narrative and Mythic),
3) pengalaman dan emosional (Experiential and emotional),
4) dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and
Institutional),
5) etis atau legal (Ethical and legal),
6) doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical),
7) dan material/bahan.

Dimensi pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak


dalam upacara suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan,
doa, kebaktian, dan sebagainya yang berkenaan dengan ritualiatas agama.
Dimensi kedua, emosional-eksperiensial menunjuk pada perasaan dan
pengalaman para penganut agama, dan tentunya bervariasi. Peristiwa-peristiwa
khusus, gaib, luar biasa yang dialami para penganut menimbulkan berbagai
macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan, kekaguman dan sujud,
ataupun ketakutan yang membawa pada pertobatan. Topik yang penting dalam
dimensi pengalaman keagamaan antara lain yang disebut mistik, di mana si
pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi.

Dimensi ketiga, naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita


suci, untuk direnungkan, dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci,
pahlawan ataupun kejadian-kejadian yang penting dalam pembentukan agama
yang bersangkutan.

Dimensi keempat, filosofis-doktrinal adalah dimensi agama yang


menyajikan pemikiran rasional, argumentasi, dan penalaran terutama
menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan pengertian dari
konsep-konsep yang dianut oleh agama itu.

Dimensi kelima, legal-etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu,
pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai
pula dengan system penghukuman kalau terjadi pelanggaran.

Dimensi keenam, sosial-institusional mengatur kehidupan bersama


menyangkut kepemerintahan keorganisasian, pemilihan dan penahbisan
pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya dimensi material
menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau
untuk pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan,
tempat-tempat ibadah. Dan dimensi ketujuh, yaitu dimensi material dan bahan
seperti bangunan, seni ukir dan beberapa kreasi lainnya.

Dimensi ketujuh ini dapat diamati dan diteliti dalam perspektif


pengalaman keagamaan. Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa
ini, di mana persaingan nilai-nilai dalam masyarakat begitu gencar, maka
dimensi filosofis-doktriner yang beraturan dengan fungsi apologetic
(penjelasan) kiranya merupakan dimensi yang paling penting perannya. Posisi
agama dewasa ini berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif
menyangkut kepentingan dimensi filosofis-doktriner. Pertama, agama primitif
lebih bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk menghadapi persoalan
kehidupan sehari-hari yang konkret “hic et nunc”, sementara agama dewasa ini
lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut prospek dan proyek ke
kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk merenungkan asal usulnya
agar tidak bergeser dari keasliannya. Bagi agama primitif, barangkali dimensi
legal-etis lebih banyak diperlukan untuk pedoman kehidupan. Oleh karenanya,
wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif lebih banyak tabu, larangan,
dan perintah.

Perbedaan agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta
merta menyudutkan agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian
(dewasa ini) menghadapi kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya,
meskipun dimensi legal-etis tetap relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu
tidak dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai
lain yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu
mengembangkan teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini
kiranya merupakan bagian dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk
mendukung eksistensi agama.

Sebagai seorang fenomenolog dan filosof keagamaan, Ninian Smart


mengidentifikasikan tujuh dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari
tataran normatif menjadi historis, yang kemudian memungkinkannya untuk
melakukan semua jenis pendekatan pada studi agama, dan juga dalam cara
meraih kebenaran dalam berbagai macam agama yang ada.

Rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama tersebut dapat ditemukan


pula dan hampir sama dalam pandangan Sartono Kartodirjo, seorang peneliti
studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya tentang dimensi-dimensi
religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi religiositas sebagai
berikut:

1. Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan,


persepsi, dan sensasi yang dialami ketika berkomunikasi dengan
realitas supernatural.
2. Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap
makhluk gaib dan kehidupan setelah kematian.
3. Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara
keagamaan, berdoa, dan berpartisipasi dalam berbagai kewajiban
agama.
4. Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang
agama. Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari
pemimpin agama atau berupa ilham langsung dari Tuhan yang
dipercayai sebagai wahyu.
5. Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari
kepercayaan, praktek, dan pengetahuan dari orang yang
menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua perbuatan dan
sikap sebagai konsekuensi beragama.

A. Dimensi-dimensi Agama dalam Konsep Islam

Menurut Jamaluddin Ancok (1994) lima dimensi keberagamaan rumusan


Glock & Stark di atas, melihat keberagamaan tidak hanya dari dimensi ritual
semata tetapi juga pada dimensi-dimensi lain. Ancok (1994) menilai, meskipun
tidak sepenuhnya sama, lima dimensi keberagamaan rumusan Glock & Stark itu
bisa disejajarkan dengan konsep Islam. Dimensi ideologis bisa disejajarkan
dengan akidah, dimensi ritual bisa disejajarkan dengan syari’ah, khususnya
ibadah, dan dimensi konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah,
syari’ah dan akhlak adalah inti dari ajaran Islam. Dimensi intelektual
mempunyai peran yang cukup penting pula karena pelaksanaan dimensi-
dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan terlebih dahulu. Sedangkan
dimensi eksperiensial dapat disejajarkan dengan dimensi tasawuf atau dimensi
mistik.

Dalam perspektif Islam, keberagamaan harus bersifat menyeluruh


sebagaimana diungkap dalam Al-Qur’an (2: 208) bahwa orang-orang yang
beriman harus masuk ke dalam Islam secara menyeluruh (kaffah). Oleh karena
itu seorang muslim harus mempunyai keyakinan terhadap akidah Islam,
mempunyai komitmen dan kepatuhan terhadap syari’ah, mempunyai akhlak
yang baik, ilmu yang cukup dan jiwa yang sufistik..

Dimensi Ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan


dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed).
Doktrin mengenai kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang
bisa membedakan agama satu dengan lainnya. Dalam Islam, keyakinan-
keyakinan ini tertuang dalam dimensi akidah.

Akidah Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman. Iman tidak hanya
berarti percaya melainkan keyakinan yang mendorong munculnya ucapan dan
perbuatan-perbuatan sesuai dengan keyakinan tadi. Iman dalam Islam terdapat
dalam rukun iman yang berjumlah enam.
Dimensi Ritual merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan
dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan
hal-hal lain yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Perilaku di sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan
menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti
tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar
agama.

Dimensi ini sejajar dengan ibadah. Ibadah merupakan penghambaan


manusia kepada Allah sebagai pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk Allah.
Ibadah yang berkaitan dengan ritual adalah ibadah khusus atau ibadah mahdhah,
yaitu ibadah yang bersifat khusus dan langsung kepada Allah dengan tatacara,
syarat serta rukun yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an serta penjelasan
dalam hadits nabi. Ibadah yang termasuk dalam jenis ini adalah shalat, zakat,
puasa dan haji.

Dimensi Konsekuensial menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi yang


ditimbulkan oleh ajaran agama dalam perilaku umum yang tidak secara
langsung dan khusus ditetapkan oleh agama seperti dalam dimensi ritualis.
Walaupun begitu, sebenarnya banyak sekali ditemukan ajaran Islam yang
mendorong kepada umatnya untuk berperilaku yang baik seperti ajaran untuk
menghormati tetangga, menghormat tamu, toleran, inklusif, berbuat adil,
membela kebenaran, berbuat baik kepada fakir miskin dan anak yatim, jujur
dalam bekerja, dan sebagainya.

Perilaku umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum


minannas) yang mestinya harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada
Allah (hablum minallah). Dalam bahasa Hassan Hanafi (2003) iman dan praksis
tindakan tidak boleh dipisahkan. Iman, menurutnya bisa bertambah dan
berkurang oleh tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang. Konsekuensi
tindakan ini, dalam hal-hal tertentu, terkadang lebih berat daripada keyakinan
dan ritual, sehingga, menurut pendapat Asghar Ali (1997) penolakan pemuka
Makkah terhadap ajaran Muhammad bukan karena semata-mata penolakan
ajaran tauhidnya, tetapi lebih karena konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan
politis yang harus ditanggung dari ajaran revolusioner teologi Muhammad.

Menurut Nasution (1985) tujuan ibadah atau ritual dalam Islam bukan
hanya untuk menyembah Allah semata, melainkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah agar manusia selalu teringat kepada hal-hal yang baik dan suci
sehingga mendorongnya untuk berperilaku yang luhur, baik kepada sesama
manusia maupun kepada lingkungan alam sekitar.

Dimensi Eksperiensial adalah bagian dari keberagamaan yang berkaitan


dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai
pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam
kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan (Zakiah Darajat, 1996).
Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti
merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah
menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan
Ramadlan.

Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah


(gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa
hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga, jangankan dibanding dengan
dunia seisinya, dibanding sorga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih
memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi
dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai
perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih
didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena
didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.

Pengalaman keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat


keagamaan yang tinggi. Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari
yang paling rendah yaitu syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi
adalah haqiqah. Pola keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola
keberagamaan tasawuf. Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan
disadari dengan Tuhan.

Dimensi Intelektual Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus


yang harus diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam, misalnya ada
informasi tentang berbagai aspek seperti pengetahuan tentang Al-qur’an dengan
segala bacaan, isi dan kandungan maknanya, al-Hadits, berbagai praktek ritual
atau ibadah dan muamalah, konsep keimanan, berbagai konsep dan bentuk
akhlak, tasawuf, sejarah dan peradaban masyarakat Islam.

Bagaimana hubungan agama dengan ilmu? Ilmu berada di antara dua


persoalan dalam agama, yaitu di antara yang sakral dan yang profan. Ilmu
merupakan penghubung keduanya, dengan kata lain penghubung antara Tuhan
dan Manusia. berkenaan dengan rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama,
dapat kita lihat dalam suatu studi kasus atau peristiwa di masa lampau untuk
mempermudah pemahaman. Misalnya, pertentangan Galileo dan Gereja
Katolik, yang mempersoalkan pusat alam semesta terjadi lebih pada dimensi
pertama dan kedua (dan sesungguhnya ada juga unsur politis yang cukup kuat di
situ). Selain itu, ada pula persoalan pembacaan yang berbeda atas kitab suci,
yang dalam uraian Ninian Smart bisa masuk ke dimensi pertama, kedua, atau
kelima. Belakangan ini, di kalangan Kristen dan Islam ada pula kecenderungan
untuk mencari kesesuaian ayat-ayat tertentu dalam kitab suci dengan teori-teori
ilmiah. Sementara itu, kritik kaum agamawan terhadap pemanfaatan sains
(misalnya produksi bom atom dan nuklir; produksi teknologi pencemar
lingkungan) atau penelitian ilmiah sendiri (misalnya penggunaan binatang untuk
percobaan kimiawi atau biologis; atau manusia sebagai objek eksperimen medis
dan psikologis) lebih menitikberatkan pada dimensi ketiga (etis dan legal).
Contoh lain pada dimensi ketiga adalah pembicaraan tentang etika lingkungan,
atau fiqih lingkungan di kalangan Muslim.

Contoh kasus semacam itu merupakan contoh adanya ketegangan, yang


sekaligus menandai adanya titik-titik persentuhan, antara ilmu dan agama.
Artinya, pada titik-titik persentuhan itu, kita dapat berbicara juga mengenai
kemungkinan melakukan integrasi keduanya.

Dalam teori ilmu (theory of knowledge), satu bagian menjadi tiga bidang
bahasan: ontology, epistimologi, dan aksiologi. Ketika kita berbicara mengenai
integrasi ilmu dan agama, kita bisa bertanya, integrasi akan dilakukan pada
tingkat yang mana? Secara sepintas, kita bisa melihat bahwa para sarjana bidang
ilmu dan agama yang berkembang di Barat belakangan ini (seperti Ian Barbour
dan John Haught), yang menggunakan istilah “integrasi”, tampaknya lebih
cenderung melakukan integrasi pada tingkat ontology (dan, dari sisi agama,
pada dimensi pertama dan kedua dalam pambagian Smart).

Dalam pandangan ini, jika “integrasi” ingin dilakukan, maka itu akan
berbentuk upaya agama mengasimilasi bukan mengonstruksi suatu teologi
berdasarkan apa yang disebut “implikasi filosofis/teologis” dari teori-teori
ilmiah. Sejajar dengan itu, Van Fraassen, yang secara umum memang tak
menyukai metafisika, melihat agama lebih eksis dalam wilayah eksistensial
manusia, bukan wilayah pengetahuan. Dengan kata lain, menggunakan skema
Smart, Van Fraassen tak terlalu percaya pada dua dimensi pertama agama.
Menarik juga untuk melihat bahwa “integrasi” model ini, pada tipologi Barbour
mungkin akan lebih tepat digolongkan ke dalam “independensi”.
Lepas dari itu semua, contoh-contoh tersebut telah cukup
menggambarkan bagaimana pandangan tentang hubungan agama dan ilmu
(khususnya terkait dengan integrasi) amat dipengaruhi oleh bagaimana tiap-tiap
bidang itu dipahami. Lebih jauh, perhatian terbesar sejauh ini adalah pada
dimensi ontology dan epistimologi ilmu, atau dimensi filoosofis dan naratif
agama. Terbatas pada wilayah ini pun, ada beragam jenis integrasi yang bias
dimunculkan.

Selain itu, bisa juga disimpulkan bahwa meskipun tampak bahwa etika
adalah salah satu bidang yang subur untuk menumbuhkan pertemuan keduanya,
nyatanya dalam wacana ilmu dan agama yang belakangan, tampaknya bidang
ini justru belum tergarap dengan baik. Tampaknya memang perlu perhatian
yang lebih serius pada dimensi etis dari pertemuan ilmu dan agama.

Menurut Wiebe, gagasan-gagasan Ninian Smart memunculkan asumsi-


asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama. Ninian Smart terlihat
menolak untuk mengikuti posisi “ateisme metodologi”nya Peter Berger karena
alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga
bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari agama” dan “merasakan
kekuatan yang hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi
“mesti berjalan bersama jika kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke
dalam era baru yang menjanjikan”. Petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki
kajian religio-teologi tentang agama yang darinya kajian ilmiah tentang agama
pertama kali muncul”.

Berdasarkan uraian-uraian sekilas tentang dimensi agama tersebut,


tampak bahwa semua agama, memiliki dua aspek penting, yaitu aspek normatif
dan aspek historis. Barangkali dalam bahasa Mercia Eliade adalah yang sakral
dan yang profan. Untuk mempertemukan dua hal yang saling bertolak belakang
itu diperlukan suatu penghubung, yang kemudian bisa disebut realitas tengah.

Dalam rumusan Ninian Smart agama dapat dijabarkan, bahwa realitas


keberagamaan itu terbagi dua. Sebab, prinsip realitas itu ada dua, yaitu realitas
dalam dan realitas luar. Atau dapat dikatakan realitas keberagamaan itu terbagi
tiga, yaitu realitas dalam, realitas luar, dan realitas ambang (tengah-tengah).
Prinsip realitas keagamaan dapat dibentuk skema sebagai berikut:

1. Realitas Dalam Relitas Tengah Relitas Luar,


2. Tuhan, Nabi, Wahyu Manusia, Umat,
3. Transenden, Sakral, Tak terhingga, di luar dan waktu normatif Luminal,
Ambang, Logos, Penghubung, dll Immanen, Profan, terhingga, di dalam
ruang dan waktu historis,
4. Rumusan Ninian Smart dalam Prinsip Realitas
5. Praktis dan ritual Pengalaman dan Emosional,
6. Naratif dan mistis Doktrinal dan Filosofis Material/Bahan,
7. Etis dan legal Sosial dan Institusional.

Kesimpulan

Agama itu tidak hanya mencakup satu dimensi ritual saja, namun satu
dimensi agama berjalan kelindan dengan berbagai dimensi lainnya yang saling
berkaitan erat, seperti dimensi praktis atau ritual, naratif atau mistis (Narrative
and Mythic), pengalaman dan emosional (Experiential and emotional), dimensi
sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional), etis atau legal
(Ethical and legal), doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical), dan
material/bahan. Jika hanya salah satu saja yang menjadi “andalan” beragama
bagi seseorang, maka orang tersebut belum beragama secara utuh, hanya parsial
saja.

Anda mungkin juga menyukai