NIM : 021911006
Matkul : Agama
Dalam bidang kajian agama (religious studies) ada banyak cara yang
digunakan orang untuk mengurai dimensi-dimensi agama. Sebab, agama
sebagai refleksi tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, tetapi juga terwujud
dalam tindakan kolektivitas dan bangunan peribadahan. Perwujudan tersebut
sebagai bentuk dari keberagamaan, sehingga agama diuraikan menjadi beberapa
dimensi religiositas, yaitu :
1. Emosi Keagamaan, ialah aspek agama yang paling mendasar, yang ada
dalam lubuk hati manusia, yang menyebabkan manusia beragama
menjadi religious atau tidak religious.
2. System Kepercayaan, yang mengandung satu set keyakinan tentang
adanya wujud dan sifat Tuhan, tentang keberadaan alam gaib, makhluk
halus, dan kehidupan abadi setelah kematian.
3. System Upacara Keagamaan yang dilakukan oleh para penganut system
kepercayaan dengan bertujuan mencari hubungan yang baik antara
manusia dan Tuhan, dewa atau makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau Kelompok Keagamaan, ialah kesatuan-kesatuan sosial yang
menganut system kepercayaan dan yang melakukan upacara-upacara
keagamaan.
Pengalaman agama hanya terjadi satu kali saja, sama seperti api cukup
sekali dinyalakan. Tugas kita adalah menjaga agar kehangatan api itu terus
dapat dirasakan untuk jangka waktu yang lama. Untuk itu pengalaman agama
tersebut haruslah senantiasa direvitalisasikan, disegarkan kembali, yaitu melalui
keikutsertaannya dalam ibadah (ritual) dan dengan cara selalu memperbarui
relevansi dari (doktrin, dogma) agama itu sendiri. Tanpa relevansi tersebut
hangatnya api akan hilang dengan sendirinya, dan agama hanya akan tinggal
menjadi abu saja.
Dimensi kelima, legal-etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu,
pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai
pula dengan system penghukuman kalau terjadi pelanggaran.
Perbedaan agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta
merta menyudutkan agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian
(dewasa ini) menghadapi kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya,
meskipun dimensi legal-etis tetap relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu
tidak dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai
lain yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu
mengembangkan teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini
kiranya merupakan bagian dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk
mendukung eksistensi agama.
Akidah Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman. Iman tidak hanya
berarti percaya melainkan keyakinan yang mendorong munculnya ucapan dan
perbuatan-perbuatan sesuai dengan keyakinan tadi. Iman dalam Islam terdapat
dalam rukun iman yang berjumlah enam.
Dimensi Ritual merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan
dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan
hal-hal lain yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Perilaku di sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan
menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti
tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar
agama.
Menurut Nasution (1985) tujuan ibadah atau ritual dalam Islam bukan
hanya untuk menyembah Allah semata, melainkan untuk mendekatkan diri
kepada Allah agar manusia selalu teringat kepada hal-hal yang baik dan suci
sehingga mendorongnya untuk berperilaku yang luhur, baik kepada sesama
manusia maupun kepada lingkungan alam sekitar.
Dalam teori ilmu (theory of knowledge), satu bagian menjadi tiga bidang
bahasan: ontology, epistimologi, dan aksiologi. Ketika kita berbicara mengenai
integrasi ilmu dan agama, kita bisa bertanya, integrasi akan dilakukan pada
tingkat yang mana? Secara sepintas, kita bisa melihat bahwa para sarjana bidang
ilmu dan agama yang berkembang di Barat belakangan ini (seperti Ian Barbour
dan John Haught), yang menggunakan istilah “integrasi”, tampaknya lebih
cenderung melakukan integrasi pada tingkat ontology (dan, dari sisi agama,
pada dimensi pertama dan kedua dalam pambagian Smart).
Dalam pandangan ini, jika “integrasi” ingin dilakukan, maka itu akan
berbentuk upaya agama mengasimilasi bukan mengonstruksi suatu teologi
berdasarkan apa yang disebut “implikasi filosofis/teologis” dari teori-teori
ilmiah. Sejajar dengan itu, Van Fraassen, yang secara umum memang tak
menyukai metafisika, melihat agama lebih eksis dalam wilayah eksistensial
manusia, bukan wilayah pengetahuan. Dengan kata lain, menggunakan skema
Smart, Van Fraassen tak terlalu percaya pada dua dimensi pertama agama.
Menarik juga untuk melihat bahwa “integrasi” model ini, pada tipologi Barbour
mungkin akan lebih tepat digolongkan ke dalam “independensi”.
Lepas dari itu semua, contoh-contoh tersebut telah cukup
menggambarkan bagaimana pandangan tentang hubungan agama dan ilmu
(khususnya terkait dengan integrasi) amat dipengaruhi oleh bagaimana tiap-tiap
bidang itu dipahami. Lebih jauh, perhatian terbesar sejauh ini adalah pada
dimensi ontology dan epistimologi ilmu, atau dimensi filoosofis dan naratif
agama. Terbatas pada wilayah ini pun, ada beragam jenis integrasi yang bias
dimunculkan.
Selain itu, bisa juga disimpulkan bahwa meskipun tampak bahwa etika
adalah salah satu bidang yang subur untuk menumbuhkan pertemuan keduanya,
nyatanya dalam wacana ilmu dan agama yang belakangan, tampaknya bidang
ini justru belum tergarap dengan baik. Tampaknya memang perlu perhatian
yang lebih serius pada dimensi etis dari pertemuan ilmu dan agama.
Kesimpulan
Agama itu tidak hanya mencakup satu dimensi ritual saja, namun satu
dimensi agama berjalan kelindan dengan berbagai dimensi lainnya yang saling
berkaitan erat, seperti dimensi praktis atau ritual, naratif atau mistis (Narrative
and Mythic), pengalaman dan emosional (Experiential and emotional), dimensi
sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional), etis atau legal
(Ethical and legal), doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical), dan
material/bahan. Jika hanya salah satu saja yang menjadi “andalan” beragama
bagi seseorang, maka orang tersebut belum beragama secara utuh, hanya parsial
saja.