Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah peristiwa dimana aksi suatu obat di ubah atau

dipengaruhi oleh obat lain yang di berikan bersamaan. Interaksi obat

terjadi jika suatu obat mengubah efek obat lainnya. Kerja obat yang diubah

dapat menjadi lebih atau kurang Aktif (Harknes, 1989). Pengobatan

dengan beberapa obat sekaligus (Polifarmasi) yang menjadi kebiasaan para

dokter memudahkan terjadinya interaksi obat. Suatu survey yang di

laporkan pada tahun 1997 mengenai Polifarmasi pada penderita yang

dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa insidens efek samping pada

penderita yang mendapat 0-5 macam obat adalah 3,5%, sedangkan yang

mendapat 16-20 macam obat adalah 54%. Peningkatan insidens efek

samping yang jauh melebihi. Peningkatan jumlah obat yang di berikan

bersama ini diperkirakan akibat terjadinya interaksi obat yang juga makin

meningkat (Setiawati, 2003).

Berdasarkan mekanisme interaksi obat secara garis besar dapat di

bedakan menjadi 3 mekanisme yaitu:

1. Interaksi Farmasetik
Interaksi ini terjadi diluar tubuh ( sebelum obat di berikan) antara

obat yang tidak bisa di campur (inkompatibel). Pencampuran obat

demikian menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisika atau

kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan

endapan, perubahan warna dan lain-lain, atau mungkin juga tidak

terlihat. Interaksi ini biasanya berakibat inaktivasi obat (Setiawati,

2003). Beberapa tindakan untuk menghindari interaksi farmasetik

yaitu:

a) Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau yakin

betul bahwa tidak ada interaksi antar masing-masing obat

b) Dianjurkan sedapat mungkin juga menghindari pemberian obat

bersama-sama lewat infus

c) Selalu memperhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya

(manufacturer leaflet), untuk melihat peringatan-peringatan pada

pencampuran dan cara pemberian obat (terutama untuk obat-

obat parenteral misalnya injeksi infus dan lain-lain)

d) Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus, intravenosa

atau yang lain, diperhatikan bahwa perubahan warna,

kekeruhan, dari larutan

e) Siapkan larutan hanya kalau diperlukan saja

f) Botol infus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya,

obat obatan yang sudah di masukkan, termasuk dosis dan

waktunya.
g) Jika harus memberi per infus dua macam obat, berikan 2 jalur

infus, kecuali kalau yakin tidak ada interaksi

2. Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik terjadi bila salah satu obat mempengaruhi

absorpsi, distribusi, metabolisme atau ekskresi obat kedua sehingga

kadar plasma obat kedua meningkat atau menurun. Akibatnya, terjadi

peningkatan toksisitas atau penurunan efektivitas obat tersebut.

Interaksi farmakokinetik tidak dapat diekstrapolasikan ke obat lain

yang segolongan dengan obat yang berinteraksi, sekalipun struktur

kimiaya mirip, karena anter obat segolongan terdapat variasi sifat-sifat

fisikokimia yang menyebabkan variasi sifat-sifat farmakokinetiknya

(Setiwati, 2003)

1) Interaksi proses absorpsi

Interaksi ini dapat terjadi akibat perubahan harga PH obat

pertama. Pengaruh absorpsi suatu obat mungkin terjadi akibat

pengurangan waktu huni dalam saluran cerna atau akibat

pembentukan kompleks (Mutschler, 1991).

2) Interaksi proses distribusi

Jika dalam darah pada saat yang sama terdapat tempat ikatan

pada protein plasma. Persaingan terhadap ikatan protein

merupakan proses yang sering yang sesungguhnya hanya baru

relevan jika obat mempunyai ikatan protein yang tinggi, lebar,


terapi rendah dan volume distribusi relatif kecil

(Mutschler,1991). Kompetisi untuk ikatan dalam jaringan terjadi

misalnya antara digoxin dan kuinidin dengan akibat peningkatan

kadar plasma digoxin (Setiawati, 2003).

3) Interaksi pada proses metabolisme

Interaksi dalam metabolisme dapat terjadi dengan dua

kemungkinan, yakni pemacu enzim atau penghambat enzim.

Suatu obat presipitan dapat memacu metabolisme obat lain (obat

objek) sehingga mempercepat eliminasinya (Suryawati, 1995)

4) Interaksi pada proses eliminasi

Interaksi pada proses eliminasi melaui ginjal dapat tejadi akibat

perubahan PH dalam urin atau karena persaingan tempat ikatan

pada sistem tranformasi yang berfungsi untuk ekskresi.

3. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang

mempunyai khasiat atau efek samping yang berlawanan. Interaksi ini

disebabkan oleh kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi

antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama.

Interaksi ini biasanya dapat diperkirakan dari pengetahuan tentang

farmakologi obat obatan yang berinteraksi. Pada umumnya, interaksi

yang terjadi dengan suatu obat akan terjadi juga dengan obat-obat

sejenisnya. Interaksi ini terjadi dengan intensitas yang berbeda pada

kebanyakan pasien yang mendapat obat-obat yang berinteraksi


(Gitawati, 2000). Efek yang terjadi pada interaksi farmakodinamik

yaitu (Fragley, 2003) :

a) Sinergisme

Interaksi farmakodinamik yang paling umum terjadi adalah

sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel

atau enzim yang sama dengan efek farmakologi yang sama.

b) Antagonisme

Interaksi terjadi bila obat yang berinteraksi memiliki efek

farmakologi yang berlawanan sehingga mengakibatkan

pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat.

c) Efek reseptor tidak langsung

Kombinasi ini dapat bekerja melalui mekanisme saling

mempengaruhi efek reseptor yang meliputi sirkulasi kendali

fisiologi atau biokimia. Efek dan keparahan interaksi obat dapat

sangat bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain.

Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan pasien terhadap

interaksi obat. Pasien yang rentan terhadap interaksi obat antara lain:

1) Pasien lanjut usia

2) Pasien yang minum lebih dari satu macam obat

3) Pasien yang mempunyai ganguan fungsi hati dan ginjal

4) Pasien dengan penyakit akut

5) Pasien dengan penyakit yang tidak stabil

6) Pasien yang mempunyai karakteristik genetik tertentu


7) Pasien yang dirawat lebih dari satu dokter

Strategi pelaksanaan interaksi obat meliputi (Fragley, 2003) :

1) Menghindari kombinasi obat yang berinterksi

Jika resiko interaksi pemakaian obat lebih besar daripada

manfaatnya maka harus dipertimbangkan untuk memakai obat

pengganti. Pemilihan obat pengganti tergantung pada apakah

interaksi obat tersebut merupakan interaksi yang berkaitan

dengan kelas obat tersebut atau merupakan efek obat yang

spesifik.

2) Penyesuaian dosis obat

Jika interaksi obat meningkatkan atau menurunkan efek obat

maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua obat

untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut.

Penyesuaian dosis diperlukan pada saat mulai atau menghentikan

penggunaan obat yang berinteraksi.

3) Pemantauan pasien

Jika kombinasi yang saling berinteraksi diberikan, maka

diperlukan pemantauan pasien. Keputusan untuk memantau atau

tidak tergantung pada berbagai faktor, seperti karakteristik

pasien, penyakit lain yang diderita pasien, waktu mulai

menggunakan obat yang menyebabkan interaksi dan waktu

timbulnya reaksi interaksi obat.

4) Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya


Jika interaksi obat tidak bermakna klinis atau jika kombinasi obat

yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan optimal,

pengobatan pasien dapat diteruskan.

2. Hipertensi

2.1 ETIOLOGI

Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang

beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak

diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak

dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari

populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus,

dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi

sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi

sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat

disembuhkan secara potensial (Dosh, 2001).

A. Hipertensi primer (essensial)

Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi

essensial (hipertensi primer) (Chobaniam, 2003). Literatur lain

mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus

hipertensi.

Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya

hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang


tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi

sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya

menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada

patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran

bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik

mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak

karakteristik genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi

keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-

mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine, pelepasan nitric

oxide, ekskresi aldosteron, steroid adrenal, dan angiotensinogen.

B. Hipertensi sekunder

Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari

penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan

tekanan darah (lihat tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal

akibat penyakit ginjal kronis atau

penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering (

Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat

menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan

menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 1.

Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan

menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi

kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama

dalam penanganan hipertensi sekunder.


2.2 KLASIFIKASI TEKANAN DARAH

Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥

18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau

lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Chobaniam, 2003) (Tabel

2). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai

normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan

darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap

sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang

tekanan darahnya cenderung meningkat ke klasifikasi hipertensi

dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi , dan

semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat.


2.3 TUJUAN TERAPI

Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah :

a. Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan

hipertensi. (Chobaniam, 2003). Mortalitas dan morbiditas ini

berhubungan dengan kerusakan organ target (misal: kejadian

kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, dan

penyakit ginjal).

b. Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi,

dan pilihan terapi obat dipengaruhi secara bermakna oleh bukti

yang menunjukkan pengurangan resiko.

Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII

(Chobaniam, 2003).

• Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg

• Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg

• Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg


Pendekatan secara umum

Walaupun hipertensi merupakan salah satu kondisi medis yang umum

dijumpai, tetapi kontrol tekanan darah masih buruk. Kebanyakan

pasien dengan hipertensi tekanan darah diastoliknya sudah tercapai

tetapi tekanan darah sistolik masih tinggi. Diperkirakan dari populasi

pasien hipertensi yang diobati tetapi belum terkontrol, 76.9%

mempunyai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg dan tekanan darah

diastolic ≤90 mmHg.11 Pada kebanyakan pasien, tekanan darah

diastolik yang diinginkan akan tercapai apabila tekanan darah sistolik

yang diiginkan sudah tercapai. Karena kenyataannya tekanan darah

sistolik berkaitan dengan resiko kardiovaskular dibanding tekanan

darah diastolik, maka tekanan darah sistolik harus digunakan sebagai

petanda klinis utama untuk pengontrolan penyakit pada hipertensi

(Chobaniam, 2003). Modifikasi gaya hidup saja bisa dianggap cukup

untuk pasien dengan prehipertensi, tetapi tidak cukup untuk pasien-

pasien dengan hipertensi atau untuk pasien-pasien dengan target

tekanan darah ≤130/80 mmHg (DM dan penyakit ginjal). Pemilihan

obat tergantung berapa tingginya tekanan darah dan adanya indikasi

khusus. Kebanyakan pasien dengan hipertensi tingkat 1 harus diobati

pertama-tama dengan diuretik tiazid. Pada kebanyakan pasien dengan

tekanan darah lebih tinggi (hipertensi tingkat 2), disarankan kombinasi

terapi obat, dengan salah satunya diuretik tipe tiazid. Terdapat enam
indikasi khusus dimana kelas-kelas obat antihipertensi tertentu

menunjukkan bukti keuntungan yang unik.

2.4 PENATALAKSANAAN HIPERTENSI

Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan:

1. Terapi nonfarmakologi

2. Terapi farmakologi

1. Terapi nonfarmakologi

Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk

mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting

dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan

hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang

sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4

sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan

tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya

hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi

pada pasien-pasien dengan tekanan darah prehipertensi (He J, 2000).

Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan

darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau

gemuk; mengadopsi pola makan DASH (Dietary Approach to Stop

Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah

natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada


sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik

dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat

badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat (Hyman,

2001). Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk

menurunkan berat badan secara perlahan-lahan pada pasien yang

gemuk dan obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol.

Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril.

Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien

mengerti rasionalitas intervensi diet: (Dosh, 2001)

a. Hipertensi 2 – 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding

orang dengan berat badan ideal

b. Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk

(overweight)

c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat

menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk

d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga

prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat

berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit

kardiovaskular (Scaks, 2001).

e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat

menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi

(Vollmer, 2001).
f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam,

kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik

dengan pembatasan natrium (Whellton, 2002).

JNC VII menyarankan pola makan DASH yaitu diet yang kaya dengan

buah, sayur, dan produk susu redah lemak dengan kadar total lemak

dan lemak jenuh berkurang. Natrium yang direkomendasikan < 2.4 g

(100 mEq)/hari.

Aktifitas fisik dapat menurunkan tekanan darah. Olah raga aerobik

secara teratur paling tidak 30 menit/hari beberapa hari per minggu

ideal untuk kebanyakan pasien. Studi menunjukkan kalau olah raga

aerobik, seperti jogging, berenang, jalan kaki, dan menggunakan

sepeda, dapat menurunkan tekanan darah.

Keuntungan ini dapat terjadi walaupun tanpa disertai penurunan berat

badan. Pasien harus konsultasi dengan dokter untuk mengetahui jenis

olah-raga mana yang terbaik terutama untuk pasien dengan kerusakan

organ target. Merokok merupakan faktor resiko utama independen

untuk penyakit kardiovaskular. Pasien hipertensi yang merokok harus

dikonseling berhubungan dengan resiko lain yang dapat diakibatkan

oleh merokok.

2. Terapi Farmakologi

Ada 9 kelas obat antihipertensi . Diuretik, penyekat beta,

penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor


angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat

antihipertensi utama. Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi,

harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi

karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini.

Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium)

mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi

terlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan klinis atau efek samping.

Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan

vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien

tertentu disamping obat utama. Evidence-based medicine adalah

pengobatan yang didasarkan atas bukti terbaik yang ada dalam

mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan bijak

terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek evidence-

based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan

data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas

kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti

ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah,

tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat

hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat

yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi

angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB),

penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB). Mencapai Tekanan

Darah pada masing-masing pasien. Kebanyakan pasien dengan


hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk

mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat

kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal

dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila

tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat

dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus

diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada

pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia

(Chombaniam, 2003).

Terapi Kombinasi

Rasional kombinasi obat antihipertensi:

Ada 6 alasan mengapa pengobatan kombinasi pada hipertensi

dianjurkan: (Vasan, 2001)

1. Mempunyai efek aditif

2. Mempunyai efek sinergisme

3. Mempunyai sifat saling mengisi

4. Penurunan efek samping masing-masing obat

5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ target

tertentu

6. Adanya “fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan

pasien (adherence)
Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut:

(Dosh, 2001)

1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik

2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik

3. Penyekat beta dengan diuretik

4. Diuretik dengan agen penahan kalium

5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis

kalsium

6. Agonis α-2 dengan diuretik

7. Penyekat α-1 dengan diuretic

Menurut European Society of Hypertension 2003, kombinasi dua obat

untuk hipertensi ini dapat dilihat pada gambar 3 dimana kombinasi

obat yang dihubungkan dengan garis tebal adalah kombinasi yang

paling efektif.

Terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien


Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila

memungkinkan sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien,

baik sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI,

ARB, penyekat beta, CCB).2 Diuretik tipe thiazide sudah menjadi

terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial. Pada trial ini,

termasuk yang baru diterbitkan Antihypertensive and Lipid- Lowering

Treatment to Prevent Heart Attack Trial (ALLHAT), diuretik tidak

tertandingi dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat

hipertensi. Kecuali pada the Second Australian National Blood

Pressure Trial; dimana dilaporkan hasil lebih baik dengan ACEI

dibanding dengan diuretik pada laki-laki kulit putih. Diuretik

meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak regimen obat, berguna

dalam mengontrol tekanan darah , dan harganya lebih dapat dijangkau

dibanding obat antihipertensi lainnya. Sayangnya disamping kenyataan

ini, diuretik tetap kurang digunakan (underused).

Rekomendasi ini terutama untuk pasien tanpa indikasi khusus dan

berdasarkan bukti terbaik yang ada yang menunjukkan penurunan

mortalitas dan morbiditas. Walaupun begitu, diuretik juga berguna

pada pasien dengan indikasi tertentu, tetapi tidak selalu sebagai obat

pilihan pertama.

Pertimbangan lain dalam Pemilihan obat Antihipertensi

Efek yang berpotensi menguntungkan


• Diuretik tipe thiazide berguna untuk memperlambat demineralisasi

pada osteoporosis.

• β-blocker dapat berguna untuk pengobatan atrial

takhiaritmia/fibrilasi, migraine, tirotoksikosis (jangka pendek), atau

tremor esensial.

• Kalsium antagonis dapat berguna juga untuk pengobatan sindroma

Raynaud dan aritmia tertentu

• α-blocker dapat berguna untuk gangguan prostat

Efek yang berpotensi tidak menguntungkan

• Diuretik tipe thiazide harus digunakan dengan hati-hati pada pasien

dengan diagnosa pirai atau yang mempunyai sejarah medis

hiponatremia yang

bermakna.

• Hindari penggunaan penyekat β pada pasien asma, reactive airway

disease, atau second or third degree heart block

• ACEI dan ARB tidak boleh diberikan kepada perempuan punya

rencana hamil dan kontraindikasi pada perempuan hamil. ACEI tidak

boleh diberikan pada pasien dengan riwayat angioedema.

• Antagonis aldosteron dan diuretic penahan kalium dapat

menyebabkan hiperkalemia, sehingga jangan diberikan kepada pasien

dengan kalium serum >5.0 mEq/L (tanpa minum obat apa-apa)

3. Diabetes Melitus Tipe 2


3.1 PENGERTIAN

Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau

gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai

dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan

metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi

fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh

gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans

kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel

tubuh terhadap insulin (WHO, 1999).

3.2 DIABETES MELITUS TIPE 2

Diabetes Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih

banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM

Tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes,

umumnya berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM

Tipe 2 di kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat.

Etiologi DM Tipe 2 merupakan multifaktor yang belum sepenuhnya

terungkap dengan jelas. Faktor genetik dan pengaruh lingkungan

cukup besar dalam menyebabkan terjadinya DM tipe 2, antara lain

obesitas, diet tinggi lemak dan rendah serat, serta kurang gerak badan.

Obesitas atau kegemukan merupakan salah satu faktor pradisposisi

utama. Penelitian terhadap mencit dan tikus menunjukkan bahwa ada

hubungan antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas


dengan gen-gen yang merupakan faktor pradisposisi untuk DM Tipe 2

(ADA, 2004).

Berbeda dengan DM Tipe 1, pada penderita DM Tipe 2, terutama

yang berada pada tahap awal, umumnya dapat dideteksi jumlah insulin

yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga

tinggi. Jadi, awal patofisiologis DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh

kurangnya sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal

atau tak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim

disebut sebagai “Resistensi Insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi

di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai

akibat dari obesitas, gaya hidup kurang gerak (sedentary), dan

penuaan.

Disamping resistensi insulin, pada penderita DM Tipe 2 dapat juga

timbul gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang

berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β

Langerhans secara otoimun sebagaimana yang terjadi pada DM Tipe 1.

Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM Tipe 2

hanya bersifat relatif, tidak absolut. Oleh sebab itu dalam

penanganannya umumnya tidak memerlukan terapi pemberian insulin.

Sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase

pertama sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan

glukosa yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah,

sedangkan sekresi fase kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya. Pada


awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada

sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal

mengkompensasi resistensi insulin Apabila tidak ditangani dengan

baik, pada perkembangan penyakit selanjutnya penderita DM Tipe 2

akan mengalami kerusakan sel-sel β pankreas yang terjadi secara

progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi insulin,

sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen (Suyono,

2004).

Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pada penderita DM Tipe

2 umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin

dan defisiensi insulin. Berdasarkan uji toleransi glukosa oral, penderita

DM Tipe 2 dapat dibagi menjadi 4 kelompok:

a. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya normal

b. Kelompok yang hasil uji toleransi glukosanya abnormal, disebut

juga Diabetes Kimia (Chemical Diabetes)

c. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa minimal (kadar

glukosa plasma puasa < 140 mg/dl)

d. Kelompok yang menunjukkan hiperglikemia puasa tinggi (kadar

glukosa plasma puasa > 140 mg/dl).

Pada DM Tipe 2 gejala yang dikeluhkan umumnya hampir tidak ada.

DM Tipe 2 seringkali muncul tanpa diketahui, dan penanganan baru

dimulai beberapa tahun kemudian ketika penyakit sudah berkembang

dan komplikasi sudah terjadi. Penderita DM Tipe 2 umumnya lebih


mudah terkena infeksi, sukar sembuh dari luka, daya penglihatan

makin buruk, dan umumnya menderita hipertensi, hiperlipidemia,

obesitas, dan juga komplikasi pada pembuluh darah dan syaraf (IONI,

2000).

3.3 DIAGNOSIS

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan apabila ada

keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan

berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. Keluhan lain

yang mungkin disampaikan penderita antara lain badan terasa lemah,

sering kesemutan, gatal-gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria,

dan pruritus vulvae pada wanita.

Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.

Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat

digunakan sebagai patokan diagnosis DM (Soegondo, 2004).


3.4 TERAPI TANPA OBAT

A. Pengaturan Diet

Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan

diabetes. Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi

yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai

dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut:

• Karbohidrat : 60-70%

• Protein : 10-15%

• Lemak : 20-25%

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres

akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai

dan mempertahankan berat badan ideal.

Penurunan berat badan telah dibuktikan dapat mengurangi resistensi

insulin dan memperbaiki respons sel-sel β terhadap stimulus glukosa.

Dalam salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat


badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah

salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat

badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup.

B. Olah Raga

Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula

darah tetap normal. Saat ini ada dokter olah raga yang dapat

dimintakan nasihatnya untuk mengatur jenis dan porsi olah raga yang

sesuai untuk penderita diabetes. Prinsipnya, tidak perlu olah raga berat,

olah raga ringan asal dilakukan secara teratur akan sangat bagus

pengaruhnya bagi kesehatan.

Olahraga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous,

Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance Training). Sedapat

mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal (220-

umur), disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penderita.

3.5 TERAPI OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu

penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang

tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada

tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi

hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis

obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan

rejimen hipoglikemik yang digunakan harus mempertimbangkan


tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan

pasien secara umum termasuk penyakit-penyakit lain dan komplikasi

yang ada (Oki, 2002).

PENGGOLONGAN OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat

dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

a) Obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat

hipoglikemik oral golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan

turunan fenilalanin).

b) Sensitiser insulin (obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas

sel terhadap insulin), meliputi obat-obat hipoglikemik golongan

biguanida dan tiazolidindion, yang dapat membantu tubuh untuk

memanfaatkan insulin secara lebih efektif.

c) Inhibitor katabolisme karbohidrat, antara lain inhibitor α-

glukosidase yang bekerja menghambat absorpsi glukosa dan umum

digunakan untuk mengendalikan hiperglikemia post-prandial (post-

meal hyperglycemia). Disebut juga “starch-blocker” (Oki, 2002).


4. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang

RS. Panti Wilasa Citarum tergolong dalam Rumah Sakit Umum Kelas

C yang dipimpin oleh seorang Direktur dan 3 orang Wakil Direktur

dan berada dibawah pembinaan pengurus YAKKUM. Instalasi

Farmasi Rumah Sakit Panti Wilasa Citarum Semarang terbagi atas 2

bagian, yaitu farmasi rawat jalan dan farmasi rawat inap. Keduanya di

bawah naungan apoteker sebagai Kepala Instalasi Farmasi. Kepala

Instalasi Farmasi dibantu oleh apoteker sebagai Koordinator Pelayanan

Farmasi Rawat Inap yang membawahi administrasi, TTK rawat inap,


petugas depo kamar operasi, petugas depo gms, transportir dan

pembantu umum..

Apoteker Penanggung Jawab di Instalasi Farmasi RS Panti Wilasa

Citarum akan memberikan wewenang kepada setiap Apoteker

Pendamping, TTK dan tenaga yang lain sesuai dengan porsi masing-

masing yang berdasarkan pada Sistem Prosedur Operasional (SPO)

sebagai petugas pelayanan. Kerjasama yang didukung profesionalitas

kerja, akan memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasien..

Struktur organisasi RS.Panti Wilasa Citarum senantiasa mengadakan

perubahan sejalan dengan perkembangan jaman. Organisasi yang

dinamis sangat membantu memenuhi kebutuhan rumah sakit dalam

rangka memberikan pelayanan prima kepada pasien.

Anda mungkin juga menyukai