Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
PENDAHULUAN

Kuda – kuda adalah komponen konstruksi bangunan yang tersusun dari


kerangka batang dan berbentuk segitiga. Peranannya dapat memikul beban atap
termasuk bebannya sendiri. Selain itu, dengan adanya kerangka kuda – kuda juga
dapat memperindah atap konstruksi tersebut. Bentuk dan pengaruh beban dapat
dipengaruhi oleh lokasi bangunan itu berada, di Indonesia perhitungan beban kuda-
kuda dihitung berdasarkan pengaruh tekan angin dan pengaruh air hujan. Untuk
daerah yang bersalju perhitungan beban kuda-kuda juga dipengaruhi oleh beban
salju.
Bila beban-beban tersebut didistribusikan menjadi gaya~gaya yang bekerja pada
setiap titik buhul kuda-kuda, maka akan segera diketahui berapa besar yang
sanggup ditahan oleh suatu batang. Dengan menggunakan metode Cremona gaya
tersebut dapat dengan mudah mengetahui besarnya gaya- gaya yang bekerja pada
suatu batang pada suatu konstruksi kuda-kuda dan secara jelas akan ditunjukkan
batang tersebut menerima gaya tarik atau gaya tekan. Sehingga besamya gaya yang
bekerja pada suatu batang dengan mempertimbangkan faktor-faktor keamanan,
sehingga dapat mendimensikan besarnya penampang yang dibutuhkan.
Pada bab berikut akan diuraikan sifat dari kayu untuk tidak menyalahi peraturan
yang ada maka perhitungan konstruksi kuda-kuda kayu ini berpedoman pada
peraturan yang berlaku di Indonesia. Dalam Laporan Rancangan Kuda-Kuda Kayu
ini, perhitungan kuda-kuda menggunakan kayu kelas kuat I, dan menggunakan alat
sambung baut, panjang bentangan kuda-kuda 15.5 m dan tinggi 3.5 m
2

BAB II
DASAR TEORI

2.1 Pembebanan

Definisi pembebanan merupakan sekumpulan gaya yang bekerja pada suatu


konstruksi. Pembebanan pada suatu konstruksi sangat penting untuk perencanaan
dalam sebuah kostruksi. Apabila ada kesalahan pada pembebanan akan
mengakibatkan perencanaan konstruksi gagal. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan
ketelitian agar konstruksi yang direncanakan aman.

2.1.1 Beban Mati

Beban mati adalah beban yang ada pada konstruksi kuda - kuda itu sendiri.
Menurut Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983 (PPIUG) bab 1
pasal 1, pengertian beban mati ialah berat dari semua bagian dari suatu gedung yang
bersifat tetap termasuk semua unsur ditambah penyelesaian – penyelesaian, mesin
– mesin serta peralatan tetap yang merupakan bagian – bagian yang tak terpisahkan
dari bagian gedung itu.

2.1.2 Beban Hidup

Menurut PPIUG bab 1 pasal 2, pengertian beban hidup adalah semua bebanyang
terjadi akibat penghunian atau penggunaan suatu gedung dan didalamnya termasuk
beban – beban pada lantai yang berasal dari barang – barang yang dapat berpindah,
mesin – mesin serta peralatan yang tidak merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari gedung dan dapat digantikan selama masa pakai dari gedung tersebut, sehingga
mengakibatkan perubahan pada lantai tersebut, pada bagianatap, beban hidup dapt
merupakan beban yang berasal dari air hujan baik dari genangan maupun dari akibat
tumpukan jatuhnya air hujan.

Berat air hujan ditentukan dengan rumus :

P = ( 40 – 0.85 𝛼 ) (kg/m2) ................................................................... (2.1)


3

2.1.3 Beban Angin

Menurut PPIUG bab 1 pasal 3, pengertian beban angin ialah semua beban yang
bekerja pada gedung atau bagian gedung yang sebabkan oleh selisih dalam tekanan
udara. Beban angin ditentukan dengan menganggap adanya tekanan positif dan
tekanan negative (isapan), yang bekerja tegak lurus pada bidang – bidang yang
ditinjau. Besarnya tekanan positif dan tekanan negatif ini dinyatakan dalam kg/m2,
ditentukan dengan mengalikan tekanan tiup yang ditentukan. Tekanan tiup angin
minimum yang ditentukan oleh PPIUG 1983 25 kg/m2, kecuali tekanan tiup yang
berada di laut dan di tepi laut sampai sejauh 5 km dari pantai harus diambil
minimum 40 kg/m2. Tekanan angina tiup (p) dapat dihitung dengan rumus :

𝑉2
P= (kg/m2) ............................................................................................... (2.2)
16

Keterangan :

V = kecepatan angin (m/det2)

P = Beban angin (kg/m2)

Koefisien angina untuk bangunan tertutup atap segitiga dengan sudut kemiringan 𝛼
adalah :

1. Untuk bidang – bidang atap dipihak angin :


𝛼 < 650 Koefisien ( + 0.22 𝛼 – 0.4 )
650 < 𝛼 < 900 Koefisien (+ 0.9)
2. Untuk semua bidang dibelakang angin, kecuali yang vertikal menghadap
angin:
α Koefisien ( -0,4 )
3. Untuk semua bidang atap vertikal dibelakang angin yang manghadap angin:
α Koefisien ( +0,4 )

2.2 Kombisasi Momen


Munurut PPIUG 1983, ketemuan pembebanan adalah :
1. Muatan beban mati dinyatakan dengan huruf "DL "
4

2. Muatan beban hidup dinyatakan dengan huruf "LL "


3. Muatan beban air hujan dinyatakan dengan huruf "W"
4. Muatan beban angin dinyatakan dengan huruf “ WL "
a. Pembebanan Tetap : M + H .............................................. (2.3)
b. Pembebanan Sementara : M + H +A........................................ (2.4)
M + H + G ...................................... (2.5)
c. Pembebanan Khusus : M + H + A + K ............................... (2.6)
M + H + A + K ............................... (2.7)
M + H + G + K ............................... (2.8)
Dengan :
M = Beban mati DL (Dead Load)
H = Beban Hidup LL (Live Load)
A = Beban Angin WL (Wind Laod)
G = Beban Hidup E (Earthquake)
K = Beban Khusus

2.3 Tegangan dan Lendutan yang Diizinkan


Tegangan yang diizinkan untuk semua kelas kayu diperlihatkan pada lampiran
table ,pada hal , tegangan yang terlampir pada tabel tersebut hanya untuk mutu kayu
A dan untuk kayu B harga tegangan dikalikan 0,75.

2.3.1 Pengaruh keadaan konstruksi dan sifat muatan tegangan


Tegangan kayu yang diijinkan (atau sering disebut tegangan ijin) merupakan
besaran (dalam satuan kg/cm2) yang menyatakan tegangan kayu yang
diperkenankan dipakai dalam perhitungan-perhitungan. Tegangan ijin dibedakan
menurut gaya yang bekerja dan arah bekerjanya gaya, yaitu :
σlt = Tegangan ijin lentur.

σds // = Tegangan ijin desak sejajar serat

σtr // = Tegangan ijin tarik sejajar serat

σds ┴ = Tegangan ijin desak tegak lurus serat

τ // = Tegangan ijin geser sejajar serat


5

Besarnya tegangan ijin tergantung dengan kelas kuat kayu


Tegangan-tegangan yang diperkenankan harus digandakan dengan faktor
berikut :
1. Faktor 2/3 ( β= 2/3 )
a. Untuk konstruksi yang selalu terendam air.
b. Untuk konstruksi yang tidak terlindung, misalnya, selalu terendam air,
kadar lengas tinggi, terkena air hujan dan matahari.
2. Faktor 5/6 ( β= 5/6 )
a. Untuk konstruksi yang tidak terlindung , tetapi kayu dapat mengering
dengan cepat, misalnya, untuk jembatan dan perancah.
3. Faktor 5/4 ( β= 5/4 )
a. Untuk bagian konstruksi yang tegangannya diakibatkan oleh muatan
tetap dan muatan angin.
b. Untuk bagian konstruksi yang tegangannya diakibatkan oleh muatan
tetap dan muatan tidak tetap.

2.3.2 Lendutan yang diizinkan


Lendutan yang diizinkan pada gording adalah sebagai berikut :

f = 1/200 x l ............................................................................................ (2.9)

Keterangan :
f = Lendutan yang diizinkan (cm)
l = Panjang Gording (cm)

Sedangkan lendutan yang timbul pada gording akibat beban merata dan terpusat
adalah:

5 q x l4 1 𝑃𝑥𝑙3
fytb = 384 + + 48 𝑥 .............................................................. (2.10)
𝐸𝐼𝑥 𝐸𝐼𝑥

Dimana:
fytb = Lendutan yang timbul terhadap sumbu x dan sumbu y
q = Beban terbagi rata (kg/m)
P = Beban terpusat (kg)
6

l = Panjang batang (m)


E = Modulus elasitas kayu (kg/cm2)
I = momen inersia (cm)

Lendutan total yang terjadi pada gording adalah:

f = √(𝑓𝑥)2 + (𝑓𝑦)2 .............................................................................. (2.11)

2.4 Elemen Konstruksi


Adapun yang dimaksud dengan elemen konstruksi adalah :
1. Batang Tekan
2. Batang Tarik

2.4.1 Batang Tekan


Pada batang yang menahan tegangan tekan dalam perhitungan tidak dipengaruhi
oleh pelemahan alat sambung. Tetapi apabila pada batang tersebut terdapat lubang
yang tidak tertutup, dihitung sebagai perlemahan.
Pengaruh tekuk adalah yang sangat mempengaruhi selain hal tersebut diatas.
Faktor tekuk (ɷ) sangat dipengaruhi oleh panjang batang dan bahan itu sendiri.
Besar factor tekuk terlampir pada Tabel. Hal ini terdiri dari dua batang, yakni
tunggal dan ganda.

1. Batang tunggal

h h

b b b

Ix = 1/12 b . h3 (cm4) ...................................................................... (2.12)


Iy = 1/12 b3 . h (cm4) ...................................................................... (2.13)
ix = Ix/Fbr (cm) ....................................................................... (2.14)
iy = Iy/Fbr (cm) ....................................................................... (2.15)
λx = lk/ix min (cm) ....................................................................... (2.16)
7

λy = lk/iy min (cm) ....................................................................... (2.17)

diantara harga λx dan λy diambil yang terbesar dalam menentuan nilai factor tekuk
(ɷ) sehingga:

σ ytb = P x ɷ, dalam (kg/cm2) ≤ σ tk .................................................. (2.18)

Dimana:
σytb = Tegangan yang timbul (kg/cm2)
Ix = Momen inersia pada sumbu x (cm4)
Iy = Momen inersia pada sumbu y (cm4)
lk = Panjang kritis (cm)
ɷ = Faktor tekuk (non dimensi)
λ = Angka Kelangsingan (non dimensi)

2. Batang tunggal

h h

b b
ix min =√𝐼𝑥/𝐹𝑏𝑟 dan iy min = √𝐼𝑦/𝐹𝑏𝑟 , dalam (cm) .................... (2.19)
λx = lk / ix dan λy = lk / iy ............................................... (2.20)
Sehingga:
𝑃𝑥𝑊
σ ytb = ≤ σ tk, (kg/cm2)............................................................ (2.21)
𝑓𝑏𝑟

2.4.2 Batang tarik


Pada batang-batang tarik dan bagian-bagian yang dibebani dengan tegangan
lentur, perlemahan-perlemahan akibat lubang alat-alat penyambung dan lainnya
harus diperhatikan dan diteliti. Besarnya pengurangan luas tiap alat sambung adalah
sebagai berikut:
a. 0 % = Untuk sambungan dengan perekat
8

b. 10% - 15% = Untuk sambungan dengan paku


c. 15% - 20% = Untuk sambungan dengan baut dan sambunagn gigi
d. 20% = Untuk sambungan dengan kokot bulldog dan pasak kayu
Dengan memperhitungkan pengurangan luas maka tegangan tarik yang timbul
adalah sebagai berikut :

σ ytb = P / Fn, (kg/cm2) ................................................................... (2.22)

Dimana:
σytb = Tegangan yang timbul (kg/cm2)
P = Gaya yang bekerja pada batang (kg)
Fn = Luas penampang netto (cm2), Fn = 0.8 . Fbr

2.5 Sambungan Pada Kayu


Didalam konstruksi kayu yang meminta perhatian besar adalah tempat-tempat
sambungan, karena sambungan selalu merupakan titik terlemah pada suatu
konstruksi. Alat sambung kayu banyak sekali jenisnya, antara lain baut, paku, kokot
bulldog, pasak cincin, geka, split ring, alligator, bufa, perekat dan lain sebagainya.

2.5.1 Sambungan Baut Pada Kayu


Menurut PKKI Nl 5 1961, beberapa persyaratan sambungan baut pada kayu
adalah sebagai berikut :
1. Alat penyambung baut harus dibuat dari baja St. 37 atau dari besi yang
mempunyai kekuatan paling sedikit seperti baja St. 37.
2. Lubang baut harus dibuat secukupnya saja dan kelonggaran tidak boleh
lebih dari 1,3 mm.
3. Garis tengah baut paling sedikit harus 10 mm (3/8”), sedang untuk
tumpang satu maupun tumpang dua dengan tebak kayu lebih besar dari
pada 8 cm harus dipakai baut dengan garis tengah paling kecil l2,7 mm
(l/2").
4. Baut harus disertai plat ikatan yang tebalnya minimum 0,3 (1 dan
maksimum 5 mm dengan garis tengah 3d, dimana d = garis tengah baut.
9

5. Sambungan dengan baut dibagi 3 golongan menurut kekuatan kayu yaitu


golongan I, II, III. Agar sambungan dapat memberi hasil kekuatan yang
sebaik-baiknya (urgent), hendaklah λb = b/d diambil dari angka-angka
yang tertera dibawah ini :
a. Golongan I
Sambungan tampang satu
S = 50 . d . b1 (1-0.60 sin α) atau λb = 4.8 .............................. (2.23)
S = 250 . d2 (1-0.35 sin α)........................................................ (2.24)
Sambungan tampang dua
S = 125 . d . b3 (1-0.60 sin α) atau λb = 3.8 ............................ (2.25)
S = 250 . d . b1 (1-0.60 sin α) .................................................. (2.26)
S = 480 . d2 (1-0.35 sin α)........................................................ (2.27)
b. Golongan II
Sambungan tampang satu
S = 40 . d . b1 (1-0.60 sin α) atau λb = 5.4 .............................. (2.28)
S = 215 . d2 (1-0.35 sin α)........................................................ (2.29)
Sambungan tampang dua
S = 100 . d . b3 (1-0.60 sin α) atau λb = 4.3 ............................ (2.30)
S = 200 . d . b1 (1-0.60 sin α) .................................................. (2.31)
S = 430 . d2 (1-0.35 sin α)........................................................ (2.32)
c. Golongan III
Sambungan tampang satu
S = 25 . d . b1 (1-0.60 sin α) atau λb = 6.8 .............................. (2.33)
S = 170 . d2 (1-0.35 sin α)........................................................ (2.34)

Sambungan tampang dua


S = 60 . d . b3 (1-0.60 sin α) atau λb = 5.7 .............................. (2.35)
S = 120 . d . b1 (1-0.60 sin α) .................................................. (2.36)
S = 340 . d2 (1-0.35 sin α)........................................................ (2.37)
Dimana:
S = Kekuatan sambungan (kg)
10

α = Sudut antara arah gaya dan arah serat kayu


b3 = Tebal kayu tengah (cm)
b1 = Tebal kayu tepi (cm)
d = Garis tengah baut (cm)
6. Jika pada sambungan tampang satu, salah satu batasnya dari besi (baja)
atau pada sambungan bertampang dua pelat-pelat penyambung dengan
besi (baja), Maka harga 5 dinaikkan 25 %
7. Apabila baut digunakan pada konstruksi yang selalu terendam air, maka
dalam perhitungan kekuatannya dikalikan dengan 2/3. apabila baut
digunakan Pada konstruksi yang tidak terlindung, maka kekuatannya
harus dikalikan dengan 5/6. dan apabila dipergunakan pada konstruksi
yang mengalami sementara , maka kekuatannya harus dikalikan 5/4.

Penempatan baut pada sambungan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan


pada PPKI (l96l). Untuk lebih jelasnya persyaratan tersebut diperlihatkan pada
lampiran hal . Banyaknya baut yang digunakan untuk tiap batang kuda-kuda dapat
dihitung dengan rumus :
P
n = S (sambungan tidak menerus) .......................................... (2.38)

P2-p1
n= (sambungan menerus) .............................................. (2.39)
S

Dimana:
n = Jumlah baut (buah)
P = Gaya batang tekan/tarik yang bekerja (kg)
P1 = Gaya batang tarik yang bekerja (kg)
P2 = Gaya batang tekan yang bekerja (kg)

Anda mungkin juga menyukai