Anda di halaman 1dari 19

BAB III

Biografi ‘Āisyah ‘Abdurrahmān dan Kitab Maqāl Fi al-Insān


Dirāsah Qur’āniyyah
Tradisi akademik dalam kajian tokoh dan pemikirannya menuntut pengenalan
tokoh dan karyanya sebagai hasil pemikirannya, meski berupa uraian yang singkat
namun representatif.Hal ini disebabkan sosoknya perlu untuk dipahami terdahulu
supaya kevalidannya diketahui secara signifikan keunggulan dan spesifikasi
ketokohannya secara akademik.
Daya dukung alur pemikiran tersebut terletak pada poin-poin yang akan
diuraikan pada bagian ini, yakni mencakup profil dan pemikirannya serta mengupas
kitab Maqāl Fi al-InsānDirāsah Qur’āniyyahdari aspek sumber rujukan, sistematika,
metode dan corak penafsiran.

A. Profil ‘Āisyah ‘Abdurrahmān


1. Biografi ‘Āisyah ‘Abdurrahmān
‘Āisyah ‘Abdurrahmān, yang dikenal luas dengan nama samarannya, Bintu al-
Syāthi’1. Ia dilahirkan di Dumyat,wilayah di sebelah Barat Delta Nil2, pada tanggal 6
November 1913 M/ 6 Dzulhijjah 1331 dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahmān
dan Farida Abdussalām Muntasyir3, ia wafat di usia 85 tahun, tepatnya pada awal
bulan Desember, tahun 1998. Bintu al-Syathi’ tumbuh dewasa di tengah sebuah
keluarga Muslim yang saleh serta konservatif.Beliau merupakan sosok kaum hawa
yang turut serta memberikan kontribusi terhadap dunia tafsir, kesusastraan Arab dan

1
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi
islam(Bandung: Yayasan Muthahhari, 1991), hal. 5
2
‘Āisyah ‘Abdurrahmān, Maqāl fi al-Insān, Dirāsah Qur’āniyyah (Kairo: Darul Ma’arif, 1969), Cet
ke-2, hal. 7
3
Http://Menantikau.Wordpress.com/Kumpulan-Makalah/Tafsir-Alquran/Tafsir-Kontemporer/Bintu-
Syathi. Diunduh Tanggal 14 November, 2016. Pukul 22.33. 49 Wib.
pemikiran sosial, ia pun pengajar pada fakultas Adab di Kairo dan fakultas Tarbiyah
Putri di al-Azhār4.
Ayah Bintu al-Syāthi’, Abdurrahmān adalah seorang guru teologi di
daerahnya.Kecintaan Bintu al-Syāthi’ terlihat dari usia lima tahun dengan
mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti; belajar membaca dan menulis tulisan Arab,
gramatika bahasa Arab serta menyelesaikan hafalan Alquran, kemudian setelah
selesai madrasah Ta’līmiyyah, Thanta tahun 1928 untuk hijrah ke kota Kairo.Pada
awalnya ‘Āisyah tidak dibolehkan oleh ayahnya untuk melanjutkan ke tingkat
pendidikan formal, namun berkat jasa ibu serta kakeknya ‘Āisyah dapat melanjutkan
pendidikanya tanpa sepengetahuan ayahnya. Pada tahun 1936 M.,
‘Āisyahmelanjutkan di Fakultas Sastra, Kairo dan lulus tahun 1939 M. dengan meraih
gelar Lc. ‘Āisyah meraih gelar Master pada tahun 1941 M. serta menyelesaikan
program doktornya tahun 1950 M5.
Selain dalam bidang sastra Arab, ‘Āisyah juga mempunyai bakat dalam dunia
jurnalistik terlihat dengan karyanya menerbitkan majalah al-Nahdah an-
Nisā’iyyah pada 1933, dimana ia bertindak sebagai redakturnya.Kecintaan ‘Āisyah
Bintu Syathi’ dalam kajian tafsir Alquran diawali sejak pertemuannya dengan Prof.
Amīn Al-Khūlī di sebuah Unversitas di Kairo Mesir. ‘Āisyah sangat terpengaruh
oleh gaya dari sang guru yang juga menjadi suaminya.

2. Latar Belakang Pendidikan dan Keilmuan


‘Āisyah ‘Abdurrahmān sejak kecil sudah banyak mempelajari ilmu agama,
sastra bahasa Arab bahkan mampu menghafalkan Alquran, sehingga pada tahun 1936
M, ‘Āisyah mendaftarkan dirinya di Fakultas Sastra, Universitas Fuad I Kairo Mesir
dan lulus tahun 1939 M. dengan meraih gelar Lc. Di Universitas yang sama, ‘Āisyah
meraih gelar Master denagn sebuah tesis al-Hayāt al-Insāniyyah ‘Inda Abi ‘Ala’,

4
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an (diterjemahkan oleh: Aunur Rafiq el-Mazni,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), cet ke-8, hal. 466
5
Http://Menantikau.Wordpress.com/Kumpulan-Makalah/Tafsir-Alquran/Tafsir-Kontemporer/Bintu-
Syathi. Diunduh Tanggal 14 November, 2016. Pukul 22:36:44 Wib
pada tahun 1941 M. serta menyelesaikan program doktornya tahun 1950 M, dengan
disertasi Risālatul Ghufrān Li Abī al-‘Alā’, yang mana meraih predikat cumlaude.
Setelah ia menyelesaikan akademiknya, ia lantas tidak meninggalkan dunia
pendidikan, ia menjadi guru besar bahasa serta sastra arab di Universitas ‘Ain al-
Syams Mesir, serta guru besar tamu di Universitas Qarawiyyīn6.

Pada tahun-tahun belakangan ini telah mengukuhkan dirinya lantaran studinya


tentang sastra dan tafsir Alquran. Ia adalah Guru Besar sastra dan bahasa Arab pada
Universitas ‘Ayn Syams, Mesir, dan kadang-kadang menjadi Guru Besar tamu pada
Universitas Islam Umm Durman, Sudan; dan saat ini ia adalah Guru Besar Tamu
pada Universitas Qarawiyyīn, Maroko. Beliau sering mendapatkan kesempatan
memberi kuliah dan konferensi pada tahun 60-an, ia telah berbicara di hadapan para
sarjana di Roma, Aljazāir, New Delhi, Baghdād, Kuwait, Yerussalem, Rabat, Fez,
Khartoum dan lain-lain7.Bahkan ia menulis 40 judul buku tentang Dirasah Islamiyah,
Fiqh, Tafsir, dan Adab, kemudian diterbitkan di Mesir dan beberapa negara Arab.

Jika kita berbicara‘Āisyah ‘Abdurrahmāntentangpengkajian dalam


Islam,maka ada sebuah perumpamaan yaitu, seperti memasak sebuah makanan,
orang-orang Arab biasa mengatakan: Ilmu-ilmu keislaman ada tiga macam: ilmu
yang sudah digarap dan sudah masak, yaitu ilmu tata bahasa dan sumber-sumber
penetapan hukum; ilmu yang telah dimasak tetapi belum matang, yaitu ilmu tentang
hukum dan hadis; dan ilmu yang belum dimasak dan belum matang, yaitu retorika
dan tafsir.‘Āisyah ‘Abdurrahmān beruntung, ia memiliki banyak bahan masakan
untuk digarap, dan untuk itu kita adalah orang-orang yang beruntung.

3. Pemikiran‘Āisyah ‘Abdurrahmāntentang Penafsiran

6
Http://Menantikau.Wordpress.com/Kumpulan-Makalah/Tafsir-Alquran/Tafsir-Kontemporer/Bintu-
Syathi. Diunduh Tanggal 14 November, 2016. Pukul 22:37:01 Wib
7
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, (diterjemahkan oleh: Mudzakir Abdussalam,
Bandung: Mizan, 1996), hal. 9
‘Āisyah ‘AbdurrahmānMempunyai pandangan dan sikap yang konservatif, ia
memiliki semua daya tarik seorang perempuan Arab modern yang berbudaya, yang
harus diperhitungkan, dan dicirikan oleh kemampuan pengungkapan diri yang kuat
dan artikulatif, yang diilhami oleh nilai-nilai Islam dan informasi pengetahuan yang
meluap8.Dalam usahanya untuk menyingkirkan unsur-unsur luar dan asing dalam
pemahamannya atas Alquran, dalam kitab tafsirnya, ‘Āisyah ‘Abdurrahmān menolak
untuk terlibat dalam pembahasan-pembahasan mendetail mengenai materi-materi
yang berhubungan dengan Kitab Injil dan rekaman-rekaman Arab serta non-Arab
yang bersifat mistis atau historis, jika di dalam Alquran terdapat rujukan kepada
materi-materi atau rekaman-rekaman tersebut.

‘Āisyah ‘Abdurrahmāntidak ingin terperangkap dalam kesalahan para


mufassir masa lalu yang menerima Isra’iliyyat dan materi-materi asing dari para
Mu’allaf, sehingga mereka memasukkan ke dalam tafsir mereka apa yang
sesungguhnya tidak dimaksudkan oleh Alquran sendiri.Ia menolak untuk terlibat
dalam pembahasan-pembahasan mendetail mengenai sejauh mana ayat-ayat Alquran
tertentu sejalan dengan ilmu dan teknologi modern, sebab hal ini menurutnya juga
tidak pernah dimaksudkan oleh Alquran. Ayat-ayat tersebut, yang menjabarkan
fenomena alam, manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, aspek-aspek ruang angkasa
serta hal-hal lain yang menakjubkan, tidak dimaksudkan sebagai pelajaran dalam
berbagai ilmu modern yang berbeda-beda atau sebagai bukti-bukti tekstual yang
sejalan dengan teori-teori mutakhir dalam berbagai lapangan pengetahuan empirik
modern; tetapi ayat-ayat tersebut memiliki makna-makna Qur’ani dan religiusnya
sendiri yang intrinsik, yang hanya dapat ditemukan dengan mempelajarinya dalam
konteksnya9.

8
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi islam, Op.
Cit., hal. 6
9
Ibid, hal. 11
Bintu al-Syathi’ tidak saja mengkritik kesengajaannya untuk memasukkan
bahan-bahan asing, apa yang disebut ilmiah, dan materi-materi Isra’iliyyat untuk
memahami Alquran, tapi juga mempertanyakan pengetahuannya mengenai bahasa
Arab dan ilmu-ilmu keislaman dalam konteks kajian-kajian Alquran, dan di sana-sini
mengecam pendapat-pendapat pribadinya yang tidak didasarkan kepada argumen
yang kuat yang dengan seenaknya disebarluaskan.

Bintu al-Syathi’ mengajukan satu masalah yang lebih penting sehubungan


dengan sejauh mana semua orang dapat membuat tafsir. Ia sendiri berpandangan
bahwa semua orang berhak untuk memahami Alquran sesuai dengan kemampuan
mental dan pengetahuan yang dimilikinya. Tetapi, menerbitkan sebuah tafsir ke
khalayak umum, hanya para spesialis di bidang tafsirlah yang mempunyai hak untuk
melakukannya. Seorang mufasir dituntut untuk berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu
bahasa Arab, berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu Alquran, seperti ragam bacaan
Alquran, sebab-sebab pewahyuan, mengenai ayat-ayat yang jelas (muhkamat) dan
ayat-ayat yang samar (mutasyabihat), dan lain sebagainya. Ia juga harus
berpengetahuan luas dalam ilmu-ilmu hadits, teologi, hukum, beresiology (ilmu
tentang bid’ah) dan sejarah Islam.

Ia menolak pernyataan-pernyataan Dr. “Utsman Amin, yang pernah menjadi


Guru Besar filsafat Islam pada Universitas Kairo, yang memberi dukungan kepada
Dr. Mushtahafa Mahmud dengan menyatakan bahwa saudara sepupu Nabi
Muhammad sendiri, yakni Ibn ‘Abbas, adalah seorang yang dipandang otoritatif
dalam bidang tafsir Alquran walaupun ia sesungguhnya bukanlah seorang spesialis
dalam bidang studi itu.Bintu al-Syathi’ menolak argumentasi ini dengan
mengemukakan bahwa Ibn ‘Abbas dan sahabat-sahabat Nabi lainnya telah dididik
dalam bidang studi tafsir ini dalam perguruan yang disebut madzhab Nabawi(school
of prophecy), yang gurunya adalah Nabi Muhammad sendiri, dan mereka memiliki
basis pengetahuan bahasa Arab yang sangat kukuh dan luas. Dengan demikian, atas
nama kemodernan dan ilmu yang sangat menghormati spesialisasi, Bintu al-
Syathi’menolak keabsahan tafsir Alquran mana pun yang dikemukakan oleh seorang
yang bukan spesialis di bidang studi ini10.

4. Karya-Karya
Kajian-kajiannya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu
Al-‘Ala’ Al-Ma’arri, Al-Khansa’, dan penyair-penyair atau penulis-penulis lain;
biografi ibunda Nabi Muhammad, isteri-isteri beliau, anak-anak perempuannya, serta
cucu dan buyut perempuannya; monografi-monografi dan cerita-cerita pembebasan
perempuan dalam pemahaman Islam, dan karya-karya kesejarahan mengenai hidup
dan masa Nabi Muhammad. Ia juga telah menulis mengenai isu-isu mutakhir di dunia
Arab, seperti tentang nilai dan otoritas masa kini sebagai warisan budaya masa
lampau, tentang bahasa Arab di dunia modern yang sedang berubah, dan tentang
dimensi-dimensi sejarah dan intelektual perjuangan orang-orang Arab melawan
imperialisme Barat dan Zionisme11.

Bukunya mengenai tafsir, al-Tafsīr al-Bayāni li al-Qur’ān Al-Karim, Vol. 1


(1962), telah dicetak ulang dua kali (1966, 1968) dan edisi bajakannya telah terbit
pula di Beirut. Vol. II kitab tafsirnya itu yang terbit pada tahun 1969, telah mendapat
sambutan yang luar biasa; dan ‘Āisyah ‘Abdurrahman diharapkan dapat melanjutkan
tafsirnya itu hingga mencakup keseluruhan Alquran, tidak hanya keempatbelas surat
pendek yang sejauh ini sudah diselesaikannya12.Karyanya, Risalah tentang Manusia:
Suatu Tinjauan Alquran, yang menggunakan metode yang sama. Diantara karya-
karyanya yang lain adalah Musykilah al-Tarāduf al-Lughawi fi Dloui al-Tafsῑri al-
Bayāni li al-Qur’āni (India New Delhi, 1964), Kitāb al-‘Arabiyah al-Akbar

10
Ibid, hal. 13
11
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 10
12
Ibid, hal. 11
(Baghdad, 1965), Qodliyyah al-‘Ijāz (Umm Durman, 1968) dan al-Qur’ān wa
Hurriyyah al-Irādah (Kuwait, 1965)13.

Secara garis besar karya-karya Bintu al-Syāthi’ berupa buku-buku yang


dipublikasikan dan kajian tentang Alquran. Dibawah ini adalah nama-buku-buku
karya Bintu al-Syāthi’14 yang dipublikasikan:

a. Al-Hayāh al-Insāniyyah ‘Inda Abī al-‘Alā (tesis pada Universitas Kairo,


1994).
b. Risālatul Ghufran li Abīal-‘Alā’ (Kairo 1950, edisi II 1962, edisi III 1963,
edisi IV 1968 dan edisi V 1969).
c. Al-Ghufran li Abīal-‘Alā’ al-Ma’arrī(disertasi Doktor tahun 1950).
d. Ardh al-Mu’jizāt, Rihlah fi Jazīrah al-‘Arab (1956).
e. Nisā al-Nabiy, (Kairo, 1961).
f. Umm al-Nabiy, (Kairo, 1961).
g. Banāt al-Nabiy, (1963).
h. Sukaynah bint al Husayn, (Kairo, 1965).
i. Bathalāt al-Karbalā’, (1965).
j. Abu al-‘Ala al-ma’arri Kairo: al-Mu’assasah al-Mishriyyah al-‘Āmmah
(1965).
k. Al-Khansā (Kairo, 1965).
l. Al-Mafhūm al-Islāmiy li Tahrir al-Mar’ah (Mathba’ah Mukhaymir, 1967).
m. Turātsuna bayna Mādhin wa Hādhirin (Kairo, 1968).
n. A’dhā al-Basyar, (Kairo, 1968).
o. Al-Ab’ād al-Tārīkhiyyah wa al-Fikriyyah li Ma’arakatinā, Kairo, 1968.
p. Lughatunā wa al-Hayāh, Kairo, 1969.
q. Ma’a al-Mushthafā fi ‘Ashr al-Mab’ats, Kairo, 1969.

13
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,al-Tafsir al-Bayani Li al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1962), hal.
9
14
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Look. Cit., hal. 10-11
r. bayn al-‘Aqīdah wa al-Ikhtiyār, Beirut, 1973.

Selanjutnya di bawah ini adalah karya judul buku Bintu al-Syāthi’ yang
berkenaan dengan kajian-kajian Alquran:

a. al-Tafsīr al-Bayāniy liy al-Qur’ān al-Karīm, vol. I, Kairo, 1962, edisi II,
1966, edisi III, 1968. Selanjutnya disebut al-Tafsīr, I.
b. al-Tafsīr al-Bayāniy liy al-Qur’ān al-Karīm, vol. II, Kairo, 1969 Selanjutnya
disebut al-Tafsīr, II.
c. Kitābunā al-Akbar, Umm Durmān, 1967.
d. Maqāl Fi al-Insān Dirāsah Qur’āniyyah, Kairo, 1969.
e. Al-Qur’ān wa al-Tafsīr al-‘Asriy, Kairo, 1970.
f. Al-I’jāz al Bayāniy li al-Qur’ān, Kairo, 1971. Selanjutnya disebut al-I’jāz.
g. Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah- Dirāsah Qur’āniyyah, Beirut, 1973.

B. Mengupas Tafsir Maqāl Fi al-InsānDirāsah Qur’āniyyah


1. Sumber Rujukan
Bintu al-Syāthi’ memang sejak kecil sampai memperoleh gelar doktornya
merupakan salah satu wanita yang gemar menulis, bahkan karya tulisnya mampu
menembus media sosial berupa majalah, didukung dengan pendamping semasa
hidupnya adalah seorang dosen dan sastrawan. Maka wajarlah ketika Bintu al-Syāthi’
mempertajam metode tafsirnya dengan rujukan pemikiran suaminya.Bukan hanya itu,
dalam beberapa kesempatan beliau mengatakan, bahwa metode dari kajian tafsirnya
tak lepas dari penerapan yang dirumuskan oleh ulama salaf15.Bintu al-Syāthi’ dalam
upaya menelaah kritik sastra, historis dan antropologis merujuk pada pengalam
Charles Darwin (1859) selama 20 tahun menelusuri spesies dan gejala biologis

Lihat Kata Pengantar dalam.‘Āisyah ‘Abdurrahmān, Manusia, SensivitasHermeneutika al-


15

Qur’an,Op. Cit., hal. vi


manusia sehingga terciptalah teori evolusi Darwin yang masyhur, demikian pula teori
materialism historis yang ditemukan oleh pengalaman Karl Marx16.

Bintu al-Syāthi’ tidak menafikan sebuah sumber rujukan metode penafsiran


Alquran kepada orang-orang yang hidup pada masa yang sezaman dengan Nabi atau
kepada kejadian-kejadian pada masa itu dijadikan sebagai data sejarah, dengan
maksud agar signifikansi religius orang-orang dan atau kejadian-kejadian tersebut
dipahami dalam konteks pesan Alquran dalam totalitasnya. Perhatian yang besar
dalam penafsiran Alquran,Bintu al-Syāthi’ melakukan telaah sebagai sumber rujukan
terhadap pandangan para mufasir masa lampau, terutama Al-Thabari, Al-
Zamakhsyari, Fakhruddin Al-Razi, Al-Raghib Al-Ishfahani, Nizhamuddin Al-
Naysaburi, Abu Hayyan Al-Andalusi, Ibn Qayyim Al-Jawziyyah, Al-Suyuthi, dan
Muhammad ‘Abduh, kerapkali dikutip untuk menunjukkan kekeliruan mereka dan
untuk menolak penjelasan-penjelasan mereka yang terlalu dibuat-buat yang tidak
mereka sepakati sendiri atau tidak sejalan dengan naskah Alquran sebagaimana ia
pahami lewat metode yang dikembangkannya17.

Bintu al-Syāthi’ dalamkesempatan lain yang lebih jarang, ia mengutip


pandangan-pandangan para musafir tersebut untuk memilih pandangan yang
tampaknya mendukung atau bersepakat dengan pemahamannya sendiri sehingga
dapat mendukung pandangannya itu. Pandangan-pandangan tersebut, entah mengenai
masalah-masalah tata bahasa serta linguistik, atau mengenai fenomena di sekitar
retorika dan gaya, atau mengenai makna kandungan Alquran, diletakkan sebagai
subjek analisis yang mendalam di bawah cahaya temuan-temuannya sendiri, yang
dihasilkan dari suatu survei dedukatif atas bahan-bahan Alquran mengenai masalah-
masalah tertentu18.

2. Metode dan Sitematika

16
Ibid, hal. vii
17
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 17
18
Ibid, hal. 18
Mengamati perjalanan hidup Bintu al-Syāthi’ dari aspek pendidikan, keilmuan
serta karya-karyanya.Beliau merupakan salah satu mufassir perempuan kontemporer
yang lebih banyak mengadopsi penafsirannya dari pemikiran Amin al-Khūlī.
Sebelum melangkah jauh tentang metode tafsir kontemporer, kita pahami terlebih
dahulu arti dari metode dan kontemporer.Metode adalah suatu cara sistematis untuk
menuju pemahaman tentang pesan Alquran dengan benar serta yang dikehendaki oleh
Allah. Sedangkan istilah kontemporer berangkat dari bahasa inggris, contemporary
yang berarti sekarang atau modern. Ungkapan kontemporer dimulai sejak adanya
kontak intelektual yaitu pada zaman pemikiran al-Thanthawi (1801-1873)dari mesir
dan Ahmad Khan (1817-1898) dari india.

Menurut Nashrudin Baidan metode tafsir adalah suatu kerangka kerja untuk
menginterpretasikan pesan-pesan Alquran, maka dari itu apabila term tersebut
digabungkan menjadi metode tafsir kontemporer setidaknya mengandung arti suatu
kajian tentang metode untuk memahami pesan Alquran secara sistematis yang
berkembang pada zaman sekarang atau modern19.Menurut al-Juwaini pemetaan
metode tafsir berdasarkan pada pendekatan yang ditekuni, yaitu: kebahasaan, rasional
dan tradisi riwayat.Berangkat dari penjelasan tersebut Bintu al-Syāthi’ menggunakan
penafsirannya dengan pendekatan rasional, tradisi riwayat serta kebahasaan. Oleh
karena itu, menurutBintu al-Syāthi’ yang dimaksud metode sastra dalam pengkajian
Alquran ada dua tahap20:

A. Kajian seputar Alquran, kajian ini meliputi kajian khusus dan umum.
Kajiankhusus adalah kajian tentang ulumul Quran dan kajian umum adalah mengenai
konteks material dan immaterial lingkungan arab.

19
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman,
(Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), hal. 43
20
http://www.pustakailmudotcom.wordpress.com/al-quran/mufassir-al-quran/aisyah-bint-al-syati.
Diunduh tanggal 30 November, 2016. Pukul 12-14.45 Wib
B. Kajian tentang Alquran sendiri, kajian ini menelaah Alquran dengan tujuan
mencari makna etimologis dan terminologis serta sirkulasi kosa kata dari makna
semantik dalam satu ayat yang di tafsirkan.

Kedua tahap kajian metode sastra Bintu al-Syāthi’diperkuat oleh metode


Amin al-Khūlī (wafat 1966) dengan sebutan al-ibtidā bi al-Qur’ān. Alhasil Bintu al-
Syāthi’mengikhtisarkan prinsip-prinsip metode itu, seperti yang ditulis Al-Khuli
dalam bukunya, Manāhij Tajdῑd (Kairo: Dar Al-Ma’rifah, 1961), ke dalam empat
butir21:

a. Basis metodenya adalah memperlakukan apa yang ingin dipahami dari


Alquran secara objektif, dan hal itu dimulai dengan pengumpulan semua surat dan
ayat mengenai topik yang ingin dipelajari. Contohnya adalah kata ‫( حل‬hillun) yang
bermakna ‫( حال ل‬halālun) terdapat empat kali yang disebutkan dalam Alquran yaitu
QS al-Māidah/05: 05, QS al-Mumtahanah/60: 10 dan QS Ali Imrān/03: 9322.
b. Untuk memahami gagasan tertentu yang terkandung di dalam Alquran,
menurut konteksnya, ayat-ayat di sekitar gagasan itu harus disusun menurut tatanan
kronologis pewahyuannya, sehingga keterangan-keterangan mengenai wahyu dan
tempat dapat diketahui. Riwayat-riwayat tradisional mengenai peristiwa pewahyuan
dipandang sebagai sesuatu yang perlu dipertimbangkan hanya sejauh dan dalam
pengertian bahwa peristiwa-peristiwa itu merupakan keterangan-keterangan
kontekstual yang berkaitan dengan pewahyuan suatu ayat, sebab peristiwa-peristiwa
itu bukanlah tujuan atau sebab sine qua non (syarat mutlak) mengapa pewahyuan
terjadi. Pentingnya pewahyuan terletak pada generalitas kata-kata yang
digunakannya, bukan pada kekhususan peristiwa pewahyuannya. Salah satu
contohnya adalah makna ‫( الحل‬al-hillu) oleh banyak mufassir diartikan dengan
mengatasi atau menghalalkan (‫ )االحال ل‬sebagai lawan dari haram (‫)االحرام‬. Pemaknaan

21
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,al-Tafsir al-Bayani Li al-Qur’an al-Karim ,Op. Cit., hal. 10-11
22
Ibid, hal. 172
kata tersebut dalam runtutan sebab turunnya dimulai dari QS al-Ra’du/13: 31, QS
Ibrahim/14: 28 dan QS Fathir/35: 3523.
c. Karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Alquran, maka
untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam Kitab Suci itu harus dicari arti
linguistis asli yang memiliki rasa kearaban dari kata tersebut dalam berbagai
penggunaan material dan figuratifnya. Dengan demikian, makna Alquran diusut
dengan cara mengumpulkan seluruh bentuk kata tersebut di dalam Alquran, dan
mempelajari konteks spesifik kata itu dalam dalam ayat-ayat dan surat-surat tertentu
serta konteks umumnya dalam Alquran secara keseluruhan.Contohnya adalah kata
aqsama (‫)اقسم‬dan yang biasanya dipandang sebagai sinonim kata tersebut, yakni
halafa, (‫)حلف‬yang artinya “bersumpah”. Melalui survei dedukatif atas seluruh tempat
dalam Alquran di mana kedua kata tersebut terdapat dalam berbagai bentuknya.Bintu
al-Syathi’ telah memperlihatkan bahwa aqsama (‫)اقسم‬digunakan untuk jenis sumpah
sejati yang tidak pernah diniatkan untuk dilanggar, sementara halafa (‫)حلف‬selalu
digunakan untuk menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar24.
d. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, naskah yang ada dalam
susunan Alquran itu dipelajari untuk mengetahui kemungkinan maksudnya. Baik
bentuk lahir maupun semangat teks itu harus diperhatikan. Apa yang telah dikatakan
oleh para mufasir, dengan demikian, diuji dalam kaitannya dengan naskah yang
sedang dipelajari, dan hanya sejalan dengan naskahlah yang diterima. Contohnya
dalam surat al-Balad/90: 03.(dan demi
bapak dan anaknya), makna wālid dan walad menurut al-Thabari dan Abū Hayyān
yang menukil dari Ibnu Abbās mengandung arti umum yaitu seluruh hewan. Sebagian
ulama termasuk Ibnu Jarīr al-Thabari menjadikan makna umum meliputi manusia,
hewan dan tumbuhan. Sedangkan pandangan Ibnu Qayyim dan al-Zamaksyari adalah

23
Ibid, hal. 172
24
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 21
makna umum untuk manusia khususnya Nabi Adam dan keturunannya bukan hewan
dan tumbuhan25.

‘Āisyah ‘Abdurrahmān dalam metodenya mewujdkan penemuan penting.


Contohnya adalah menemukan katani’mah penggunaan dalam Alquran mengacu
kepada rahmat yang diberikan Tuhan di dunia ini, sementara na’im adalah rahmat
yang diberikan Tuhan di Hari Kemudian.Bahwa penggunaan na’y dalam Alquran
selalu merujuk kepada jarak yang dikaitkan dengan permusuhan atau suasana tidak
adanya persahabatan, sementara bu’d hanya merujuk kepada jarak dalam konotasi
waktu dan tempat, bahwa hulm digunakan dalam bentuk jamaknya untuk
menunjukkan impian-impian yang membingungkan, sementara ru’yah digunakan
dalam bentuk tunggalnya untuk menunjukkan visi yang jelas dan benar26.

Penemuan tersebut berdasarkan pengamatan yang sejalan dengan pandangan-


pandangan yang yang telah berkembang lebih dulu, yang dikemukakan oleh para
filolog seperti al-Jāhiz, Abū Alī Al-Fārisī, Abū Hilāl al-Askarī, dan lain-lain, bahwa
tidak ada kata-kata yang memiliki makna yang betul-betul sama dalam bahasa
apapun. Oleh karena itu yang menjadi dasar metode tafsir ini adalah diktum yang
telah dikemukakan para mufasir klasik di masa lalu, yakni bahwa “Alquran
menjelaskan dirinya sendiri dengan dirinya sendiri” (tafsir ayat dengan ayat),
meskipun para mufasir tersebut tidak menerapkan diktum itu secara sistematis. Selain
itu, yang juga menjadi dasar metode tersebut adalah prinsip bahwa Alquran harus
dipelajari dan dipahami dalam keseluruhannya sebagai suatu kesatuan dengan
karakteristi-karakteristik ungkapan dan gaya bahasa yang khas. Terakhir, yang
menjadi dasar pula adalah penerimaan atas tatanan kronologi materi-materi Alquran,

25
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,al-Tafsir al-Bayani Li al-Qur’an al-Karim, Op. Cit., hal. 174
26
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 22
yang dapat memberi keterangan sejarah mengenai kandungan Alquran tanpa
menghilangkan keabadian nilainya27.

‘Āisyah‘Abdurrahman dalam metode ini menekankan bahwa proses dedukatif


yang digunakan untuk menemukan makna fenomena linguistik dan gaya Alquran
yang menyatu secara kronologis sebagai bagian-bagian dari suatu keseluruhan, telah
terbukti sebagai petunjuk paling memadai untuk membawa kita kepada makna
Qur’ani dari fenomena-fenomena tersebut, dan bahwa fenomena-fenomena itu secara
keseluruhan bersifat konsisten28. Misalkankutipan QSal-Nisā/04:82, “Apakah mereka
tidak memperhatikan Alquran? Jika Kitab Suci itu bukan dari sisi Allah, mereka akan
menemukan di dalamnya banyak pertentangan.” Pandangan ini tidaklah bersumber
dari kepercayaan orang Islam mengenai i’jaz(keistimewaan) Alquran, walaupun
keyakinan tersebut dapat memperkuat pandangan itu, namun bersumber dari kesatuan
bahas Arab Alquran dan konsistensinya sebagai suatu alat untuk membawa pesan
yang sangat khusus.

‘Āisyah ‘Abdurrahman merasa keberatan dan menolak, dari ungkapan bahwa


mufasir klasik tidak selamanya setuju denga sebab-sebab turunnya Alquran sehingga
terjadi perselisihan,‘Āisyah ‘Abdurrahmānmengemukakan bahwa perselisihan
pendapat mengenai “sebab-sebab pewahyuan” pada umumnya disebabkan oleh
kenyataan bahwa mereka yang hidup sezaman dengan masa diturunkannya sebuah
ayat atau surat mengasosiasikan ayat atau surat itu dengan apa yang masing-masing
mereka anggap sebagai sebabditurunkannya ayat atau surat itu. Sementara itu,
metode yang diusulkannya menolak untuk menganggap setiap peristiwa dalam asbab
al-nuzultersebut sebagai sebab atau bahkan tujuan dari turunnya wahyu, tapi sekadar
merupakan kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan itu, sehingga penekanannya
diletakkan pada universalitas makna dan bukan pada kekhususan kondisi tersebut.

27
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi islam, Op.
Cit., hal. 8
28
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 14
Selain itu, metode yang diusulkannya memperlakukan laporan-laporan tradisional
mengenai “sebab-sebab pewahyuan” dalam suatu cara yang bebas, hanya untuk
melihat dukungan apa yang mungkin diberikan oleh laporan-laporan tersebut bagi
makna-makna yang telah ditemukan tanpa bantuannya29.

Metode ‘Āisyah ‘Abdurrahmān mengakui adanya bentuk-bentuk dan


penggunaan-penggunaan bahasa Arab di luar Alquran dan menjamin bahwa hal itu
tidak berarti salah atau tak dapat diterima karena tidak digunakan Alquran atau
karena Alquran lebih memilih bentuk yang lainnya. Walaupun demikian, ia
menyatakan bahwa materi-materi tersebut harus dipergunakan dalam hubungannya
dengan materi-materi Alquran sendiri dan bahwa materi-materi tersebut sebaiknya
ditelusuri untuk mendukung pemahaman terhadap teks Alquran, betapapun
ditandaskannya bahwa Alquran memiliki ungkapan yang khas dan penggunaan-
penggunaan yang khusus tersendiri yang secara par excellence bersifat Qur’ani.
Untuk alasan ini, Bintu al-Syathi’ lebih cenderung untuk menilai unsur-unsur tata
bahasa, retorika dan gaya bahasa dalam Alquran ketimbang mengikuti aturan-aturan
buatan para ahli tata bahasa, retorika dan kritik sastra yang justru harus ditinjau
kembali, atau bahkan direvisi, di bawah petunjuk Alquran30.
Perlu diingat pula bahwa tafsir-tafsir Alquran, mulai dari karya-karya yang
ditulis paling pertama pada abad ke-20 M ini, kebanyakan mengikuti pola suatu
penafsiran Alquran secara tartil. Dalam metode yang dikembangkan oleh Bintu al-
Syathi’ ini tampak jelas kehati-hatian yang sengaja dipatok agar dapat membiarkan
Alquran berbicara sendiri mengenai dirinya sendiri, dan agar Kitab Suci itu dipahami
dalam cara-cara yang paling langsung sebagaimana orang-orang Arab pada masa
kehidupan Nabi Muhammad31.

29
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi islam ,Op.
Cit., hal. 9
30
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal.16
31
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi islam ,Op.
Cit., hal. 10
Sementara tak dapat diragukan lagi bahwa beberapa pandangannya boleh jadi
bersifat kontroversial, sangatlah jelas juga bahwa metode Bintu al-Syathi’ tersebut
merupakan suatu usaha yang berani dan memberikan angin segar dalam bidang tafsir
pada masa modern ini32.Bintu al-Syathi’ ini terdapat suatu metode tafsir modern
Alquran. Walaupun didasarkan kepada aturan-aturan penafsiran klasik yang
sayangnya tidak pernah dipraktekkan secara serius dalam usaha-usaha penafsiran
yang sistematik, metode ini telah menghadirkan suasana kesegaran baru dalam bidang
tafsir Alquran di masa modern ini.

Berangkat dari analisis metode tafsir ‘Āisyah ‘Abdurrahmān, maka dapat


ditemukan sebuah sistematika yang prosedur penafsirannya Alqur’an memiliki
persamaan dengan metode tematik. Sistematika metode tematik dapat dirinci sebagai
berikut33:

a. Menentukan bahasan Alquran yang akan diteliti secara tematik.


b. Melacak dan mengkoleksi ayat-ayat sesuai topic yang diangkat,
c. Menata ayat-ayat tersebut secara kronologis (sebab turunnya), mendahulukan
ayat makkiyah dari madaniyah, dan disertai pengetahuan tentang latar belakang
turunnya ayat.
d. Mengetahui korelasi (munāsabah) ayat-ayat tersebut.
e. Menyusun tema pembahasan dalam kerangka sistematis.
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis terkait.
g. Mempelajari ayat-ayat secara tematik dan komprehensif dengan cara
mengoleksi ayat-ayat yang memuat makna yang sama, mengkompromikan pengertian
yang umum dan khusus, muthlaq dan muqayyad, mengkorelasikan ayat-ayat yang
tampak kontradiktif, menjelaskan nāsikh dan mansūkh sehingga semuanya memadu
pada satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan dalam penafsiran.

32
Ibid, hal. 18
33
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman,
Op. Cit., hal. 56
Metode tematik dan metode-metode yang lain dalam perkembangannya
dilengkapi dengan kehadiran metode tafsir kontekstual. Menurut Noeng Muhajir,
istilah kontekstual mengandung beberapa pengertian diantaranya: pertama, sebagai
upaya pemaknaan untuk mengantisipasi persoalan yang mendesak sehingga
kontekstual identik dengan situasional; kedua, upaya pemaknaan dengan melihat
keterkaitan masa lampau, masa kini, dan masa mendatang, melihat pula dari sudut
makna historis, fungsional serta relevansi makna yang akan datang; ketiga,
mendudukan korelasi antara teks Alquran dan terapannya yang mana Alquran sebagai
sentral moralitas. Maka dari itu metode tafsir kontekstual adalah metode yang
mencoba menafsirkan Alquran dengan pertimbangan analisis bahasa, latar belakan
sejarah, sosiologi, dan antropologi serta analisis perkembangan kehidupan
masyarakat Arab pra-Islam selama proses wahyu berlangsung, bahkan subtansinya
lebih erat dengan hermeneutika yang berangkat dari kajian bahasa.

Perbedan metode tematik dengan metode kontekstual terletak pada asbāb al-
nuzūl hanya dipahami sebagai alat bantu untuk memahami kesan Alquran dalam
sejarah turunnya surat atau ayat, sementara metode kontekstual bukan hanya
mengkajiasbāb al-nuzūl, tetapi menelaah latar belakang sosiologis-antropologis
masyarakat dimana Alquran diturunkan serta mencari prinsip-prinsip atau nila-nilai
moral yang terkandung di dalam data sejarah.

3. Corak
Pada perkembangan metode tafsir dewasa ini, karya tulis ulama kontemporer,
misalkan M. Quraish Shihab menunjukan pemilahan metode tafsir empat buah, yakni;
global (ijmālῑ), analistis (tahlῑlῑ), perbandingan (muqārin) dan tematik (maudlū’ῑ),
dari keempat metode ini menurut pengamatan Quraish Shihab, yang populer adalah
analistis (tahlῑlῑ) dan tematik (maudlū’ῑ).Berdasarkan hasil orientasi ilmu tafsir dosen-
dosen IAIN se-Indonesia tahun 1989, merumuskan bahwa metode yang mengacu
pada sumber rujukan Alquran (riwāyah, dirāyah dan isyārῑ) termasuk kategori
metode klasik, sehingga ditambah satu metode yaitu kontekstual34.Metode
kontekstual adalah suatu metode menafsirkan Alquran dengan pertimbangan latar
belakang sejarah, sosologi, budaya, adat istiadat dan pranata-pranata yang berlaku
dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya Alquran.

Khazanah tafsir saat ini, lebih membuming dengan istilah kontemporer


dengan pendekatan analistis dan tematik, oleh karena itu metode tematik secara
umum meliputi dua kajian yaitu35:

1. Pembahasan yang menyangkut satu surat Alquran secara utuh dan


menyeluruh dengan menjelaskan maksud yang umum serta spesifik, menerangkan
kaitan antara persoalan yang dimuatnya sehingga surat itu tampak dalam bentuk yang
utuh.
2. Mengoleksi sejumlah ayat dari berbagai surat yang membahas satu persoalan
tertentu yang sama, kemudian ayat tersebut ditata sedemikian rupa dan diletakan di
bawah satu topik pembahasan, yang selanjutnya ditafsirkan secara tematik.

Bagi Bintu al-Syāthī’, tafsir bayāni (sastra) merupakan suatu usaha yang tidak
dilarang untuk merealisasikan tujuan yang ingin dicapai.Dalam hal ini beliau banyak
berpedoman terhadap kitab-kitab tafsir yang konsentrasi pada bidang balaghah
Alquran36.Analisis sastra kontekstual (al-tafsῑral-adabial-ijtimāi’) Amīn al-Khūlī
adalah sebagai bentuk upaya melampaui kajian filologi yang sudah mentradisi,
sebenarnya pendekatan ini disebut analisis semantis terhadap Alquran, yakni suatu
studi kajian atau analisis makna berbagai perspektif yang mengkristal dalam kata-kata
atau mencoba menguaraikan kategori semantik menurut kondisi penggunaan data

34
Ibid, hal. 45
35
Ibid, hal. 54
36
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Op. Cit., hal. 47
tersebut. Metode aplikasi analisis semantis ini, secara singkat dapat diilustrasikan
menjadi37:
a. Mengumpulkan term yang sama.
b. Menghubungkan semua istilah yang serupa.
c. Membandingkan dan melawankan.
d. Menghubungkan satu sama lain.
Berawal dari pengalaman menulis di berbagai majalah yang didukung oleh keilmuan
dan pendidikan serta sosok suami yang berpengaruh terhadap problematika
penafsiran, Bintu al-Syāthī’ adalah sosok mufasir perempuan yang melakukan
penelaahan terhadap Alquran dengan pendekatan analistis, tematik, linguistik, sejarah
dan kontekstual.Sehingga Bintu al-Syāthī’ mampu menorehkan pemikirannya dengan
karya kitab-kitab yang menjadi inspirasi terhadap dunia tafsir.Maqāl Fi al-Insān
Dirāsah Qur’āniyyah adalah salah satu kitab tafsir Bintu al-Syāthī’, yang mana
merupakan karya tafsir dengan pendekatan sastra (bayāni), tematik (maudlū’ῑ) serta
analisis sastra kontekstual (al-tafsῑral-adabial-ijtimāi’).

37
Aan Radiana dan Abdul Munir, Analisis Linguistik dalam Penafsiran al-Qur’an: al-Hikmah Jurnal
Studi-Studi Islam, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1996), vol.7, hal. 16

Anda mungkin juga menyukai