1
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi
islam(Bandung: Yayasan Muthahhari, 1991), hal. 5
2
‘Āisyah ‘Abdurrahmān, Maqāl fi al-Insān, Dirāsah Qur’āniyyah (Kairo: Darul Ma’arif, 1969), Cet
ke-2, hal. 7
3
Http://Menantikau.Wordpress.com/Kumpulan-Makalah/Tafsir-Alquran/Tafsir-Kontemporer/Bintu-
Syathi. Diunduh Tanggal 14 November, 2016. Pukul 22.33. 49 Wib.
pemikiran sosial, ia pun pengajar pada fakultas Adab di Kairo dan fakultas Tarbiyah
Putri di al-Azhār4.
Ayah Bintu al-Syāthi’, Abdurrahmān adalah seorang guru teologi di
daerahnya.Kecintaan Bintu al-Syāthi’ terlihat dari usia lima tahun dengan
mempelajari ilmu-ilmu keislaman seperti; belajar membaca dan menulis tulisan Arab,
gramatika bahasa Arab serta menyelesaikan hafalan Alquran, kemudian setelah
selesai madrasah Ta’līmiyyah, Thanta tahun 1928 untuk hijrah ke kota Kairo.Pada
awalnya ‘Āisyah tidak dibolehkan oleh ayahnya untuk melanjutkan ke tingkat
pendidikan formal, namun berkat jasa ibu serta kakeknya ‘Āisyah dapat melanjutkan
pendidikanya tanpa sepengetahuan ayahnya. Pada tahun 1936 M.,
‘Āisyahmelanjutkan di Fakultas Sastra, Kairo dan lulus tahun 1939 M. dengan meraih
gelar Lc. ‘Āisyah meraih gelar Master pada tahun 1941 M. serta menyelesaikan
program doktornya tahun 1950 M5.
Selain dalam bidang sastra Arab, ‘Āisyah juga mempunyai bakat dalam dunia
jurnalistik terlihat dengan karyanya menerbitkan majalah al-Nahdah an-
Nisā’iyyah pada 1933, dimana ia bertindak sebagai redakturnya.Kecintaan ‘Āisyah
Bintu Syathi’ dalam kajian tafsir Alquran diawali sejak pertemuannya dengan Prof.
Amīn Al-Khūlī di sebuah Unversitas di Kairo Mesir. ‘Āisyah sangat terpengaruh
oleh gaya dari sang guru yang juga menjadi suaminya.
4
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an (diterjemahkan oleh: Aunur Rafiq el-Mazni,
Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2013), cet ke-8, hal. 466
5
Http://Menantikau.Wordpress.com/Kumpulan-Makalah/Tafsir-Alquran/Tafsir-Kontemporer/Bintu-
Syathi. Diunduh Tanggal 14 November, 2016. Pukul 22:36:44 Wib
pada tahun 1941 M. serta menyelesaikan program doktornya tahun 1950 M, dengan
disertasi Risālatul Ghufrān Li Abī al-‘Alā’, yang mana meraih predikat cumlaude.
Setelah ia menyelesaikan akademiknya, ia lantas tidak meninggalkan dunia
pendidikan, ia menjadi guru besar bahasa serta sastra arab di Universitas ‘Ain al-
Syams Mesir, serta guru besar tamu di Universitas Qarawiyyīn6.
6
Http://Menantikau.Wordpress.com/Kumpulan-Makalah/Tafsir-Alquran/Tafsir-Kontemporer/Bintu-
Syathi. Diunduh Tanggal 14 November, 2016. Pukul 22:37:01 Wib
7
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, (diterjemahkan oleh: Mudzakir Abdussalam,
Bandung: Mizan, 1996), hal. 9
‘Āisyah ‘AbdurrahmānMempunyai pandangan dan sikap yang konservatif, ia
memiliki semua daya tarik seorang perempuan Arab modern yang berbudaya, yang
harus diperhitungkan, dan dicirikan oleh kemampuan pengungkapan diri yang kuat
dan artikulatif, yang diilhami oleh nilai-nilai Islam dan informasi pengetahuan yang
meluap8.Dalam usahanya untuk menyingkirkan unsur-unsur luar dan asing dalam
pemahamannya atas Alquran, dalam kitab tafsirnya, ‘Āisyah ‘Abdurrahmān menolak
untuk terlibat dalam pembahasan-pembahasan mendetail mengenai materi-materi
yang berhubungan dengan Kitab Injil dan rekaman-rekaman Arab serta non-Arab
yang bersifat mistis atau historis, jika di dalam Alquran terdapat rujukan kepada
materi-materi atau rekaman-rekaman tersebut.
8
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi islam, Op.
Cit., hal. 6
9
Ibid, hal. 11
Bintu al-Syathi’ tidak saja mengkritik kesengajaannya untuk memasukkan
bahan-bahan asing, apa yang disebut ilmiah, dan materi-materi Isra’iliyyat untuk
memahami Alquran, tapi juga mempertanyakan pengetahuannya mengenai bahasa
Arab dan ilmu-ilmu keislaman dalam konteks kajian-kajian Alquran, dan di sana-sini
mengecam pendapat-pendapat pribadinya yang tidak didasarkan kepada argumen
yang kuat yang dengan seenaknya disebarluaskan.
4. Karya-Karya
Kajian-kajiannya yang telah dipublikasikan meliputi studinya mengenai Abu
Al-‘Ala’ Al-Ma’arri, Al-Khansa’, dan penyair-penyair atau penulis-penulis lain;
biografi ibunda Nabi Muhammad, isteri-isteri beliau, anak-anak perempuannya, serta
cucu dan buyut perempuannya; monografi-monografi dan cerita-cerita pembebasan
perempuan dalam pemahaman Islam, dan karya-karya kesejarahan mengenai hidup
dan masa Nabi Muhammad. Ia juga telah menulis mengenai isu-isu mutakhir di dunia
Arab, seperti tentang nilai dan otoritas masa kini sebagai warisan budaya masa
lampau, tentang bahasa Arab di dunia modern yang sedang berubah, dan tentang
dimensi-dimensi sejarah dan intelektual perjuangan orang-orang Arab melawan
imperialisme Barat dan Zionisme11.
10
Ibid, hal. 13
11
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 10
12
Ibid, hal. 11
(Baghdad, 1965), Qodliyyah al-‘Ijāz (Umm Durman, 1968) dan al-Qur’ān wa
Hurriyyah al-Irādah (Kuwait, 1965)13.
13
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,al-Tafsir al-Bayani Li al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1962), hal.
9
14
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Look. Cit., hal. 10-11
r. bayn al-‘Aqīdah wa al-Ikhtiyār, Beirut, 1973.
Selanjutnya di bawah ini adalah karya judul buku Bintu al-Syāthi’ yang
berkenaan dengan kajian-kajian Alquran:
a. al-Tafsīr al-Bayāniy liy al-Qur’ān al-Karīm, vol. I, Kairo, 1962, edisi II,
1966, edisi III, 1968. Selanjutnya disebut al-Tafsīr, I.
b. al-Tafsīr al-Bayāniy liy al-Qur’ān al-Karīm, vol. II, Kairo, 1969 Selanjutnya
disebut al-Tafsīr, II.
c. Kitābunā al-Akbar, Umm Durmān, 1967.
d. Maqāl Fi al-Insān Dirāsah Qur’āniyyah, Kairo, 1969.
e. Al-Qur’ān wa al-Tafsīr al-‘Asriy, Kairo, 1970.
f. Al-I’jāz al Bayāniy li al-Qur’ān, Kairo, 1971. Selanjutnya disebut al-I’jāz.
g. Al-Syakhshiyyah al-Islāmiyyah- Dirāsah Qur’āniyyah, Beirut, 1973.
16
Ibid, hal. vii
17
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 17
18
Ibid, hal. 18
Mengamati perjalanan hidup Bintu al-Syāthi’ dari aspek pendidikan, keilmuan
serta karya-karyanya.Beliau merupakan salah satu mufassir perempuan kontemporer
yang lebih banyak mengadopsi penafsirannya dari pemikiran Amin al-Khūlī.
Sebelum melangkah jauh tentang metode tafsir kontemporer, kita pahami terlebih
dahulu arti dari metode dan kontemporer.Metode adalah suatu cara sistematis untuk
menuju pemahaman tentang pesan Alquran dengan benar serta yang dikehendaki oleh
Allah. Sedangkan istilah kontemporer berangkat dari bahasa inggris, contemporary
yang berarti sekarang atau modern. Ungkapan kontemporer dimulai sejak adanya
kontak intelektual yaitu pada zaman pemikiran al-Thanthawi (1801-1873)dari mesir
dan Ahmad Khan (1817-1898) dari india.
Menurut Nashrudin Baidan metode tafsir adalah suatu kerangka kerja untuk
menginterpretasikan pesan-pesan Alquran, maka dari itu apabila term tersebut
digabungkan menjadi metode tafsir kontemporer setidaknya mengandung arti suatu
kajian tentang metode untuk memahami pesan Alquran secara sistematis yang
berkembang pada zaman sekarang atau modern19.Menurut al-Juwaini pemetaan
metode tafsir berdasarkan pada pendekatan yang ditekuni, yaitu: kebahasaan, rasional
dan tradisi riwayat.Berangkat dari penjelasan tersebut Bintu al-Syāthi’ menggunakan
penafsirannya dengan pendekatan rasional, tradisi riwayat serta kebahasaan. Oleh
karena itu, menurutBintu al-Syāthi’ yang dimaksud metode sastra dalam pengkajian
Alquran ada dua tahap20:
A. Kajian seputar Alquran, kajian ini meliputi kajian khusus dan umum.
Kajiankhusus adalah kajian tentang ulumul Quran dan kajian umum adalah mengenai
konteks material dan immaterial lingkungan arab.
19
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman,
(Jakarta: Sulthan Thaha Press, 2007), hal. 43
20
http://www.pustakailmudotcom.wordpress.com/al-quran/mufassir-al-quran/aisyah-bint-al-syati.
Diunduh tanggal 30 November, 2016. Pukul 12-14.45 Wib
B. Kajian tentang Alquran sendiri, kajian ini menelaah Alquran dengan tujuan
mencari makna etimologis dan terminologis serta sirkulasi kosa kata dari makna
semantik dalam satu ayat yang di tafsirkan.
21
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,al-Tafsir al-Bayani Li al-Qur’an al-Karim ,Op. Cit., hal. 10-11
22
Ibid, hal. 172
kata tersebut dalam runtutan sebab turunnya dimulai dari QS al-Ra’du/13: 31, QS
Ibrahim/14: 28 dan QS Fathir/35: 3523.
c. Karena bahasa Arab adalah bahasa yang digunakan dalam Alquran, maka
untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam Kitab Suci itu harus dicari arti
linguistis asli yang memiliki rasa kearaban dari kata tersebut dalam berbagai
penggunaan material dan figuratifnya. Dengan demikian, makna Alquran diusut
dengan cara mengumpulkan seluruh bentuk kata tersebut di dalam Alquran, dan
mempelajari konteks spesifik kata itu dalam dalam ayat-ayat dan surat-surat tertentu
serta konteks umumnya dalam Alquran secara keseluruhan.Contohnya adalah kata
aqsama ()اقسمdan yang biasanya dipandang sebagai sinonim kata tersebut, yakni
halafa, ()حلفyang artinya “bersumpah”. Melalui survei dedukatif atas seluruh tempat
dalam Alquran di mana kedua kata tersebut terdapat dalam berbagai bentuknya.Bintu
al-Syathi’ telah memperlihatkan bahwa aqsama ()اقسمdigunakan untuk jenis sumpah
sejati yang tidak pernah diniatkan untuk dilanggar, sementara halafa ()حلفselalu
digunakan untuk menunjukkan sumpah palsu yang selalu dilanggar24.
d. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, naskah yang ada dalam
susunan Alquran itu dipelajari untuk mengetahui kemungkinan maksudnya. Baik
bentuk lahir maupun semangat teks itu harus diperhatikan. Apa yang telah dikatakan
oleh para mufasir, dengan demikian, diuji dalam kaitannya dengan naskah yang
sedang dipelajari, dan hanya sejalan dengan naskahlah yang diterima. Contohnya
dalam surat al-Balad/90: 03.(dan demi
bapak dan anaknya), makna wālid dan walad menurut al-Thabari dan Abū Hayyān
yang menukil dari Ibnu Abbās mengandung arti umum yaitu seluruh hewan. Sebagian
ulama termasuk Ibnu Jarīr al-Thabari menjadikan makna umum meliputi manusia,
hewan dan tumbuhan. Sedangkan pandangan Ibnu Qayyim dan al-Zamaksyari adalah
23
Ibid, hal. 172
24
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 21
makna umum untuk manusia khususnya Nabi Adam dan keturunannya bukan hewan
dan tumbuhan25.
25
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,al-Tafsir al-Bayani Li al-Qur’an al-Karim, Op. Cit., hal. 174
26
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 22
yang dapat memberi keterangan sejarah mengenai kandungan Alquran tanpa
menghilangkan keabadian nilainya27.
27
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi islam, Op.
Cit., hal. 8
28
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal. 14
Selain itu, metode yang diusulkannya memperlakukan laporan-laporan tradisional
mengenai “sebab-sebab pewahyuan” dalam suatu cara yang bebas, hanya untuk
melihat dukungan apa yang mungkin diberikan oleh laporan-laporan tersebut bagi
makna-makna yang telah ditemukan tanpa bantuannya29.
29
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi islam ,Op.
Cit., hal. 9
30
‘Āisyah ‘Abdurrahmān,Tafsir Bintu al-Syāthῑ’, Op. Cit., hal.16
31
Issa J. Boullata, Tafsir Alquran Modern Bintu al-Syāthῑ’: al-Hikmah Jurnal Studi-Studi islam ,Op.
Cit., hal. 10
Sementara tak dapat diragukan lagi bahwa beberapa pandangannya boleh jadi
bersifat kontroversial, sangatlah jelas juga bahwa metode Bintu al-Syathi’ tersebut
merupakan suatu usaha yang berani dan memberikan angin segar dalam bidang tafsir
pada masa modern ini32.Bintu al-Syathi’ ini terdapat suatu metode tafsir modern
Alquran. Walaupun didasarkan kepada aturan-aturan penafsiran klasik yang
sayangnya tidak pernah dipraktekkan secara serius dalam usaha-usaha penafsiran
yang sistematik, metode ini telah menghadirkan suasana kesegaran baru dalam bidang
tafsir Alquran di masa modern ini.
32
Ibid, hal. 18
33
Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Quran Kontemporer dalam Pandangan Fazlur Rahman,
Op. Cit., hal. 56
Metode tematik dan metode-metode yang lain dalam perkembangannya
dilengkapi dengan kehadiran metode tafsir kontekstual. Menurut Noeng Muhajir,
istilah kontekstual mengandung beberapa pengertian diantaranya: pertama, sebagai
upaya pemaknaan untuk mengantisipasi persoalan yang mendesak sehingga
kontekstual identik dengan situasional; kedua, upaya pemaknaan dengan melihat
keterkaitan masa lampau, masa kini, dan masa mendatang, melihat pula dari sudut
makna historis, fungsional serta relevansi makna yang akan datang; ketiga,
mendudukan korelasi antara teks Alquran dan terapannya yang mana Alquran sebagai
sentral moralitas. Maka dari itu metode tafsir kontekstual adalah metode yang
mencoba menafsirkan Alquran dengan pertimbangan analisis bahasa, latar belakan
sejarah, sosiologi, dan antropologi serta analisis perkembangan kehidupan
masyarakat Arab pra-Islam selama proses wahyu berlangsung, bahkan subtansinya
lebih erat dengan hermeneutika yang berangkat dari kajian bahasa.
Perbedan metode tematik dengan metode kontekstual terletak pada asbāb al-
nuzūl hanya dipahami sebagai alat bantu untuk memahami kesan Alquran dalam
sejarah turunnya surat atau ayat, sementara metode kontekstual bukan hanya
mengkajiasbāb al-nuzūl, tetapi menelaah latar belakang sosiologis-antropologis
masyarakat dimana Alquran diturunkan serta mencari prinsip-prinsip atau nila-nilai
moral yang terkandung di dalam data sejarah.
3. Corak
Pada perkembangan metode tafsir dewasa ini, karya tulis ulama kontemporer,
misalkan M. Quraish Shihab menunjukan pemilahan metode tafsir empat buah, yakni;
global (ijmālῑ), analistis (tahlῑlῑ), perbandingan (muqārin) dan tematik (maudlū’ῑ),
dari keempat metode ini menurut pengamatan Quraish Shihab, yang populer adalah
analistis (tahlῑlῑ) dan tematik (maudlū’ῑ).Berdasarkan hasil orientasi ilmu tafsir dosen-
dosen IAIN se-Indonesia tahun 1989, merumuskan bahwa metode yang mengacu
pada sumber rujukan Alquran (riwāyah, dirāyah dan isyārῑ) termasuk kategori
metode klasik, sehingga ditambah satu metode yaitu kontekstual34.Metode
kontekstual adalah suatu metode menafsirkan Alquran dengan pertimbangan latar
belakang sejarah, sosologi, budaya, adat istiadat dan pranata-pranata yang berlaku
dan berkembang dalam masyarakat Arab sebelum dan sesudah turunnya Alquran.
Bagi Bintu al-Syāthī’, tafsir bayāni (sastra) merupakan suatu usaha yang tidak
dilarang untuk merealisasikan tujuan yang ingin dicapai.Dalam hal ini beliau banyak
berpedoman terhadap kitab-kitab tafsir yang konsentrasi pada bidang balaghah
Alquran36.Analisis sastra kontekstual (al-tafsῑral-adabial-ijtimāi’) Amīn al-Khūlī
adalah sebagai bentuk upaya melampaui kajian filologi yang sudah mentradisi,
sebenarnya pendekatan ini disebut analisis semantis terhadap Alquran, yakni suatu
studi kajian atau analisis makna berbagai perspektif yang mengkristal dalam kata-kata
atau mencoba menguaraikan kategori semantik menurut kondisi penggunaan data
34
Ibid, hal. 45
35
Ibid, hal. 54
36
Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an, Op. Cit., hal. 47
tersebut. Metode aplikasi analisis semantis ini, secara singkat dapat diilustrasikan
menjadi37:
a. Mengumpulkan term yang sama.
b. Menghubungkan semua istilah yang serupa.
c. Membandingkan dan melawankan.
d. Menghubungkan satu sama lain.
Berawal dari pengalaman menulis di berbagai majalah yang didukung oleh keilmuan
dan pendidikan serta sosok suami yang berpengaruh terhadap problematika
penafsiran, Bintu al-Syāthī’ adalah sosok mufasir perempuan yang melakukan
penelaahan terhadap Alquran dengan pendekatan analistis, tematik, linguistik, sejarah
dan kontekstual.Sehingga Bintu al-Syāthī’ mampu menorehkan pemikirannya dengan
karya kitab-kitab yang menjadi inspirasi terhadap dunia tafsir.Maqāl Fi al-Insān
Dirāsah Qur’āniyyah adalah salah satu kitab tafsir Bintu al-Syāthī’, yang mana
merupakan karya tafsir dengan pendekatan sastra (bayāni), tematik (maudlū’ῑ) serta
analisis sastra kontekstual (al-tafsῑral-adabial-ijtimāi’).
37
Aan Radiana dan Abdul Munir, Analisis Linguistik dalam Penafsiran al-Qur’an: al-Hikmah Jurnal
Studi-Studi Islam, (Bandung: Yayasan Muthahhari, 1996), vol.7, hal. 16