Anda di halaman 1dari 17

JEJAK NUSANTARA

Volume 03 Agustus 2015

Politik Kesehatan Masyarakat


di Indonesia Setelah Kemerdekaan
Baha` Uddin
Pengajar, Universitas Gadjah Mada

Abstract
This article seeks to explain that in the field of health policy applied post-independence
Indonesia is always influenced by social, economic, and political. At the beginning of
independence, Sukarno government is still looking for a proper concept of health policy
for the people of Indonesia amid economic limitations of foreign exchange, socio-
political dynamics, as well as the release of Indonesian action of the United Nation
membership. In the New Order era many measures taken to build infrastructure and
to continue the concept of health policies that have been built in an earlier era with
the main purpose of expanding access to the Indonesian people in various areas of the
health service. While the Reformasi era, health policy does not stand alone but become
part of the development of human resources which refers to the Human Development
Index. Decentralization as one of the spirit of reform also occurred in the health field
that gives more powers to the regions to improve public health.

Keywords: health policy, public health, Indonesia, New Order, Reformation era.

T
ulisan singkat ini menggam- dengan segala fungsi dan perangkatnya
barkan tentang kebijakan memandang dan menerapkan kebijakan
kesehatan yang diterapkan kesehatan yang sesuai bagi masyarakat.
Pemerintah Indonesia dalam
Tujuan utama pemerintah dalam
upaya membangun kesehatan masyarakat
kebijakan bidang kesehatan adalah
sejak kemerdekaan hingga kini. Pada era
meningkatkan kualitas kesehatan
Sukarno, kebijakan kesehatan merupakan
masyarakat. Keberhasilan tujuan ini
bagian penting pemerintahannya karena
sangat dipengaruhi oleh penentuan pilihan
dalam kurun itu proses dekolonisasi dan
kebijakan kesehatan yang diambil dan
modernisasi dalam wacana kebijakan
diterapkannya. Selain masalah kesehatan
kesehatan menguat. Dalam hal ini,
itu sendiri, suatu kebijakan kesehatan
dekolonisasi dan modernisasi bisa
pemerintah juga dipengaruhi oleh kondisi
dipahami sebagai kebijakan kesehatan
sosial, ekonomi, dan politik yang sedang
yang antikolonial seiring dengan semakin
berkembang. Bahkan juga dipengaruhi oleh
menguatnya peran dan struktur negara
kondisi ekonomi dan politik internasional
(Vickers 2005). Intinya, bagaimana negara

146
Politik Kesehatan Masyarakat di INdonesia Setelah Kemerdekaan 146 - 162

yang tidak bisa dihindari oleh pemerintah. mencapai tujuan.


Hal itu pula yang dialami Pemerintah
Menurut Trisnantoro (2004), kebijakan
Republik Indonesia saat merumuskan
kesehatan diasumsikan untuk merangkum
politik kesehatan sejak kemerdekaan. Akan
segala arah tindakan (dan pelaksanaan)
dibahas pengaruh kondisi sosial, ekonomi,
yang mempengaruhi tatanan kelembagaan,
dan politik (internal dan eksternal) negara
organisasi, layanan dan aturan pembiayaan
pada kebijakan kesehatan masyarakat di
dalam sistem kesehatan. Kebijakan ini
Indonesia.
mencakup sektor publik (pemerintah)
KERANGKA KONSEPTUAL sekaligus sektor swasta. Berhubung
kesehatan dipengaruhi oleh banyak
Menurut Ruwaard (1994), konsep faktor penentu di luar sistem kesehatan,
kebijakan kesehatan dipahami sebagai para pengkaji kebijakan kesehatan juga
tindakan pemerintah atau pihak lain yang menaruh perhatian terhadap segala
bertujuan memelihara dan meningkatkan tindakan dan rencana tindakan organisasi
kondisi kesehatan masyarakat dalam suatu di luar sistem kesehatan yang berdampak
negara. Lebih khusus, kebijakan kesehatan pada kesehatan. Menurut Walt (1994),
dapat dilihat sebagai health care policy, kebijakan kesehatan serupa dengan politik
prevention policy, dan intersectoral dan segala penawaran terbuka kepada
policy. Sementara itu, konsep pelayanan orang yang berpengaruh pada penyusunan
kesehatan merupakan bagian dari sistem kebijakan, bagaimana mereka mengolah
kesehatan (Azwar 1996: 17). Dalam pengaruh tersebut, dan dengan persyaratan
sistem kesehatan terdapat banyak unsur apa. Aspek kebijakan kesehatan pemerintah
yang saling berhubungan dan saling Indonesia sejak kemerdekaan—sejalan
pengaruh. Terkait hal itu terdapat dua dengan pendapat Trisnantoro dan Walt—
pendapat; pertama sistem kesehatan sangat dipengaruhi oleh kondisi dan arah
dipandang sebagai upaya menghasilkan politik negara. Artinya haluan politik
pelayanan kesehatan, sedangkan pendapat pemerintah yang sedang berkuasa sangat
kedua melihat sistem kesehatan sebagai menentukan terhadap kebijakan dan
upaya menyelesaikan masalah. penerapan kesehatan masyarakat.
Pendapat pertama lebih relevan
MENCARI ARAH KEBIJAKAN
untuk melihat masalah kesehatan pada
masa kolonial. Dalam hal ini, sistem KESEHATAN MASYARAKAT DI
kesehatan meliputi tiga elemen yaitu input INDONESIA
(sumber, tata cara dan kesanggupan),
Pada 8 Maret 1942, Jepang mengambil
process (perencanaan, pengorganisasian,
alih kekuasaan pemerintahan di Indonesia
pelaksanaan dan penilaian), output
dari tangan pemerintah kolonial Belanda.
(pelayanan kesehatan yang dimanfaatkan
Semua organisasi politik dan lembaga
oleh masyarakat). Sebagai sebuah sifat
yang merupakan bentukan pemerintahan
dari sistem maka untuk menghasilkan
kolonial Belanda dibubarkan dan Jepang
sebuah kebijakan ketiga elemen tersebut
mulai membangun organisasi dan lembaga
harus dirangkai membentuk satu kesatuan
yang baru. Pola sentralisasi kesehatan
dan secara bersama-sama berfungsi

147
JEJAK NUSANTARA
Volume 03 Agustus 2015

mulai terbentuk dengan mengambil alih Indonesia. Kementerian Kesehatan pada


semua fasilitas kesehatan oleh Eiseikyoku pemerintahan Belanda telah meninggalkan
(Dinas Kesehatan), wewenang dan beberapa rumah sakit dan balai pengobatan
kewajiban yang pada pemerintahan umum ataupun khusus sebagai upaya
Belanda dibagi berdasarkan tanggung kuratif. Sementara upaya preventif
jawab pemerintah dan swasta. diusahakan secara terpisah melalui
berbagai lembaga ilmiah kesehatan serta
Kesehatan masyarakat Indonesia pada
lembaga pemberantasan penyakit menular
masa pendudukan Jepang secara umum
dan penyakit rakyat. Pemerintah pada
dapat dikatakan mengalami kemunduran
saat itu lebih banyak mengurusi balai
dibandingkan pada masa pemerintah
pengobatan khusus yang diperuntukkan
kolonial Belanda. Penurunan kualitas
bagi penderita TBC (tuberkulose), kusta
kesehatan masyarakat itu disebabkan
dan jiwa serta lembaga upaya preventif.
oleh beberapa hal antara lain rusaknya
infrastruktur kesehatan akibat peperangan, Segera setelah penyerahan kedaulatan
beralihnya fungsi lembaga kesehatan, tersebut, disusun suatu organisasi
dan memburuknya kesehatan akibat Kementerian Kesehatan yang baru,
kekurangan pangan. dipimpin J. Leimena sebagai menteri
pertama. Namun, seirama dengan situasi
Sementara pengembangan sistem
politik pada saat itu yang menerapkan
kesehatan masyarakat dapat dikatakan
kabinet parlementer, Kementerian
terhenti pada masa pendudukan tersebut.
Kesehatan Indonesia berpindah tangan
Untuk keperluan perang, peralatan dan
berkali-kali. Akibat lain penyerahan
obat-obatan yang dimiliki oleh rumah
kedaulatan adalah kekosongan pada semua
sakit diambil alih oleh pemerintah militer
struktur kesehatan yang sebelumnya
Jepang. Semua program pembasmian
diisi oleh orang-orang Belanda. Tenaga
penyakit rakyat yang dilaksanakan pada
kesehatan Indonesia yang sangat sedikit
masa pemerintah kolonial Belanda juga
mengakibatkan seluruh struktur kesehatan
terhenti pada periode ini. Akibatnya,
tersebut diambil alih oleh pemerintah
tindakan kesehatan yang dilakukan oleh
(Satrio 1980: 45).
dokter pribumi menggunakan peralatan
dan obat-obatan darurat. Setelah itu, Kementerian Kesehatan
baru bisa melakukan pendataan sumber
Antara 1945–50 tidak banyak kebijakan
daya dalam bidang kesehatan yang
kesehatan yang bisa diambil pemerintah
dimiliki Indonesia. Menurut catatan
Indonesia karena situasi revolusi.
Kementerian Kesehatan, pada 1950,
Kebijakan kesehatan periode ini terbatas
pemerintah Indonesia hanya memiliki
pada upaya darurat untuk mendukung
1200 dokter, 150 dokter gigi, 80 apoteker,
perang. Kedaulatan Republik Indonesia
650 asisten apoteker, 1.446 bidan, 3.500
baru diakui oleh Belanda pada 1949.
perawat, dan 30 analis. Jumlah tenaga
Dengan terbentuknya Republik Indonesia
medis dan paramedis itu untuk melayani
Serikat (RIS) tongkat pemerintahan
seluruh rakyat Indonesia yang pada waktu
diserahkan pemerintah Belanda kepada
itu diperkirakan berjumlah sekitar 70
pemerintahan RIS. Inilah awal dari
juta jiwa. Pada 1954 terjadi peningkatan
pembangunan sistem kesehatan nasional

148
Politik Kesehatan Masyarakat di INdonesia Setelah Kemerdekaan 146 - 162

jumlah tenaga medis dan paramedis nasional di bidang kesehatan yang pada
menjadi 1.504 dokter, 260 dokter gigi, 108 waktu itu berpengaruh besar. Upaya
apoteker, 1.074 asisten apoteker, 1.838 pemimpin nasional dalam melakukan
bidan, 6.727 perawat dan 64 orang analis colonial counterpart sangat jelas terlihat
(Berita Kementerian Kesehatan Republik dalam pemikiran Leimina dan Raden
Indonesia, No. I/1956: 8). Mochtar mengenai konsep rural health
atau kesehatan masyarakat.
Dalam infrastruktur kesehatan,
hingga 1950 Pemerintah Indonesia hanya Untuk mencari kebijakan kesehatan
memiliki 69 rumah sakit di seluruh yang tepat, diadakan Konferensi
wilayah Indonesia, dengan perincian Dinas Kesehatan se-Indonesia pada
10 buah rumah sakit umum yang baru 1951. Konferensi itu bertujuan utama
dibangun, 24 rumah sakit umum lama menyusun kebijakan kesehatan nasional
yang diperluas, 13 rumah sakit khusus yang antara lain mencakup berbagai
yang baru dibangun, dan 22 rumah sakit permasalahan kesehatan yang sedang
khusus lama yang diperluas. Pada 1953 dihadapi pemerintah pada saat itu yaitu
terdapat tiga golongan rumah sakit umum pemberantasan penyakit menular (cacar,
yaitu 412 rumah sakit umum dan khusus framboesia, pes, malaria, kusta, kelamin,
milik pemerintah (kapasitas 35.016 tuberkulose) dan upaya-upaya di bidang
tempat tidur), 123 rumah sakit umum kesehatan rakyat (perbaikan gizi,
dan khusus milik swasta yang dikelola penyuluhan kesehatan, dan kesehatan ibu
oleh pemerintah (kapasitas 11.190 tempat dan anak). Dalam rangka penyelenggaraan
tidur) , dan 145 rumah sakit umum dan kegiatan ini, pemerintah Indonesia
khusus yang dimiliki dan dikelola oleh mendapatkan bantuan dana dari lembaga-
swasta (kapasitas 16.222 tempat tidur). lembaga internasional seperti WHO,
Dengan demikian pada 1953 di Indonesia FAO, UNESCO, UNICEF dan USAID
terdapat 680 rumah sakit berkapasitas (Sihombing 2007: 95).
62.428 tempat tidur; berarti 8 tempat tidur
Johannes Leimena1 dan Patah
di rumah sakit untuk 10.000 penduduk
mencetuskan gagasan sistem pelayanan
di Indonesia. Pada 1959 jumlah rumah
sakit meningkat menjadi 620 rumah sakit
1
Johannes Leimena memiliki karir birokrasi pan-
jang dalam bidang kesehatan pada era Presiden Su-
umum (milik pemerintah dan swasta) karno, antara lain pernah menjabat sebagai Wakil
dengan kapastas 55.568 tempat tidur dan Menteri Kesehatan Kabinet Sjahrir III (2 Oktober
1946–27 Juni 1947), Menteri Kesehatan Kabi-
220 rumah sakit khusus (milik pemerintah net Amir Sjarifuddin I (3 Juli 1947–11 November
dan swasta) dengan kapasitas 19.080 1947), Menteri Kesehatan Kabinet Amir Sjarifud-
din II (11 November 1947–29 Januari 1948), Men-
tempat tidur (Leimena 1955: 31). teri Kesehatan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948–4
Agustus 1949), Menteri Kesehatan Kabinet Repub-
Setelah 1950-an, pemikiran kebijakan lik Indonesia Serikat (20 Desember 1949–6 Sep-
yang muncul adalah bagaimana sistem tember 1950), Menteri Kesehatan Kabinet Natsir
(6 September 1950–20 Maret 1951), Menteri Kes-
kesehatan yang ideal dan fungsi negara ehatan Kabinet Sukiman-Suwirjo (27 April 1951–3
dalam memelihara dan meningkatkan April 1952), Menteri Kesehatan Kabinet Wilopo (3
April 1952–30 Juli 1953) dan Menteri Kesehatan
kesehatan masyarakat. Wacana kebijakan Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955–
kesehatan pada periode ini dapat dilihat 24 Maret 1956).
dari pemikiran para tokoh pemimpin

149
JEJAK NUSANTARA
Volume 03 Agustus 2015

kesehatan di tingkat primer yang terkenal ke berbagai wilayah di Indonesia. Pada


dengan sebutan Bandung Plan atau dasarnya Rencana Leimena mencakup
Rencana Bandung pada 1951. Berdasarkan dua prinsip pokok yaitu, pertama,
pengalaman bekerja di Rumah Sakit penggabungan usaha preventif dan kuratif,
Immanuel Bandung, Leimena membuat dan kedua perimbangan antara daerah
suatu pusat percontohan upaya peningkatan pedesaan dan daerah perkotaan.
program rehabilitasi dan unifikasi yang
Pemikiran tersebut didukung oleh
tidak saja menyangkut aspek preventif,
Raden Mochtar, Kepala Jawatan
namun juga kuratif. Gagasan itu kemudian
Kesehatan, setiba kembali dari studi di
diadopsi sebagai pengembangan sistem
Amerika. Ia mengatakan bahwa pelayanan
pelayanan kesehatan tingkat primer dengan
kesehatan yang dibangun sejak masa
membentuk unit-unit organisasi fungsional
kolonial hanya terbatas pada kota, oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten pada setiap
karena itu paradigma pembangunan dan
kecamatan yang mulai dikembangkan
organisasi kesehatan sejak kemerdekaan
sejak 1969/70 yang kemudian disebut
harus diubah dengan memperluas akses
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas)
pelayanan kesehatan hingga desa dan
dan dipimpin oleh seorang dokter (Sujudi
dusun. Menurut Mochtar, usaha kesehatan
2007: 115)
rakyat di desa sebagai dasar organisasi
Gagasan Leimena tersebut didasarkan kesehatan rakyat nasional merupakan
pada kenyataan bahwa secara faktual syarat mutlak untuk mencapai cita-cita
sebagian besar (sekitar 70 persen) kesehatan rakyat. Sebagai tindak lanjut, di
masyarakat Indonesia tinggal di wilayah setiap desa diangkat seorang juru hygiene
pedesaan. Oleh karena itu jika ingin desa yang bertugas melayani kesehatan
meningkatkan kesehatan masyarakat masyarakat (Mochtar 1954: 32).
harus diambil kebijakan yang mampu
Pada 1956, J. Sulianti mengembangkan
meningkatkan kesehatan masyarakat desa
konsep baru dalam upaya pengembangan
(Leimena 1956: 7). Rencana Bandung
kesehatan masyarakat, yaitu model
mulai dicoba di Kabupaten Bandung
pelayanan bagi pengembangan kesehatan
dan desa-desa di Kecamatan Rancaekek
masyarakat pedesaan di Indonesia.
dan Majalaya, Jawa Barat. Dalam model
Konsep ini memadukan antara pelayanan
itu, baik wilayah perkotaan maupun
medis dengan pelayanan kesehatan
pedesaan di Bandung dikembangkan
masyarakat pedesaan. Pada tahun itu
fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
dikembangkan “Proyek Bekasi” atas
yang dibiayai pemerintah pusat (Harian
bantuan United States Operation Mission
Indonesia, 21 Juli 1950).
(kemudian USAID), sebagai model
Pada 1954, sistem serupa diterapkan di pelayanan bagi pegembangan pola
Yogyakarta, mencakup tujuh kecamatan, pembangunan kesehatan pedesaan di
dan juga di Magelang, Jawa Tengah Indonesia serta sebagai pusat pelatihan
(Laurens 2007: 93). Selanjutnya, Rencana bagi para tenaga kesehatan. Berbeda
Bandung—yang kemudian disebut dengan Rencana Bandung, Proyek Bekasi
Rencana Leimena (1954)—menjadi inti lebih menekankan pada pelatihan bagi
kebijakan kesehatan yang disebarluaskan staf yang ternyata merupakan salah satu

150
Politik Kesehatan Masyarakat di INdonesia Setelah Kemerdekaan 146 - 162

faktor penting untuk pelaksanaan program perannya yang vital itu, BKIA kemudian
tersebut secara efektif (Departemen menjadi garda terdepan dalam pelayanan
Kesehatan 1990: 8). kesehatan masyarakat di Indonesia
terutama di wilayah perdesaan.
Untuk melancarkan pelaksanaan
konsep pelayanan terpadu, dipilih delapan Selama kurun 1950-an itu pula
wilayah pengembangan kesehatan kebijakan rural health system belum dapat
masyarakat, yaitu di Indrapura (Sumatra dikembangkan secara luas karena kondisi
Utara), Metro (Lampung), Bojong Loa politik dan keuangan negara yang belum
(Jawa Barat), Salaman (Jawa Tengah), stabil. Namun, upaya perintisan untuk
Godean (Yogyakarta), Mojosari (Jawa mewujudkan kebijakan kesehatan integral
Timur), Kesiman (Bali) dan Barabai dengan sistem itu sudah mulai dilakukan
(Kalimantan Selatan) (Notoatmodjo 2005: dengan membentuk percontohan di
24). Pada kedelapan wilayah tersebut beberapa wilayah seperti Percontohan
dibangun pusat pelayanan kesehatan Kesehatan Masyarakat Desa Pusat di
masyarakat perdesaan yang merupakan Kecamatan Cikarang, Bekasi, Kecamatan
cikal bakal Puskesmas. Selain pelaksanaan Mojosari (Mojokerto), Salaman
program kesehatan di beberapa daerah, (Magelang), Bojongloa (Bandung),
sebuah program kesehatan yang berhasil Kaseman (Denpasar), Metro (Lampung),
memadukan upaya kuratif dan preventif Indrapura (Sumatra Utara), Kutaraja
dan menekankan partisipasi masyarakat (Banda Aceh), Godean (Yogyakarta), dan
dalam pelayanan kesehatan adalah Barabai di Kalimantan Selatan (Satrio
pemberantasan penyakit frambusia yang 1980: 141).
dipelopori dr. Kodijat dengan bantuan
Hasil upaya pembangunan kesehatan itu
WHO dan UNICEF (Subagyo 1983: 23)
terlihat paling tidak pada angka kematian
Pada kurun 1950-an, di tingkat bayi, anak dan ibu. Pada awal 1950-an,
kecamatan ditempatkan dua kader angka kematian anak di bawah 5 tahun di
kesehatan yang terdiri dari seorang juru Indonesia mencapai 50–60 persen, angka
hygiene dan seorang bidan yang bertugas kematian bayi mencapai 100–150 persen,
di BKIA (Balai Kesehatan Ibu dan Anak). dan angka kematian ibu bersalin mencapai
Jumlah BKIA meningkat cepat pada 0,7 persen dari kematian umum. Angka
periode itu, dari 387 buah pada 1951 itu menurun pada awal 1960-an; angka
menjadi 2.300 buah pada 1959. Hal yang kematian umum tercatat 17 per 1000 jiwa
membuat menarik para ibu mendatangi penduduk, angka kematian bayi 110 per
BKIA kala itu adalah pembagian sabun, 1000 kelahiran hidup, angka lahir mati 20
susu, dan vitamin secara gratis yang per 1000 kelahiran, dan angka kematian
diperoleh dari bantuan UNICEF. Selain ibu melahirkan 4 per 1000 penduduk
berfungsi sebagai pelopor kesehatan (Almanak Kesehatan 1962: 39).
masyarakat di tingkat perdesaan, BKIA
Prestasi penting dalam kebijakan
juga melakukan pelatihan terhadap dukun
kesehatan rakyat di bidang legislasi pada
bayi yang kedudukannya masih kuat
periode Demokrasi Terpimpin adalah
dalam pertolongan persalinan masyarakat
penyelesaian undang-undang kesehatan
desa di Indonesia pada waktu itu. Dengan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong

151
JEJAK NUSANTARA
Volume 03 Agustus 2015

Royong, yakni Undang-Undang No. buah (milik swasta) pada 1964 (Satrio
9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok 1980: 132). Sementara itu, dengan usaha
Kesehatan. Selain itu, diselesaikan swadaya daerah, pembangunan BKIA
beberapa peraturan lain yang mendukung dan poliklinik cukup menggembirakan
terciptanya kualitas kesehatan masyarakat pada periode 1960-an sehingga jumlahnya
yang lebih baik. Beberapa kebijakan meningkat secara signifikan. Pada 1960
kesehatan dalam aspek kuratif yang jumlah BKIA di seluruh Indonesia
berhasil diselesaikan antara lain pembuatan mencapai 2.552 buah, dan menjadi 4.269
vaksin BCG di Laboratorium PN Bio buah pada 1964. Peningkatan jumlah
Farma Bandung, peningkatan produksi BKIA juga disertai dengan peningkatan
vaksin untuk pencegahan penyakit seperti jumlah kunjungan.
cacar, kolera, tifus, rabies dan lain-lain, Di sisi lain, penyebaran tenaga
meningkatkan pemberantasan malaria kesehatan, terutama dokter, berjalan lancar
di Jawa, Madura, Bali, Lampung. Selain berkat undang-undang wajib kerja sarjana
itu, di beberapa wilayah masih diteruskan dan wajib kerja militer. Dukungan penuh
usaha lanjutan pemberantasan penyakit dari Komando Tertinggi dan Komando
frambusia, kusta, TBC, dan mata (Satrio Gabungan Militer ikut membiayai
1980: 87). pengiriman tenaga kesehatan ke seluruh
Bagaimanapun, pembangunan pelosok Nusantara. Untuk menanggulangi
proyek kesehatan pada periode 1960- epidemi luar biasa terhadap penyakit
an terkendala karena kondisi keuangan malaria pada waktu itu dilakukan
negara yang sedang mengalami krisis. pemberantasan di berbagai daerah di Tanah
Hanya proyek pembangunan yang Air. Kemudian dibentuk organisasi khusus
sudah dianggarkan sebelum 1960 yang Kopem (Komando Operasi Pembasmian
dilanjutkan pengerjaannya seperti Malaria) sebagai task force Departemen
pembangunan rumah sakit umum pusat Kesehatan dengan tugas mengintensifkan
(RSUP) di berbagai wilayah. Oleh karena pembasmian malaria. Dari sebutannya
itu jika dibandingkan dengan tahun 1959 dapat diketahui bahwa operasional
jumlah RSUP di Indonesia pada 1964 lembaga ini bersifat semimiliter. Dalam
tidak mengalami penambahan yaitu kegiatannya Kopem berprinsip mencapai
tetap tujuh RSUP, hanya jumlah tempati suatu total coverage yaitu melakukan
tidurnya yang bertambah. Jenis rumah penyemprotan ke seluruh bangunan yang
sakit yang mengalami peningkatan jumlah dihuni manusia. Penyemprotan yang
adalah rumah sakit umum menjadi 637 dilakukan oleh Kopem menggunakan
(milik pemerintah dan swasta) dengan bahan DDT dan dieldrin. Pada waktu itu,
kapasitas tempat tidur 55.213 buah dan dengan mudah dapat dijumpai “pasukan
rumah sakit khusus menjadi 279 (milik penyemprot DDT” di berbagai daerah.
pemerintah dan swasta) dengan kapasitas Kebijakan kesehatan pemerintah era
tempat tidur 20.485 buah. Jumlah Balai pemerintahan Sukarno begitu tergantung
Pengobatan juga mengalami kenaikan dari dengan bantuan dan kerja sama dari
3497 buah (milik pemerintah) dan 446 lembaga-lembaga internasional yang
buah (milik swasta) pada 1959 menjadi sebagian besar berada di bawah naungan
3968 buah (milik pemerintah) dan 920 Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti

152
Politik Kesehatan Masyarakat di INdonesia Setelah Kemerdekaan 146 - 162

terlihat dalam pelaksanaan Konferensi Sukarno ke pemerintah Orde Baru,


Dinas Kesehatan se-Indonesia. Hal itu dapat aspek kehidupan yang ikut mengalami
dipahami karena keterbatasan anggaran perubahan secara signifikan adalah
kesehatan. Pada 1954, saat Lie Kiat Teng bidang kesehatan. Salah satu kebijakan
menjabat sebagai Menteri Kesehatan, yang diambil oleh pemerintah Orde Baru
anggaran belanja Kementerian Kesehatan adalah mengembalikan Indonesia menjadi
hanya berjumlah Rp328.663.000 atau 2,4 anggota PBB pada November 1967, dan
persen dari total anggaran pemerintah. atas bantuan UNICEF pada tahun itu
Pada 1958, anggaran itu meningkat pula diselenggarakan seminar di Ciloto
menjadi Rp576.479.200 (Satrio 1980: 51). (Jawa Barat) yang merumuskan program
Oleh karena itu ketika Sukarno kesehatan masyarakat terpadu yang sesuai
memutuskan Indonesia keluar dari dengan kemampuan rakyat Indonesia dan
keanggotaan PBB pada 20 Januari 1965, pelatihan tenaga kesehatan.
dampaknya sangat terasakan dalam bidang Dalam seminar tersebut, gagasan Dr.
kesehatan. Ketika Sukarno menjalin Achmad Dipodilogo, seorang pembicara,
hubungan yang erat dengan negara-negara tentang penerapan program Puskesmas di
Blok Timur pada dekade 1950–65, salah Indonesia yang mengacu pada Rencana
satunya denan Rusia, dilakukan pula kerja Bandung dan Proyek Bekasi mendapat
sama dalam bidang kesehatan di samping perhatian serius para peserta. Kesimpulan
pengembangan militer, persenjataan atau seminar adalah bahwa sistem Puskesmas
bidang-bidang yang lain. Pemerintah Rusia, terdiri dari Puskesmas Tipe A, B, dan
antara lain, memberikan bantuan dalam C, tergantung pada ruang lingkup dan
pembangunan rumah sakit di kawasan kegiatannya. Berbeda dengan program
Jakarta Timur—yang kemudian dikenal kesehatan masyarakat sebelumnya yang
sebagai Rumah Sakit Persahabatan. Nama selalu mencantumkan pemrakarsanya,
“persahabatan” dipilih secara simbolik dalam konsep ini pemrakarsa tidak
untuk menggambarkan hubungan yang disebutkan. Pembedaan tipe Puskesmas itu
mesra antara kedua negara pada waktu itu. mengacu pada pengelolanya; Puskesmas
Pembangunan RS Persahabatan dimulai
Tipe A dipimpin oleh dokter secara penuh,
pada 1961, berjalan selama tiga tahun,
Tipe B dipimpin oleh dokter secara tidak
dan dipimpin langsung oleh para insinyur
penuh, dan Tipe C dipimpin oleh tenaga
Rusia. Pada 7 November 1963, Pemerintah
paramedis.
Rusia secara resmi menyerahkan bantuan
rumah sakit tersebut kepada Pemerintah Oleh Kementerian Kesehatan bersama
Indonesia. UNICEF dan WHO, hasil seminar
dirumuskan menjadi Master Plan of
Operation for Strengthening of National
MEMANTAPKAN PROGRAM Health Service in Indonesia atau Rencana
KESEHATAN MASYARAKAT Induk Kegiatan Membangun Kesehatan
TERPADU Rakyat Indonesia. Seluruh rencana
induk ini menjadi dasar bagi kebijakan
Ketika tampuk kekuasaan politik usaha kesehatan yang bersifat integral
di Indonesia berganti dari era Presiden pada Rapat Kerja Nasional I di Jakarta

153
JEJAK NUSANTARA
Volume 03 Agustus 2015

pada April 1968. Rapat Kerja bertujuan (Departemen Kesehatan 1990: 12). Pada
menyusun program kesehatan nasional 1979, kelembagaan Puskesmas tidak lagi
yang akhirnya digunakan sebagai landasan dikategorikan berdasarkan tipe, melainkan
menyusun Rencana Pembangunan Lima dikembangkan piranti manajerial
Tahun (Pelita) I bidang kesehatan. Selain perencanaan dan penilaian Puskesmas
itu, dalam rapat kerja juga ditetapkan yaitu Micro Planning dan Stratifikasi
bahwa Puskesmas merupakan suatu Puskesmas.
unit pelayanan kesehatan yang memberi
Untuk meningkatkan pelayanan
pelayanan kuratif dan preventif secara
kesehatan primer kepada masyarakat
terpadu, menyeluruh dan mudah dijangkau
dengan jangkauan yang lebih luas,
dalam suatu wilayah kerja kecamatan atau
pemerintah Orde Baru mengambil
sebagian kecamatan di kabupaten atau
kebijakan mempercepat pembangunan
kotamadya. Unit pelayanan yang lebih
jumlah Puskesmas. Hasilnya, jika pada
kecil disebut Puskesmas Pembantu yang
akhir Pelita I jumlah Puskesmas sebanyak
dibangun untuk menyediakan pelayanan
2.343 buah maka pada akhir Pelita II
terbatas bagi wilayah yang lebih kecil di
meningkat menjadi 4.353 Puskesmas.
bawah wewenang Puskesmas. Dengan
Selain itu proporsi jumlah dokter yang
kata lain, konsep Puskesmas merupakan
bekerja di Puskesmas juga meningkat
penggabungan BKIA dan balai pengobatan
dari 34 persen pada akhir Pelita I menjadi
dengan pelayanan ibu dan anak serta
89 persen pada akhir Pelita II (Sulianti
pelayanan poliklinik di bawah satu atap
1974: 10). Jika pada Pelita I program
(Departemen Kesehatan 2004: 42)
kesehatan masyarakat di Indonesia lebih
Dalam perkembangan, pada 1969, menekankan pada peningkatan sarana dan
hanya ada dua tipe Puskesmas yaitu Tipe prasarana kesehatan, maka pada Pelita
A dan Tipe B. Puskesmas Tipe A dikepalai II lebih difokuskan pada peningkatan
oleh seorang dokter dibantu oleh 8–10 kesehatan penduduk.
orang tenaga paramedis yang terdiri
Berhubung ketersediaan infrastruktur
dari seorang bidan, 3 perawat, seorang
kesehatan tidak secara langsung
sanitarian, seorang dokter gigi, dan 4
berdampak pada peningkatan kesehatan
pembantu. Sementara Puskesmas Tipe
penduduk, pemerintah Orde Baru mulai
B dikelola oleh tenaga paramedis saja.
mengembangkan pentingnya ikut serta
Secara hirakis Puskesmas Tipe A berada
masyarakat dalam penyelenggaraan usaha-
di tingkat kabupaten dan mengawasi
usaha kesehatan. Oleh karena itu, pada
3–5 Puskesmas Tipe B yang berada pada
1975 Departemen Kesehatan membentuk
tingkat kecamatan, sedangkan Puskesmas
Panitia Kerja untuk menyiapkan konsep
Tipe B mengawasi 3–5 Puskesmas desa
program Pembangunan Kesehatan
(Soebekti 1980: 15). Model ini diterapkan
Masyarakat Desa (PKMD). Landasan
untuk menyesuaikan keterbatasan sumber
dasar pengembangan PKMD adalah
daya manusia bidang kesehatan terutama
sejarah budaya bangsa Indonesia yang
dokter di Indonesia. Pada 1969, satu
telah turun-temurun, yakni gotong
orang dokter harus melayani 100.000
royong dan musyawarah. Kemudian,
hingga 200.000 penduduk di perdesaan
dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional

154
Politik Kesehatan Masyarakat di INdonesia Setelah Kemerdekaan 146 - 162

(1976) ditetapkan bahwa PKMD Pada 1982, Menteri Kesehatan


merupakan pendekatan yang strategis Republik Indonesia, dr. Suwardjono
untuk meningkatkan cakupan pelayanan Suryaningrat, menetapkan Sistem
kesehatan dengan target meningkatnya Kesehatan Nasional. Dalam sistem itu,
kesehatan masyarakat. Ditetapkan pembangunan kesehatan merupakan sistem
pula bahwa PKMD adalah program dari suprasistem Pembangunan Nasional.
nasional. Untuk mengoperasikannya, Selanjutnya, berdasarkan Ketetapan
pada Maret 1976 diadakan lokakarya di MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, No. II/1983 tentang Garis-garis Besar
Jawa Tengah, yang, salah satu hasilnya, Haluan Negara disebutkan bahwa dalam
menetapkan kabupaten itu sebagai daerah rangka mempertinggi taraf kesehatan
uji coba PKMD. Selain itu, lokakarya dan kecerdasan rakyat, pembangunan
menetapkan Prokesa (promoter kesehatan kesehatan termasuk perbaikan gizi
desa) sebagai tenaga lapangan PKMD, dan perlu makin ditingkatkan dengan
Dana Sehat merupakan salah satu elemen mengembangkan Sistem Kesehatan
pokok PKMD. Dalam pertumbuhannya, nasional. Peningkatan kesehatan dilakukan
PKMD mememperoleh komitmen dari dengan melibatkan peran serta masyarakat
lembaga-lembaga baik pemerintah berpengahasilan rendah baik di desa
(departemen) maupun swasta (Hartono maupun di kota. Panca Karsa Husada
2011: 31). sebagai tujuan pembangunan jangka
Dalam perkembangan, PKMD panjang bidang kesehatan mencakup (1)
memperoleh dukungan dunia internasional Peningkatan kemampuan masyarakat
yang menggalakkan Primary Health untuk menolong dirinya dalam bidang
Care dalam Deklarasi Alma Ata yang kesehatan; (2) Perbaikan mutu lingkungan
dicetuskan dalam suatu konferensi hidup yang dapat menjamin kesehatan;
kesehatan pada 1978 di Alma Ata yang (3) Peningkatan status gizi masyarakat;
dihadiri oleh 140 negara di dunia termasuk (4) Pengurangan kesakitan dan kematian;
Indonesia. Keputusan penting lainnya dan (5) Pengembangan keluarga sehat
dalam konferensi tersebut adalah deklarasi sejahtera dengan makin diterimanya norma
“Sehat untuk Semua pada Tahun 2000” keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
atau yang lebih dikenal dengan Health Peningkatan kualitas dan prasarana
for All by the Year 2000. Semua negara kesehatan serta pendidikan, terutama
yang menandatangani Deklarasi Alma Ata semakin berkurangnya angka buta huruf,
sepakat ingin mencapai kesehatan untuk merupakan prestasi yang dibanggakan
semua pada 2000, dan Primary Health Care selama pemerintahan Orde Baru di
sebagai bentuk operasionalnya. Sementara Indonesia. Secara siginifikan, pemerintahan
itu, PKMD yang telah dikembangkan Orde Baru mampu meningkatkan jumlah
di Indonesia sejak 1976, sebenarnya dokter. Pada sensus 1971 dilaporkan
merupakan perwujudan primary helath
hanya ada satu orang dokter untuk
care. Maka dalam kebijakan nasional
melayani 20,9 ribu penduduk Indonesia.
dikatakan bahwa PKMD merupakan
Hasil sensus 1980 menunjukkan bahwa
bentuk kegiatan primary health care di
dengan total jumlah penduduk Indonesia
Indonesia.

155
JEJAK NUSANTARA
Volume 03 Agustus 2015

147,3 juta terdapat 12.939 dokter, yang di perguruan tinggi negeri maupun swasta
berarti satu orang dokter melayani 11,4 telah meluluskan dokter Indonesia (Husin
ribu penduduk. Sementara pada sensus 1995: 252).
1990, dengan jumlah penduduk Indonesia
Setelah melalui lima tahap Pelita dalam
tercatat 179,2 juta orang, Indonesia sudah
membangun sektor kesehatan, Indonesia
memiliki 25.125 orang dokter (pada
berhasil melakukan terobosan pemerataan
1992); artinya satu orang dokter melayani
dalam bidang kesehatan. Berdasarkan
7,1 ribu penduduk (Ricklefs 2005: 601–2).
serangkaian penilaian, pada 18 Februari
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur
1991 WHO memberikan penghargaan The
kesehatan juga meningkat secara
Health for All kepada Indonesia (Antara
signifikan. Jika pada awal 1970-an, jumlah
2008: 568). Berhubungan dengan hal itu,
Puskesmas di Indonesia sebanyak 3679
Kompas edisi 18 Februari 1991 mencatat
buah maka pada 1998 meningkat menjadi
beberapa kegiatan di bidang kesehatan
7181; artinya hampir semua kecamatan
sebagai berikut.
di Indonesia telah memiliki Puskesmas.
Sementara jumlah Pos Pelayanan Terpadu 1.
Dunia dibuat tercengang ketika
(Posyandu) pada 1984 berjumlah 200.000 Presiden Soeharto menerima delapan
buah dari 65.517 desa yang tersebar di orang bekas penyandang penyakit
seluruh pelosok Indonesia (Departemen kusta di Bina Graha dalam rangka
Kesehatan 1992: 25) pekan olah raga penyandang kusta
(1998). Presiden bersedia berjabat
Peningkatan jumlah dokter di
tangan dengan mereka.
Indonesia selama pemerintahan Orde
Baru juga merupakan keberhasilan dari 2. Program imunisasi sebagai upaya
program pendidikan dokter di Indonesia. dini pencegahan kematian bayi,
Pada masa pemerintahan Sukarno, berdampak positif dalam menurunkan
jumlah perguruan tinggi (negeri) yang angka kematian bayi; pada 1971
memiliki fakultas kedokteran masih angka kematian bayi 142 per 1000,
terbatas, antara lain Universitas Airlangga berkurang menjadi 112 per 1000 pada
di Surabaya, Universitas Indonesia di 1980; kemudian berhasil diturunkan
Jakarta, Universitas Gadjah Mada di lagi menjadi 75 per 1000 bayi pada
Yogyakarta, Universitas Andalas di 1985. Artinya selama 9 tahun terjadi
Padang, Universitas Padjadjaran di penurunan angka kematian bayi rata-
Bandung, Universitas Sumatera Utara rata 3,3 persen.
di Medan, dan Universitas Brawijaya di 3. Dunia dibuat lebih yakin dengan
Malang. Beberapa fakultas kedokteran pencanangan pemberian ASI (air
yang didirikan pada akhir pemerintahan susu ibu) oleh Presiden Soeharto
Sukarno ditambah fakultas kedokteran bertepatan dengan Hari Ibu dan Hari
di perguruan tinggi baru yang didirikan Kesetiakawanan Nasional pada 1990.
pada masa pemerintahan Orde Baru telah Pada 1979, tercatat hanya 18 persen
berkontribusi signifikan terhadap jumlah bayi di Kota Jakarta yang mendapat
dokter di Indonesia. Hingga 1995, tidak ASI; tahun 1984 naik menjadi 24,8
kurang dari 25 fakultas kedokteran baik persen; di Kota Semarang hanya 30

156
Politik Kesehatan Masyarakat di INdonesia Setelah Kemerdekaan 146 - 162

persen bayi yang diberi ASI pada angka kematian ibu yang melahirkan
1983, dan naik menjadi 51,5 pada di Indonesia mencapai 650 di antara
tahun berikutnya; sementara di Kota 100.000 kelahiran. Hal itu mencerminkan
Denpasar hanya 10 persen bayi yang masih kurang tersedia kesempatan untuk
mendapat ASI pada 1980, dan naik mendapatkan perawatan kesehatan
menjadi 18,07 persen pada 1986. baik sebelum, selama, maupun setelah
melahirkan. Satu-satunya negara di Asia
Selain peningkatan pembangunan
Tenggara yang angka kematian ibu lebih
infrastruktur pelayanan kesehatan primer
tinggi dibandingkan dengan Indonesia
dan sumber daya manusia, pemerintah
adalah Kamboja (Ricklefs 2005: 603,
Orde Baru juga berhasil meningkatkan
Booth, 2001: 211).
kualitas kesehatan masyarakat Indonesia.
Paling tidak hal itu terlihat pada indikator KESEHATAN MASYARAKAT PADA
menurunnya angka kematian. Selama
ERA DESENTRALISASI
seperempat abad pemerintahan Orde
Baru, angka kematian bayi di Indonesia Pertengahan tahun 1997, pertumbuhan
berkurang sebanyak dua pertiga, dari 145 ekonomi Indonesia yang dibanggakan
per 1000 pada 1967 menjadi 51 per 1000 pemerintah Orde Baru tidak mampu
pada 1991 dan menjadi 48 per 1000 pada menahan hantaman krisis ekonomi
1995. Angka kematian ibu melahirkan per yang melanda Asia. Krisis ekonomi ini
100.000 kelahiran hidup menurun dari kemudian berdampak pada berbagai
450 pada 1986 menjadi 425 pada 1992. aspek kehidupan masyarakat di Indonesia
Prevalensi kurang energi protein (KEP) sehingga timbul krisis multidimensi,
total pada anak balita menurun dari 48,2 tidak terkecuali dalam bidang kesehatan
persen pada 1978 menjadi 40 persen pada masyarakat. Penurunan daya beli
1992 (Poesponegoro dan Notosusanto masyarakat karena kenaikan harga bahan
[ed.] 1993: 254) Sementara pada periode pangan mengakibatkan pula menurunnya
yang sama harapan hidup masyarakat status gizi masyarakat. Penelitian di
Indonesia meningkat 2 per 5 lebih panjang, berbagai daerah telah membuktikan
dari 45 tahun menjadi 65 tahun (Booth hal tersebut. Pengamatan Posyandu di
2001: 210). Sulawesi Selatan menemukan KEP nyata
balita dari 5,7 persen pada 1997 meningkat
Namun, baik menurut Ricklefs maupun menjadi 14,9 persen pada 1999. Penurunan
Booth, prestasi pemerintah Orde Baru itu status gizi balita tersebut nyata sebagai
kurang mengesankan jika dibandingkan akibat kekurangan kalori atau protein
dengan pencapaian negara-negara di Asia sesaat, terbukti dari hasil penelitian yang
yang lain. Pada 1990, angka kematian menunjukkan angka malnutrisi akut anak
bayi dan anak di Indonesia ternyata lebih di bawah 2 tahun meningkat dari 9,9
tinggi dibandingkan angka yang sama di persen pada 1997 menjadi 14,4 persen
Cina, Filipina, dan Vietnam, walaupun pada 1999 (Juanita 2003: 53). Secara
Pendapatan Domestik Bruto per kapita umum krisis ekonomi menyebabkan
di Indonesia pada waktu itu lebih tinggi penurunan kinerja pelayanan kesehatan
dibanding negara-negara tersebut. masyarakat khususnya Puskesmas, BDD
Masih dalam tahun yang sama, rata-rata dan Posyandu.

157
JEJAK NUSANTARA
Volume 03 Agustus 2015

Dampak krisis ekonomi juga terasakan Setelah krisis, JPSBK bertransformasi


dalam penggunaan pelayanan kesehatan menjadi Asuransi Kesehatan untuk
oleh rumah tangga. Meningkatnya Masyarakat Miskin (Askeskin) pada 2004
biaya pelayanan kesehatan, merosotnya sesuai dengan amanat Undang-Undang
pendapatan, dan memburuknya pelayanan No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan
kesehatan diikuti oleh penurunan tajam Sosial Nasional. Pada 2007, Askeskin
penggunaan fasilitas layanan kesehatan, berubah menjadi Jaminan Kesehatan
khususnya pelayanan kesehatan milik Masyarakat (Jamkesmas) yang ditujukan
pemerintah. Memburuknya kualitas bagi masyarakat miskin dan tidak
dan jumlah pelayanan kesehatan publik mampu. Walaupun menggunakan nama
disebabkan oleh meningkatnya biaya jaminan, program ini tidak sepenuhnya
obat-obatan dan menurunnya anggaran diselenggarakan dengan prinsip asuransi
pemerintah untuk bidang kesehatan. Hal sosial. Sejumlah dana APBN dialokasikan
itulah yang kemudian menjadikan aspek dan dikelola oleh Kementerian Kesehatan
kesehatan terabaikan oleh masyarakat. untuk menyediakan pembiayaan layanan
Oleh karena itulah pada 1998 diluncurkan kesehatan bagi pesertanya. Mulai
program kesehatan dan pendidikan 2014, program Jamkesmas kembali
berskala nasional sebagai bagian dari bertransformasi menjadi program Jaminan
program yang lebih besar yang disebut Kesehatan Nasional (JKN), dan dikelola
Jaring Pengaman Sosial (JPS). Khusus dengan skema asuransi sosial oleh Badan
untuk bidang kesehatan, program ini Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
disebut Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan sesuai dengan amanat Undang-
Kesehatan (JPSBK) (Soendoro 1999: 82). Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan
Kedua jaring pengaman tersebut Penyelenggara Jaminan Sosial.
bertujuan melindungi akses masyarakat Sejak 2001, Indonesia memasuki era
miskin terhadap pelayanan kesehatan desentralisasi, pemerintah menetapkan
dan pendidikan selama masa krisis kebijakan dan strategi desentralisasi
melanda Indonesia. Program pelayanan bidang kesehatan dan standar pelayanan
kesehatan diluncurkan pada akhir 1998. minimal bidang kesehatan di kabupaten/
Program ini berupa subsisi harga terarah kota. Dalam konteks itu, Puskesmas
yang dikombinasikan dengan komponen memikul beban kesehatan di wilayahnya;
pengeluaran publik. Subsidi harga memelihara dan meningkatkan kesehatan,
dioperasionalkan dengan skema Kartu mencegah dan menyembuhkan penyakit
Sehat yang ditujukan kepada rumah serta memulihkan kesehatan masyarakat
tangga yang dinilai sangat rentan terhadap yang berada di wilayah kerjanya tanpa
krisis ekonomi. Dengan kartu itu, seluruh diskriminasi. Sesuai dengan Sistem
anggota keluarga berhak mendapatkan
Kesehatan Nasional yang ditetapkan pada
subsidi harga saat menggunakan fasilitas
2004, Puskesmas menjadi ujung tombak
pelayanan kesehatan publik. Sementara
pelayanan upaya kesehatan masyarakat
pusat layanan kesehatan yang melayani
(UKM) tingkat pertama. Sementara
pengguna Kartu Sehat mendapatkan
dinas kesehatan kabupaten/kota adalah
anggaran tambahan dari pemerintah
penanggung jawab penyelenggaraan
(Sparrow 2006: 68).

158
Politik Kesehatan Masyarakat di INdonesia Setelah Kemerdekaan 146 - 162

UKM tingkat kedua, sedangkan pedoman dan peraturan Pusat. Sementara


penanggung jawab tingkat ketiga adalah bantuan pendanaan untuk program
dinas kesehatan provinsi dan departemen spesifik dan proyek-proyek yang berasal
kesehatan dengan dukungan lintas sektor. dari pemerintah pusat tetap tersedia,
anggaran terbesar yang diperlukan
Salah satu motivasi utama penerapan
untuk penanaman modal dan biaya rutin
kebijakan tersebut adalah bahwa
dalam era desentralisasi ditanggung
pemerintah Orde Baru dengan sistem
pemerintah daerah kabupaten/kota. Hal itu
perencanaan yang sentralistik terbukti
berimplikasi negatif bagi kabupaten/kota
tidak mampu mendorong terciptanya
yang miskin, daerah yang telah kehabisan
suasana yang kondusif bagi partisipasi
sumber daya dan kesehatan maternal dan
aktif masyarakat dalam melakukan
neonatal, khususnya, bukan merupakan
pembangunan. Tumbuhnya kesadaran
prioritas tinggi. Pengembangan sumber
akan berbagai kelemahan dan hambatan
daya manusia untuk pelayanan kesehatan
yang dihadapi dalam kaitan dengan
juga merupakan tanggung jawab
struktur pemerintahan yang sentralistik
pemerintah kabupaten/kota. Kurangnya
telah mendorong promosi pelaksanaan
kemampuan manajemen tim kesehatan
strategi desentralisasi. Pelaksanaan
kabupaten/kota merupakan suata kendala.
kebijaksanaan desentralisasi semakin
Sementara desentralisasi memberikan
mendapatkan momentum sebagai salah
peluang bagi tiap kabupten/kota untuk
satu pendekatan yang diharapkan dapat
meningkatkan kesehatan ibu dan anak,
menciptakan efisiensi dan responsiveness
masalah-masalah yang telah dibahas
serta meningkatkan partisipasi aktif
tersebut dapat menjadi tantangan bagi
masyarakat dalam penyediaan pelayanan
pelaksanaan program kesehatan maternal
publik.
dan neonatal.
Dalam sistem desentralisasi,
Polindes diselenggarakan oleh
Departemen Dalam Negeri merupakan
tenaga bidan di desa dan Puskesmas
mitra utama dalam pelaksanaan pelayanan
Pembantu sebagai satelit dari Puskesmas
kesehatan masyarakat. Badan Koordinasi
memiliki beberapa petugas paramedis
Keluarga Berencana Nasional, organisasi
yang memberikan pelayanan maternal
swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat
dan neonatal dasar yaitu pelayanan
dan organisasi profesi berperan pula
selama kehamilan, persalinan dan nifas,
dalam memberikan pelayanan kesehatan
maupun pertolongan obstetri pertama
serta Keluarga Berencana. Donor
baik dalam fasilitas pelayanan maupun di
internasional memberikan bantuan dana
rumah. Beberapa Puskesmas Pembantu
dan bantuan teknis untuk pelaksanaan
yang memiliki tenaga dokter umum
program kesehatan, namun masukan yang
melaksanakan beberapa elemen Pelayanan
diberikan tidak selalu digunakan secara
Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar
efektif karena kurang koordinasi.
(PONED). Posyandu yang dikelola oleh
Dinas Kesehatan Kabupaten kader kesehatan memberi pelayanan
bertanggung jawab penuh dalam antenatal dengan bantuan bidan di desa.
perencanaan dan pelaksanaan pelayanan Ibu hamil dengan komplikasi dirujuk ke
kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan

159
JEJAK NUSANTARA
Volume 03 Agustus 2015

Puskesmas dengan dokter umum dan bidang kesehatan semata namun juga
bidan. kondisi sosial, ekonomi, dan politik
negara, bahkan politik internasional. Pada
Di tingkat Puskesmas, dokter umum
pemerintahan Sukarno, hal itu terbukti
dan bidan melakukan supervisi terhadap
secara jelas. Ketika Indonesia keluar dari
bidan di desa. Pada tingkat kabupaten/
PBB dan kemudian condong ke Blok
kota, bidan supervisor melakukan
Timur, lembaga-lembaga donor di bawah
koordinasi dan supervisi terhadap kegiatan
naungan PBB tidak lagi memberikan
bidan Puskesmas dan bidan di desa di
bantuannya; sebaliknya Indonesia banyak
wilayah kabupaten/kota. Puskesmas
mendapat bantuan dari negara Blok Timur.
dengan tempat tidur melakukan PONED,
Maka ketika Indonesia kembali menjadi
sedangkan Puskesmas tanpa tempat tidur anggota PBB pada masa pemerintahan
hanya memberikan beberapa elemen Orde Baru, kebijakan kesehatan sejalan
pelayanan itu. Seluruh rumah sakit seiring dengan kebijakan kesehatan dunia.
kabupaten/kota dan provinsi melakukan
Pelayanan Obstetri dan Neonatal Walaupun prestasi pemerintahan Orde
Emergensi Komprehensif (Subowo 2010). Baru dalam bidang kesehatan mendapat
pengakuan dunia namun ternyata dalam
Telah disebutkan, sejak Januari waktu yang sama masih tertinggal
2014, JKN diselenggarakan dengan dibandingkan dengan negara-negara di
tujuan menjamin warga negara untuk Asia Tenggara yang lain. Pemerintahan
memperoleh manfaat pemeliharaan yang bersifat sentralistik dan kebijakan
kesehatan dan perlindungan dalam yang bersifat top-down menyebabkan
memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. akses masyarakat mendapatkan pelayanan
Pelaksanaan JKN merupakan salah satu kesehatan belum merata. Oleh karena itu,
bagian dari sistem jaminan sosial nasional kewenangan pengelolaan kesehatan pada
yang diamanatkan oleh undang-undang masa Reformasi dialihkan dari pemerintah
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pusat ke pemerintah daerah.
dan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. JKN diselenggarakan oleh BPJS Sejarah kesehatan di Indonesia
memperlihatkan bahwa aspek kesehatan
Kesehatan yang merupakan transformasi
tidak dapat dilepaskan dari aspek
dari PT Askes (Persero). Seluruh
kehidupan yang lain terutama bidang
penduduk, termasuk orang asing yang
ekonomi, sosial, dan politik negara.
telah bekerja paling singkat selama enam
Bersama dengan pendidikan, pengelolaan
bulan di Indonesia diwajibkan ikut serta
kesehatan dalam pemerintahan seyogianya
dalam program jaminan kesehatan ini.
dibebaskan dari kepentingan politik
PENUTUP sesaat. Hal ini sangat mendasar karena
kebijakan atas dua bidang tersebut menjadi
Perjalanan bangsa Indonesia sejak kewajiban negara untuk menghadirkannya
kemerdekaan membuktikan betapa sulit kepada masyarakat secara luas. Tanpa
membangun dan meningkatkan kualitas menghadirkan akses pelayanan kesehatan
kesehatan masyarakat. Penyebabnya, masyarakat yang merata, pemerintah
aspek kesehatan masyarakat tidak hanya tidak akan dapat menikmati pertumbuhan
dipengaruhi oleh permasalahan dalam perekonomian negara yang diharapkan.

160
Politik Kesehatan Masyarakat di INdonesia Setelah Kemerdekaan 146 - 162

DAFTAR ACUAN Dokter di Indonesia,” dalam


Pengurus Besar Ikatan Dokter
Achmad, J. (2002), Hollow Development:
Indonesia, Kiprah Dokter dalam Era
The Politics of Health in Soeharto’s
50 Tahun Indonesia. Jakarta: Yayasan
Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.
Almanak Kesehatan (1962). Jakarta:
Jajasan Kesedjahteraan Pegawai Depkes
Kementerian Kesehatan.
RI (1962), Almanak Kesehatan.
Antara (2008), Presiden RI ke-II Jenderal Jakarta: Departemen Kesehatan
Besar H. M. Soeharto dalam Berita. Republik Indonesia.
Jakarta: Antara Pustaka Utama.
Juanita (2003), “Pengaruh Krisis Ekonomi
Azwar, A. (1996), Menuju Pelayanan terhadap Pelayanan Kesehatan
Kesehatan yang Lebih Bermutu. Masyarakat,” Tesis. Medan: Fakultas
Jakarta: Yayasan Penerbitan Ikatan Kesehatan Masyarakat, Universitas
Dokter Indonesia. Sumatera Utara.
Berita Kementerian Kesehatan RI (1956), Kompas, 18 Februari 1991.
No. I.
Kuntowijoyo (2013), Pengantar Ilmu
Booth, A. (2001), “Pembangunan: Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Keberhasilan dan Kekurangan,”
Leimena, J. (1956), Public Health in
dalam D. K. Emmerson (ed.),
Indonesia: Problem and Planning.
Indonesia Beyond Soeharto: Negara,
Jakarta: Lembaga Kebudayaan
Ekonomi, Masyarakat, Transisi
Indonesia.
(terj. Perikles Kattopo, Ketut Arya
Mahardika). Jakarta: Gramedia. Leimena, S. L. (2007), “Dari Bandung
Plan ke Rencana Leimena,” dalam V.
Departemen Kesehatan (1990),
Silaen, dkk., Dr. Johannes Leimena:
Pembangunan Kesehatan Masyarakat
Negarawan Sejati & Politisi Berhati
di Indonesia. Jakarta: Departemen
Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kesehatan Republik Indonesia.
Mochtar, R. (1954), Usaha Kesehatan
— (1992), Almanak Pembangunan
Rakjat dan Pendidikan Kesehatan
Kesehatan. Jakarta: Departemen
Rakjat di Indonesia. Yogyakarta:
Kesehatan Republik Indonesia dan
Jajasan Fonds Universitit Negeri
Kosgoro.
Gadjah Mada.
— (2004), Museum Kesehatan Dr.
Notoatmodjo, S. (2005), Promosi
Adhyatma, MPH: Selayang Pandang
Kesehatan: Teori dan Aplikasi.
Perjalanan Kesehatan Nasional.
Jakarta: Rineka Cipta.
Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Poesponegoro, M. D. dan N. Notosusanto
(ed.) (1993), Sejarah Nasional
Hartono, B. (2011), Promosi Kesehatan:
Sejarah dan Perkembangannya di Indonesia, Jilid VI, cetak ulang.
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia.
Husin, M. (1995), “Program Pendidikan

161
JEJAK NUSANTARA
Volume 03 Agustus 2015

Ricklefs, M. C. (2005), Sejarah Indonesia Sparrow, R. A. (2006), Health, Education


Modern 1200–2004 (terj.). Jakarta: and Economic Crisis: Protecting
Serambi. the Poor in Indonesia. Amsterdam:
Rozenberg Publishers.
Ruwaard, D. (1994), Public Health Status Subagyo, W. (1983), Dr. R. Kodjat:
and Forecasts: The Health Status Hasil Karya dan Pengabdian.
of the Dutch Population Over the Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Period 1950–2010. National Institute Kebudayaan Republik Indonesia.
of Public Health and Environmental
Protection. Subowo, A. (2010), “Evaluasi
Desentralisasi Kesehatan melalui
Saroso, J. S. (1974), “Politik Kesehatan PP No. 38/2007: Tinjauan Hasil
Nasional,” Prisma, No. 5, Oktober. dan Dampak Kualitas Kesehatan,”
Satrio, dkk. (1980a), Sejarah Kesehatan Laporan Penelitian. Semarang:
Nasional, Jilid II. Jakarta: Departe- Jurusan Administrasi Publik,
men Kesehatan Republik Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Diponegoro.
— (1980b), Sejarah Kesehatan Nasi-
onal, Jilid III. Jakarta: Departemen Sujudi (2007), “Dr. Leimena Seorang
Kesehatan Republik Indonesia. Perencana Kesehatan Masyarakat
Sepanjang Masa,” dalam V. Silaen,
Sihombing, G. (2007), “Pemberdayaan dkk., Dr. Johannes Leimena:
Kesehatan Masyarakat bagi Pen- Negarawan Sejati & Politisi Berhati
ingkatan Kesehatan untuk Rakyat,” Nurani. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
dalam V. Silaen, dkk., Dr. Johannes
Leimena: Negarawan Sejati & Poli- Trisnantoro, L. (2004), Memahami
tisi Berhati Nurani. Jakarta: BPK Gu- Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam
nung Mulia. Manajemen Rumahsakit. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Soebekti, R. (1980), Primary Health Care
in Indonesia. Jakarta: Ministry of Vickers, A. (2005), “Why the 1950s are
Health of Republic of Indonesia. Important to the Study of Indonesia,”
Makalah, Workshop, Rethinking
Soeharto, R. (1954), Kesehatan di Indone- Indonesian Historiography:
sia. Jakarta: Arief. Decolonizing Indonesian
Soendoro (1999), “Tindakan Strategis Historiography. Yogyakarta, 12–14.
untuk Mengurangi Dampak Krisis Walt, G. (1994), Health Policy: An
di Sektor Kesehatan,” Medika, Introduction to Process and Power.
September. London: Zed Books.

162

Anda mungkin juga menyukai