Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

“EKSPERIMEN-EKSPERIMEN DASAR”

DISUSUN OLEH :

Kelompok 1A
Siti Annisa Syafira 11171020000004
Syifa Fuadina 11171020000006
Tanisa Intan Murbarani 11171020000009
Sarah Nahdah ZS 11171020000015
Dery Akmal Arhandika 11171020000017
Lucky Kurnia Lestari 11171020000024

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

MARET/2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebagai mahasiswa farmasi, sudah seharusnya kita mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan obat, baik dari segi farmasetik, farmakodinamik, farmakokinetik, dan juga dari segi
farmakologi dan toksikologinya. Farmakologi sebagai ilmu yang berbeda dari ilmu lain,
secara umum sangat sulit mengerti farmakologi tanpa pengetahuan tentang fisiologi tubuh,
biokimia, dan ilmu kedokteran klinik, dimana keterkaitan erat dengan ilmu dasar maupun
ilmu klinik. Jadi, farmakologi adalah ilmu yang mengintegrasikan ilmu kedokteran dasar dan
menjembatani ilmu praklinik dan klinik.
Pada praktikum kali ini mengenai eksperimen-eksperimen dasar yang mana mempelajari
cara-cara pemberian obat melalui beberapa rute pemberian dengan hewan percobaan mencit
menggunakan obat diazepam. Tindakan pemberian obat juga merupakan tugas dari seorang
farmasis dan dalam pemberiannya harus memperhatikan beberapa aspek diantaranya tepat
pasien (right client), tepat obat (right drug), tepat dosis (right dosis), tepat waktu (right time),
tepat cara (right route) dan tepat dokumentasi (right documentation).
Rute pemeberian obat juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efek obat.
Terdapat berbagai rute pemberian yaitu, oral, subkutan, intravena, intraperitoneal,
intramuskular, rektal, dan topikal. Rute pemberian dipilih berdasarkan efek yang diinginkan.
Jika, salah dalam pemberian maka efek yang timbul bukan efek yang diinginkan atau bisa
efek yang akan membuat keadaan pasien semakin parah. Contohnya diazepam, yang
merupakan sedatif atau penenang efeknya dapat beragam bergantung rute pemberiannya.
Bila pemberian intravena tidak hati-hati dapat mengakibatkan shock dan depresi pernafasan.
Oleh karena itu, dalam praktikum kali ini mahasiswa farmasi harus mempelajari dan
memahami cara-cara rute pemberian obat dengan memperhatikan beberapa aspek dalam
pemberian obat dan apalagi jika ingin percobakan suatu sediaan kehewan uji. Sehingga, hasil
yang didapatkan dari pemberian obat tersebut sesuai dengan efek yang diinginkan dan juga
bermanfaat dalam bidang farmasi. contohnya pada penelitian, pembuatan sediaan, dan lain-
lain yang berhubungan dengan uji efektivitas sediaan farmasi.
1.2 Tujuan Percobaan
- Mengenal teknik-teknik pemberian obat melalui berbagai pemberian obat.
- Menyadari berbagai pengaruh rute pemberian obat terhadap efeknya.
- Dapat menyatakan beberapa konsekuensi praktis dari pengaruh rute pemberian obat
terhadap efeknya.
- Mengenal manifestasi berbagai obat yang diberikan.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Dasar Teori


Rute pemberian obat (Routes of Administration) merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi efek obat, karena karakteristik lingkungan fisiologis anatomi dan biokimia
yang berbeda pada daerah kontak obat dan tubuh karakteristik ini berbeda karena jumlah
suplai darah yang berbeda; enzim-enzim dan getah-getah fisiologis yang terdapat di
lingkungan tersebut berbeda. Hal-hal ini menyebabkan bahwa jumlah obat yang dapat
mencapai lokasi kerjanya dalam waktu tertentu akan berbeda, tergantung dari
rute pemberian obat (Katzung, B.G, 1989).
Rute pemberian obat, dapat diberikan secara peroral, subkutan, intramuscular, intravena
dan intraperitonial. Rute peroral dapat diberikan dengan mencampurkan obat bersama
makanan, bisa pula dengan jarum khusus ukuran 20 dan panjang kira-kira 5cm untuk
memasukkan senyawa langsung ke dalam lambung melalui esophagus, jarum ini ujungnya
bulat dan berlubang ke samping. Rute subkutan paling mudah dilakukan pada mencit. Obat
obat dapat diberikan kepada mencit dengan jarum yang panjangnya 0,5-1,0 cm dengan
ukuran 22-24 (22-24 gauge). Obat bisa disuntikkan dibawah kulit di daerah punggung atau
didaerah perut. Kekurangan dari rute ini adalah obat harus dapat larut dalam cairan hingga
dapat disuntikkan. Rute pemberian obat secara intramuscular lebih sulit karena otot mencit
sangat kecil, obat bisa disuntikkan ke otot paha bagian belakang dengan jarum panjang 0,5-
2,0 cm dengan ukuran 24 gauge, suntikkan tidak boleh terlalu dalam agar tidak terkena
pembuluh darah. Cara intraperitoneal hampir sama dengan IM, suntikkan dilakukan di daerah
abdomen diantara cartilage xiphoidea dan symphysis pubis.
Cara pemberian obat melalui oral (mulut), sublingual (bawah lidah), rektal (dubur) dan
parenteral tertentu, seperti melalui intradermal, intramuskular, subkutan, dan intraperitonial,
melibatkan proses penyerapan obat yang berbeda-beda. Pemberian secara parenteral yang
lain, seperti melalui intravena, intra-arteri, intraspinal dan intraseberal, tidak melibatkan
proses penyerapan, obat langsung masuk ke peredaran darah dan kemudian menuju sisi
reseptor (receptor site) cara pemberian yang lain adalah inhalasi melalui hidung dan secara
setempat melalui kulit atau mata. Proses penyerapan dasar penting dalam menentukan
aktifitas farmakologis obat. Kegagalan atau kehilangan obat selama proses penyerapan akan
memperngaruhi aktifitas obat dan menyebabkan kegagalan pengobatan (Siswandono dan
Soekardjo, B., 1995).
Faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan ialah faktor internal
dan faktor eksterna, adapun faktor internal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan
meliputi variasi biologik (usia, jenis kelamin) pada usia hewan semakin muda maka semakin
cepat reaksi yang ditimbulkan, ras dan sifat genetic, status kesehatan dan nutrisi, bobot
tubuh, luas permukaan tubuh. Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi hasil percobaan
meliputi suplai oksigen, pemeliharaan lingkungan fisiologik (keadaan kandang, suasana
asing atau baru, pengalaman hewan dalam penerimaan obat keadaan ruangan tempat hidup
seperti suhu, kelembaban, ventilaasi, cahaya, kebisingan serta penempatan hewan),
pemeliharaan keutuhan struktur ketika menyiapkan jaringan atau organ untuk percobaan.
Diazepam adalah turunan dari benzodiazepine dengan rumus molekul 7-kloro-1,3-
dihidro-1-metil-5-fenil-2H-1,4-benzodiazepin-2-on. Merupakan senyawa Kristal tidak
berwarna atau agak kekuningan yang tidak larut dalam air. Diazepam termasuk golongan
benzodiazepine yang long act dengan waktu paruh lebih dari 24 jam. Diazepam di samping
khasiatnya sebainggai anksiolitis, relaksasi otot, hipnotik dan sedativ juga berdaya sebagai
antikonvulsi. Berdasarakan khasiat antikonvulsi ini diazepam digunakan dalam bentuk
injeksi i.v terhadap status epilepticus. Pada penggunaan oral dan dalam klisma (rectiole),
resorpsinya baik dan cepat tetapi dalam bentuk suppositoria lambat dan tidak sempurna. K.I.
97-99% diikat pada protein plasma. Didalam hati diazepam di biotransformasi menjadi antara
lain N-desmethyldiazepam yang juga aktif dengan plasma-t ½ panjang, antara 42-120 jam.
Plasma-t ½ diazepam sendiri berkisar antara 20-54 jam.
Toleransi dapat terjadi terhadap efek antikonvulsinya, sama terhadap efek hipnotiknya.
Efek sampingnya adalah lazim bagi kelompok benzodiazepin, yakni mengantuk, termenung-
menung, pusing dan kelemahan otot. Dosis : 2-4 dd 2-10 mg dan i.v 5-10 mg dengan
perlahan-lahan (1 – 2 menit), bila perlu diulang setelah 30 menit ; Pada anak-anak 2-5mg.
Pada status epilepticus dewasa dan anak di ats usia 5 tahun 10mg (rectiole) ; pada anak-anak
dibawah 5 tahun 5mg sekali. Pada konvulsi demam : anak-anak 0,25mg-0,5mg/kg BB
(rectiole), bayi dan anakanak di bawah 5 tahun 5 mg, setelah 5 tahun 10 mg, juga secara
preventf pada demam ( tinggi ). (Tjay,T.H dan Rahardja,K, 2007)
BAB III
ALAT, BAHAN DAN PROSEDUR KERJA

3.1 Alat dan Bahan


Hewan percobaan : Mencit
Obat yang diberikan : Diazepam
Dosis obat : 0,1-0,2 mg/kg (dosis manusia IV)
Alat : Alat suntik 1 ml, Jarum oral

3.2 Prosedur Kerja


1. Rute pemberian oral
Mencit dipegang pada tengkuknya, jarum oral telah dipasang pada alat suntik berisi
obat, diselipkan dekat ke langit-langit tikus dan diluncurkan masuk ke esophagus,
larutan didesak ke luar dari alat suntik, kepada tikus secara oral.
2. Rute pemberian obat secara subkutan
Penyuntikan biasanya dilakukan dibawah kulit tengkuk atau abdomen. Seluruh jarum
langsung ditusukkan ke bawah kulit dan larutan obat didesak keluar dari alat suntik.
3. Rute pemberian secara intravena.
a) Mencit dimasukkan kedalam alat khusus yang memungkinkan ekornya keluar.
b) Sebelum disuntik sebaiknya pembuluh balik pada ekor didilatasi dengan
penghangatan atau pengolesan memakai pelarut organic seperti aseton atau eter.
c) Bila jarum tidak masuk ke vena, terasa ada tahanan, jaringan ikat sekitar daerah
penyuntikan memutih dan bila piston alat suntik ditarik tidak ada darah yang
mengalir ke dalamnya.
d) Dalam keadaan dimana harus dilakukan penyuntikan berulang, penyuntikan
dimulai dari bagian distal ekor.
4. Rute pemberian secara intraperitoneal
Mencit dipegang pada tengkuknya, sedemikian sehingga posisi abdomen lebih tinggi
dari kepala. Lalu larutan disuntikkan ke dalam abdomen lebih tinggi dari kepala. Lalu
larutan obat disuntikkan ke dalam abdomen bawah dari tikus.
5. Rute pemberian secara intramuscular
Larutan obat disuntikkan ke dalam otot paha kiri belakang. Selalu di cek apakah jarum
tidak masuk ke dalam vena dengan menarik kembali piston alat suntik.
6. Rute pemberian secara rektal
Kateter dibasahi dulu dengan paraffin atau gliserin, kemudia dimasukkan ke dalam
rectum mencit sejauh kira-kira 4 cm dan larutan obat didesak keluar.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


Mencit BB (g) Rute Pemberian Dosis Pengamatan
(VAO) t (waktu) Respon
1 24 Oral 0,057 mL 5 menit Gatal-gatal
10 menit Gerakan dan
respon
melambat
24 menit Semakin
lambat
31 menit Mengantuk
50 menit Normal
2 22 Intra Muskular 0,05 mL 3 menit Tidak tidur,
tetapi ataxia
7 menit, 44 Tidur, tetapi
detik tegak ketika
diberi
rangsangan
nyeri
24 menit Mulai aktif
40 menit Normal tetapi
bagian kakinya
yang terluka
tidak bergerak
3 24 Subkutan 0,059 Sesaat Kejang-kejang
setelah
penyuntikan
30 detik Letal
28 Subkutan 0,069 Setelah Gatal-gatal
penyuntikan
1 menit, 40 Gerak mulai
detik lambat
5 menit Semakin
lambat
30 Menit Normal
4 23 Intraperitoneal 0,05 ml 15 detik Tenang, mulai
tidak bergerak
3 menit Lemah dan
tertidur
5 menit Tidak
terpengaruh
dengan respon
yang diberikan
12 menit Tidak ada
respon, suhu
tubuh hangat
15 menit Sedikit respon
pada bagian
kepala, detak
jatung lebih
cepat dari
sebelumnya
34 menit Mulai berjalan

60 menit Normal

4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kami melakukan eksperimen-eksperimen dasar mengenai
beberapa rute pemberian obat pada hewan mencit dengan menggunakan obat diazepam.
Hewan mencit digunakan dalam uji rute pemberian obat karena karakteristik mencit yang
hampir mirip dengan manusia, sehingga cocok sebagai hewan percobaan dan bahan
pengamatan. Sebelum melakukan percobaan, praktikan menimbang berat badan dan
menghitung dosis (VAO).
Perhitungan dosis mencit yang akan diberikan berdasarkan pada berat masing-masing
mencit. Mencit yang digunakan dalam praktikum sebanyak 8 ekor, 4 ekor digunakan sebagai
bahan uji dan 4 ekor lainnya digunakan sebagai control. 4 ekor yang digunakan sebagai
bahan uji diperlakukan dengan berbagai rute pemberian yang diantaranya secara oral,
intramuskular, intraperitoneal, dan subkutan. Pemberian dengan berbagai rute bertujuan
untuk melihat lama waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek dari obat yang
diberikan.
Pada pemberian dengan rute oral, obat diazepam diberikan sebanyak 0,057 mL sesuai
dengan perhitungan VAO. Sesaat setelah pemberian obat, mencit tidak langsung memberikan
reaksi. Mencit memberikan reaksi pada menit ke-5, berupa gatal-gatal yang merupakan efek
samping dari obat diazepam. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah literatur1 yang
menyatakan bahwa gatal-gatal merupakan salah satu efek samping diazepam berupa alergi.
Selanjutnya pada menit ke-10 hingga menit ke-30, mencit memberikan efek gerak tubuh
yang lambat atau biasa disebut dengan efek sedatif (menenangkan). Pada menit ke-31 sampai
menit ke-49, mencit menunjukan efek berkurangnya reaksi pada rangsangan yang diberikan
atau efek mengantuk tetapi tidak sampai menunjukan efek hipnotik (tidur). Mulai dari menit
ke-50, mencit sudah bereaksi dengan normal. Hal ini membuktikan bahwa mencit
menunjukkan efek resisten terhadap obat diazepam, sesuai dengan literatur pada modul
praktikum farmakologi yang menyatakan bahwa efek resisten yaitu efek tidak tidur tetapi
mengalami ataxia.
Pada pemberian rute subkutan, mencit pertama dengan berat 24 gram diberikan dosis
0,059 mL. Setelah diberikan obat, mencit langsung menunjukan efek kejang-kejang dan
mengalami overdosis dan menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan pemberian dosis
terlalu tinggi, cara pemberian dilakukan tidak dengan sekali penyuntikan atau tidak sesuai
dengan prosedur, dan juga menunjukkan efek mencit yang sangat peka terhadap obat
diazepam. Namun pada percobaan mencit yang kedua, mencit seberat 28 gram diberikan
dosis sebanyak 0,69 mL. Reaksi yang ditimbulkan sesaat setelah obat diberikan, mencit
mengalami gatal-gatal yang ditimbulkan karena efek samping dari alergi. Pada menit ke-1
sampai mendekati menit ke-29, mencit menunjukkan reaksi gerak yang lambat dan
mengantuk yang disebabkan oleh efek sedatif dari obat diazepam. Mulai menit ke-30, mencit
sudah kembali normal. Hal ini membuktikan bahwa mencit menunjukkan efek resisten yaitu
efek tidak tidur tetapi mengalami ataxia, yang sesuai dengan pernyataan pada modul
praktikum farmakologi.
Selanjutnya pada pemberian secara intra-muskular, dengan pemberian dosis VAO 0,05
ml. Mencit pada menit ke-3 mengalami efek ataxia tetapi tidak tidur. hal tersebut disebabkan
dari efek obat diazepam yang diberikan mulai bekerja. Namun, pada menit ke-7 44 detik
mencit mengalami efek hipnotik atau tertidur, tetapi tegak ketika diberi rangsangan nyeri.
Dan pada menit ke-24 hingga menit ke-39 mulai menunjukkan gerak normal, namun pada
bagian kaki yang terluka masih tidak bergerak. Pada menit ke-40 mecit sudah normal
kembali. Hal ini membuktikan bahwa mencit mengalami efek yang sesuai terhadap obat
diazepam, dimana efek sesuai yang diduga yaitu efek tetidur tetapi tegak ketika diberi
rangsangan nyeri, dimana sesuai dengan literatur modul praktikum farmakologi.
Rute intraperitoneal merupakan rute yang cukup efektif karena memberikan hasil yang
lumayan cepat. Namun, cara pemberian intraperitoneal tidak dilakukan pada manusia karena
bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar (Setiawati, A. dan F. D. Suyatna, 1995). Pada saat
perlakuan kepada mencit, adanya reaksi muncul mulai detik ke-15 dengan tanda mencit
mulai tenang dan tidak bergerak. Selanjutnya pada saat menit ke-3, mencit mulai lemah dan
tertidur. Lalu pada waktu menit ke-5, mencit tidak terpengaruh oleh respon yang diberikan
yang berarti obat yang diberikan sedang bekerja sepenuhnya. Kemudian saat mencit-12,
mencit tetap tidak memberikan respon serta suhu tubuhnya hangat. Pada waktu menit ke-15,
mencit mulai memberi respon pada bagian kepala dan berdetak dimana berarti efek obat
mulai berkurang.
Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh, urutan rute pemberian obat tercepat
sampai terlambat adalah secara subkutan, intramuskular, intraperitoneal, dan terakhir secara
oral. Hal tersebut tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa rute pemberian
tercepat adalah intraperitoneal, intramuskular, subcutan, dan terakhir secara oral. Didalam
literatur pemberian obat secara intraperitoneal yang memiliki onset yang cepat dan memiliki
durasi yang pendek karena pada abdomen terdapat banyak pembuluh darah sehingga obat
dapat langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Untuk rute pemberian obat secara
intramuskular lebih lama dari intraperitoneal karena pada bagian otot paha memiliki lapisan
lemak yang tipis sehingga obat terhalang oleh lapisan lemak tersebut. Rute secara subcutan
memiliki onset dan durasi yang lama dari intramuskular karena obat terhalang oleh lemak.
Sedangkan pada rute pemberian secara oral memiliki durasi obat yang lebih lama dari rute
lain karena oral memiliki rute panjang (metabolisme) yang harus dilalui obat sebelum
mencapai reseptor dan menimbulkan efek. Oleh karena itu, rute pemberian obat
mempengaruhi lamanya obat yang terserap dan efek yang ditimbulkan sebab tujuan rute
pemberian obatnya berbeda-beda.

Pada percobaan yang kami lakukan, banyak terjadi kesalahan-kesalahan yang kami
lakukan sehingga efek obat yang dihasilkan tidak sesuai dengan literatur. Kesalahan ini dapat
terjadi karena kesalahan prosedur atau teknik dalam pemberian obat kepada hewan uji
ataupun dosis yang diberikan tidak tepat dengan hasil perhitungan dosis menggunakan rumus
VAO.
BAB V
KESIMPULAN
Dari praktikum ini dapat disimpulkan jika :

1. Rute pemberian obat yang memiliki onset tercepat adalah subkutan, sedangkan pada
literatur adalah intraperitonial.
2. Rute pemberian obat yang memiliki durasi terlama adalah oral sesuai dengan literatur.
3. Perbedaan rute pemberian obat ini dikarenakan adanya kesalahan-kesalahan yang terjadi
saat praktikum baik kesalahan dari prosedur atau teknik dalam pemberian obat kepada
hewan uji maupun pemberian dosis yang tidak tepat dengan hasil perhitungan dosis
menggunakan rumus VAO.
DAFTAR PUSTAKA

Ganiswara,Sulistia G.2008.Farmakologi dan Terapi Edisi Revisi V.Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

Katzung, Betram. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta.

Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga Unviersity Press: Surabaya.

Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia: Jakarta

Goodman and Gilman’s. 1992. The Pharmacological Basis of Therapeutics. Eight Edition. Vol.
1. New York. McGraw-Hill : 3.

Tim Dosen. 2019. Penuntun Praktikum Farmakologi. Program Studi Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah: Jakarta.
LAMPIRAN

A. Hewan Mencit

Anda mungkin juga menyukai