“EKSPERIMEN-EKSPERIMEN DASAR”
DISUSUN OLEH :
Kelompok 1A
Siti Annisa Syafira 11171020000004
Syifa Fuadina 11171020000006
Tanisa Intan Murbarani 11171020000009
Sarah Nahdah ZS 11171020000015
Dery Akmal Arhandika 11171020000017
Lucky Kurnia Lestari 11171020000024
MARET/2019
BAB I
PENDAHULUAN
60 menit Normal
4.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, kami melakukan eksperimen-eksperimen dasar mengenai
beberapa rute pemberian obat pada hewan mencit dengan menggunakan obat diazepam.
Hewan mencit digunakan dalam uji rute pemberian obat karena karakteristik mencit yang
hampir mirip dengan manusia, sehingga cocok sebagai hewan percobaan dan bahan
pengamatan. Sebelum melakukan percobaan, praktikan menimbang berat badan dan
menghitung dosis (VAO).
Perhitungan dosis mencit yang akan diberikan berdasarkan pada berat masing-masing
mencit. Mencit yang digunakan dalam praktikum sebanyak 8 ekor, 4 ekor digunakan sebagai
bahan uji dan 4 ekor lainnya digunakan sebagai control. 4 ekor yang digunakan sebagai
bahan uji diperlakukan dengan berbagai rute pemberian yang diantaranya secara oral,
intramuskular, intraperitoneal, dan subkutan. Pemberian dengan berbagai rute bertujuan
untuk melihat lama waktu yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek dari obat yang
diberikan.
Pada pemberian dengan rute oral, obat diazepam diberikan sebanyak 0,057 mL sesuai
dengan perhitungan VAO. Sesaat setelah pemberian obat, mencit tidak langsung memberikan
reaksi. Mencit memberikan reaksi pada menit ke-5, berupa gatal-gatal yang merupakan efek
samping dari obat diazepam. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah literatur1 yang
menyatakan bahwa gatal-gatal merupakan salah satu efek samping diazepam berupa alergi.
Selanjutnya pada menit ke-10 hingga menit ke-30, mencit memberikan efek gerak tubuh
yang lambat atau biasa disebut dengan efek sedatif (menenangkan). Pada menit ke-31 sampai
menit ke-49, mencit menunjukan efek berkurangnya reaksi pada rangsangan yang diberikan
atau efek mengantuk tetapi tidak sampai menunjukan efek hipnotik (tidur). Mulai dari menit
ke-50, mencit sudah bereaksi dengan normal. Hal ini membuktikan bahwa mencit
menunjukkan efek resisten terhadap obat diazepam, sesuai dengan literatur pada modul
praktikum farmakologi yang menyatakan bahwa efek resisten yaitu efek tidak tidur tetapi
mengalami ataxia.
Pada pemberian rute subkutan, mencit pertama dengan berat 24 gram diberikan dosis
0,059 mL. Setelah diberikan obat, mencit langsung menunjukan efek kejang-kejang dan
mengalami overdosis dan menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan pemberian dosis
terlalu tinggi, cara pemberian dilakukan tidak dengan sekali penyuntikan atau tidak sesuai
dengan prosedur, dan juga menunjukkan efek mencit yang sangat peka terhadap obat
diazepam. Namun pada percobaan mencit yang kedua, mencit seberat 28 gram diberikan
dosis sebanyak 0,69 mL. Reaksi yang ditimbulkan sesaat setelah obat diberikan, mencit
mengalami gatal-gatal yang ditimbulkan karena efek samping dari alergi. Pada menit ke-1
sampai mendekati menit ke-29, mencit menunjukkan reaksi gerak yang lambat dan
mengantuk yang disebabkan oleh efek sedatif dari obat diazepam. Mulai menit ke-30, mencit
sudah kembali normal. Hal ini membuktikan bahwa mencit menunjukkan efek resisten yaitu
efek tidak tidur tetapi mengalami ataxia, yang sesuai dengan pernyataan pada modul
praktikum farmakologi.
Selanjutnya pada pemberian secara intra-muskular, dengan pemberian dosis VAO 0,05
ml. Mencit pada menit ke-3 mengalami efek ataxia tetapi tidak tidur. hal tersebut disebabkan
dari efek obat diazepam yang diberikan mulai bekerja. Namun, pada menit ke-7 44 detik
mencit mengalami efek hipnotik atau tertidur, tetapi tegak ketika diberi rangsangan nyeri.
Dan pada menit ke-24 hingga menit ke-39 mulai menunjukkan gerak normal, namun pada
bagian kaki yang terluka masih tidak bergerak. Pada menit ke-40 mecit sudah normal
kembali. Hal ini membuktikan bahwa mencit mengalami efek yang sesuai terhadap obat
diazepam, dimana efek sesuai yang diduga yaitu efek tetidur tetapi tegak ketika diberi
rangsangan nyeri, dimana sesuai dengan literatur modul praktikum farmakologi.
Rute intraperitoneal merupakan rute yang cukup efektif karena memberikan hasil yang
lumayan cepat. Namun, cara pemberian intraperitoneal tidak dilakukan pada manusia karena
bahaya injeksi dan adhesi terlalu besar (Setiawati, A. dan F. D. Suyatna, 1995). Pada saat
perlakuan kepada mencit, adanya reaksi muncul mulai detik ke-15 dengan tanda mencit
mulai tenang dan tidak bergerak. Selanjutnya pada saat menit ke-3, mencit mulai lemah dan
tertidur. Lalu pada waktu menit ke-5, mencit tidak terpengaruh oleh respon yang diberikan
yang berarti obat yang diberikan sedang bekerja sepenuhnya. Kemudian saat mencit-12,
mencit tetap tidak memberikan respon serta suhu tubuhnya hangat. Pada waktu menit ke-15,
mencit mulai memberi respon pada bagian kepala dan berdetak dimana berarti efek obat
mulai berkurang.
Berdasarkan data pengamatan yang diperoleh, urutan rute pemberian obat tercepat
sampai terlambat adalah secara subkutan, intramuskular, intraperitoneal, dan terakhir secara
oral. Hal tersebut tidak sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa rute pemberian
tercepat adalah intraperitoneal, intramuskular, subcutan, dan terakhir secara oral. Didalam
literatur pemberian obat secara intraperitoneal yang memiliki onset yang cepat dan memiliki
durasi yang pendek karena pada abdomen terdapat banyak pembuluh darah sehingga obat
dapat langsung masuk ke dalam pembuluh darah. Untuk rute pemberian obat secara
intramuskular lebih lama dari intraperitoneal karena pada bagian otot paha memiliki lapisan
lemak yang tipis sehingga obat terhalang oleh lapisan lemak tersebut. Rute secara subcutan
memiliki onset dan durasi yang lama dari intramuskular karena obat terhalang oleh lemak.
Sedangkan pada rute pemberian secara oral memiliki durasi obat yang lebih lama dari rute
lain karena oral memiliki rute panjang (metabolisme) yang harus dilalui obat sebelum
mencapai reseptor dan menimbulkan efek. Oleh karena itu, rute pemberian obat
mempengaruhi lamanya obat yang terserap dan efek yang ditimbulkan sebab tujuan rute
pemberian obatnya berbeda-beda.
Pada percobaan yang kami lakukan, banyak terjadi kesalahan-kesalahan yang kami
lakukan sehingga efek obat yang dihasilkan tidak sesuai dengan literatur. Kesalahan ini dapat
terjadi karena kesalahan prosedur atau teknik dalam pemberian obat kepada hewan uji
ataupun dosis yang diberikan tidak tepat dengan hasil perhitungan dosis menggunakan rumus
VAO.
BAB V
KESIMPULAN
Dari praktikum ini dapat disimpulkan jika :
1. Rute pemberian obat yang memiliki onset tercepat adalah subkutan, sedangkan pada
literatur adalah intraperitonial.
2. Rute pemberian obat yang memiliki durasi terlama adalah oral sesuai dengan literatur.
3. Perbedaan rute pemberian obat ini dikarenakan adanya kesalahan-kesalahan yang terjadi
saat praktikum baik kesalahan dari prosedur atau teknik dalam pemberian obat kepada
hewan uji maupun pemberian dosis yang tidak tepat dengan hasil perhitungan dosis
menggunakan rumus VAO.
DAFTAR PUSTAKA
Katzung, Betram. 1989. Farmakologi Dasar dan Klinik. Salemba Medika: Jakarta.
Siswandono dan Soekardjo. 1995. Kimia Medisinal. Airlangga Unviersity Press: Surabaya.
Tjay, Tan Hoan dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting. PT Gramedia: Jakarta
Goodman and Gilman’s. 1992. The Pharmacological Basis of Therapeutics. Eight Edition. Vol.
1. New York. McGraw-Hill : 3.
Tim Dosen. 2019. Penuntun Praktikum Farmakologi. Program Studi Farmasi UIN Syarif
Hidayatullah: Jakarta.
LAMPIRAN
A. Hewan Mencit