Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Lambung merupakan sebuah kantung muskuler yang letaknya antara esophagus

dan usus halus, sebelah kiri abdomen di bawah diafragma. Lambung merupakan

saluran yang dapat mengembang karena adanya gerakan peristaltik, tekanan

organ lain, dan postur tubuh. Neopasma ialah kumpulan sel abnormal

yangterbentukolehsel-selyangtumbuhterus- menerus secara tak terbatas, tidak

terkoordinasi dengan jaringan sekitarnya dan tidak berguna bagi tubuh (Patologi,

dr. AchmadTjarta,2002).

Penurunan fungsi tubuh akan menurun seiring bertambahnya umur seseorang. Hal

itu membuat lansia sangat identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan

mengalami berbagai macam penyakit. Beberapa perubahan dapat terjadi pada

saluran cerna atas akibat proses penuaan, terutama pada ketahanan mukosa

lambung. Kadar asam lambung lansia biasanya mengalami penuruna hingga 85%.

Penurunan tersebut akan membuat lansia rentan menderita penyakit. Banyaknya

jenis obat akan menimbulkan masalah antara lain kemungkinan memerlukan

ketaatan atau menimbulkan kebingungan dalam menggunakan atau cara minum

obat. Disamping itu dapat meningkatkan resiko efek samping obat atau interaksi

obat.
BAB II

TINJAUAN PUSTKA

A. PENGERTIAN

Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -peptein

(pencernaan) (Murdani, 2012).Dispepsia merupakan istilah yang digunakan dalam

suatu sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa

tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh,

sendawa, regurgitas, dan rasa panas yang menjalar di. Keluhan ini tidak selalu ada

pada setiap penderita (Rahma, dkk 2018).

Setiap penderita keluhannya dapat berganti atau bervariasi, baik dari segi jenis

keluhan maupun kualitas keluhan. Jadi, dispepsia bukanlah suatu penyakit,

melainkan merupakan kumpulan gejala ataupun keluhan yang harus dicari

penyebabnya (Sofro dan Anurogo, 2013). Keluhan dispepsia dapat disebabkan

karena berbagai penyakit, salah satunya penyakit pada saluran cerna yaitu gastritis

(Sudoyo, 2009). Gejala awal pada gastritis yang memicu sindrom dispepsia

berkaitan dengan ketidakteraturan pada pola makan dan jeda antara jadwal makan

yang lama. Ketidakteraturan pola makan sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan

kegiatan yang padat, keinginan untuk mempunyai bentuk tubuh ideal, dan

melemahnya pengawasan dalam mengatur pola makan (Dwigint, 2015).

Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an,

yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari

nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat

kenyang, rasa penuh, sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada.
Sindrom atau keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit,

tentunya termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung (Murdani,

2012).

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian

atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala

berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah

makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan

sendawa. Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung

setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum

diagnosis ditegakkan (Marcellus, dkk 2014).

B. KLASIFIKASI

Klasifikasi Dispepsia Dispepsia terbagi atas dua jenis yaitu:

a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai

penyebabnya. Sindroma dispepsia organik terdapat kelainan yang nyata

terhadap organ tubuh misalnya tukak (ulkus peptikum), dispepsia, cancer,

Gastro-Esophageal reflux disease, hiperacidity.

b. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau dispepsia non ulkus

(DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai

kelainan atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis,

laboratorium, radiologi, dan endoskopi (teropong saluran pencernaan)

 Jenis-jenis dispepsia organik yaitu :


a. Tukak Pada Saluran Cerna Atas

Tukak dapat ditemukan pada saluran cerna bagian atas yaitu pada

mukosa, submukosa dan lapisan muskularis, pada distal esophagus,

lambung dan duodenum. Keluhan yang sering terjadi adalah nyeri

epigastrum. Nyeri yang dirasakan yaitu nyeri tajam dan menyayat atau

tertekan, penuh atau terasa perih seperti orang lapar. Nyeri epigastrum

terjadi 30 menit sesudah makan dan dapat menjalar ke punggung.

Nyeri dapat berkurang atau hilang sementara sesudah makan atau

setelah minum antasida. Gejala lain seperti mual, muntah, kembung,

bersendawa dan kurang nafsu makan (Misnadiarly, 2009.).

b. Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD)

Gastro-Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah kelainan yang

menyebabkan cairan lambung mengalami refluks (mengalir balik) ke

kerongkongan dan menimbulkan gejala khas berupa rasa panas

terbakar didada (hearthburn), kadang disertai rasa nyeri serta gejala

lain seperti rasa panas dan pahit di lidah, serta kesulitan menelan.

Belum ada tes standar untuk mendiagnosa, kejadiannya diperkirakan

dari gejala-gejala penyakit lain atau dari ditemukannya radang pada

esofagus seperti esofagitis .

c. Karsinoma Karsinoma pada saluran pencernaan (esofagus, lambung,

pankreas, kolon) sering menimbulkan dispepsia. Keluhan utama yaitu

rasa nyeri di perut, bertambah dengan nafsu makan turun, timbul

anoreksia yang menyebabkan berat badan turun (Misnadiarly, 2009.).


d. Pankreatitis Gambaran yang khas dari pankreatitis akut ialah rasa nyeri

hebat di epigastrum. Nyeri timbul mendadak dan terus menerus, seperti

ditusuk tusuk dan terbakar. Rasa nyeri dimulai dari epigastrum

kemudian menjalar ke punggung. Perasaan nyeri menjalar ke seluruh

perut dan terasa tegang beberapa jam kemudian. Perut yang tegang

menyebabkan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa nyeri di perut

bagian atas juga terjadi pada penderita pankreatitis kronik.

e. Dispepsia pada Sindrom Malabsorbs Malabsorpsi adalah suatu keadaan

terdapatnya gangguan proses absorbsi dan digesti secara normal pada

satu atau lebih zat gizi. Penderita ini mengalami keluhan rasa nyeri

perut, nausea, anoreksia, sering flatus, kembung dan timbulnya diare

berlendir (Sudoyo, 2009).

f. Dispepsia akibat Infeksi bakteri Helicobacter pylori Penemuan bakteri

ini dilakukan oleh dua dokter peraih Nobel dari Australia, Barry

Marshall dan Robin Warre yang menemukan adanya bakteri yang bisa

hidup dalam lambung manusia. Penemuan ini mengubah cara pandang

ahli dalam mengobati penyakit lambung. Penemuan ini membuktikan

bahwa infeksi yang disebabkan oleh Helicobacter pylori pada lambung

dapat menyebabkan peradangan mukosa lambung yang disebut

dispepsia. Proses ini berlanjut sampai terjadi ulkus atau tukak bahkan

dapat menjadi kanker.


 Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :

1. Postprandial distress syndrome

a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan

dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu.

b. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu

menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali

seminggu. Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah

adanya rasa kembungdi daerah perut bagian atas atau mual setelah

makan atau bersendawa yang berlebihan dan dapat timbul

bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrum.

2. Epigastric pain syndrome

a. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrum

dengan tingkat keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi

sekali dalam seminggu.

b. Nyeri timbul berulang

c. Tidak menjalar atau terlokalisai di daerah perut atau dada selain

daerah perut bagian atas/epigastrum

d. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan

kandung empedu dan sfinger oddi.

Kriteria penunjang sindrom dispepsia jenis ini adalah :

a. Nyeri epigastrum dapat berupa rasa terbakar, tetapi tanpa menjalar

ke daerah retrosternal
b. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan,tetapi

mungkin timbul saat puasa.

c. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom stress setelah makan

(Abdulah danGunawan, 2012).

C. ETIOLOGI

Faktor-faktor yang Menyebabkan Dispepsia Dispepsia dapat disebabkan oleh

berbagai penyakit baik yang bersifat organik dan fungsional. Penyakit yang

bersifat organik antara lain karena terjadinya gangguan di saluran cerna atau di

sekitar saluran cerna, seperti pankreas, kandung empedu dan lain-lain. Sedangkan

penyakit yang bersifat fungsional dapat dipicu karena faktor psikologis dan faktor

intoleran terhadap obat-obatan dan jenis makanan tertentu (Abdulah dan

Gunawan, 2012).

 Faktor-faktor yang menyebabkan dispepsia adalah :

1. Gangguan pergerakan (motilitas) piloroduodenal dari saluran pencernaan

bagian atas (esofagus, lambung dan usus halus bagian atas).

2. Menelan terlalu banyak udara atau mempunyai kebiasaan makan salah

(mengunyah dengan mulut terbuka atau berbicara).

3. Menelan makanan tanpa dikunyah terlebih dahulu dapat membuat

lambungterasa penuh atau bersendawa terus.

4. Mengkonsumsi makanan/minuman yang bisa memicu timbulnya dispepsia,

seperti minuman beralkohol, bersoda (soft drink), kopi. Minuman jenis ini

dapat mengiritasi dan mengikis permukaan lambung.


5. Obat penghilang nyeri seperti Nonsteroid Anti Inflamatory Drugs (NSAID)

misalnya aspirin, Ibuprofen dan Naproven

6. Pola makan Di pagi hari kebutuhan kalori seseorang cukup banyak

sehingga bila tidak sarapan, lambung akan lebih banyak memproduksi

asam. Tuntutan pekerjaan yang tinggi, padatnya lalu lintas, jarak tempuh

rumah dan kantor yang jauh dan persaingan yang tinggi sering menjadi

alasan para profesional untuk menunda makan.

7. Faktor stress erat kaitannya dengan reaksi tubuh yang merugikan

kesehatan. Pada waktu stres akan menyebabkan otak mengaktifkan sistem

hormon untuk memicu sekresinya. Proses ini memicu terjadinya penyakit

psychosomatik dengan gejala dispepsia seperti mual, muntah, diare,

pusing, nyeri otot dan sendi

D. DIAGNOSIS

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya

nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila kelainan organik

ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis banding dispepsia organik,

sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan

ke arah dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional

merupakan diagnosis by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-

benar dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik. Dalam salah satu sistem

penggolongan, dispepsia fungsional diklasifi kasikan ke dalam ulcer-like

dyspepsia dan dysmotility-like dyspepsia; apabila tidak dapat masuk ke dalam 2


subklasifi kasi di atas, didiagnosis sebagai dispepsia nonspesifik.

Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit membedakan antara

dispepsia fungsional dan organik, terutama bila gejala yang timbul tidak khas, dan

menjadi indikasi mutlak bila pasien berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan

tanda-tanda bahaya.

Kriteria Roma III pada tahun 2010, dalam American Journal of

Gastroenterology, Diagnosis dispepsia fungsional ditegakkan setelah penyebab

lain dispepsia berhasil dieksklusi. Karena itu, upaya diagnosis ditekankan pada

upaya mengeksklusi penyakit-penyakit serius atau penyebab spesifik organik yang

mungkin, bukan menggali karakteristik detail dan mendalam dari gejala-gejala

dispepsia yang dikeluhkan pasien. Dispepsia fungsional Kriteria diagnostik

terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Salah satu atau lebih dari gejala-gejala di bawah ini:

a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu

b. Perasaan cepat kenyang

c. Nyeri ulu hati

d. Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan

timbulnya gejala

(termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas [SCBA])

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan

terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
a. Postprandial distress syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan

dengan porsi biasa,sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi

makan biasa,sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan

terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

 Kriteria penunjang

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan

atau bersendawa yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.

b. Epigastric pain syndrome

Kriteria diagnostik* terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat

keparahanmoderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu

2. Nyeri timbul berulang

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut

bagianatas/epigastrium

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung


empedu dan sfingter Oddi

* Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan

terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum

diagnosis.

 Kriteria penunjang

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke

daerah retrosternal. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan

makan, namun mungkin timbul saat puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan

( Murdani,2012)

 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaanpenunjangharus bias menyingkirkankelainanserius,

terutamakankerlambung, sekaligusmenegakkan diagnosis bilamungkin.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan

organik, ditunjukkan pada tabel dibawah ini:

Pemeriksaan Tujuan

Pemeriksaan darah
Mengevaluasi anemia, eosinopilia dan infeksi
lengkap

Pemeriksaan fungsi

hati Menyingkirkan kelainan hati dan saluran empedu

Pemeriksaan feses
Menyingkirkan penyakit infeksi parasit
Jika meningkat, menyingkirkan adanya inflammatory
Sedimentasi
bowel disease

Serum amilase dan


Menyingkirkan pankreatitis Kemungkinan adanya
lipase USG liver
batu saluran empedu

Breath hydrogen
Evaluasi terhadap intoleransi laktosa dan Pertumbuhan
test
berlebih bakteri usus halus

Menyingkirkan adanya esophagitis, gastritis,


Endoskopi
Duodenitis ataupun infeksi Helicobacter pylori

(Indra, dkk 2012)

E. FISIOLOGI
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat

seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan

makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung

dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding

lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang

akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di

medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik

makanan maupun cairan.


DISPEPSIA

Dispepsia Organik Dispepsia Fungsional

Stres MAKANAN

Merangsang saraf simpati Respon mukosa lambung


N. Ke-V (Nervus Vagus)

Vasodilatasi mukosa gaster Eksfeliasi


(Pengelupasan)
↑ Produksi HCL di
Lambung

HCL kontak dengan


Ransangan di mukosa gaster
medula oblongata

Nyeri Ansietas

Muntah

Nyeri Akut
Hipovolemia

Nausea/mual
G. Penatalaksanaan

Terapi Nonfarmakologi

Terapi dispepsia yang direkomendasikan adalah menganjurkan untuk mengubah

gaya hidup. Gaya hidup yang dianjurkan adalah makan dalam porsi yang wajar,

menurunkan kelebihan berat badan, berhenti minum alkohol, mengurangi atau

mengganti atau menghentikan konsumsi NSAID, menghindari makanan atau

minuman yang mencetuskan gejala, makan terakhir maksimal 3 jam sebelum

tidur.

G. Terapi Farmakologi

Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:

1. PPI (Protokol pump inhibitor)

Golongan inhibitor pompa proton dapat menekan sekresi asam lambung

karena memblok tahap akhir sekresi asam lambung (Katzung 2003; Brunton

2005). penghambatpompa proton bekerja dengan cara memblok pompa proton

(H+,K+-ATPase) yang terdapat di membran sel parietal lambung sehingga

menghambat sekresi asam lambung oleh selparietal secara irreversibel. Dalam

proses ini, ion H dipompa dari sel parietal ke dalam lumen dan terjadi proses pertukaran dengan

ion K memblok sekresi asam lambung dengan cara menghambat H+ /K+ATPase

pump dalam membran sel parietal (Anonim,2009).

Omeprazole
Indikasi: Tukak lambung dan tukak duodenum, tukak lambung dan duodenum

yang terkait dengan AINS, lesi lambung dan duodenum, regimen eradikasi H.

pylori pada tukak peptik, refluks esofagitis, Sindrom Zollinger Ellison.

Dosis: tukak lambung dan tukak duodenum (termasuk yang komplikasi terapi

AINS), 20 mg satu kali sehari selama 4 minggu pada tukak duodenum atau 8

minggu pada tukak lambung; pada kasus yang berat atau kambuh tingkatkan

menjadi 40 mg sehari; pemeliharaan untuk tukak duodenum yang kambuh, 20 mg

sehari; pencegahan kambuh tukak duodenum, 10 mg sehari dan tingkatkan sampai

20 mg sehari bila gejala muncul kembali.

Efek samping: Omeprazole dapat menyebabkan nyeri perut dan sakit kepala.

Segera periksakan diri ke dokter jika muncul efek samping tersebut, terutama bila

efek samping tidak mereda meski penggunaan obat sudah dihentikan.

Peringatan: Beritahukan pada dokter jika memiliki alergi terhadap omeprazole

atau obat-obatan PPI lain, seperti esomeprazole, lansoprazole, dan pantoprazole.

Konsultasikan dengan dokter bila gejala yang dialami tidak membaik. Segera

hubungi dokter jika terjadi reaksi alergi atau overdosi

Lansoprazol

Indikasi: tukak duodenum dan tukak lambung ringan, refluks esofagitis.

Dosis: tukak lambung, 30 mg sehari pada pagi hari selama 8 minggu. Tukak

duodenum, 30 mg sehari pada pagi hari selama 4 minggu; pemeliharaan 15 mg

sehari. Tukak lambung atau tukak duodenum karena AINS, 15-30 mg sekali

sehari selama 4 minggu, dilanjutkan lagi selama 4 minggu jika tidak sepenuhnya

sembuh; profilaksis, 15-30 mg sekali sehari.


Peringatan:Harap berhati-hati dalam mengonsumsi lansoprazole bagi penderita

gangguan hati, hipomagnesemia (penurunan kadar magnesium dalam darah),

osteoporosis, dan osteopenia. Penggunaan lanzoprazole dalam dosis tinggi dan

jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan risiko retak tulang terutama pada

kelompok lansia dan penderita osteoporosis.

Efek samping : Walau jarang, beberapa efek samping yang mungkin terjadi

setelah menggunakan lansoprazole adalah diare, sakit perut, mual, kembung,

konstipasi, sakit kepala atau pusing dan penurunan kadar zat besi dalam darah.

2. H2 Bloker

Obat-obat dari golongan antagonis reseptor H2 bekerja dengan cara

memblokreseptor histamin di membran sel parietal lambung. Selain hormon

gastrin danasetilkolin, histamin adalah salah satusenyawa yang menstimulasi

H+,K+-ATPase untuk mensekresi asam lambung.

Terdapat empat antagonis H2 yaitu simetidin, ranitidin, famotidin dan

nizatidin. Keempatnya cepat diserap dari usus. Obat-obat ini mengalami

metabolisme lintas pertama dihati yang menyebabkan biovailabilitasnya menjadi

sekitar 50%. Antagonis H2 memperlihatkan inhibisi kompetitif direseptor H2 sel

parenteral dan menekan sekresi asam basal dan setelah makan. Obat-obatan

golongan ini sangat selektif dan tidak mempengaruhi reseptor H1 dan H3, volume

sekresi lambung dan konsentrasi pepsin juga berkurang.

Antagonis H2 mengurangi sekresi asam yang dirangsang oleh histamin

serta oleh gastrin dan bahan bahan kilinomimietik melalui dua mekanisme.

Pertama histamin yang dibebaskan dari sel ECL oleh gastrin atau rangsangan
vagus dihambat untuk mengikat reseptor H2 di sel parietal. Kedua, terjadinya

blokade reseptor H2 menyebabkan efek stimulasi langsung sel parietal oleh

gastrin atau asetilkolin pada sekresi asam berkurang (Katzung. 2014).

1. Simetidin

Indikasi : tukak lambung dan tukak duidenum, tukak stomal, refluks esofagus,

sindrom Zollinger-Ellison, kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan

bermanfaat.

Dosis : oral 400 mg 2 kali sehari (setelah makan pagi dan sebelum tidur malam)

atau 800 mg sebelum tidur malam (tukak lambung dan tukak duodenum) paling

sedikit selama 4 minggu (6 minggu pada tukak lambung, 8 minggu pada tukak

akibat AINS); bila perlu dosis dapat ditingkatkan sampai 400 mg 4 kali sehari

atau kadang-kadang (misal seperti pada tukak stres) sampai maksimal 2,4 mg

sehari dalam dosis terbagi; anak lebih dari 1 tahun, 25-30 mg/kg/hari dalam dosis

terbagi.

Efek samping : kebiasaan buang air besar berubah, pusing, ruam kulit, letih

keadaan bingung yang reversible, sakit kepala, jarang terjadi gangguan darah.

Peringatan : gangguan ginjal dan hati (kurangi dosis, kehamilan dan menyusui;

injeksi intravena lebih baik dihindari (infus lebih baik), terutama pada dosis tinggi

(kadang-kadang dapat menyebabkan aritmia) dan pada gangguan kardiovaskular.

2. Famotidin

Indikasi : Tukak lambung dan tukak dodenum, refluks esofagitis, sindrom

Zollinger Ellison.
Dosis : tukak lambung dan duodenum, pengobatan 40 mg sebelum tidur malam

selama 4-8 minggu pemeliharaan (duodenum), 20 mg sebelum tidur malam; anak-

anak tidak dianjurkan. Refluks esofagitis, 20-40 mg 2 kali sehari selama 6-12

minggu; pemeliharaan 20 mg 2 kali sehari. Sindrom Zollinger-Ellison 20 mg tiap

6 jam (dosis lebih tinggi pada pasien yang sebelumnya telah menggunakan

antagonis reseptor H2 lain); dosis sampai 800 mg sehari dalam dosis terbagi

pernah digunakan.

Efek samping : kebiasaan buang air besar berubah, pusing, ruam kulit, letih

keadaan bingung yang reversible, sakit kepala, jarang terjadi gangguan darah.

Peringatan : tidak menghambat metabolisme obat mikrosoma hati

3. Ranitidin

Indikasi : tukak lambung dan tukak duodenum, refluks, esofegitis, dispepsia

episodik kronis, tukak akibat AINS, tukak duodenum karena H. Pylori, sindrom

Zollinger Ellison, Kondisi lain dimana pengurangan asam lambung akan

bermanfaat.

Dosis : Oral 150 mg 2 kali sehari (pagi dan malam) atau 300 mg sebelum tidur

malam (tukak lambung dan tukak duodenum) selama 4-8 minggu, sampai 6

minggu pada dispepsia episodik kronis, dan sampai 8 minggu pada tukak akibat

AINS); pada tukak duodenum 300 mg dapat diberikan dua kali sehari selama 4

minggu untuk mencapai laju penyembuhan yang lebih tinggi; anak-anak (tukak

lambung) 2-4 mg/kg 2 kali sehari, maksimal 300 mg sehari.

Efek samping : ginekomastia dan nyeri tekan pada laki-laki (jarang); eritema

multiform pernah dilaporkan.


Peringatan : tidak menghambat metabolisme obat mikrosom hati secara nyata

hindarkan pada porfiria.

3. Agen motilitas gastrointestinal

Agonis reseptor 5-HT4 nonselektif seperti cisapride dan mosapride dapat

menurunkan refluks asam lambung, meningkatkan tonus sfingter esofagus bawah,

memperbaiki motilitas lambung, dan meningkatkan motilitas usus halus dan usus

besar dengan cara meningkatkan pelepasan asetilkolin dari ujung saraf di pleksus

myenterik pada mukosa saluran cerna.

1. Cisapride

Indikasi: Dewasa: untuk mengatasi gangguan motilitas gastrointestinal,

khususnya gastroparesis. Anak-anak: untuk refluks gastroesofagal berat, apabila

terapi lain tidak berhasil.

Dosis: Dewasa: Dosis awal adalah 5 mg 3-4 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan

sampai maksimum 40 mg/hari, dalam 3-4 kali pemberian. Anak: Dosis awal 0,2

mg/kg BB 3-4 kali sehari. Dosis dapat ditingkatkan sampai maksimum 0,8 mg/kg

BB perhari dan tidak melebihi 20 mg/hari. Dosis untuk anak sebaiknya tidak

melebihi 5 mg setiap kali minum.

Efek Samping: Kram abdomen dan diare; sakit kepala dan pusing; kejang; efek

ekstrapiramidal dan peningkatan frekuensi berkemih; fungsi hati tidak normal

(mungkin kholestatis); aritmia ventrikel (termasuk torsades de pointes).

Peringatan: Jangan melebihi dosis yang dianjurkan, gunakan dengan hati-hati

pada kondisi yang menyebabkan perpanjangan QT seperti gangguan elektrolit

yang tidak terkoreksi (terutama hipokalemia dan hipomagnesemia), gunakan hati-


hati pada penderita yang menggunakan obat yang dapat memperpanjang interval

QT; hindarkan pemberian cisaprid bersamaan dengan sediaan oral atau parenteral

klatiromisin, eritromisin, flukonazol, itrakonazol, ketokonazol, atau mikonazol.

2. Domperidone

Indikasi: lihat dosis. ANAK: Penggunaan pada anak terbatas pada mual dan

muntah akibat sitotoksik atau radioterapi.

Dosis: Oral: mual dan muntah akut (termasuk mual dan muntah karena levodopa

dan bromokriptin) 10-20 mg, tiap 4-8 jam, periode pengobatan maksimal 12

minggu. ANAK: hanya pada mual dan muntah akibat sitotoksik atau radioterapi:

200-400 mcg/kg bb tiap 48 jam. Dispepsia fungsional: 10-20 mg, 3 kali sehari,

sebelum makan, dan 10-20 mg malam hari. Periode pengobatan maksimal 12

minggu. ANAK tidak dianjurkan.

Peringatan: gangguan ginjal, hamil dan menyusui. Tidak dianjurkan untuk

profilaksis rutin pada muntah pasca bedah atau untuk pemberian kronik.

Efek Samping: kadar prolaktin naik (kemungkinan galaktore dan ginekomasti),

penurunan libido, ruam dan reaksi alergi lain, reaksi distonia akut.

3. Eritromisin

Indikasi: sebagai alternatif untuk pasien yang alergi penisilin untuk pengobatan

enteritis kampilobakter, pneumonia, penyakit Legionaire, sifilis, uretritis non

gonokokus, prostatitis kronik, akne vulgaris, dan profilaksis difetri dan pertusis.
Peringatan: gangguan fungsi hati dan porfiria ginjal, perpanjangan interval QT

(pernah dilaporkan takikardi ventrikuler); porfiria; kehamilan (tidak diketahui

efek buruknya) dan menyusui (sejumlah kecil masuk ke ASI).

Efek Samping: mual, muntah, nyeri perut, diare; urtikaria, ruam dan reaksi alergi

lainnya; gangguan pendengaran yang reversibel pernah dilaporkan setelah

pemberian dosis besar; ikterus kolestatik dan gangguan jantung (aritmia dan nyeri

dada).

Dosis: oral: DEWASA dan ANAK di atas 8 tahun, 250-500 mg tiap 6 jam atau

0,5-1 g tiap 12 jam (lihat keterangan di atas); pada infeksi berat dapat dinaikkan

sampai 4 g/hari. ANAK sampai 2 tahun, 125 mg tiap 6 jam; 2-8 tahun 250 mg tiap

6 jam. Untuk infeksi berat dosis dapat digandakan.Akne: 250 mg dua kali sehari,

kemudian satu kali sehari setelah 1 bulan.Sifilis stadium awal, 500 mg 4 kali

sehari selama 14 hari.Infus intravena: infeksi berat pada dewasa dan anak, 50

mg/kg bb/hari secara infus kontinu atau dosis terbagi tiap 6 jam; infeksi ringan 25

mg/kg bb/hari bila pemberian per oral tidak memungkinkan.

4. Reseptor penghambat serotonin selektif/selektive serotonin reseptor

inhibitor (SSRI)

Obat-obat golongan ini adalah ondansentron, granisentron, dolasentron

dan palonosentron. Obat golongan ini cepat dicerna disaluran cerna dengan

bioavailabilitas 50-60 % dan memiliki waktu paru plasma 1,5 jam tetapi durasi

efektifnya jauh lebih lama, obat ini mengalami metabolisme ekstensif oleh

sitokrom P450 hati dengan ekskresi sebagian besar metabolisme oleh ginjal.
 Mekanisme kerja SSRI menghambat reseptor serotonin pre sinap di saraf

sensoris vagus di saluran cerna

Tata laksana dispensia fungsional

Dispepsia fungsional

Modifikasi diet

Gejala
predominan

Rasa penuh setelah


makan, cepat kenyang,
Nyeri rasa terbakar
kembung, muntah,
pada gastrium
bersendawa

PPI Dengan atau tanpa


Prokinetik dengan atau
prokinetik sitoprotektor PPI-
tanpa PPI
down regulation

-coba antidepresan atau


ansolitik
Respons
Respons
-coba terapi herbal setelah 4 atau
setelah 4 atau
8 minggu
8 minggu

Rujuk ke spesialis

Coba hentikan atau terapi


sesui kebutuhan
Algoritme Tata Laksana Eradikasi Infeksi Hp

Positif tes H.pylori

Daerah resistensi Daerah resistensi


klaritromisin rendah klaritromisin tinggi

PPI- Klaritromisin Bismut quadruple, bila


amoksisilin/metronidaz tak tersedia quadruple
ol atau bismut non-bismut
quadruple

Bismut quadruple
atau PPI PPI- Levofloksasin-
levofloksasin- amoksisilin
amoksisilin

Sesuai dengan kultur dan tes resistensi


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M., Gunawan, J., 2012. Dispepsia. CDK. 39(9): 647-50.

Dwigint, S. (2015). The relation of diaet pattern to dyspepsia syndrome in college


students. J Majority, 4(1), 73–80.

Indra.,M, Supriatmo, & Atan.,B.,S. 2012. Peranan Amitriptilin Pada Pengobatan


Dispepsia Fungsional. Majalah Kedokteran Nusantara. Vol.45, No.3

Misnadiarly. 2009. Mengenal Penyakit Organ Cerna. Pustaka Populer Obor.


Jakarta

Murdani Abdullah & jeffri Gunawan. 2012. Dispepsia. CDK-197. vol. 39 no. 9.

Rahma., N, Safri & Sofiana., N. 2018. Gambaran Karakteristik Pasien Dengan


Sindrom Dispepsia Di Puskesmas Rumbai. Jom FKp, Vol. 5 No. 2.

Pendix B: Rome III. 2010. Diagnostic Criteria For Functional Gastrointestinal


Disorders. Am Jgastroenterol;105:798– 801.

Sofro, M., & Anurogo, D. (2013). 5 menit memahami 55 problematika kesehatan.


Yogyakarta: D-Medika

Sudoyo, AW., dkk. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam; edisi V jilid I. Jakarta;
Interna Publising

Anda mungkin juga menyukai