Anda di halaman 1dari 23

INTRODUCTION

Diabetes melitus merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering


terjadi di kalangan masyarakat baik dunia maupun nasional. Penyakit ini dapat
menyebabkan beberapa gangguan atau komplikasi akut seperti hiperglikemi dan
hipoglikemi yang dapat menyebabkan kematian. Pada diabetes melitus gula
menumpuk dalam darah sehingga gagal masuk ke dalam sel. Kegagalan tersebut
terjadi akibat hormon insulin jumlahnya kurang atau cacat fungsi. Hormon insulin
merupakan hormon yang membantu masuknya gula darah (WHO, 2016). DM
dibagi menjadi dua kategori utama yaitu DM tipe 1 (insulin-dependent) dan DM
tipe 2 (non-insulin-dependent). DM tipe 1 ditandai dengan berkurangnya produksi
insulin dalam tubuh sedangkan pada DM tipe 2 tubuh tidak mampu memanfaatkan
insulin secara efektif (Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Menurut WHO (2016), penderita diabetes melitus didunia sampai saat ini
jumlahnya semakin bertambah. Jumlah penderita diabetes telah meningkat 108 juta
penduduk pada tahun 1980 mejadi 422 juta penduduk pada tahun 2014.
Berdasarkan data International Diabetes Federation (2015) terdapat 415 juta orang
mengalami diabetes pada tahun 2015 dan tahun 2040 diperkirakan akan meningkat
mencapai 642 juta orang. Jumlah DM setiap negara meningkat dan usia terbanyak
orang dengan DM berada di usia antara 40-59 tahun. DM menyebabkan kematian
5 juta jiwa pada tahun 2015. Jumlah di Amerika Utara dan Karibia 44,3 juta jiwa,
Amerika Selatan dan Tengah 29,6 juta jiwa, Afrika 14,2 juta jiwa, Eropa 59,8 juta
jiwa, Pasifik Barat 153,2 juta jiwa, Timur Tengah dan Afrika Utara 35,4 juta jiwa.
Prevalensi kejadian DM di Asia Tenggara sebanyak 78,3 juta jiwa. Indonesia
menduduki peringkat ke-7 di dunia dengan prevalensi sebanyak 10 juta jiwa setelah
China, India, Amerika Serikat, Brazil, Rusia, dan Mexico. Pada tahun 2040 data
tersebut diperkirakan akan terus meningkat, dimana 1 dari 10 orang dewasa akan
menderita DM.
Hasil Data Riset Kesehatan Dasar (2013) prevalensi diabetes melitus di
Indonesia meningkat dari tahun 2007-2013 terjadi kenaikan dari 1,1% menjadi
2.1%. Selain itu DM menduduki peringkat ke-6 penyebab kematian terbesar di
Indonesia. Pada tahun 2012 Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan prevalensi
pasien DM di Jawa Barat naik dari 1,2% menjadi 2%.

1
2

Menurut Riskesdas (2018) prevalensi diabetes melitus berdasarkan


diagnosis dokter pada penduduk umur > 15 tahun menurut provinsi prevalensi
diabetes melittus tertinggi terdapat di DKI Jakarta sebanyak 3.4% dan terendah di
NTT 0.9%. Hasil data yang diperoleh pada bulan Maret 2019 di ruang penyakit
dalam lantai 8 blok B RSUD Koja terdapat sebanyak 18 orang pasien dengan kasus
diabetes melitus.

Berdasarkan data yang telah diuraikan diatas angka kejadian diabetes


melitus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini membuat penulis ingin
mengetahui dan mempelajari lebih dalam tentang kasus diabetes melitus sebagai
kasus kelolaan dalam mata ajar CHA, sehingga penulis dapat memberikan asuhan
keperawatan yang komprehensif kelak pada saat waktunya penulis menjadi seorang
perawat profesional.
BODY

Ny. M, 54 tahun datang ke IGD RSUD Koja bersama anaknya pada tanggal
18 Maret 2019 jam 12:57, dengan keluhan mual, muntah sudah 3x sebelum masuk
ke RS, lemas, sesak, batuk dan pilek sudah 2 hari, nyeri ulu hati. Klien sudah
terdiagnosa diabetes melitus sejak 3 tahun yang lalu dan sudah mendapat
pengobatan dengan meminum obat metformin 3x500 mg. Keadaan umum klien
lemah, kesadaran compos mentis E:4 M:6 V:5 GCS=15, *GDS: 425 mg/dL, TD:
157/85 mmHg, N: 99x/menit, RR: 26x/menit, S: 36⁰C. Hasil laboratorium kimia
klinik terdapat *Keton: 1.1 mmol/L. *Hb: 10.1 g/dL, Leukosit: 9.44, *Ht: 29.9%
Trombosit: 106 ribu/µL, Natrium: 131 mEq/L, Kalium: 4.69 mEq/L, Klorida: 93
mEq/L, Kreatinin: 1.27 mg/dL. Treatment yang dilakukan selama di IGD, klien
terpasang IVF: Nacl 0,9% per 24 jam 6 tetes per menit, injeksi Apidra 3x8 IU/mL,
OBH Syrup 15cc, Inhalasi Combivent 1x2.5 ml, Amlodipin 1x5 mg, Paracetamol
1x500 mg, injeksi Omeprazole 40 mg, injeksi Ondancentron 4 mg. Klien dilakukan
pemeriksaan rontgen thorax (Hasil belum tersedia) dan EKG. Setelah dilakukan
pemeriksaan pada klien di diagnosa medis Ketoasidosis Diabetes Melitus. Selama
± 3 jam di IGD, klien disarankan untuk dirawat dan pada jam 16:30 dipindahkan ke
ruang rawat Tenggiri penyakit dalam lantai 8 blok B dikamar 803.

Pada tanggal 20 Maret 2019 dilakukan pengkajian Comprehensive Health


di ruangan penyakit dalam lantai 8 blok B berdasarkan pengkajian 11 Pola Gordon
didapatkan hasil :

1. Pola Persepsi Kesehatan dan Manajemen Kesehatan

Klien mengatakan sudah 3 tahun yang lalu terdiagnosa diabetes


melitus dan 2 tahun yang lalu sudah dilakukan amputasi pada jari manis
bagian kaki kanan. Keluarga klien memiliki riwayat diabetes melitus dari
Ibu nya dan kakak ke 2. Klien mengeluh sakit sudah 2 hari sebelum masuk
ke IGD RSUD Koja namun tidak kunjung mendingan dengan beristirahat
dirumah. Saat dilakukan pengkajian klien mengeluh masih lemas, mual dan

3
4

muntah sudah 3x, masih sesak, batuk dan pilek. Klien mengatakan
penglihatannya buram. Setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan TD:
140/80 mmHg, N: 90 x/menit, RR: 25 x/menit, S: 36,4⁰C keadaan umum
klien lemah GDS: 347 mg/dL. Klien mengatakan sebelumnya tidak
mengkonsumsi obat-obatan dari warung, biasanya klien hanya beristirahat
untuk mengurangi rasa sakit yang dirasa dan mengkonsumsi obat
Metformin 3x500 mg per oral dan klien mengatakan jika minum obat
metformin akan mengontrol gula darahnya. Menurut klien sehat itu sangat
penting karena sehat itu mahal dan ketika sehat bisa melakukan pekerjaan
rumah, menjaga cucu dan bisa melakukan segala hal. Klien masih sering
bertanya mengenai diabetes melitus. Upaya yang dilakukan, klien
mengetahui agar tetap mempertahankan status kesehatannya yaitu dengan
cara menjaga pola diit yang telah dianjurkan oleh dokter untuk mengurangi
yang manis-manis dan minum obat secara teratur. Namun klien masih
memakan makanan seperti kue manis dan sesekali minum teh manis yang
seharusnya dikurangi untuk menjaga pola diit yang dianjurkan oleh dokter.
Klien dan keluarganya berharap setelah dilakukan perawatan di RS keadaan
klien akan cepat membaik.

Masalah Keperawatan:
- Resiko Cedera
- Kurang pengetahuan

2. Pola Nutrisi – Metabolik

Sebelum masuk rumah sakit nafsu makan klien baik, pola makan
3x/hari, namun klien sering memakan makanan selingan seperti kue manis,
bakso, mie ayam, sesekali minum teh manis dikarenakan klien cepat
merasakan lapar, tidak terdapat gangguan menelan, tidak terdapat alergi
makanan atau obat-obatan, makanan kesukaannya klien adalah nasi padang.
BB sebelum sakit 68 Kg.

Saat sakit nafsu makan menurun karena klien mual dan muntah
sudah 2x, pola makan 3x sehari menghabiskan ½ porsi dengan diit lunak
diabetes melitus, saat dilakukan pengkajian klien tidak terdapat gangguan
menelan, saat dilakukan pemeriksaan fisik abdomen didapatkan nyeri
epigastrik, turgor kulit elastis dan kering, frekuensi bising usus 12x/mnt.
63 𝑘𝑔
Klien mengatakan BB saat ini 63 Kg, TB= 150 cm. IMT= 1.502 = 28. Klien

termasuk dalam overweight. Klien mendapatkan diit dm lunak dari ahli gizi.
GDS: 428 mg/dL. Klien mendapatkan terapi injeksi Apidra 3x8 IU/mL
Subcutaneous (SC). Klien terpasang infus Nacl 0,9% per 24 jam 500 cc
dengan 6 tetes per menit. Klien minum kurang lebih 1500 cc/hari. Intake
(minum 1500 cc + infus 500 cc = 2000 cc) dan output (Urine 1450 + IWL
630 + muntah 150 cc = 2230 cc). Balance cairan = Intake 2000 cc – output
2230 cc = -230. Hasil laboratorium pada tanggal 18 Maret 2019 didapatkan
Hb: 10.1 g/dL, Leukosit: 9.44, Ht: 29.9% Trombosit: 106 ribu/µL,
Natrium: 131, Keton: 1.1 mmol/L. Saat dilakukan pemeriksaan
didapatkan hasil TTV TD: 130/80 mmHg, N: 80 x/menit, RR: 26 x/menit,
S: 36,5⁰C.

Masalah Keperawatan:
- Ketidakstabilan kadar gula darah
- Kekurangan volume cairan tubuh
- Resiko perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh

3. Pola Eliminasi
Sebelum sakit klien BAB 1x per hari setiap pagi, warna kuning
kecoklatan, konsistensi semi padat, tidak ada gangguan BAB. Saat dirawat
di RS klien sudah 2 hari belum BAB dari pertama masuk RS, tidak terdapat
nyeri tekan, bising usus 12 x per menit, ada khas bau badan klien diabetes
melitus. Klien mendapatkan obat Lactulax syrup 3x15ml per oral, 1 hari
kemudian klien dapat BAB dipagi hari 1x.
Sebelum sakit BAK 11x perhari, sejak terdiagnosa diabetes melitus
3 tahun yang lalu klien sering berkemih saat malam hari 6-7x, warna kuning
keruh. Saat dirawat di RS klien memakai pampers dikarenakan keadaan
umum yang masih lemah dan klien mengatakan sering berkemih pada

5
6

malam hari sebanyak 7x, warna kuning keruh, BAK tuntas, tidak terdapat
nyeri tekan.
Masalah Keperawatan:
- Perubahan pola eliminasi fekal
- Perubahan pola eliminasi urin

4. Pola Aktivitas – Latihan

Sebelum sakit klien dapat beraktivitas seperti biasanya dengan


mandiri, hanya saja jika berjalan lebih lambat dan terkadang sambil
merambat memegang tembok semenjak amputasi jari kaki manis sebelah
kanan 2 tahun yang lalu.

Setelah sakit klien hanya berbaring ditempat tidur, klien mengeluh


sesak dengan RR= 26 x/menit pola nafas cepat dan dalam, klien terpasang
O2 nassal canul 3 L/menit. Lalu klien mendapatkan inhalasi Combivent
3x2.5 ml dan mendapatkan obat Rindovect syrup 3x15 ml per oral,
pergerakan dinding dada simetris, tidak terdapat massa pada thorax.
Aktivitas klien dalam makan dan minum mandiri, mandi dibantu orang lain,
toileting dibantu orang lain untuk menggantikan pampers nya karena
keadaan umum lemah, berpakaian dibantu orang lain, berpindah untuk
duduk klien dapat melakukannya sendiri. Saat dilakukan pemeriksaan
didapatkan hasil TTV TD: 140/80 mmHg, N: 90 x/menit, RR: 26 x/menit,
S: 36,4⁰C. Hasil laboratorium Hb: 10.1 g/dL.

Masalah Keperawatan:
- Ketidakefektifan pola nafas
- Resiko Penurunan perfusi jaringan perifer
- Defisit perawatan diri

5. Pola Tidur dan Istirahat


Pola tidur sejak 3 tahun yang lalu sering mengantuk disiang hari
namun sulit tidur saat malam hari karena harus ke kamar mandi ingin BAK.
Saat malam hari klien tidur dari jam 19:30 sampai jam 23:00. Saat pagi hari
jam 7 sampai jam 11 klien bisa tidur. Pada saat siang hari tidur namun sering
terbangun. Pola tidur saat di RS sama dengan pola tidur seperti biasanya dan
saat di RS sering terbangun saat klien sedang tidur di pagi hari karena batuk
dan sedikit sesak.

Masalah Keperawatan:
- Gangguan pola tidur

6. Pola Kognitif – Perseptual


Saat pengkajian dilakukan, klien kooperatif dan terlihat rileks,
mengkaji dengan jelas komunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Klien
mengetahui bahwa dirinya sedang dirawat. Kesadaran klien compos mentis
E:4 M:6 V:5 GCS=15. Sistem penglihatan sudah buram dan klien
mengatakan 1 tahun yang lalu sudah diperiksakan ke dokter dan disarankan
untuk laser mata di RS Cipto Mangunkusumo namun klien menolak karena
temannya saat setelah dilaser menjadi tidak bisa melihat sama sekali. Sistem
pendengaran sudah sedikit terganggu jadi saat berkomunikasi nada suara
harus lebih keras. Sistem penghidu klien tidak terdapat masalah karena
masih dapat mengetahui wangi minyak kayu putih dengan minyak wangi.
Sistem pengecap klien dapat membedakan makanan asin dengan yang
manis. Sistem peraba klien mengatakan nyeri ulu hati dan dapat
menunjukkan lokasi nyeri ulu hati, saat ditanya skala nyeri dari 1-10 klien
mengatakan nyeri skala 3 dan rasanya seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang
saat dibawa tidur. Klien mendapatkan Ranitidin 2x25 mg/ml. Saat dilakukan
pemeriksaan didapatkan hasil TTV TD: 140/80 mmHg, N: 90 x/menit, RR:
26 x/menit, S: 36,4⁰C.
Masalah Keperawatan:
- Nyeri akut
- Gangguan persepsi sensori penglihatan
- Gangguan persepsi sensori pendengaran

7
8

7. Pola Persepsi - Konsep Diri


Klien ketika berkomunikasi menjawab pertanyaan sesuai dengan
pertanyaan yang diberikan. Ekspresi wajah klien sesuai. Klien mengatakan
bahwa dampak sakitnya mempengaruhi aktivitas sehari-hari yang biasanya
ia lakukan seperti melakukan pekerjaan rumah, memasak, menjaga cucu.
Sikap nya rileks dan terlihat tenang. Klien mengeluh nyeri ulu hati dan
ketika nyeri ulu hati datang bisanya klien istirahat atau tidur.

Masalah Keperawatan: Tidak ditemukan.

8. Pola Peran dan Hubungan


Klien adalah seorang ibu rumah tangga sejak menikah. Klien
memiliki 3 orang anak, klien tinggal dengan suaminya dan 2 anak laki-laki
yang belum menikah. Orang yang terdekat dengan klien adalah suaminya.
Sehari-hari klien dan suaminya dinafkahi oleh anaknya, suami klien sudah
tidak bekerja karena mengalami stroke hemiplegia. Jika klien di RS dirumah
tidak ada yang masak dan tidak ada yang merawat suaminya jika kedua
anaknya sedang bekerja dan sekolah. Saat di RS klien sering dijenguk oleh
anaknya, teman ngaji, tetangga dan saudaranya.

Masalah Keperawatan:
- Perubahan pola peran

9. Pola Seksual – Reproduksi

Klien mengatakan tidak ada keinginan memiliki anak lagi karena


klien sudah memiliki 3 anak dan 2 cucu dan juga klien sudah menopause
ketika usia 48 tahun. Klien belum pernah melakukan pemeriksaan payudara
sendiri (SADARI) dan klien tidak pernah dirawat dengan penyakit seksual.
Pada pemeriksaan genital tidak terdapat masalah pada genital, genital
bersih, tidak terdapat massa.

Masalah Keperawatan: Tidak ditemukan.


10. Pola Koping – Toleransi stress

Klien jika memiliki masalah biasanya akan berdiskusi dengan


suaminya terlebih dahulu. Pada 2 tahun yang lalu klien mengalami stressor
karena dianjurkan untuk amputasi jari kaki kanan bagian jari manis. Setelah
klien diamputasi jari kaki manis bagian kanan klien mulai tidak mengikuti
pengajian disekitar rumah dan jarang keluar rumah karena merasa malu.
Namun, keluarga memberi dukungan terutama suami dan ke tiga anak klien
yang mengatakan jika diamputasi itu demi kebaikan kesehatan klien. Klien
tidak pernah mengkonsumsi alkohol. Saat dilakukan pengkajian ada kontak
mata, ekspresi wajah klien sesuai dan rileks.

Masalah Keperawatan:
- Resiko ketidakefektifan koping individu.

11. Pola Nilai dan Kepercayaan

Klien beragama Islam, sebelum masuk RS klien mengikuti


pengajian di sekitar tempat tinggalnya, melaksanakan sholat 5 waktu. Saat
di RS klien jarang melakukan sholat 5 waktu, klien selalu berdoa agar diberi
kesehatan. Klien mengatakan bahwa sehat dan sakit datangnya dari Allah
sebagai penggugur dosa. Klien mengatakan setelah amputasi 2 tahun yang
lalu klien sudah tidak mengikuti pengajian rutin disekitar rumahnya.

Masalah Keperawatan:
- Resiko distress spiritual

Berdasarkan hasil pengkajian dengan menggunakan pendekatan 11


pola gordon yang sudah dilakukan ditemukan beberapa masalah
keperawatan dan berdasarkan prioritas penulis memilih 3 fokus utama yang
akan didiskusikan dan dibahas berikut ini ada ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi, kekurangan volume cairan tubuh

9
10

berhubungan dengan diuresis osmotik, resiko gangguan perfusi


jaringan perifer berhubungan dengan penurunan hemoglobin.
Masalah keperawatan yang pertama pada Ny. M adalah
ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi. Klien
mengeluh sesak, mudah letih. Klien tampak pucat, klien tampak lemas, pola
nafas irreguler, irama pernafasan klien cepat dan dalam, tidak terdapat
cuping hidung, tidak terdapat sianosis, suara nafas ronchi, CRT <2
detik.Pada saat dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil TTV TD: 140/80
mmHg, N: 90 x/menit, RR: 27 x/menit, S: 36,4⁰C. Hasil Laboratorium *Hb:
10.1 g/dL.
Ketidakefektifan pola nafas adalah ketidak mampuan proses sistem
pernafasan: inspirasi atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat.
tanda gejala ketidakefektifan pola nafas yaitu perubahan kedalaman
pernafasan, perubahan ekskursi dada, mengambil posisi tiga titik,
bradipnea, penurunan tekanan ekspirasi, penurunan tekanan inspirasi,
penurunan ventilasi semenit, penurunan kapasitas vital, dispnea,
peningkatan diameter anterior - posterior, pernafasan cuping hidung,
ortopnea, takipnea, pernafasan bibir, fase ekspirasi memanjang,
penggunann otot aksesorius untuk bernafas. (NANDA, 2015).
Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh
akan menimbulkan hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria.
Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan kelebihan produksi asam asam
lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah) menjadi keton,
menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria
akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan
elektrolit seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan
klorida. Dehidrsi terjadi bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan
uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidosis
metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat
ventilasi (pernafasan Kussmaul). Pernafasan kussmaul adalah pernafasan
yang dalam dan berat, timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan
ekskresi karbon dioksida, sehingga mengurangi keparahan asidosis (Price,
2010).
Tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan untuk mengatasi
masalah ketidakefektifan pola nafas pada Ny. M adalah memaksimalkan
ventilasi dengan memposisikan klien dengan posisi semi fowler,
mengobservasi frekuensi dan kedalaman pernafasan klien dengan hasil RR:
27x/menit dengaan nafas cepat dan dalam , mengauskultasi suara nafas
dengan hasil suara nafas ronchi, memonitor sianosis dengan hasil klien tidak
terdapat sianosis, mengajarkan teknik relaksasi tarik nafas dalam.
mengobservasi TTV dengan hasil , TD: 130/80 mmHg, N: 80x/menit, S:
36,5⁰C,
Tindakan kolaborasi yang dilakukan untuk mengatasi
ketidakefektifan pola nafas adalah pemberian O2 3L/menit via nassal canul.
Terapi oksigen merupakan salah satu dari terapi pernafasan dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat. Terapi oksigen
merupakan tindakan keperawatan dengan cara memberikan oksigen
kedalam paru melalui saluran pernapasan dengan menggunakan alat bantu
oksigen. Pemberian oksigen pada pasien dapat diberikan melalui tiga cara
yaitu melalui kanula nasal, kateter nasal, masker dengan tujuan memenuhi
kebutuhan oksigen dan mencegah terjadinya hipoksia (Andarmoyo, 2012).
Selain itu kolaborasi pemberian nebulizer Combivent 3x2.5 ml.
Combivent diindikasikan untuk pengelolaan bronkospasme reversibel yang
berhubungan dengan penyakit paru obstruktif dan serangan asma akut pada
pasien yang membutuhkan lebih dari satu bronkodilator tunggal.
Salbutamol sulfat adalah agen beta2-adrenergik yang bekerja pada otot
polos jalan napas yang menghasilkan relaksasi. Salbutamol melemaskan
semua otot polos dari trakea ke bronkiolus terminal dan melindungi
terhadap semua tantangan bronkokonstriktor (MIMS, 2019).

Intervensi yang dapat dilakukan menurut NANDA (2015)


diantaranya adalah posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi,
auskultasi suara nafas, observasi frekuensi dan kedalaman pernapasan,

11
12

monitor sianosis, ajarkan teknik relaksasi, monitor TTV. Tindakan


keperawatan kolaborasi dengan dokter pemberian terapi oksigen.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mengatakan sesak


berkurang dengan RR: 24x/menit, klien mengatakan lebih rileks, klien
mengatakan lebih nyaman dengan posisi semi fowler. Klien tampak lebih
rileks, tidak terdapat pernafasan cuping hidung, hasil TTV didapatkan TD:
137/70 mmHg, N:78 x/ menit, RR: 24 x/menit, S: 36,5⁰C. Hasil
laboratorium pada tanggal 18 Maret 2019 didapatkan hasil Hb: 10.1 g/dL.
Masalah belum teratasi, lanjutkan intervensi.
Masalah keperawatan yang kedua pada Ny. M adalah kekurangan
volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik. Klien
mengatakan BAK 11x/hari, klien mengatakan mudah haus dan klien
mengatakan minum 1 botol aqua besar 1500 cc/hari, klien mengatakan mual
dan muntah 3x. Klien tampak lemas, pucat dan keadaan umum lemah,
kesadaran klien compos mentis. Hasil pemeriksaan fisik klien didapatkan
konjungtiva anemis, mukosa bibir kering. Intake (minum 1500 cc + infus
500 cc = 2000 cc) dan output (Urine 1450 + IWL 630 + muntah 150 cc =
2230 cc). Balance cairan = Intake 2000 cc – output 2230 cc = -230.Hasil
TTV klien didapatkan TD: 130/80 mmHg, N: 73x/menit, RR: 26x/menit,
S:36,4⁰C. Hasil laboratorium pada tanggal 18 Maret 2019 didapatkan hasil
GDS: 382 mg/dL, Natrium: 131, Kalium: 4.69 mEq/L, Klorida: 93
mEq/L, Kreatinin: 1.27 mg/dL.
Hiperglikemia adalah suatu gejala yang timbul akibat
ketidakmampuan pankreas dalam menghasilkan cukup insulin maupun
ketidakmampuan tubuh dalam menggunakan insulin yang dihasilkan
dengan baik (KEMENKES, 2014). Hiperglikemia yang dialami penderita
diabetes disebabkan oleh beberapa faktor, sesuai dengan tipe dari diabetes
secara umum. Diabetes Tipe II disebabkan oleh gabungan dari resistensi
perifer terhadap kerjaa insulin dan respon sekresi insulin yang tidak adekuat
oleh sel beta pankreas (defisiensi insulin relatif). Kondisi tersebut dapat
terjadi karena beberapa faktor diantaranya genetik, gaya hidup dan diet yang
mengarah pada obesitas. Resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin
akan menyebabkan toleransi glukosa terganggu yang akan mengawali
kondisi DM Tipe II dengan manifestasi hiperglikemia (Ozougwu, Obimba,
Belonwu & Unakalamba, 2013).
Penyakit diabetes melitus disebabkan karena gagalnya hormon
insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah
menjadi glikogen sehingga kadar glukosa dalam darah meningkat dan
terjadi hiperglikemia. Pada penderita diabetes melitus terjadinya
hiperosmolaritas karena peningkatan konsentrasi glukosa dalam darah
(yang notabene komposisi terbanyak adalah zat cair). Peningkatan kadar
glukosa dalam darah akan berakibat terjadinya kelebihan ambang pada
ginjal untuk memfiltrasi dan reabsorbsi glukosa dalam darah (meningkat
kurang lebih 22 mg/menit). Bila kadar glukosa yang masuk ke tubulus ginjal
dalam filtrasi glomerulus meningkat diatas 225 mg/menit, glukosa
yang berlebih akan dibuang kedalam urin. Maka luapan glukosa terjadi bila
kadar glukosa darah meningkat 180 mg/dl. Kehilangan glukosa dalam urin
(glukosuria) menyebabkan diuresis karena efek osmotik glukosa didalam
tubulus mencegah reabsorbsi cairan oleh tubulus. Hal ini dinamakan
diuresis osmotik sebagai akibat dari kehilangan cairan yang berlebihan,
akan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) (Rendy, 2012).
Akibat volume urin yang sangat besar dan keluarnya air menyebabkan
dehibrasi ekstrasel. Dehidrasi intrasel mengikuti dehidrasi ekstrasel karena
air intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien
konsentrasi ke plasma yang hipertonik (sangat pekat). Dehidrasi intrasel
merangsang ADH (Anti Diuretik Hormon) dan menimbulkan rasa haus
(Corwin, 2010). Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan
(dehidrasi), hal ini merangsang pusat haus yang mengakibatkan peningkatan
rasa haus (polidipsi) (Tarwoto dkk, 2012).

Berdasarkan penelitian Wijaya (2015) yang telah dilakukan di


RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang, bahwa pasien DM dengan
gangguan fungsi ginjal banyak terjadi pada wanita dan pada usia >45 tahun.
Prevalensi anemia pada pasien DM tipe 2 dengan gangguan fungsi ginjal

13
14

sebanyak 80% dan terbanyak pada pasien dengan gangguan ginjal sedang
yaitu LFG antara 30-59 ml/menit.

Tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan untuk mengatasi


masalah keperawatan kekurangan volume cairan tubuh pada Ny. M adalah
memonitor status hidrasi dengan hasil mukosa klien kering, nadi teraba
kuat, memonitor cairan klien dan menghitung balance cairan dengan hasil
intake (minum 1400 cc + infus 500 cc = 1900 cc) dan output (Urine 1300 +
IWL 630 + muntah 100 cc = 2030 cc). Balance cairan = Intake 1900 cc –
output 2030 cc = -130, memonitor kadar gula darah dengan hasil GDS: 347
mg/dL, memonitor TTV dengan hasil TD: 136/73 mmHg, N: 86x/menit,
RR: 26x/menit, S: 36⁰C,
Tindakan kolaborasi yang dilakukan untuk mengatasi masalah
kekurangan volume cairan tubuh PADA Ny. M dengan pemberian cairan
IV NaCl 0,9% 500 cc/24 jam 6 tetes/menit. Natrium Klorida digunakan
untuk mengatasi ketidakseimbangan elektrolit. Natrium klorida dalam
larutan isotonik menyediakan ion ekstrasel yang paling penting dalam kadar
yang mendekati fisiologis; diindikasikan untuk kehilangan natrium yang
dapat timbul dari keadaan seperti gastroenteritis, ketoasidosis diabetik,
ileus, dan asites (BPOM, 2014).
Selain itu kolaborasi pemberian terapi injeksi Apidra 3x8UI/mL
Subcutaneous (SC). Tindakan kolaborasi yaitu pemberian terapi obat
Apidra 3x8 IU/mL. Komposisi Apidra adalah insulin glulisine. Indikasi
DM. Insulin gluisine (Apidra) termasuk Rapid-acting insulin, memerlukan
waktu selama 20-30 menit untuk sampai ke pembuluh darah, mampu
menurunkan darah hanya dalam waktu 30-90 menit, dan
mempertahankannya antara 1-2,5 jam. Kelas MIMS preparat insulin.
Mekanisme kerja obat Apidra, dalam insulin glulisine, penggantian asam
amino insulin manusia, asparagin, pada posisi B3 oleh lisin dan lisin pada
posisi B29 oleh asam glutamat lebih disukai penyerapan lebih cepat. Ketika
insulin glulisine disuntikkan secara subkutan ke perut, deltoid dan paha,
profil waktu konsentrasi mirip dengan penyerapan yang sedikit lebih cepat
ketika diberikan di perut dibandingkan dengan paha (MIMS, 2019).
Intervensi yang dapat dilakukan menurut NANDA (2015)
diantaranya adalah, monitor status hidrasi atau kelembapan mukosa,
kekuatan nadi dan tekanan darah, monitor status cairan intake dan output,
hitung balance cairan monitor kadar gula darah. monitor TTV, Tindakan
keperawatan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian cairan IV.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mengatakan lebih
nyaman, mukosa bibir klien kering, turgor kulit klien elastis, klien
mengatakan masih sering BAK pada malam hari ±7 x. Balance cairan klien
intake (Minum 1400 cc + infus NaCl 500 cc = 1900) – output (Urine 1200
cc + IWL 630= 1830 ) 1900 cc – output 2030 cc = +70, klien mengatakan
sudah tidak muntah dan Setelah dilakukan pemeriksaan TTV didapatkan
hasil TTV dengan TD: 136/73 mmHg, N: 86x/menit, RR: 26x/menit, S:
36⁰C,. Hasil laboratorium 18 Maret 2019 Natrium: 131, GDS: 347 mg/dL,
Kalium: 4.69 mEq/L, Klorida: 93 mEq/L, Kreatinin: 1.27 mg/dL.
Masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan.

Masalah keperawatan yang ke tiga pada Ny. M adalah resiko


gangguan perfusi perifer berhubungan dengan penurunan hemoglobin.
Klien mengeluh sakit kepala. Keadaan umum klien lemah, klien tampak
lemas, klien tampak pucat, tidak terdapat sianosis. Hasil TTV dengan TD:
130/80 mmHg, N: 83 x/menit,RR: 24x/menit, S:36,5⁰C. GDS: 410 mg/dL.
Hasil laboratorium pada tanggal 18 Maret 2019 didapatkan hasil *Hb: 10.1
g/dL.

Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer adalah penurunan sirkulasi


darah ke perifer yang dapat mengganggu kesehatan (NANDA, 2015).
Patofisiologi disebabkan karena terjadinya resistensi insulin akibat dari
kurangnya aktivitas fisik sehingga sirkulasi darah perifer terganggu
(Fatimah, 2015). Penurunan suplai darah diawali dengan terjadinya hipoksia
jaringan, sehingga oksigen dalam jaringan berkurang dan mempengaruhi
aktivitas vaskuler dan seluler jaringan (Arwani, 2014). Menurut penelitian
Janitra, F. (2016) penurunan vaskularisasi perifer meningkatkan resiko
terjadinya iskemia jaringan dan melemahkan status fungsional, untuk itu
perlu dilakukan pengontrolan kadar glukosa darah.

15
16

Hemoglobin adalah suatu protein tetrameric eritrosit yang mengikat


molekul bukan protein, yaitu senyawa porfirin besi yang disebut heme.
Hemoglobin mempunyai dua fungsi pengangkut penting dalam tubuh
manusia diantaranya adalah pengangkutan oksigen dari organ respirasi ke
jaringan perifer. Kemudian selain itu hemoglobin juga berfungsi sebagai
pengangkutan karbondioksida dan berbagai proton dari jaringan perifer ke
organ respirasi untuk selanjutnya diekresikan (Yanis, 2014). Akibat dari
DM menyebabkan gangguan pada ginjal yang juga memproduksi hormon
eritropoetin yang berfungsi untuk mematangkan sel darah merah, ganguan
pada ginjal akan mengakibatkan penurunan hemoglobin dan diperburuk
oleh keadaan hipergliklemi yang membuat viskositas darah meningkat
sedangkan daya angkut oksigen menurun. Lalu penurunan hemoglobin
memberi dampak yang parah ke sistem vaskuler yaitu makrovaskuler dan
mikrovaskuler (Corwin, 2010). Penurunan perfusi jaringan perifer akan
mengawali terjadinya hipoksia jaringan. Kondisi tersebut menjadikan
oksigen dalam jaringan berkurang sehingga mempengaruhi aktivitas
vaskuler dan jaringan perifer (Guyton, 2014).

Tindakan keperawatan mandiri yang dilakukan pada Ny. M untuk


mengatasi masalah keperawatan resiko gangguan perfusi jaringan perifer
adalah mengecek CRT dengan hasil <2 detik, memonitor tanda sianosis
dengan hasil tidak terdapat sianosis pada bibir dan ekstremitas,
menganjurkan diit memakan makanan yang tinggi zat besi seperti ikan,
sayur-sayuran, mengobservasi laserasi pada ekstremitas dengan hasil tidak
ada kulit laserasi dan klien riwayat amputasi jari manis bagian kanan 2 tahun
yang lalu, memonitor TTV dengan hasil TD:131/71 mmHg, N: 90 x/menit,
RR: 24x/menit, S: 36,5⁰C. Hasil lab Hb: 10,1 g/dL.

Tindakan kolaborasi dengan ahli gizi yang dilakukan untuk


mengatasi masalah resiko gangguan perfusi jaringan jaringan perifer pada
Ny.M adalah dengan diberikan diit anemia dengan tinggi akan zat besi
untuk membantu meningkatkan kadar hemoglobin dan dm lunak untuk
mengobrol gula darah. Menurut penelitian Purwandari (2017) untuk
mencapai kualitas hidup yang baik diperlukan kerja keras dan konsistensi
yang tinggi pada penderta DM. Tidak mudah untuk mendapatkan kualitas
hidup yang baik pada penderita DM. Hal itu dikarenakan pada penderita
DM harus menjalani diet ketat sehari-hari untuk mendapatkan nilai kadar
glukosa darah yang normal.

Intervensi yang dapat dilakukan menurut NANDA (2015) monitor


CRT, monitor tanda sianosis, observasi laserasi pada ekstremitas, anjurkan
memakan makanan tinggi zat besi, observasi laserasi pada ekstremitas,
monitor TTV, kolaborasi pemberian diit anemia.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mengatakan sakit


kepala sudah berkurang sedikit, CRT <2 detik, tidak terdapat tanda sianosis
bibir dan ekstremitas, keadaan umum klien baik, tidak terdapat tanda-tanda
sianosis, hasil TTV didapatkan hasil TD: 130/70 mmHg, N:78 x/menit, RR:
23 x/menit, S: 36,3⁰C. Hasil laboratorium pada tanggal 18 Maret 2019
didapatkan hasil dengan *Hb: 10.1 g/dL. Masalah belum teratasi, intervensi
dilanjutkan.

17
18

CONCLUSION

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya


hiperglikemia dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang
dihubungkan dengan kekurangan secara absolut atau relative dari kerja atau sekresi
insulin (Fatimah, 2015). Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan
dekompensasi metabolik yang ditandai oleh hiperglikemia, asidosis dan ketosis
terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif (Tarwoto, 2012).

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama empat hari pada tanggal 20 Maret
– 23 Maret 2019 kepada klien yang didapat menggunakan pengkajian 11 pola
Gordon didapatkan 17 masalah keperawatan. Keseluruhan masalah keperawatan
pada Ny. M sudah dilakukan intervensi dan berdasarkan masalah prioritas yang
mengancam kehidupan klien diantaranya adalah ketidakefektifan pola nafas
berhubungan dengan hiperventilasi, kekurangan volume cairan behubungan dengan
diuresis osmotik, resiko gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan hemoglobin. Dari masalah keperawatan tersebut, penulis telah
melakukan asuhan keperawatan. Hasil dari pemberian asuhan keperawatan pada
diagnosa prioritas tersebut belum teratasi dan dilanjutkan intervensi pada perawat
diruangan. Pada saat klien dilakukan perawatan di RSUD Koja ditemukan tanda-
tanda komplikasi dan disarankan oleh dokter spesialis penyakit dalam untuk tetap
menjalani rawat inap.
SELF REFLECTION

Setelah penulis melakukan praktek keperawatan selama 1 minggu pada


tanggal 19 Maret – 23 Maret 2019 di RSUD Koja untuk memenuhi tugas mata ajar
CHA. Penulis memilih kasus Diabetes Melitus karena angka kejadian diabetes
melitus mengalami peningkatan setiap tahunnya sehingga penulis dapat
memberikan asuhan keperawatan yang komprehensif. Selain itu penulis dapat
mengetahui dan lebih memahami perjalanan penyakit diabetes melitus, penyebab,
tanda dan gejala, penatalaksaan serta komplikasi yang terjadi pada pasien DM.

Penulis merasa mata ajar ini berbeda dengan mata ajar lain yang didapat
pada semester sebelumnya, karena pada mata ajar ini penulis mengkaji lebih dalam
dengan menerapkan pengkajian 11 pola Gordon serta mempelajari kasus secara
komprehensif, pada mata ajar ini penulis diberi kesempatan secara langsung untuk
mengaplikasikan serta mengembangkan ilmu yang telah didapat pada ruang rawat
inap dalam mengelola klien dengan kasus diabetes melitus, selain itu penulis dapat
mempelajari cara berkomunikasi yang tepat kepada klien dan keluarga dengan
tujuan agar mendapatkan data secara lengkap untuk menentukan diagnosa pada
setiap pola Gordon, penulis mempelajari untuk menentukan diagnosa keperawatan
prioritas yang mengancam kehidupan pasien, mempelajari tindakan keperawatan
kolaborasi obat-obatan yang sesuai untuk mengatasi masalah yang terjadi pada
klien, dan melalui pembelajaran ini penulis semakin memahami bahwa setiap klien
merupakan unik dan untuk menjalin trust pada setiap klien pasti berbeda-beda.

Pada pembelajaran ini, penulis menyadari masih terdapat hambatan saat


melakukan pengkajian komprehensif menggunakan 11 Pola Gordon. Hambatannya
yaitu saat menerapkan cara berkomunikasi yang tepat dengan klien dan keluarga
untuk mendapatkan informasi secara lengkap lalu untuk mengatasi hambatan ini
penulis harus banyak belajar untuk berkomunikasi yang tepat, lalu saat pemberian
asuhan keperawatan untuk tindakan keperawatan pada klien dan untuk mengatasi
hambatan ini penulis banyak mempraktekkan serta mengembangkan ilmu yang
sudah didapat untuk diaplikasikan pada klien, selanjutnya saat menentukan
diagnosa keperawatan prioritas dan untuk mengatasi hambatan ini dengan lebih
mengembangkan lagi ilmu yang didapat lalu bertanya apa yang belum dimengerti

19
20

atau konsultasi serta diskusi pada pembimbing untuk mendapatkan ilmu yang lebih
banyak agar lebih baik dalam menentukan diagnosa keperawatan prioritas yang
terjadi pada klien, dan saat pembuatan laporan mengalami hambatan dalam
menggunakan bahasa penulisan yang tepat dan pembimbing memberikan arahan
agar penulisan laporan ini menjadi penulisan ilmiah dan baku.
1

Anda mungkin juga menyukai