Anda di halaman 1dari 24

PRESENTASI KASUS

“DRUG ERUPTION”

Pembimbing :
dr. Thianti Silviningrum, Sp.KK

Disusun Oleh :
Nur Azizah G4A018006

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
DRUG ERUPTION

Oleh:
NurAzizah
G4A018006

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada November 2019

Purwokerto, November 2019


Mengetahui,

Pembimbing

dr. Thianti Silviningrum, Sp.KK


I. PENDAHULUAN

Kulit merupakan salah satu organ tubuh yang sangat mudah memberikan
suatu manifestasi klinis apabila timbul gangguan pada tubuh (Shah, Desai &
Dikshit, 2011). Salah satu gangguan tersebut dapat disebabkan oleh reaksi alergi
terhadap suatu obat yakni obat yang diresepkan oleh dokter, obat yang dijual
bebas, vaksin, dan suplemen sehari-hari (Budnitz, Lovegrove & Shebab, 2012).
Pajanan ulang dengan obat penyebab dapat menyebabkan erupsi obat
alergi menjadi lebih berat daripada bentuk klinis sebelumnya bahkan dapat
mengancam jiwa. Erupsi obat alergi merupakan masalah besar di bagian kulit dan
kelamin terutama dalam menentukan obat penyebab erupsi karena adanya
pengobatan multi regimen (Soebaryo,2004) dan menurut Council for
International Organizations of Medical Sciences (CIMS) pada tahun 1999,
reaksi obat alergi lebih sering muncul pada pasien yang menerima pengobatan
sejumlah obat sehingga sulit untuk menentukan obat penyebab erupsi.
Erupsi obat alergi atau allergic drug eruption itu sendiri ialah reaksi alergi
pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat
dengan cara sistemik. Pemberian dengan cara sistemik berarti obat tersebut masuk
melalui mulut, hidung, rektum, vagina dengan suntikan atau infus (Hamzah,
2007).
Menurut Health Sciences Authority (HSA) pada tahun 2002, 80,93 % dari
reaksi simpang obat merupakan erupsi obat alergi. Menurut hasil penelitian
Chatterjee et al. (2006), insidens erupsi obat alergi mencapai 2,66% dari total
27.726 pasien dermatologi selama setahun. Kasus erupsi obat alergi paling tinggi
terjadi pada usia 21-30 tahun yaitu sekitar 25,27% (Nandha, Gupta & Hashmi,
2011), lebih sering terjadi pada wanita yaitu sekitar 61,16% (Chatterjee et
al.2006).
II. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Nn. S W
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 51 Tahun
Pekerjaan : IRT
Status Pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Kaliori
B. Anamnesis
Autoanamnesa dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2019 di Bangsal Mawar
RSUD Prof. Margono Soekarjo pada pukul 10.20 WIB
1. Keluhan Utama
Muncul bercak hitam di wajah sejak 1 hari yang lalu
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan timbul bercak hitam di muka dan badan sejak 1
hari lalu. Bercak hitam diawali dari wajah kemudian leher dan
menyebar ke badan dan kedua tangan. Pasien juga mengatakan mulut
terasa perih kemerahan dan jadi sulit makan. Pasien juga mengeluhkan
sulit berbicara karena terasa perih. Pasien mengatakan adanya demam
sejak kemarin sore dan sudah minum paracetamol, demam sudah
mereda. Selama keluhan bercak hitam muncul pasien tidak
mengeluhkan muntah (-). Malaise (+), mual (+).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit serupa disangkal
b. Riwayat alergi makanan, obat atau udara disangkal
c. Riwayat penyakit DM, hipertensi disangkal
d. Riwayat pengobatan: pasien hari perawatan ke 5 di RSMS dan
mendapat obat InjCiprofloxacin 2x200mg, Inj Mecobalamin 1x1
amp, Inj Ketorolac 3x1 amp, Metilprednisolon 2x16 mg, Sucralfat
3xcth 2, Omperazol 1x1, Paracetamol 3x500 mg
4. Riwayat penyakit Keluarga
a. Riwayat penyakit serupa disangkal
b. Riwayat alergi seafood diakui pada ayah pasien
c. Riwayat penyakit DM, hipertensi disangkal
5. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien adalah IRT. Pasien tinggal bersama suami dan kedua
anaknya.
C. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda Vital : TD : 107/85 mmHg
Nadi : 67 x/m
Pernafasan : 18 x/m
Suhu : 36,4 C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut kering, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 – T1, tidak hiperemis
Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Simteris. Retraksi (-)
Jantung : BJ I-II regular, gallop (-), murmur (-).
Paru : SD vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-)
Abdomen : Datar, supel, timpani, BU (+) normal
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema , sianosis
D. Status Dermatologis
1. Lokasi
Generalisata
2. Efloresensi
Makula hiperpigmentasi generalisata
Erosi pada mukosa buccal
E. Usulan Pemeriksaan Penunjang
Hasil lab darah 22/10/19
Hb 8.5 L Hitung jenis
Leu 3060 L Basofil 0.0
Ht 25 L Eosinofil 0.3 L
Eri 2.8 L Batang 3.9
Trom 103000 L Segmen 64.4
MCV 87.9 Limfosit 19.6
MCH 30.2 Monosit 11.8
MCHC 34.4 GDS 110
RDW 15.5 K 4.7 H
MPV 10.3 Cl 102
Na 130 L
Ur 64.01 H
Cr 1.03
SGOT 465 H
SGPT 129 H
F. Resume
Pasien perempuan usia 51 tahun hari perawatan ke 5 bangsal
Mawar RSUD Prof Margono Soekarjo dengan keluhan timbul bercak
hitam di muka dan badan sejak 1 hari lalu. Bercak hitam muncul sejak
transfusi darah kemarin siang. Bercak hitam diawali dari wajah kemudian
leher dan menyebar ke badan dan kedua tangan. Pasien juga mengatakan
mulut terasa perih kemerahan dan jadi sulit makan. Pasien juga
mengeluhkan sulit berbicara karena terasa perih. Pasien mengatakan
adanya demam sejak kemarin sore dan sudah minum paracetamol, demam
sudah mereda. Selama keluhan bercak hitam muncul pasien tidak
mengeluhkan muntah (-). Malaise (+), mual (+).
Pasien tidak mempunyai riwayat alergi. Sebelumnya pasien tidak
memiliki riwayat keluhan serupa. Keluarga pasien ada yang memilki
riwayat tidak bisa makan seafood. Selama pengobatan pasien mendapat
terapi obat InjCiprofloxacin 2x200mg, Inj Mecobalamin 1x1 amp, Inj
Ketorolac 3x1 amp, Metilprednisolon 2x16 mg, Sucralfat 3xcth 2,
Omperazol 1x1, Paracetamol 3x500 mg. Pasien berobat menggunakan
BPJS non-PBI. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien
tampak sakit sedang. Pemeriksaan fisik lain didaptakan konjungtiva
anemis, dan mukosa bibir kering. Pemeriksaan status lokalis didapatkan
efloresensi Makula hiperpigmentasi generalisata dan erosi pada mukosa
buccal. Berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang ditemukan pada
pasien, maka dapat ditegakkan drug eruption.
G. Diagnosis Banding
Beberapa penyakit yang mempunyai gambaran lesi seperti yaitu :
1. Rubella
2. Measles
3. Dermatitis Kontak Alergi: adanya riwayat kontak

H. Diagnosis Kerja
ISK
Drug eruption
I. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Topikal
Desoksimetason krim 2 tube
Fucilex krim 2 tube
Soft u derm krim 4 tube
Asam salisilat 2%
Mf krim da in pot no 1
Sue 2xsehari
b. Injeksi
Inj Dexametason 2x1 ampul
Inj difenhidramin 2x1 ampul
c. Peroral
Cetirizin tablet 1x1 malam
2. Edukasi
 Menerangkan kepada pasien mengenai penyakit dan penatalaksana
annya
 Menghentikan konsumsi obat yang dicurigai sebagai penyebabnya
 Memberikan pengertian kepada penderita bahwa pengobatan untuk
penyakitnya membutuhkan waktu yang cukup lama, diharapkan pa
sien mau bersabar
 Menganjurkan agar melakukan pengobatan secara teratur dan disipl
in
 Menjelaskan kepada pasien tentang penularan penyakitnya
 Menjelaskan kepada pasien tentang risiko yang mungkin terjadi

J. Prognosis
1. Quo ad vitam : ad bonam
2. Quo ad functionam : ad bonam
3. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
III. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah
erupsi obat. Erupsi obat atau drug eruption itu sendiri adalah
reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai
akibat pemberian obat dengan cara sistemik. Obat ialah zat yang
dipakai untuk menegakkan diagnosis, profilaksis, dan
pengobatan.
Reaksi silang obat adalah reaksi berbahaya atau tidak
diinginkan yang diakibatkan dari penggunaan produk pengobatan
dan dari reaksi tersebut dapat diprediksikan bahaya penggunaan
produk itu di masa yang akan datang sehingga dilakukan
tindakan penggantian maupun penarikan produk.
Reaksi silang obat adalah respon obat yang tidak
diinginkan sehingga memerlukan penghentian obat, penggantian
obat, perawatan rumah sakit, pengobatan tambahan, dan
menyebabkan prognosis buruk seperti cacat permanen sampai
kematian.
B. Epidemiologi
Chatterjee et al, menyatakan insidens erupsi obat mencapai
2,66% dari total 27.726 pasien dermatologi selama setahun. Erupsi
obat terjadi pada 2-3% pasien yang dirawat di rumah sakit, tetapi
hanya 2% yang berakibat fatal. Insidens erupsi obat pada negara
berkembang berkisar antara 1-3%. Di India, kasus erupsi obat
mencapai 2-5%. Erupsi obat terjadi 2-3% dari seluruh reaksi silang
obat. Hampir 45% dari seluruh pasien dengan erupsi di kulit
merupakan kasus erupsi obat. Insidens erupsi obat lebih tinggi pada
wanita dibandingkan pria. Lebih dari 50% kasus sindroma Stevens-
Johnson dan hampir 90% penderita toxic epidermal necrolysis terkait
dengan penggunaan obat.
C. Faktor Risiko
1. Jenis kelamin dan usia
Anak-anak lebih jarang tersensitisasi akibat obat jika dibandingkan
dengan orang dewasa, akan tetapi beberapa jenis kasus erupsi obat
alergi memiliki prognosis buruk. Pada anak – anak, ruam merah
yang timbul akibat virus sering mengaburkan gambaran klinis
erupsi alergi obat akibat antimikroba yang diberikan. Wanita lebih
sering menderita erupsi obat alergi dibandingkan pria.
2. Faktor genetik
Erupsi obat alergik berhubungan dengan faktor genetik dan
lingkungan. Hal ini berhubungan dengan gen human leukocyte
antigen.
3. Pajanan obat sebelumnya
Dapat terjadi pada pajanan obat yang sebelumnya menimbulkan
alergi ataupun obat-obatan lain yang memiliki struktur kimia yang
sama. Akan tetapi, alergi obat tidak bersifat persisten. Setelah
pajanan.
4. Riwayat penyakit yang dimiliki
Seperti pasien dengan riwayat penyakit asma cenderung mudah
menderita dermatitis atopi.
5. Bentuk obat
Seperti beberapa jenis obat seperti antibiotika beta laktam dan
sulfonamida memiliki potensial untuk mensensitisasi tubuh
6. Cara masuk obat
Obat yang diaplikasikan secara kutaneus cenderung lebih
menyebabkan erupsi obat. Antibiotika beta laktam dan sulfonamida
jarang digunakan secara topikal karena alasan ini. Dosis dan durasi
pemberian obat juga berperan dalam timbunya erupsi obat.
D. Etiologi dan Patogenesis
Banyak obat yang dilaporkan dapat menyebabkan FDE. Yang
paling sering dilaporkan adalah phenolpthalein, barbiturate,
sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi
non steroid. Saha melaporkan jenis-jenis obat yang paling sering
menyebabkan erupsi obat adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu
diikuti flurokuinolon sekitar 11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti
epilepsi sekitar 11,3%, allopurinol sekitar 7,5%, dan azitromicin
sekitar 5,70%.

Terdapat dua mekanisme yang dikenal yaitu mekanisme


imunologis dan mekanisme non imunologis. Umumnya erupsi obat
timbul karena reaksi hipersensitivitas berdasarkan mekanisme
imunologis. Reaksi ini juga dapat terjadi melalui mekanisme non
imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat, over dosis,
interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolisme.
Terdapat empat mekanisme imunologis. Reaksi pertama yaitu
reaksi tipe I (reaksi anafilaksis) merupakan mekanisme yang paling
banyak ditemukan. Pada tipe ini, imunoglobulin yang berperan ialah
imunoglobulin E yang mempunyai afinitas tinggi terhadap mastosit
dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi,
tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat
tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang
pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin,
bradikinin, dan heparin. Mediator yang dilepaskan ini akan
menimbulkan bermacam-macam efek misalnya urtikaria. Reaksi
anafilaksis yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok. Mekanisme
kedua adalah reaksi tipe II (reaksi autotoksis) dimana terdapat ikatan
antara imunoglobulin G dan imunoglobulin M dengan antigen yang
melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu
sejumlah reaksi yang berakhir dengan lisis.
Mekanisme ketiga adalah reaksi tipe III (reaksi kompleks
imun) dimana antibodi yang berikatan dengan antigen akan
membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini
mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh
mengakibatkan reaksi radang. Aktivasi sistem komplemen
merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Sebagai
akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme keempat
adalah reaksi tipe IV (reaksi alergi seluler tipe lambat). Reaksi ini
melibatkan limfosit. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi
dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru
timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen.

E. Gambaran klinis
Erupsi obat yang timbul akan mempunyai kemiripan
dengan gangguan kulit lain pada umumnya, yaitu:
1. Erupsi makulopapular atau morbiliformis
Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga
erupsi eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua
obat. Seringkali terdapat erupsi generalisata dan simetris
yang terdiri atas eritema dan selalu ada gejala pruritus.
Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Lesi
biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya
terapi. Erupsi jenis ini sering disebabkan oleh ampisilin,
obat anti inflamasi non steroid, sulfonamid, dan tetrasiklin.
2. Urtikaria dan angioedema
Urtikaria menunjukkan kelainan kulit berupa urtikaria,
kadang- kadang disertai angioedema. Pada angioedema
yang berbahaya ialah terjadinya asfiksia bila menyerang
glotis. Keluhannya umumnya gatal dan panas pada tempat
lesi. Biasanya timbul mendadak dan hilang perlahan-lahan
dalam 24 jam. Urtikaria dapat disertai demam, dan gejala-
gejala umum, misalnya malese, nyeri kepala dan vertigo.
Angioedema biasanya terjadi di daerah bibir, kelopak mata,
genitalia eksterna, tangan dan kaki. Kasus-kasus
angioedema pada lidah dan laring harus mendapat
pertolongan segera. Penyebab paling sering ialah penisilin,
asam asetilsalisilat, dan obat anti inflamasi non steroid.
3. Eksantema Fikstum
Eksantema fikstum disebabkan khusus obat atau bahan
kimia. Eksantema fikstum merupakan salah satu erupsi
kulit yang sering dijumpai. Kelainan ini umumnya berupa
eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan
biasanya numular. Kemudian meninggalkan bercak
hiperpigmentasi yang lama, baru hilang, bahkan sering
menetap. Dari namanya dapat diambil kesimpulan bahwa
kelainan akan timbul berkali-kali pada tempat yang sama.
Tempat predileksinya di sekitar mulut, di daerah bibir dan
daerah penis pada laki-laki sehingga sering disangka
penyakit kelamin karena berupa erosi yang kadang-kadang
cukup luas disertai eritema dan rasa panas setempat. Obat
penyebab yang sering ialah sulfonamid, barbiturat,
trimetoprim dan analgesik.
4. Eritroderma (dermatitis eksfoliativa)
Eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang
biasanya disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan
oleh bermacam- macam penyakit lain di samping alergi
karena obat, misalnya psoriasis, penyakit sistemik temasuk
keganasan pada sistem limforetikular (penyakit Hodgkin,
leukemia). Pada eritroderma karena alergi obat terlihat
eritema tanpa skuama; skuama baru timbul pada stadium
penyembuhan. Obat-obat yang biasa menyebabkannya
ialah sulfonamid, penisilin, dan fenilbutazon.
5. Purpura
Purpura adalah perdarahan di dalam kulit berupa kemerahan
yang tidak hilang bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi
sebagai ekspresi tunggal alergi obat. Biasanya simetris serta
muncul di sekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau tungkai
bawah. Erupsiberupa bercak sirkumskrip berwarna merah
kecoklatan dan disertai rasa gatal.
6. Vaskulitis
Vaskulitis ialah radang pembuluh darah. Kelainan kulit dapat
berupa palpable purpura yang mengenai kapiler. Biasanya
distribusinya simetris pada ekstremitas bawah dan daerah
sakrum. Vaskulitis biasanya disertai demam, mialgia, dan
anoreksia. Obat penyebab ialah penisilin, sulfonamid, obat anti
inflamasi non steroid, antidepresan dan antiaritmia. Jika
vaskulitis terjadi pada pembuluh darah sedang berbentuk
eritema nodosum. Kelainan kulit berupa eritema dan nodus
yang nyeri dengan eritema di atasnya disertai gejala umum
berupa demam dan malese. Tempat predileksinya di daerah
ekstensor tungkai bawah. Eritema nodosum dapat pula
disebabkan oleh beberapa penyakit lain misalnya tuberkulosis,
infeksi streptokokus dan lepra. Obat yang dianggap sering
menyebabkan eritema nodosum ialah sulfonamid dan
kontrasepsi oral.
7. Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergi sama dengan dermatitis
kontak alergik, lokalisasinya pada tempat yang terpajan
sinar matahari. Kemudian kelainan dapat meluas ke daerah
tidak terpajan matahari. Obat yang dapat menyebabkan
fotoalergi ialah fenotiazin, sulfonamida, obat anti inflamasi
non steroid, dan griseofulvin.
8. Pustulosis eksantematosa generalisata akut
Penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang
terdapat, diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi
akut oleh enterovirus, hipersensitivitas terhadap merkuri
dan dermatitis kontak. Kelainan kulitnya berupa pustul-
pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit yang
eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi
target. Kelainan kulit timbul pada waktu demam tinggi, dan
pustul pustul tersebut cepat menghilang sebelum 7 hari
yang kemudian diikuti deskuamasi selama beberapa hari.
9. Disamping kelainan-kelainan tersebut dapat terjadi
kelainan berupa eritema multiforme, sindroma Stevens-
Johnson, dan nekrolisis epidermal toksik.11,17,21,22
F. Diagnosis Banding
1. Rubella
Disebut sebagai campak Jerman. Gejala biasanya lebih
ringan daripada yang terlihat di campak, dengan ruam serupa yang
biasanya menghilang dalam 3 atau 4 hari. Ruam berupa macula
eritematous dimulai dari wajah, leher punggung hingga ke seluruh
badan. Ruam sering disertai dengan demam, adenopati, dan
artralgia.
2. Measles
Ruam ini morbiliformis (yang berarti " seperti campak- "), istilah
yang sering digunakan untuk menggambarkan exanthematous
akibat erupsi obat, dan biasanya gatal. Tidak seperti kebanyakan
erupsi obat, ruam terlihat pada campak sering dimulai pada kepala
dan leher dan menyebar dengan cepat. Ini biasanya dimulai
beberapa hari setelah timbulnya demam, batuk, coryza, dan
konjungtivitis. Bintik-bintik putih pada mukosa bukal (bintik
Koplik) membantu menegakkan diagnosis. ruam atipikal atau yang
khas dapat terjadi pada orang dewasa yang divaksinasi sebelumnya,
terutama mereka yang divaksin saat dewasa atau yang tidak
lengkap divaksinasi
3. Dermatitis Kontak Alergi: adanya riwayat kontak

G. Penegakkan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran


klinis yang khas. Riwayat perjalanan penyakit yang rinci, termasuk
pola gejala klinis, macam obat, dosis, waktu dan lama pajanan serta
riwayat alergi obat sebelumnya penting untuk membuat diagnosis.
Selain itu pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk
menunjang diagnosis:

1. Biopsi kulit membantu untuk memastikan diagnosis atau


menyingkirkan diagnosis banding.

2. Uji tempel obat merupakan prosedur yang tidak berbahaya .


Reaksi anafilaksis sangat jarang terjadi, dan untuk
mengantisipasinya dianjurkan mengamati penderita dalam waktu
setengah jam setelah penempelan. Secara teoritis dapat terjadi
sensitisasi akibat uji tempel, namun dalam prakteknya jarang
ditemui. Tidak dianjurkan melakukan uji tempel selama erupsi
masih aktif maupun segera sesudahnya. Berdasarkan pengalaman
para peneliti, uji tempel sebaiknya dilakukan sekurang-
kurangnya 6 minggu setelah erupsi mereda.
Khusus untuk FDE Alanko (1994) menggunakan cara uji tempel
yang agak berbeda. Obat dengan konsentrasi 10% dalam vaselin
atau etanol 70% diaplikasikan secara terbuka pada bekas lesi dan
punggung penderita. Observasi dilakukan dalam 24 jam pertama,
dan dianggap positif bila terdapat eritema yang jelas yang
bertahan selama minimal 6 jam. Kalau cara ini tidak
memungkinkan untuk dilaksanakan dianjurkan uji tempel
tertutup biasa dengan pembacaan pertama setelah penempelan 24
jam.
Hasil uji tempel yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis
erupsi obat dan hasil yang positif dapat menyokong diagnosis
dan menentukan penyebab meskipun peranannya masih
kontroversi. Metode uji tempel masih memerlukan banyak
perbaikan, diantaranya dengan menggiatkan penelitian tentang
konsentrasi yang sesuai untuk setiap obat, vehikulum yang tepat
dan menentukan metabolisme obat di kulit.

3. Uji provokasi oral merupakan pemeriksaan baku emas untuk


memastikan penyebab. Uji ini dikatakan aman dan dapat
dipercaya untuk pasien anak. Uji ini bertujuan untuk
mencetuskan tanda dan gejala klinis yang lebih ringan dengan
pemberian obat dosis kecil biasanya dosis 1/10 dari obat
penyebab sudah cukup untuk memprovokasi reaksi dan
provokasi biasanya sudah muncul dalam beberapa jam. Karena
resiko yang mungkin ditimbulkannya maka uji ini harus
dilakukan dibawah pengawasan petugas medis yang terlatih
H. Penatalaksanaan
1. Hentikan penggunaan obat yang diduga sebagai penyebab
2. Pengobatan sistemik

Pemberian kortikosteroid sistemik biasanya tidak


diperlukan.Untuk keluhan rasa gatal pada malam hari yang
kadang mengganggu istirahat pasien dan orang tuanya dapat
diberikan antihistamin generasi lama yang mempunyai efek
sedasi.
3. Pengobatan topikal
Pengobatan topikal bergantung pada keadaan kelainan kulit apakah
kering atau basah.
a. Jika lesi basah dapat diberi kompres secara terbuka. Tujuannya
adalah untuk mengeringkan eksudat, membersihkan debris dan
krusta serta memberikan efek menyejukkan. Pengompresan
dilakukan cukup 2-3 kali sehari, biarkan basah (tetapi tidak
sampai menetes) selama ±15-30 menit. Eksudat akan ikut
mongering bersama penguapan. Biasanya pengompresan
cukup dilakukan 2 sampai 3 hari pertama saja. Cairan kompres
yang dapat dipilih antara lain larutan NaCl 0,9 atau dengan
larutan antiseptik ringan misalnya larutan Permanganas
Kalikus 1:10.000 atau asam salisilat 1:1000.
b. Jika lesi kering dapat diberi krim kortikosteroid misalnya krim
hidrokortison 1 % atau 2,5%. Lesi hiperpigmentasi tidak perlu
diobati karena akan menghilang dalam jangka waktu lama.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan
kortikosteroid topikal pada bayi dan anak:
1. Pilihlah potensi kortikosteroid sesuai dengan daerah atau lokasi
yang akan diobati, misalnya daerah lipatan (aksila,popok) atau
muka sebaiknya menggunakan potensi rendah sedangkan pada
badan atau ekstremitas dapat diberikan potensi sedang.
2. PIlihlah potensi terendah yang dapat menghilangkan kelainan
kulit dalam waktu sesingkat mungkin. Sedapat mungkin hindari
penggunaan kortikosteroid yang sangat poten, terutama untuk
anak berusia kurang dari 12 tahun.
3. Gunakan vehikulum yang tepat sesuai kondisi kelainan kulit,
misalnya salap untuk lesi kering dan tebal serta krim untuk
radang ringan atau lipatan.
4. Aplikasi 2 kali sehari selama 7- 14 hari biasanya cukup
5. Hati-hati dengan penggunaan kortikosteroid potensi sedang
sebanyak > 15g/minggu.
6. Penggunaan di daerah yang oklusif harus hati-hati seperti
daerah popok dan aksila
I. Prognosis

Prognosis umumnya baik. Apabila obat tersangka penyebab telah


dapat dipastikan maka sebaiknya kepada penderita diberikan catatan,
berupa kartu kecil yang memuat jenis obat tersebut serta golongannya.
Kartu tersebut dapat ditunjukkan bilamana diperlukan (misalnya
apabila penderita berobat), sehingga dapat dicegah pajanan ulang yang
memungkinkan terulangnya FDE.
IV. PEMBAHASAN
Pasien perempuan usia 51 tahun hari perawatan ke 5 bangsal
Mawar RSUD Prof Margono Soekarjo dengan keluhan timbul bercak
hitam di muka dan badan sejak 1 hari lalu. Bercak hitam muncul sejak
transfusi darah kemarin siang. Bercak hitam diawali dari wajah kemudian
leher dan menyebar ke badan dan kedua tangan. Pasien tidak mempunyai
riwayat alergi. Sebelumnya pasien tidak memiliki riwayat keluhan serupa.
Selama pengobatan pasien mendapat terapi obat Inj Ciprofloxacin
2x200mg, Inj Mecobalamin 1x1 amp, Inj Ketorolac 3x1 amp,
Metilprednisolon 2x16 mg, Sucralfat 3xcth 2, Omperazol 1x1,
Paracetamol 3x500 mg. Pemeriksaan status lokalis didapatkan efloresensi
Makula hiperpigmentasi generalisata dan erosi pada mukosa buccal .

Salah satu bentuk reaksi silang obat pada kulit adalah erupsi obat.
Erupsi obat atau drug eruption itu sendiri adalah reaksi pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat dengan cara
sistemik. jenis-jenis obat yang paling sering menyebabkan erupsi obat
adalah sulfonamid yaitu sekitar 17%, lalu diikuti flurokuinolon sekitar
11,3%, analgesik sekitar 11,3%, anti epilepsi sekitar 11,3%, allopurinol
sekitar 7,5%, dan azitromicin sekitar 5,70%. patomekanisme yang
mendasari erupsi obat alergik dibagi menjadi 2 mekanisme. Tipe I
dimediasi oleh imunoglobin (Ig)E yang dapat menyebabkan reaksi
anafilaksis, urtikaria dan angiodema, timbul sangat cepat, terkadang dapat
urtikaria/angiodema persisten beberapa minggu setelah obat dihentikan.
Tipe II merupakan mekanisme sitotoksik yang diperentarai reaksi antigen,
IgG dan komplemen terhadap eritrosit, leukosit, trombosit, atau sel
prekusor hematoligik lain. Obat yang dapat menyebabkan hipersensivitas
tipe ini antara lain golongan penisilin, sefalosporin, streptomisin,
klorpromazin, sulfonamid, analgesik, dan antipiretik. Sedangkan tipe III
adalah reaksi imun kompleks yang sering terjadi akibat penggunaan obat
sistemik tinggi dan terapi jangka panjang, menunjukan manifestasi berupa
vaskulitis pada kulit dan penyakit autoimun yang diinduksi obat. Tipe
terakhir yaitu tipe IV (tipe lambat) yang diperantarai oleh limfosit T
dengan manifestasi klinis erupsi ringan hingga berat.

.
V. KESIMPULAN

1. Drug eruption adalah erupsi alergi obat yang bila berulang akan timbul
pada tempat yang sama.. Lesi berupa makula oval atau bulat berwarna
merah tau keunguan, berbatas tegas, dapat ditemukan bula diatasnya, dapat
dijumpai pada kulit dan mukosa, terutama pada bibir dan genital.

2. Etiologi yang paling sering adalah phenolphthalein, sulfonamide,


tetrasiklin, antipiretik pyrazolone dan obat anti inflamasi non steroid.

3. Patogenesis diduga merupakan reaksi hipersensitifitas tipe lambat

4. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gambaran klinis yang


khas Makula hiperpigmentasi generalisata pada Ny. S W dicurigai akibat
konsumsi antibiotik

5. Penatalaksanaannya yang terutama adalah penghentian penggunaan obat


yang diduga mencetuskan, pengobatan oral dengan antihistamin dan
pengobatan topikal tergantung lesi.
DAFTAR PUSTAKA

Adithan, C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert Departement of


Pharmacology. 2006; 2(1):1-4.

Budianti WK. Erupsi Obat Alergik. In: Menaldi SLSW, Bramono K,


Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 7th ed. Badan
Penerbit FKUI: Jakarta;2015:190-3.

Chatterjee, S., Ghosh, A.P., Barbhuiya, J. & Dey, S.K. Adverse Cutaneous
Drug Reactions: A One Year Survey at a Dermatology Outpatient
Clinic of a Tertiary Care Hospital. Indian Journal of Pharmacology.
2006; 38(6):429-31.

Docrat, M.E. Skin Focus. Current Allergy & Clinical Immunology. 2005;
18(1):24.

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Menaldi SLSW, Bramono K,


Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 5th ed. Badan
Penerbit FKUI: Jakarta; 2007:154-8.

Nayak, S. & Acharjya, B. Adverse Cutaneus Drug Reactions. Indian


Journal of Dermatology, Venereology and Leprology. 2008; 53(1):2-
8.

Pudukadan, D. & Thappa, D.M. Adverse Cutaneous Drug Reactions:


Clinical Pattern and Causative Agents in a Tertiary Care Center in
South India. Indian Journal of Dermatology, Venereology and
Leprology. 2004; 70(1):20-46

Anda mungkin juga menyukai