Oleh:
Pembimbing:
dr. Harun Hudari, SpPD, KPTI
Laporan Kasus
Judul
CHF ec HHD + Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbuminemia + DM
Tipe II + Ulkus Pedis Dextra + Hiperkoagulasi
Oleh:
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 7 Oktober – 16 Desember 2019.
2
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “CHF ec HHD + Efusi pleura bilateral ec Hipoalbuminemia +
DM Tipe II + Ulkus pedis dextra + Hiperkoagulasi”. Laporan kasus ini
merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Harun Hudari,
SpPD, KPTI selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada
semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini
dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
BAB II
STATUS PASIEN
I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. TA
b. Umur : 56 tahun
c. Tanggal Lahir : 15 Agustus 1963
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : IRT
g. Alamat : Teluk Tenggulang Banyuasin.
h. No. Med Rec : 1144086
i. Tanggal masuk RS : 12 Oktober 2019
II. ANAMNESIS
(Dilakukan autoanamnesis dengan pasien pada Jumat, 18 Oktober 2019 pukul
08.00 WIB)
KeluhanUtama
Sesak semakin hebat sejak + 2 hari SMRS.
Keluhan Tambahan
Luka di kaki kiri yang tidak sembuh-sembuh sejak + 2 hari SMRS.
6
BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien berobat ke RS Sungai Lilin dan
dikatakan mengalami gagal jantung. Pasien diberikan beberapa obat, pasien
lupa nama obatnya namun salah satunya yang sering membuat BAK, keluhan
membaik.
Sejak ± 2 minggu SMRS, pasien mengeluh sesak semakin sering
timbul, muncul saat beraktivitas namun hilang saat beristirahat. Pasien
mengaku sering terbangun malam hari karena sesak. Pasien tidur dengan
menggunakan 3 bantal tersusun tinggi. Mudah lelah ada, badan lemas ada,
berdebar-debar ada, mual ada, muntah tidak ada. Luka di kaki kiri semakin
membesar, nanah ada, darah tidak ada, nyeri ada, bau busuk ada. BAK dan
BAB tidak ada keluhan. Pasien tidak berobat.
Sejak ± 2 hari SMRS, pasien mengeluh sesak semakin memberat.
Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Sesak dirasakan terus menerus.
Mudah lelah ada, badan lemas ada, berdebar-debar ada. Pasien juga mengeluh
luka di kaki kiri tidak sembuh-sembuh, nanah ada, darah tidak ada, nyeri ada,
bau busuk ada. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien berobat ke RS
Sungai Lilin kemudian dirujuk ke RSMH Palembang untuk mendapatkan
tatalaksana lebih lanjut.
7
Riwayat Pengobatan
Pasien lupa nama obatnya, 4 jenis obat, 3 kali sehari, 1 warna pink, 1 warna
cokelat dan 2 warna putih.
Riwayat Gizi
Pasien makan 2-3x/hari dengan lauk, kadang sayur dan buah, minum 3-5
gelas setiap harinya.
b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, rambut mudah dicabut
(-), distribusi merata.
2. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik
8
(-/-), pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+)
injeksi konjungtiva (-), pandangan kabur (-).
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-).
4. Mulut
Bibir kering (+), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-).
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, MAE lapang, keluar cairan telinga
(-), sekret (-), nyeri tekan mastoid (-).
6. Leher
JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
Inspeksi : Statis asimetris, dinamis paru kiri tertinggal
Palpasi : Stem fremitus paru kanan menurun di basal, kiri
menurun dari ICS V ke bawah
Perkusi : Redup pada ICS V ke bawah paru kanan dan kiri.
Auskultasi : Vesikuler (+) menurun mulai ICS V ke bawah,
ronkhi (+) basah halus di kedua basal paru,
wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS VI linea midclavicularis
sinistra 2 jari kearah lateral
Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS VI linea midclavicularis
sinistra 2 jari ke arah lateral
Perkusi : Batas jantung atas ICS II
Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra
Batas jantung kiri sulit dinilai
9
Auskultasi : HR = 92x/menit, bunyi jantung I & II reguler,
murmur (+) sistolik grade 3/6 di katup mitral,
gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-),
umbilicus tidak menonjol
Palpasi : Lemas, hepar teraba 1 jari bawah arcus costae,
tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal,
nyeri tekan (-), nyeri tekan suprapubik (-),
ballotement (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA
(-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : Tidak diperiksa
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar pucat (-), vaskulitis (-),
edema pre-tibial (+), sianosis (-), clubbing finger (-).
Regio pedis dextra: I = Edema (+) pus (+) warna kuning, darah (-)
ulkus 3 cm di regio medial calcaneus, nyeri
tekan (+) tepi ireguler, dasar jaringan
subkutan
P = Teraba dingin, pusasi arteri dorsalis pedis
(+)
10
Hitung jenis
Basofil 0 0-1 Normal
Eosinofil 0 1-6 Menurun
Neutrofil 79 50-70 Normal
Limfosit 16 20-40 Normal
Monosit 5 2-8 Normal
FAAL HEMOSTASIS
PT + INR
Kontrol 15,10 detik 12-18
Pasien 12,8 detik 12-18
INR 0,95
APTT
Kontrol 31,4 detik 27-42
Pasien 28,1 detik 27-42
Fibrinogen
Kontrol 369 mg/dl
Pasien 682 mg/dl 200-400
D-dimer 2,07 µg/mL <0,3
KIMIA KLINIK METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Sewaktu 358 mg/dl <200
Ginjal
Ureum 34 mg/dl 16,6-48,5
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,50-0,90
ELEKTROLIT
Kalsium 8,1 mg/dl 8,4-9,7
Natrium 145 mEq/L 135-155
Kalium 3,8 mEq/L 3,5-5,5
HATI
Protein Total 5,2 g/dL 6,4-8,3
Albumin 2,1 g/dL 3,5-5,0
Globulin 3,1 g/dL 2,6-3,6
LDH 279 U/L 240-480
11
b. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)
Interpretasi:
Irama sinus, HR 90 x/m, gelombang P 0,12 detik, komplek QRS 0,08
detik, ST-T changes (-)
V. Diagnosis
CHF ec HHD + Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbuminemia + DM Tipe 2 +
Ulkus Pedis Dextra + Hiperkoagulasi
12
Kultur cairan pleura
VIII. Tatalaksana
Non Farmakologis
Tirah baring
Diet DM 1500 cal, diet jantung II
Edukasi, kurva BSS
Farmakologis
IVFD NS 0,9% gtt
Levamir 1 x 6 IU
Novorapid 3 x 6 IU
Candesartan 1 x 8 mg
Ceftriaxone 2 x 1 gr
Metronidazole 3 x 500 mg
Furosemide 1 x 20 mg
N asetilsistein 3 x 200 mg
IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Jantung
1.1. Anatomi Jantung 6,7
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di
rongga dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum.
Ukuran jantung lebih kurang sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-
kira 250-300 gram.
Jantung mempunyai empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel
kanan, dan ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan
berdinding tipis, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah bawah jantung. dan
mempunyai dinding lebih tebal karena harus memompa darah ke seluruh tubuh.
Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen dari seluruh
tubuh. Atrium kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru
dan mengalirkan darah tersebut ke paru-paru. Ventrikel kanan berfungsi
menerima darah dari atrium kanan dan memompakannya ke paru-paru.ventrikel
kiri berfungsi untuk memompakan darah yang kaya oksigen keseluruh tubuh.
Jantung juga terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan terluar yang merupakan selaput
pembungkus disebut epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan inti dari
jantung terdiri dari otot-otot jantung disebut miokardium dan lapisan terluar yang
terdiri jaringan endotel disebut endokardium.
14
sama tapi tugasnya hanya mengalirkan darah ke sekitar paru-paru ketika
tekanannya lebih rendah.
15
Gambar 1. Anatomi Jantung 6,7
2.2 Epidemiologi
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit,
4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan
2,3 – 3,7 per 1000 penderita per tahun. Prevalensi gagal jantung adalah tergantung
umur. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi
16
menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar
0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74
tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam
4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih
dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. Di Amerika Serikat, diperkirakan
550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan 300.000 kematian disebabkan
oleh gagal jantung setiap tahunnya manakala di Indonesia belum ada data yang
pasti. 9
2.3 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan
di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit
untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham
Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27%
pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan
faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. 10
Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan
gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi
yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung. 10
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang
bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan
17
menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif
dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana
terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat
seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. 10
Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai
dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi
septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta
(kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan
kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan
dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat
pengisian ventrikel. 10
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun
saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi
mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan
preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan. 10
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.10
2.4 Klasifikasi 6
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain
18
pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut,
klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan
11
New York Heart Association. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada
penderita infark miokard akut, dengan pembagian:
Derajat I : Tanpa gagal jantung
Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop
dan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan
diaforesis).
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi
menjadi empat kelas, yaitu:
Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
19
sebagainya.
NYHA II Telah terdapat gejala ringan (napas
sesak disertai atau tidak disertai angina)
serta ada keterbatasan ringan dalam
melakukan aktifitas fisik sehari-hari.
NYHA III terdapat keterbatasan fisik pada
aktifitas sehari-hari akibat gagal
jantung pada tingkatan ringan, misalnya
pasien akan merasa sesak napas jika
berjalan 20-100 meter. Keluhan akan
berkurang saar istirahat.
NYHA IV terdapat hambatan aktifitas yang berat,
misalnya gejala muncul saat istirahat.
2.5 Patogenesis 12
20
Gambar 2. Patogenesis CHF 12
21
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi
ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin).
Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA
menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol
eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat
saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide
yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung,
ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di
atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide
terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide
22
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron
dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan
oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang
poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal
pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung
sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski
dapat timbul sendiri.
23
atau pink.
Penumpukan kelebihan cairan dalam Bengkak pada Aliran darah dari
jaringan tubuh (edema) pergelangan kaki, kaki jantung yang
atau perut atau melambat tertahan
penambahan berat dan menyebabkan
badan. cairan untuk
menumpuk dalam
jaringan. Ginjal
kurang mampu
membuang natrium
dan air, juga
menyebabkan retensi
cairan di dalam
jaringan.
Kelelahan Perasaan lelah Jantung tidak dapat
sepanjang waktu dan memompa cukup
kesulitan dengan darah ke seluruh
kegiatan sehari-hari, jaringan
seperti belanja, naik
tangga, membawa
belanjaan atau
berjalan.
Kurangnya nafsu makan dan mual Perasaan penuh atau Sistem pencernaan
sakit perut. menerima darah yang
kurang,
menyebabkan
masalah dengan
pencernaan.
Kebingungan dan gangguan berpikir Kehilangan memori Perubahan pada
dan perasaan menjadi tingkat zat tertentu
disorientasi. dalam darah, seperti
sodium, dapat
menyebabkan
kebingungan.
Peningkatan denyut jantung Jantung berdebar- Untuk "menebus"
debar, yang merasa kerugian dalam
seperti jantung Anda memompa kapasitas,
balap atau berdenyut. jantung berdetak
lebih cepat.
24
Gambar 3. gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF 14
25
Kriteria Minor:
- Bilateral ankle edema
- Batuk nokturnal
- Dyspnea pada aktivitas biasa
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
- Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.).
Kriteria Minor diterima hanya jika mereka tidak dapat dikaitkan dengan kondisi
medis yang lain (seperti hipertensi paru, penyakit paru-paru kronis,
sirosis, asites, atau sindrom nefrotik).
Kriteria Framingham Heart Study adalah 100% sensitif dan 78% khusus untuk
mengidentifikasi orang dengan gagal jantung kongestif yang pasti.
2.7 Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan tekanan vena
jugular, hepatomegali dan edema tungkai. Dari hasil anamnesis perlu juga
diketahui sekiranya pasien mempunyai riwayat penyakit terdahulu seperti
penyakit arteri koroner yang signifikan, serangan jantung sebelumnya, hipertensi,
diabetes, gagal ginjal atau penggunaan alkohol yang signifikan. Pemeriksaan fisik
difokuskan pada pendeteksian kehadiran cairan ekstra dalam tubuh seperti suara-
suara napas tambahan, pembengkakan kaki serta pengkarakteristikan yang hati-
hati kondisi dari jantung seperti nadi, ukuran jantung, suara-suara jantung, dan
desah jantung 16
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan setidaknya dijumpai 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan
2 kriteria minor dari Framingham.16
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklid, angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan
foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic
ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada
26
tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul
gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut
kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing
pada lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru bermakna. Dapat pula
tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak
terkena adalah bagian kanan. 17
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada
hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispnea
pada pasien sangat kecil kemungkinannya. 17,16
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas
yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi
atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard
anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya
gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.17
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan
serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal,
juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum
kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik
dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat
terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium
sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi
ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. 17,18
27
Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongestif hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP
sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan
plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan radionuklide atau multigated
ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju
pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi
dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel
kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk
mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure. 18
28
Asma
Syok kardiogenik
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
Overdosis Obatan
Infark miokard
Pneumonia
Fibrosis Pulmonal
Respiratory failure
Sepsis
29
BAB IV
ANALISIS KASUS
30
NYHA IV. Pasien juga sering terbangun saat tidur karena sesaknya yang
merupakan paroxysmal nocturnal dyspnea dan pasien mengaku tidur dengan
menggunakan 3 bantal yang tersusun tinggi yang merupakan orthopneu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O,
kardiomegali pada pemeriksaan fisik jantung, ronkhi basah halus di kedua basal
paru, hepar teraba 1 jari bawah arcus costae, tepi tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal serta edema pre tibial. Maka berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik ini dapat disesuaikan dengan kriteria Framingham dalam
penegakkan diagnosis gagal jantung kongestif yaitu 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor dan 1 kriteria minor. Pada pasien ini kriteria mayor yang terpenuhi
berupa paroxysimal nocturnal dyspneu, distensi vena leher, ronki paru,
kardiomegali dan kriteria minor berupa edema ekstremitas, dispnea d’effort,
hepatomegali dan efusi pleura.
Gagal jantung kongestif pada pasien ini dicurigai disebabkan oleh
hipertensi lama yang dideritanya yang mengakibatkan terjadinya Hypertension
Heart Disease. Pasien mengaku telah mengalami hipertensi selama 7 tahun dan ia
tidak rutin kontrol dan berobat. Riwayat hipertensi juga didapati pada ayah pasien.
Gejala yang menunjang ke diagnosis Hypertension Heart Disease pada pasien
adalah adanya riwayat hipertensi lama yang tidak terkontrol, rasa berdebar-debar,
mudah lelah, lemas, sesak serta bengkak di tungkai. Pada pemeriksaan fisik bisa
dijumpai adanya ronkhi basah pada basal paru serta ascites. Kardiomegali juga
dapat terlihat pada pemeriksaan EKG dan rontgen PA thorax.
Hipertensi lama yang menyebabkan resistensi perifer yang tinggi dalam
jangka waktu lama dan tidak terkontrol menyebabkan daya kontraktilitas jantung
semakin menurun akibat kompensasi hipertrofi otot jantung untuk meningkatkan
stroke volume. Left ventricle end diastolic pressure (LVEDP) menurun karena
volume ventrikel kiri menurun. Jantung mengkompensasi dengan dilatasi
ventrikel kiri untuk meningkatkan LVEDP dengan menampung lebih banyak
volume darah dari venous return vena pulmonal. Dilatasi ventrikel kiri lama
kelamaan menyebabkan penipisan otot ventrikel kiri dan fraksi ejeksi menjadi
tidak maksimal akibat aliran balik darah ke atrium kiri lalu ke vena pulmonal.
Bendungan di vena pulmonal menyebabkan ekstravasasi cairan ke alveolus
bermanifestasi sebagai orthopneu, batuk, dan ronkhi basah halus pada paru.
31
Gagal jantung kanan timbul biasanya setelah gagal jantung kiri karena
bendungan darah di sirkulasi pulmonal akibat gagal jantung kiri menyebabkan
resistensi sirkulasi pulmonal meningkat. Kontraktilitas ventrikel kanan menurun
dan volume darah yang dipompakan dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
menurun. Hal ini menyebabkan terjadinya bendungan darah di atrium kanan
sehingga timbul kongesti dari vena kava superior dan inferior yang bermanifestasi
sebagai peningkatan JVP dan edema pada ekstremitas.
Selain itu, pasien juga memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 7 tahun
lalu dan tidak rutin kontrol dan berobat. Riwayat diabetes mellitus juga didapati
pada ayah pasien. Penegakkan diagnosis diabetes mellitus pada pasien disesuaikan
dengan terdapatnya gejala klasik berupa pasien mengaku sering merasa haus
sehingga ia banyak minum (polidipsi) disertai kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200
mg/dl yaitu 358 mg/dl. Diabetes mellitus dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi baik di tingkat mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Penderita DM
biasanya juga memiliki kerentanan berlebih terhadap terjadinya infeksi yang
kemudian dapat dengan mudah berkembang menjadi ulkus/gangrene diabetikum
yangmana ditemukan pada pasien ini.
Faktor utama yang menyebabkan munculnya ulkus diabetikum pada
pasien ini adalah kombinasi dari neuropati otonom, neuropati somatik, insufisiensi
vaskuler dan infeksi. Neuropati timbul sebagai akibat peningkatan kadar gula
darah yang lama sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik.
Hilangnya sensasi pada kaki penderita diabetes mellitus dapat membuat penderita
tidak merasakan adanya trauma yang terjadi sehingga trauma yang terjadi secara
terus menerus tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan lunak
dan apabila disertai infeksi dengan perawatan kaki yang buruk dapat
menyebabkan timbulnya ulkus diabetikum seperti yang dijumpai pada pasien.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
12. Lee, T.H., 2005. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec
GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker : 449-65
13. Harbanu H.M, 2007, et al. Gagal Jantung. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam,
FK Unud/ RSUP Sanglah, Denpasar. Available from :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/9_gagal%20jantung.pdf. Diakses pada 20
Oktober 2019.
14. American Heart Association, 2011. Peringatan tanda-tanda gagal jantung.
Available from
:http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/WarningSignsfor
HeartFailur e/Warning-Signs-of-Heart-
Failure_UCM_002045_Article.jsp. Diakses pada 20 Oktober 2019.
15. Medical Criteria.com, 2010. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kongesti. Available from :
http://www.medicalcriteria.com/criteria/framingham.htm. Diakses pada 20
Oktober 2019.
16. Nieminen, M.S., 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart
failure – full text the task force on acute heart failure of the european society
of cardiology. Eur Heart J : hal 256-351
17. Singh, V., 2010. Congestive Heart Failure Imaging. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/354666-overview. Diakses pada 20
Oktober 2019.
18. Lee, T.H., 2005. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec
GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker : 449-65
19. Davies, M.K., 2000. ABC of heart failure: Congestive heart failure in the
community trends in incidence and survival in 10-year period.. BMJ : 297-300
34