Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

CHF EC HHD + EFUSI PLEURA BILATERAL EC


HIPOALBUMINEMIA + DM TIPE II + ULKUS
PEDIS DEXTRA + HIPERKOAGULASI

Oleh:

Anindya Riezkaa Baliera, S.Ked 04084821820061


Yuni Anjarwati, S.Ked 04084821921063

Pembimbing:
dr. Harun Hudari, SpPD, KPTI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM RSMH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
PALEMBANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul
CHF ec HHD + Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbuminemia + DM
Tipe II + Ulkus Pedis Dextra + Hiperkoagulasi

Oleh:

Anindya Riezkaa Baliera, S.Ked 04084821820061


Yuni Anjarwati, S.Ked 04084821921063

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang, Periode 7 Oktober – 16 Desember 2019.

Palembang, Oktober 2019


Pembimbing

dr. Harun Hudari, SpPD, KPTI

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan
berkat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan laporan kasus
yang berjudul “CHF ec HHD + Efusi pleura bilateral ec Hipoalbuminemia +
DM Tipe II + Ulkus pedis dextra + Hiperkoagulasi”. Laporan kasus ini
merupakan salah satu syarat mengikuti ujian pada Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP dr. Mohammad
Hoesin Palembang.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Harun Hudari,
SpPD, KPTI selaku pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini, serta kepada
semua pihak yang telah membantu hingga tulisan ini dapat diselesaikan.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan tulisan ini
dapat memberi ilmu dan manfaat bagi yang membacanya.

Penyusun

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................................... 2


KATA PENGANTAR ............................................................................................... 3
DAFTAR ISI .............................................................................................................. 4
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 5
BAB II STATUS PASIEN ......................................................................................... 6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................14
BAB IV ANALISIS KASUS .....................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................33

4
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular merupakan salah satu penyebab kematian paling


umum di seluruh dunia. Penyakit kardiovaskular menyumbang hampir 40%
kematian di negara maju dan sekitar 28% di negara berkembang.1 Menurut data
dari studi Framingham, 90% orang yang berumur diatas 55 tahun akan mengalami
hipertensi selama masa hidupnya. Hal ini menggambarkan masalah kesehatan
publik karena hipertensi dapat meningkatkan resiko terjadinya penyakit
kardiovaskular, seperti gagal jantung kongestif.2
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5 - 10%.
Dalam kurun 20 tahun terakhir, angka kematian karena serangan jantung dan
stroke yang disebabkan oleh hipertensi mengalami penurunan (Pickering, 2008),
oleh karena itu terjadi peningkatan penderita penyakit jantung hipertensi yang
beresiko mengalami gagal jantung kongestif.3 Menurut data dan pengalaman
sebelum adanya pengobatan yang efektif, penderita hipertensi yang tidak diobati
terbukti mengalami pemendekan masa kehidupan sekitar 10 – 20 tahun. Bahkan
individu yang mengalami hipertensi ringan jika tidak diobati selama 7 – 10 tahun
beresiko tinggi mengalami komplikasi yaitu sekitar 30% terbukti mengalami
aterosklerosis dan lebih dari 50% akan mengalami kerusakan organ yang
berhubungan dengan hipertensi itu sendiri, seperti kardiomegali dan gagal jantung
kongestif.4
Gagal jantung kongestif adalah suatu keadaan patofisiologis berupa
kelainan struktur dan fungsi jantung sehingga jantung tidak mampu memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Penyebab dari gagal
jantung adalah disfungsi miokard, endokard, perikardium, pembuluh darah besar,
kelainan katup jantung, dan gangguan irama. Berdasarkan data dari American
Heart Association (AHA), gagal jantung masih menjadi masalah kesehatan utama
dengan prevalensi 5,8 juta penduduk di Amerika Serikat dan lebih dari 23 juta
penduduk di seluruh dunia. Data prevalensi gagal jantung di Indonesia, khususnya
di Palembang, belum terdapat data yang pasti, namun hipertensi merupakan
penyebab terbanyak, disusul oleh penyakit jantung koroner.5

5
BAB II
STATUS PASIEN

I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Ny. TA
b. Umur : 56 tahun
c. Tanggal Lahir : 15 Agustus 1963
d. Jenis Kelamin : Perempuan
e. Agama : Islam
f. Pekerjaan : IRT
g. Alamat : Teluk Tenggulang Banyuasin.
h. No. Med Rec : 1144086
i. Tanggal masuk RS : 12 Oktober 2019

II. ANAMNESIS
(Dilakukan autoanamnesis dengan pasien pada Jumat, 18 Oktober 2019 pukul
08.00 WIB)

KeluhanUtama
Sesak semakin hebat sejak + 2 hari SMRS.

Keluhan Tambahan
Luka di kaki kiri yang tidak sembuh-sembuh sejak + 2 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


Sejak ± 1 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak nafas, sesak memberat
dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh
cuaca, debu dan emosi. Pasien mengaku sering terbangun saat tidur karena
sesak. Pasien tidur dengan 2 bantal tersusun tinggi. Mudah lelah ada, badan
lemas ada, berdebar-debar ada, nyeri dada tidak ada. Demam tidak ada, batuk
tidak ada, mengi tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, berkeringat
berlebih pada malam hari tidak ada. Pasien mengaku sering merasa haus
sehingga pasien banyak minum. Pasien juga mengaku terdapat luka di kaki
kiri yang semakin membesar, nanah ada, darah tidak ada, bau busuk ada.

6
BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien berobat ke RS Sungai Lilin dan
dikatakan mengalami gagal jantung. Pasien diberikan beberapa obat, pasien
lupa nama obatnya namun salah satunya yang sering membuat BAK, keluhan
membaik.
Sejak ± 2 minggu SMRS, pasien mengeluh sesak semakin sering
timbul, muncul saat beraktivitas namun hilang saat beristirahat. Pasien
mengaku sering terbangun malam hari karena sesak. Pasien tidur dengan
menggunakan 3 bantal tersusun tinggi. Mudah lelah ada, badan lemas ada,
berdebar-debar ada, mual ada, muntah tidak ada. Luka di kaki kiri semakin
membesar, nanah ada, darah tidak ada, nyeri ada, bau busuk ada. BAK dan
BAB tidak ada keluhan. Pasien tidak berobat.
Sejak ± 2 hari SMRS, pasien mengeluh sesak semakin memberat.
Sesak tidak berkurang dengan istirahat. Sesak dirasakan terus menerus.
Mudah lelah ada, badan lemas ada, berdebar-debar ada. Pasien juga mengeluh
luka di kaki kiri tidak sembuh-sembuh, nanah ada, darah tidak ada, nyeri ada,
bau busuk ada. BAK dan BAB tidak ada keluhan. Pasien berobat ke RS
Sungai Lilin kemudian dirujuk ke RSMH Palembang untuk mendapatkan
tatalaksana lebih lanjut.

Riwayat Penyakit Dahulu


1. Riwayat darah tinggi (+) sejak 7 tahun yang lalu, tidak rutin kontrol dan
minum obat.
2. Riwayat kencing manis (+) sejak 7 tahun yang lalu, tidak rutin kontrol dan
minum obat.
3. Riwayat asma dan alergi disangkal.
4. Riwayat luka yang tidak sembuh-sembuh disangkal.
5. Riwayat lepra (+) 2 tahun yang lalu, berobat tuntas.
6. Riwayat tuberkulosis paru disangkal.

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat penyakit jantung dalam keluarga disangkal.
Riwayat darah tinggi (+) pada ayah pasien.
Riwayat kencing manis (+) pada ayah pasien.
Riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis paru disangkal.

7
Riwayat Pengobatan
Pasien lupa nama obatnya, 4 jenis obat, 3 kali sehari, 1 warna pink, 1 warna
cokelat dan 2 warna putih.

Riwayat Pekerjaan, Kebiasaan, Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien adalah seorang ibu rumah tangga yang tinggal bersama seorang suami
dan 3 orang anaknya. Suaminya seorang pedagang. Rata-rata penghasilan
sebulan Rp 2.000.000,00. Pasien berobat dengan menggunakan BPJS kelas
III. Kesan ekonomi menengah ke bawah.

Riwayat Gizi
Pasien makan 2-3x/hari dengan lauk, kadang sayur dan buah, minum 3-5
gelas setiap harinya.

III. PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2019)
a. KeadaanUmum
1. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
2. Kesadaran : Compos mentis
3. Tekanandarah : 140/90 mmHg
4. Nadi : 92 x/menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup.
5. Pernapasan : 20 x/menit, regular, thorakoabdominal
6. Suhu tubuh : 36,5oC
7. Berat badan : 40 kg
8. Tinggi badan : 150 cm
9. IMT : 17,7 kg/m2
10. Status gizi : Underweight

b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam, rambut mudah dicabut
(-), distribusi merata.
2. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik

8
(-/-), pupil bulat isokor, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+)
injeksi konjungtiva (-), pandangan kabur (-).
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi
lapang, sekret (-), epistaksis (-).
4. Mulut
Bibir kering (+), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah
berselaput (-), atrofi papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-).
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, MAE lapang, keluar cairan telinga
(-), sekret (-), nyeri tekan mastoid (-).
6. Leher
JVP (5+2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-).
7. Thoraks
Inspeksi : Simetris, venektasi (-), retraksi (-), scar (-)
Paru
 Inspeksi : Statis asimetris, dinamis paru kiri tertinggal
 Palpasi : Stem fremitus paru kanan menurun di basal, kiri
menurun dari ICS V ke bawah
 Perkusi : Redup pada ICS V ke bawah paru kanan dan kiri.
 Auskultasi : Vesikuler (+) menurun mulai ICS V ke bawah,
ronkhi (+) basah halus di kedua basal paru,
wheezing (-)
Jantung
 Inspeksi : Iktus cordis terlihat di ICS VI linea midclavicularis
sinistra 2 jari kearah lateral
 Palpasi : Iktus cordis teraba di ICS VI linea midclavicularis
sinistra 2 jari ke arah lateral
 Perkusi : Batas jantung atas ICS II
Batas jantung kanan ICS V linea sternalis dextra
Batas jantung kiri sulit dinilai

9
 Auskultasi : HR = 92x/menit, bunyi jantung I & II reguler,
murmur (+) sistolik grade 3/6 di katup mitral,
gallop (-)
8. Abdomen
 Inspeksi : Datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-),
umbilicus tidak menonjol
 Palpasi : Lemas, hepar teraba 1 jari bawah arcus costae,
tepi tumpul, permukaan rata, konsistensi kenyal,
nyeri tekan (-), nyeri tekan suprapubik (-),
ballotement (-)
 Perkusi : Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA
(-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
9. Genitalia : Tidak diperiksa
10. Ekstremitas : Akral hangat (+), palmar pucat (-), vaskulitis (-),
edema pre-tibial (+), sianosis (-), clubbing finger (-).
Regio pedis dextra: I = Edema (+) pus (+) warna kuning, darah (-)
ulkus 3 cm di regio medial calcaneus, nyeri
tekan (+) tepi ireguler, dasar jaringan
subkutan
P = Teraba dingin, pusasi arteri dorsalis pedis
(+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium (16 Oktober 2019)
Pemeriksaan Hasil Unit Nilai rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,9 g/dL 11.4-15
Leukosit 9,56 103/µL 4.73-10.89
Eritrosit 4,76 106/µL 4.0-5.7
Hematokrit 39 % 35-45
Trombosit 252 103/µL 189-436
RDW-CV 12,70 % 11-15

10
Hitung jenis
Basofil 0 0-1 Normal
Eosinofil 0 1-6 Menurun
Neutrofil 79 50-70 Normal
Limfosit 16 20-40 Normal
Monosit 5 2-8 Normal
FAAL HEMOSTASIS
PT + INR
Kontrol 15,10 detik 12-18
Pasien 12,8 detik 12-18
INR 0,95
APTT
Kontrol 31,4 detik 27-42
Pasien 28,1 detik 27-42
Fibrinogen
Kontrol 369 mg/dl
Pasien 682 mg/dl 200-400
D-dimer 2,07 µg/mL <0,3
KIMIA KLINIK METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Sewaktu 358 mg/dl <200
Ginjal
Ureum 34 mg/dl 16,6-48,5
Kreatinin 0,9 mg/dl 0,50-0,90
ELEKTROLIT
Kalsium 8,1 mg/dl 8,4-9,7
Natrium 145 mEq/L 135-155
Kalium 3,8 mEq/L 3,5-5,5
HATI
Protein Total 5,2 g/dL 6,4-8,3
Albumin 2,1 g/dL 3,5-5,0
Globulin 3,1 g/dL 2,6-3,6
LDH 279 U/L 240-480

11
b. Pemeriksaan Elektrokardiogram (EKG)

Interpretasi:
Irama sinus, HR 90 x/m, gelombang P 0,12 detik, komplek QRS 0,08
detik, ST-T changes (-)

V. Diagnosis
CHF ec HHD + Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbuminemia + DM Tipe 2 +
Ulkus Pedis Dextra + Hiperkoagulasi

VI. Diagnosis Banding


- CHF ec HHD + Efusi Pleura Bilateral ec Pleuritis TB +DM Tipe 2 +
Ulkus Pedis Dextra + Hiperkoagulasi
- CHF ec CAD + Efusi Pleura Bilateral ec Hipoalbuminemia +DM Tipe
2 + Ulkus Pedis Dextra + Hiperkoagulasi
- CHF ec CAD + Efusi Pleura Bilateral ec pleuropneumonia +DM Tipe
2 + Ulkus Pedis Dextra + Hiperkoagulasi

VII. Pemeriksaan Anjuran


Rontgen Thorax PA
Echocardiografi
Pemeriksaan sputum
Pemeriksan BTA cairan pleura

12
Kultur cairan pleura

VIII. Tatalaksana
Non Farmakologis
 Tirah baring
 Diet DM 1500 cal, diet jantung II
 Edukasi, kurva BSS

Farmakologis
 IVFD NS 0,9% gtt
 Levamir 1 x 6 IU
 Novorapid 3 x 6 IU
 Candesartan 1 x 8 mg
 Ceftriaxone 2 x 1 gr
 Metronidazole 3 x 500 mg
 Furosemide 1 x 20 mg
 N asetilsistein 3 x 200 mg

IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanationam : dubia ad malam

13
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Jantung
1.1. Anatomi Jantung 6,7
Jantung adalah sebuah organ berotot dengan empat ruang yang terletak di
rongga dada dibawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum.
Ukuran jantung lebih kurang sebesar genggaman tangan kanan dan beratnya kira-
kira 250-300 gram.
Jantung mempunyai empat ruang yaitu atrium kanan, atrium kiri, ventrikel
kanan, dan ventrikel kiri. Atrium adalah ruangan sebelah atas jantung dan
berdinding tipis, sedangkan ventrikel adalah ruangan sebelah bawah jantung. dan
mempunyai dinding lebih tebal karena harus memompa darah ke seluruh tubuh.
Atrium kanan berfungsi sebagai penampung darah rendah oksigen dari seluruh
tubuh. Atrium kiri berfungsi menerima darah yang kaya oksigen dari paru-paru
dan mengalirkan darah tersebut ke paru-paru. Ventrikel kanan berfungsi
menerima darah dari atrium kanan dan memompakannya ke paru-paru.ventrikel
kiri berfungsi untuk memompakan darah yang kaya oksigen keseluruh tubuh.
Jantung juga terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan terluar yang merupakan selaput
pembungkus disebut epikardium, lapisan tengah merupakan lapisan inti dari
jantung terdiri dari otot-otot jantung disebut miokardium dan lapisan terluar yang
terdiri jaringan endotel disebut endokardium.

1.2. Siklus jantung


Siklus jantung merupakan kejadian yang terjadi dalam jantung selama
peredaran darah. Gerakan jantung terdiri dari 2 jenis yaitu kontraksi (sistolik) dan
relaksasi (diastolik). Sistolik merupakan sepertiga dari siklus jantung. Kontraksi
dari ke-2 atrium terjadi secara serentak yang disebut sistolik atrial dan
relaksasinya disebut diastolik atrial. Lama kontraksi ventrikel ±0,3 detik dan tahap
relaksasinya selama 0,5 detik. Kontraksi kedua atrium pendek, sedangkan
kontraksi ventrikel lebih lama dan lebih kuat. Daya dorong ventrikel kiri harus
lebih kuat karena harus mendorong darah keseluruh tubuh untuk mempertahankan
tekanan darah sistemik. Meskipun ventrikel kanan juga memompakan darah yang

14
sama tapi tugasnya hanya mengalirkan darah ke sekitar paru-paru ketika
tekanannya lebih rendah.

1.3. Curah jantung


Curah jantung merupakan volume darah yang di pompa tiap ventrikel per
menit. Pada keadaan normal (fisiologis) jumlah darah yang dipompakan oleh
ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama besarnya. Bila tidak demikian akan terjadi
penimbunan darah di tempat tertentu. Jumlah darah yang dipompakan pada setiap
kali sistolik disebut volume sekuncup. Dengan demikian curah jantung = volume
sekuncup x frekuensi denyut jantung per menit. Umumnya pada tiap sistolik
ventrikel tidak terjadi pengosongan total ventrikel, hanya sebagian dari isi
ventrikel yang dikeluarkan. Jumlah darah yang tertinggal ini dinamakan volume
residu. Besar curah jantung seseorang tidak selalu sama, bergantung pada
keaktifan tubuhnya. Curah jantung orang dewasa pada keadaan istirahat lebih
kurang 5 liter dan dapat meningkat atau menurun dalam berbagai keadaan.

1.4. Denyut Jantung dan Daya pompa Jantung


Pada saat jantung normal dalam keadaan istirahat, maka pengaruh sistem
parasimpatis dominan dalam mempertahankan kecepatan denyut jantung sekitar
60 hingga 80 denyut per menit. Kecepatan denyut jantung dalam keadaan sehat
dipengaruhi oleh pekerjaan, tekanan darah, emosi, cara hidup dan umur. Pada
waktu banyak pergerakan, kebutuhan oksigen (O2) meningkat dan pengeluaran
karbondioksida (CO2) juga meningkat sehingga kecepatan jantung bisa mencapai
150 x/ menit dengan daya pompa 20-25 liter/menit.16 Pada keadaan normal jumlah
darah yang dipompakan oleh ventrikel kanan dan ventrikel kiri sama sehingga
tidak teradi penimbunan. Apabila pengembalian dari vena tidak seimbang dan
ventrikel gagal mengimbanginya dengan daya pompa jantung maka vena-vena
dekat jantung jadi membengkak berisi darah sehingga tekanan dalam vena naik
dalam jangka waktu lama, bisa menjadi edema.

15
Gambar 1. Anatomi Jantung 6,7

2. Gagal Jantung Kongestif


2.1 Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan
curah jantung (cardiac output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh. Penurunan CO mengakibatkan volume darah yang efektif berkurang.
Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat maka di dalam tubuh terjadi
suatu refleks homeostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan -
perubahan neurohumoral, dilatasi ventrikel. Salah satu respon hemodinamik yang
tidak normal adalah peningkatan tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung
atau preload. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan
edema paru dan bendungan di sistem vena maka keadaan ini disebut gagal jantung
kongestif. Apabila tekanan pengisian meningkat dengan cepat sekali seperti yang
sering terjadi pada infark miokard akut sehingga dalam waktu singkat
menimbulkan berbagai tanda-tanda kongestif sebelum jantung sempat
mengadakan mekanisme kompensasi yang kronis maka keadaan ini disebut gagal
jantung kongestif akut). 8

2.2 Epidemiologi
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit,
4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan
2,3 – 3,7 per 1000 penderita per tahun. Prevalensi gagal jantung adalah tergantung
umur. Menurut penelitian, gagal jantung jarang pada usia di bawah 45 tahun, tapi

16
menanjak tajam pada usia 75 – 84 tahun. Di Eropa kejadian gagal jantung berkisar
0,4%-2% dan meningkat pada usia yang lebih lanjut dengan rata-rata umur 74
tahun. Prognosis dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau penyebabnya tidak
dapat diperbaiki. Seperdua dari pasien gagal jantung akan meninggal dunia dalam
4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat lebih
dari 50 % akan meninggal pada tahun pertama. Di Amerika Serikat, diperkirakan
550.000 kasus baru gagal jantung didiagnosis dan 300.000 kematian disebabkan
oleh gagal jantung setiap tahunnya manakala di Indonesia belum ada data yang
pasti. 9

2.3 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
cukup penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung. Di negara maju
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan
di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan, sangat sulit
untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham
Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27%
pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan
faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. 10
Selain itu, berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan
kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan
gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal
jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung
melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi
ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk
terjadinya aritmia baik aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi
yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan
perkembangan gagal jantung. 10
Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang
bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung
kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan

17
menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofik, restriktif
dan obliterasi. Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana
terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel
kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat
seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. 10
Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan
(autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai
dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi
septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta
(kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan
kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan
dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat
pengisian ventrikel. 10
Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun
saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama
terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi
mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan
preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
afterload). Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada
penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul
bersamaan. 10
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi).
Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi
(penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 – 3%
dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi
tiamin. Obat – obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi
seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan
gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung.10

2.4 Klasifikasi 6
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara lain

18
pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard Akut,
klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester, Stevenson dan
11
New York Heart Association. Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada
penderita infark miokard akut, dengan pembagian:
 Derajat I : Tanpa gagal jantung
 Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3 galop
dan peningkatan tekanan vena pulmonalis.
 Derajat III : Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan paru.
 Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik 90
mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan
diaforesis).
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda
kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea, distensi
vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema perifer, suara jantung
pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood pressure pada manuver
valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit,
pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan
kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak
disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan
yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal tersebut penderita dibagi
menjadi empat kelas, yaitu:
 Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
 Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
 Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
 Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)

Pembagian menurut New York Heart Association adalah berdasarkan


fungsional jantung yaitu:
Tabel 1. Klasifikasi menurut New York Heart Association
NYHA I Terdapat penyakit jantung, namun
tidak ada gejala atau keterbatasan
dalam aktifitas fisik sehari-hari,
misalnya berjalan, naik tangga, dan

19
sebagainya.
NYHA II Telah terdapat gejala ringan (napas
sesak disertai atau tidak disertai angina)
serta ada keterbatasan ringan dalam
melakukan aktifitas fisik sehari-hari.
NYHA III terdapat keterbatasan fisik pada
aktifitas sehari-hari akibat gagal
jantung pada tingkatan ringan, misalnya
pasien akan merasa sesak napas jika
berjalan 20-100 meter. Keluhan akan
berkurang saar istirahat.
NYHA IV terdapat hambatan aktifitas yang berat,
misalnya gejala muncul saat istirahat.

2.5 Patogenesis 12

Gambar 1. Alur terjadinya CHF7

20
Gambar 2. Patogenesis CHF 12

2.6 Patofisiologi dan Manifestasi Klinis 13


Gagal jantung merupakan kelainan multisistem dimana terjadi gangguan
pada jantung, otot skeletal dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, Sistem Renin – Angiotensin –
Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang
bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat
terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga
cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas
serta vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul
berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi
simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit,
hipertofi dan nekrosis miokard fokal.
Stimulasi sistem RAA menyebabkan peningkatan konsentrasi renin,
angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor
renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang
pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan
merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium

21
dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek
pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung.
Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama
yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat.
Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap
peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada otot skelet dan fungsi
ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang
kompleks.
Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang
menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi
mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin – Angiotensin – Aldosteron
(sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk
memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga.
Aktivasi .sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac
output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta
vasokonstriksi perifer (peningkatan katekolamin).
Apabila hal ini timbul berlanjutan, dapat menyebabkan gangguan pada
fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
apoptosis miosit,hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA
menyebabkan peningkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol
eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat
saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan
sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada
disfungsi endotel pada gagal jantung. Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide
yang berstruktur hampir sama yang memiliki efek yang luas terhadap jantung,
ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di
atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan
vasodilatsi.
Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNP) juga dihasilkan di jantung,
khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide
terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap
natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial and brain natriuretic peptide

22
meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan
bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi aldosteron
dan reabsorbsi natrium di tubulus renal.
Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya
pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didapatkan pada
pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia.Endotelin disekresikan
oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang
poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang
bertanggung jawab atas retensi natrium.
Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan arteri pulmonal
pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati
hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid.
Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita gagal jantung
memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung
sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski
dapat timbul sendiri.

Table 2. Manifestasi Klinis 14


Manifestasi Klinis Umum Deskripsi Mekanisme
Sesak napas (juga disebut dyspnea) Sesak napas selama Darah dikatakan “backs
melakukan aktivitas up” di pembuluh darah
(paling sering), saat paru (pembuluh darah
istirahat, atau saat tidur, yang kembali dari paru
yang mungkin datang ke jantung) karena
tiba-tiba dan jantung tidak dapat
membangunkan. Pasien mengkompensasi suplai
sering mengalami darah.Hal ini
kesulitan bernapas menyebabkan cairan
sambil berbaring datar bocor ke paru-paru.
dan mungkin perlu
untuk menopang tubuh
bagian atas dan kepala di
dua bantal. Pasien sering
mengeluh bangun lelah
atau merasa cemas dan
gelisah.
Batuk atau mengi yang persisten Batuk yang Cairan menumpuk di
menghasilkan lendir paru-paru (lihat di
darah-diwarnai putih atas).

23
atau pink.
Penumpukan kelebihan cairan dalam Bengkak pada Aliran darah dari
jaringan tubuh (edema) pergelangan kaki, kaki jantung yang
atau perut atau melambat tertahan
penambahan berat dan menyebabkan
badan. cairan untuk
menumpuk dalam
jaringan. Ginjal
kurang mampu
membuang natrium
dan air, juga
menyebabkan retensi
cairan di dalam
jaringan.
Kelelahan Perasaan lelah Jantung tidak dapat
sepanjang waktu dan memompa cukup
kesulitan dengan darah ke seluruh
kegiatan sehari-hari, jaringan
seperti belanja, naik
tangga, membawa
belanjaan atau
berjalan.

Kurangnya nafsu makan dan mual Perasaan penuh atau Sistem pencernaan
sakit perut. menerima darah yang
kurang,
menyebabkan
masalah dengan
pencernaan.
Kebingungan dan gangguan berpikir Kehilangan memori Perubahan pada
dan perasaan menjadi tingkat zat tertentu
disorientasi. dalam darah, seperti
sodium, dapat
menyebabkan
kebingungan.
Peningkatan denyut jantung Jantung berdebar- Untuk "menebus"
debar, yang merasa kerugian dalam
seperti jantung Anda memompa kapasitas,
balap atau berdenyut. jantung berdetak
lebih cepat.

24
Gambar 3. gambaran umum gejala klinis pada pasien CHF 14

Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung Kongesti 15


Diagnosis CHF membutuhkan adanya minimal 2 kriteria mayor atau 1 kriteria
utama dalam hubungannya dengan 2 kriteria minor.
Table 3. Kriteria Framingham
Kriteria Mayor:
- Paroksismal nocturnal dyspnea
- Distensi vena pada leher
- Suara napas Ronkhi
- Kardiomegali (ukuran peningkatan jantung pada radiografi dada)
- Edema paru akut
- S3 ( Suara jantung ketiga )
- Peningkatan tekanan vena sentral (> 16 cm H2O di atrium kanan)
- Hepatojugular refluks
- Berat badan > 4.5 kg dalam 5 hari di tanggapan terhadap pengobatan

25
Kriteria Minor:
- Bilateral ankle edema
- Batuk nokturnal
- Dyspnea pada aktivitas biasa
- Hepatomegali
- Efusi pleura
- Penurunan kapasitas vital oleh sepertiga dari maksimum terekam
- Takikardia (denyut jantung> 120 denyut / menit.).
Kriteria Minor diterima hanya jika mereka tidak dapat dikaitkan dengan kondisi
medis yang lain (seperti hipertensi paru, penyakit paru-paru kronis,
sirosis, asites, atau sindrom nefrotik).
Kriteria Framingham Heart Study adalah 100% sensitif dan 78% khusus untuk
mengidentifikasi orang dengan gagal jantung kongestif yang pasti.

2.7 Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan tekanan vena
jugular, hepatomegali dan edema tungkai. Dari hasil anamnesis perlu juga
diketahui sekiranya pasien mempunyai riwayat penyakit terdahulu seperti
penyakit arteri koroner yang signifikan, serangan jantung sebelumnya, hipertensi,
diabetes, gagal ginjal atau penggunaan alkohol yang signifikan. Pemeriksaan fisik
difokuskan pada pendeteksian kehadiran cairan ekstra dalam tubuh seperti suara-
suara napas tambahan, pembengkakan kaki serta pengkarakteristikan yang hati-
hati kondisi dari jantung seperti nadi, ukuran jantung, suara-suara jantung, dan
desah jantung 16
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosisnya dapat
ditegakkan dengan setidaknya dijumpai 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan
2 kriteria minor dari Framingham.16
Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya
gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan
darah, pemeriksaan radionuklid, angiografi dan tes fungsi paru. Pada pemeriksaan
foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic
ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada

26
tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul
gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut
kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing
pada lapangan paru yang menunjukkan adanya edema paru bermakna. Dapat pula
tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak
terkena adalah bagian kanan. 17
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada
hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat
dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain
gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block
dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan
gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispnea
pada pasien sangat kecil kemungkinannya. 17,16
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas
yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi
atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard
anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya
gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.17
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai
penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta
komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan
mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu
adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan
serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal,
juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum
kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik
dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat
terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium
sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi
ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. 17,18

27
Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongestif hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaaan penanda BNP
sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan
plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan radionuklide atau multigated
ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju
pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi
dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel
kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta
mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk
mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure. 18

2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis gagal jantung kongestif mungkin dapat ditentukan dengan
mengamati beberapa kombinasi manifestasi klinis gagal jantung, bersama dengan
karakteristik yang ditemui dari satu bentuk etiologi penyakit jantung. Gagal
jantung sulit dibedakan dengan penyakit paru. Emboli paru juga ada dalam
manifestasi gagal jantung, tetapi hemoptisis, nyeri dada pleuritik, angkatan
ventrikel kiri dan karakteristik yang tidak cocok antara ventilasi dan perfusi harus
mengarah ke diagnosis ini. 19
Edema pergelangan kaki mungkin disebabkan oleh vena varikosa, edema
siklik, atau efek gravitasi tetapi pada pasien ini tidak ada hipertensi vena jugularis
saat istirahat atau dengan penekanan di atas abdomen. Edema sekunder terhadap
penyakit ginjal biasa dapat dikenal dengan tes fungsi ginjal yang sesuai dan
urinalisis, serta jarang berkaitan dengan peningkatan tekanan vena jugularis.
Pembesaran hati dan asites terjadi dalam pasien dengan sirosis hepatitis dan juga
dapat dibedakan dari gagal jantung dengan tekanan vena jugularis yang normal
dan tidak adanya refluks abdominojugularis yang positif. Diagnosis banding untuk
gagal jantung dirincikan sebagai berikut : 19
 Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS)
 Trauma Akut
 Altitude sickness

28
 Asma
 Syok kardiogenik
 Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
 Overdosis Obatan
 Infark miokard
 Pneumonia
 Fibrosis Pulmonal
 Respiratory failure
 Sepsis

29
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien didiagnosis dengan CHF ec HHD + Efusi Pleura Bilateral ec


Hipoalbuminemia + DM Tipe 2 + Ulkus Pedis Dextra + Hiperkoagulasi.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan.
Pasien datang ke IGD RSMH dengan keluhan utama sesak yang semakin
berat sejak ± 2 hari SMRS. Sejak ± 1 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak nafas,
sesak memberat dengan aktivitas dan berkurang dengan istirahat. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca, debu dan emosi. Pasien mengaku sering terbangun saat
tidur karena sesak. Pasien tidur dengan 2 bantal tersusun tinggi. Sejak ± 2 minggu
SMRS, pasien mengeluh sesak semakin sering timbul, muncul saat beraktivitas
namun hilang saat beristirahat. Pasien mengaku sering terbangun malam hari
karena sesak. Pasien tidur dengan menggunakan 3 bantal tersusun tinggi. Dan
sejak ± 2 hari SMRS, pasien mengeluh sesak semakin memberat. Sesak tidak
berkurang dengan istirahat, sesak dirasakan terus menerus.
Berdasarkan riwayat tersebut, diketahui bahwa sesak yang dialami pasien
bersifat kronik progresif. Sesak yang bersifat kronik progresif dapat berasal dari
gangguan jantung. Pada pasien ini, sesak dipengaruhi oleh aktivitas dan posisi
serta menyebabkan pasien sering terbangun saat tidur karena sesak yang
merupakan ciri sesak nafas karena gangguan jantung. Pada Coronary Artery
Disease (CAD) biasanya didapati gejala nyeri dada pada pasiennya dan bersifat
progresif yaitu semakin lama akan semakin memberat sedangkan pada pasien ini
tidak didapati nyeri dada progresif sehingga diagnosis banding CAD pada pasien
ini dapat disingkirkan. Selain itu, pasien menyangkal adanya keluhan batuk,
demam, penurunan berat badan dan keringat berlebih pada malam hari. Hal ini
dapat menyingkirkan sesak nafas yang disebabkan oleh tuberkulosis paru. Pasien
juga menyangkan adanya keluhan batuk, demam, nyeri dada dan sesak sehingga
adanya pleuropneumonia yang menyebabkan efusi pleura dapat disingkirkan.
Pada awalnya sesak timbul saat pasien beraktivitas dan hilang saat
beristirahat mengindikasikan dyspnea de effort dan saat ini pasien mengeluh sesak
timbul secara terus menerus dan tidak hilang saat istirahat mengindikasikan

30
NYHA IV. Pasien juga sering terbangun saat tidur karena sesaknya yang
merupakan paroxysmal nocturnal dyspnea dan pasien mengaku tidur dengan
menggunakan 3 bantal yang tersusun tinggi yang merupakan orthopneu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tekanan vena jugularis (5+2) cmH2O,
kardiomegali pada pemeriksaan fisik jantung, ronkhi basah halus di kedua basal
paru, hepar teraba 1 jari bawah arcus costae, tepi tumpul, permukaan rata,
konsistensi kenyal serta edema pre tibial. Maka berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik ini dapat disesuaikan dengan kriteria Framingham dalam
penegakkan diagnosis gagal jantung kongestif yaitu 2 kriteria mayor atau 1
kriteria mayor dan 1 kriteria minor. Pada pasien ini kriteria mayor yang terpenuhi
berupa paroxysimal nocturnal dyspneu, distensi vena leher, ronki paru,
kardiomegali dan kriteria minor berupa edema ekstremitas, dispnea d’effort,
hepatomegali dan efusi pleura.
Gagal jantung kongestif pada pasien ini dicurigai disebabkan oleh
hipertensi lama yang dideritanya yang mengakibatkan terjadinya Hypertension
Heart Disease. Pasien mengaku telah mengalami hipertensi selama 7 tahun dan ia
tidak rutin kontrol dan berobat. Riwayat hipertensi juga didapati pada ayah pasien.
Gejala yang menunjang ke diagnosis Hypertension Heart Disease pada pasien
adalah adanya riwayat hipertensi lama yang tidak terkontrol, rasa berdebar-debar,
mudah lelah, lemas, sesak serta bengkak di tungkai. Pada pemeriksaan fisik bisa
dijumpai adanya ronkhi basah pada basal paru serta ascites. Kardiomegali juga
dapat terlihat pada pemeriksaan EKG dan rontgen PA thorax.
Hipertensi lama yang menyebabkan resistensi perifer yang tinggi dalam
jangka waktu lama dan tidak terkontrol menyebabkan daya kontraktilitas jantung
semakin menurun akibat kompensasi hipertrofi otot jantung untuk meningkatkan
stroke volume. Left ventricle end diastolic pressure (LVEDP) menurun karena
volume ventrikel kiri menurun. Jantung mengkompensasi dengan dilatasi
ventrikel kiri untuk meningkatkan LVEDP dengan menampung lebih banyak
volume darah dari venous return vena pulmonal. Dilatasi ventrikel kiri lama
kelamaan menyebabkan penipisan otot ventrikel kiri dan fraksi ejeksi menjadi
tidak maksimal akibat aliran balik darah ke atrium kiri lalu ke vena pulmonal.
Bendungan di vena pulmonal menyebabkan ekstravasasi cairan ke alveolus
bermanifestasi sebagai orthopneu, batuk, dan ronkhi basah halus pada paru.

31
Gagal jantung kanan timbul biasanya setelah gagal jantung kiri karena
bendungan darah di sirkulasi pulmonal akibat gagal jantung kiri menyebabkan
resistensi sirkulasi pulmonal meningkat. Kontraktilitas ventrikel kanan menurun
dan volume darah yang dipompakan dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis
menurun. Hal ini menyebabkan terjadinya bendungan darah di atrium kanan
sehingga timbul kongesti dari vena kava superior dan inferior yang bermanifestasi
sebagai peningkatan JVP dan edema pada ekstremitas.
Selain itu, pasien juga memiliki riwayat diabetes mellitus sejak 7 tahun
lalu dan tidak rutin kontrol dan berobat. Riwayat diabetes mellitus juga didapati
pada ayah pasien. Penegakkan diagnosis diabetes mellitus pada pasien disesuaikan
dengan terdapatnya gejala klasik berupa pasien mengaku sering merasa haus
sehingga ia banyak minum (polidipsi) disertai kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200
mg/dl yaitu 358 mg/dl. Diabetes mellitus dapat menyebabkan berbagai macam
komplikasi baik di tingkat mikrovaskuler maupun makrovaskuler. Penderita DM
biasanya juga memiliki kerentanan berlebih terhadap terjadinya infeksi yang
kemudian dapat dengan mudah berkembang menjadi ulkus/gangrene diabetikum
yangmana ditemukan pada pasien ini.
Faktor utama yang menyebabkan munculnya ulkus diabetikum pada
pasien ini adalah kombinasi dari neuropati otonom, neuropati somatik, insufisiensi
vaskuler dan infeksi. Neuropati timbul sebagai akibat peningkatan kadar gula
darah yang lama sehingga menyebabkan kelainan vaskuler dan metabolik.
Hilangnya sensasi pada kaki penderita diabetes mellitus dapat membuat penderita
tidak merasakan adanya trauma yang terjadi sehingga trauma yang terjadi secara
terus menerus tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan lunak
dan apabila disertai infeksi dengan perawatan kaki yang buruk dapat
menyebabkan timbulnya ulkus diabetikum seperti yang dijumpai pada pasien.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI). Pedoman


Tatalaksana Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga. Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Jakarta. 2015.
2. Kotchen, T.A., 2008. Hypertensive Vascular Disease. In: Fauci, A.S., et al.,
eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Volume 2. 17th ed. USA:
McGraw-Hill, 1549-1558.
3. Rodeheffer, R.J., Redfield, M.M., 2007. Heart Failure: Diagnosis &
Evaluation. In: Murphy, J.L., Lloyd, M.A., eds. Mayo Clinic Cardiology
Concise Textbook. 3rd ed. Canada: Mayo Clinic Scientific Press, 1101-1102.
4. Fisher, N.D.L., Williams, G.H., 2005. Hypertensive Vascular Disease. In:
Kasper, D.L., et al., eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed.
USA: McGrawHill, 1466.
5. Panggabean M. Gagal Jantung. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A W,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A F, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I. 6th Ed. Internal Publishing FKUI. Jakarta. 2014. p 1132-5.
6. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi kedokteran. EGC. Jakarta. 2007.
7. Robbins SL, Cotran RS, Kumar V. Buku Ajar Patologi Edisi 7. EGC. Jakarta.
2007.
8. Dumitru, I., 2010. Heart Failure. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview. Diakses pada 20
Oktober 2019.
9. Maggioni, A.P., 2005. Review of the new ESC guidelines for the
pharmacological management of chronic heart failure. European Heart Journal
Supplements 2005 ; J15-J20.
10. Rodeheffer, R., 2005. Cardiomyopathies in the adult dilated, hypertrophic, and
restrictive. In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to
diagnosis and treatment. New York: Marcel Dekker; 2005 : hal 137-56.
11. Santoso, A., 2007. Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC : hal 23-28.

33
12. Lee, T.H., 2005. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec
GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker : 449-65
13. Harbanu H.M, 2007, et al. Gagal Jantung. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam,
FK Unud/ RSUP Sanglah, Denpasar. Available from :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/9_gagal%20jantung.pdf. Diakses pada 20
Oktober 2019.
14. American Heart Association, 2011. Peringatan tanda-tanda gagal jantung.
Available from
:http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HeartFailure/WarningSignsfor
HeartFailur e/Warning-Signs-of-Heart-
Failure_UCM_002045_Article.jsp. Diakses pada 20 Oktober 2019.
15. Medical Criteria.com, 2010. Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kongesti. Available from :
http://www.medicalcriteria.com/criteria/framingham.htm. Diakses pada 20
Oktober 2019.
16. Nieminen, M.S., 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart
failure – full text the task force on acute heart failure of the european society
of cardiology. Eur Heart J : hal 256-351
17. Singh, V., 2010. Congestive Heart Failure Imaging. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/354666-overview. Diakses pada 20
Oktober 2019.
18. Lee, T.H., 2005. Practice guidelines for heart failure management. In: Dec
GW, editors. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment.
New York: Marcel Dekker : 449-65
19. Davies, M.K., 2000. ABC of heart failure: Congestive heart failure in the
community trends in incidence and survival in 10-year period.. BMJ : 297-300

34

Anda mungkin juga menyukai