Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi
sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35). Kehilangan
merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu dalam
rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan
cenderung akan mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda
(Nathan,2012).
Duka cita dilihat sebagai suatu keadaan yang dinamis dan selalu
berubah-ubah. Duka cita tidak berbanding lurus dengan keadaan emosi,
pikiran maupun perilaku seseorang. Duka cita adalah suatu proses yang
ditandai dengan beberapa tahapan atau bagian dari aktivitas untuk mencapai
beberapa tujuan, yaitu : menolak (denial), marah (anger), tawar-menawar
(bargaining), depresi (depression), dan menerima (acceptance). Pekerjaan
duka cita terdiri dari berbagai tugas yang dihubungkan dengan situasi ketika
seseorang melewati dampak dan efek dari perasaan kehilangan yang telah
dialaminya. Duka cita berpotensi untuk berlangsung tanpa batas waktu
(Nathan,2012).
Kematian yang di ikuti dengan kehilangan merupakan suatu peristiwa
alamiah yang dihadapi oleh manusia. Kehilangan dan berduka merupakan
bagian integral dari kehidupan. Berdasarkan penjelasan di atas Penulis
tertarik untuk mengangkat masalah yang berjudul “Konsep Kehilangan
Kematian Berduka”
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep kehilangan ?
2. Bagaimana konsep kematian ?
3. Bagaimana konsep berduka ?

1
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep kehilangan.
2. Untuk mengetahui konsep kematian.
3. Untuk mengetahui konsep berduka.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Kehilangan (Loss)


1. Definisi Kehilangan (Loss)
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan
sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi
sebagian atau keseluruhan (Lambert dan Lambert,1985,h.35).
Loss adalah suatu situasi aktual maupun potensial yang dapat dialami
individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga
terjadi perasaan kehilangan (Hidayat, 2012). Loss adalah suatu keadaan
individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian
menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Iyus Yosep,
179).
Dapat diambil kesimpulan dari definsi-definisi di atas bahwa Loss
adalah sebuah perasaan pada diri individu yang diakibatkan dari peristiwa
menjadi tidak adanya suatu hal baik orang atau apapun yang sebelumnya
ada.
Peristiwa tersebut bisa berupa kematian, perceraian, kecelakaan,
bencana alam, PHK, dan lain lain. Kehilangan akibat kematian
merupakan kehilangan yang paling berat dan sulit diterima. Kehilangan
dapat datang dalam kehidupan dengan berbagai bentuknya seperti
perceraian, kehilangan pekerjaan, matinya binatang peliharaan, tetapi
tidak ada kehilangan yang lebih besar selain kematian seseorang yang
dicintai dan disayangi seperti orang tua, saudara kandung, pasangan
hidup, sanak saudara atau teman (suntrock, 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi reaksi kehilangan, tergantung:
a. Arti dari kehilangan
b. Sosial budaya
c. kepercayaan / spiritual

3
d. Peran seks
e. Status social ekonomi
f. kondisi fisik dan psikologi individu
Kemampuan untuk meyelesaikan proses berduka bergantung pada
makna kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima
bantuan menerima bantuan mempengaruh apakah yang berduka akan
mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh
dukungan yang diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut
bersifat sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang
dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, pshikologis,
dan social.
2. Jenis Kehilangan
Menurur Hidayat (2012) terdapat beberapa jenis kehilangan yakni
sebagai berikut :
a. Kehilangan objek eksternal, misalnya kecurian atau kehancuran
akibat bencana alam.
b. Kehilangan lingkungan yang dikenal misalnya berpindah rumah,
dirawat di rumah sakit, atau berpindah pekerjaan.
c. Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti misalnya pekerjaan,
anggota keluarga, dan teman dekat..
d. Kehilangan suatu aspek diri misalnya anggota tubuh dan fungsi
psikologis atau fisik.
e. Kehilangan hidup misalnya kematian anggota keluarga di rumah dan
diri sendiri
3. Sifat kehilangan
a. Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan) Kehilangan secara tiba-tiba dan
tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan dukacita yang
lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan
atau pelalaian diri akan sulit diterima (Nathan,2012).

4
b. Berangsur angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan
menyebabkan yang ditinggalkan mengalami keletihan emosional
(Rando:1984).
Penelitian menunjukan bahwa yang ditinggalkan oleh klien yang
mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai kebutuhan
yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri mereka lebih banyak, dan mempunyai peningkatan
perasaan marah dan bermusuhan. Kemampuan untuk meyelesaikan
proses berduka bergantung pada makna kehilangan dan situasi
sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan menerima bantuan
mempengaruh apakah yang berduka akan mampu mengatasi
kehilangan. Visibilitas kehilangan mempengaruh dukungan yang
diterima. Durasi peubahan (mis. Apakah hal tersebut bersifat
sementara atau permanen) mempengaruhi jumlah waktu yang
dibutuhkan dalam menetapkan kembali ekuilibrium fisik, psikologis,
dan social (Nathan,2012).
4. Tipe kehilangan
a. Actual loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain,
sama dengan individu yang mengalami kehilangan.
b. Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat
diraba atau dinyatakan secara jelas.
c. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu
kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga
dengan klien (anggota) menderita sakit terminal.
Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan
benda mungkin tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan

5
seseorang yang dekat dengan kita. Nanun demikian, setiap
individunberespon terhadap kehilangan secara berbeda.kematian seorang
anggota keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar
dibandingkan kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup
sendiri kematian hewan peliharaan menyebaabkan disters emosional yang
lebih besar dibanding saudaranya yang sudah lama tidak pernah bertemu
selama bertahun-tahun. Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan.
Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah diidentifikasi,
misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah. Kehilangan
yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan
kepercayaan diri atau prestise.
5. Lima kategori kehilangan
a. Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah
menjadi usang berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana
alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda
yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut
terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
b. Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang
telah dikenal mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma
periode tertentu atau kepindahan secara permanen. Contohnya
pindah ke kota baru atau perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui
perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui
situasi maturaasionol, misalnya ketika seorang lansia pindah
kerumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya mengalami
cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
c. Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara
sekandung, guru, teman, tetangga, dan rekan kerja.Artis atau atlet
terkenal mumgkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset

6
membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan
sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan
atau kematian.
d. Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi
fisiologis, atau psikologis.Kehilangan anggota tubuh dapat
mencakup anggota gerak , mata, rambut, gigi, atau payu dara.
Kehilangan fungsi fsiologis mencakupo kehilangan control kandung
kemih atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi
fsikologis termasuk kehilangan ingatan, harga diri, percaya diri atau
cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cidera,
atau perubahan perkembangan atau situasi.Kehilangan seperti ini
dapat menghilangkan sejatera individu.Orang tersebut tidak hanya
mengalami kedukaan akibat kehilangan tetapi juga dapat mengalami
perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
e. Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik
dimana orang tersebut akan meninggal. Doka (1993)
menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam- hidup
kedalam enpat fase. Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada
gejala klien atau factor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada
krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien bertempur dengan penyakit
dan pengobatanya ,yang sering melibatkan serangkain krisis yang
diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal Klien
yang mencapai fase terminal ketika kematian bukan hanya lagi
kemungkinan, tetapi pasti terjadi.Pada setiap hal dari penyakit klien
dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus
berubah Seseorsng dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan
melalui keterbukaan, dorongan dari orang lain, dan dukungan
adekuat.

7
6. Tahapan proses kehilangan
Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry (2005), respon berduka
seseorang terhadap kehilangan dapat melalui tahap-tahap seperti
pengingkaran, marah, tawar-menawar, depresi dan penerimaan.
a. Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah shok,
tidak percaya atau mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu
memang benar terjadi, dengan mengatakan “Tidak, saya tidak
percaya itu terjadi” atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu
atau keluarga yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan
terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat,
diare, gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah,
dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat berakhir dalam
beberapa menit atau beberapa tahun.
b. Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan
terjadinya kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang
meningkat yang sering diproyeksikan kepada orang lain atau
pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif,
berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang
tidak becus. Respon fisik yang sering terjadi antara lain muka merah,
nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
c. Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara
intensif, maka ia akan maju ke fase tawar-menawar dengan
memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering dinyatakan
dengan kata- kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya
akan sering berdoa”. Apabila proses ini oleh keluarga maka

8
pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau saja yang sakit, bukan
anak saya”.
d. Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri,
kadang sebagai klien sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan
keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan bunuh diri, dan
sebagainya. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak
makan, susah tidur, letih, dorongan libido manurun.
e. Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan.
Pikiran yang selalu berpusat kepada obyek atau orang yang hilang
akan mulai berkurang atau hilang. Individu telah menerima
kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang
yang hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan
beralih kepada obyek yang baru. Fase ini biasanya dinyatakan
dengan “saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini
tampak manis” atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat
sembuh”.
Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan
perasaan damai, maka dia akan mengakhiri proses berduka serta
mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Tetapi bila tidak
dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi
kemampuannya dalam mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
B. Konsep Kematian (Death)
Menurut Papalia (2008) kematian merupakan fakta biologis, akan
tetapi juga memiliki aspek sosial, kultural, historis, religius, legal, psikologis,
perkembangan, medis dan etis. Aspek-aspek tersebut memiliki keterkaitan
antara satu sama lain.
Antara kematian dan kehilangan juga memiliki keterkaitan. Walaupun
keduanya merupakan pengalaman yang universal, namun dua hal tersebut
memiliki konteks kultural. Sikap kultural dan religius inilah yang

9
mempengaruhi aspek psikologis dari perkembangan dari kematian. Seperti
bagaimana orang-orang yang sama usia menghadapi kematian pada diri
sendiri-sendiri dan kematian orang-orang yang berada didekat orang tersebut.
(Papalia, 2008).
Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh manusia.
Pemahaman akan kematian mempengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang
terhadap kematian. Selain pengalaman, pemahaman konsep kematian juga
dipengaruhi oleh perkembangan kognitif dan lingkungan sosial budaya.
Berikut ini beberapa konsep tentang mati yaitu :
1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir
Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa berhentinya jantung.
Dalam PP No. 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah berhentinya
fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan
zaman. Dalam pengalaman kedokteran, teknologi resusitasi telah
memungkinkan jatung dan paru-paru yang semula terhenti dapat
dipulihkan kembali.
2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh
Konsep ini menimbulkan keraguan karena, misalnya, pada tindakan
resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan seakan-
akan nyawa dapat ditarik kembali.
3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen
Konsep inipun dipertanyakan karena organ-organ berfungsi sendiri-
sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak
dapat diterima karena kenyataannya organ-organ masih berfungsi
meskipun tidak terpadu lagi.
4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan
interaksi social
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk social, yaitu
individu yang mempunyai kepribadian, menyadari kehidupannya,
kemampuan mengingat, mengambil keputusan, dan sebagainya, maka

10
penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak
dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam batang otak. Olah
karena itu, jika batang otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu
secara fisik dan social telah mati. Dalam keadaan seperti ini, kalangan
medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi, DNR (do
not resuscitation).
Bila fungsi jantung dan paru berhenti, kematian sistemik atau
kematiatn sistem tubuh lainnya terjadi dalam beberapa menit, dan otak
merupakan organ besar pertama yang menderita kehilangan fungsi yang
ireversibel, karena alasan yang belum jelas. Organ-organ lain akan mati
kemudian.
Kematian dibagi menjadi beberapa jenis, jenis-jenis kematian tentu akan
mempengaruhi rasa berduka cita pada seseorang. Terdapat dua jenis kematian
antara lain kematian yang tiba-tiba dan kematian yang diantisipasi (Ann dan
Lee, 2001).
1. Kematian yang diantisipasi
Menurut Ann dan Lee (2001) dapat dipahami sebagai reaksi akan
kesadaran terhadap kehilangan diwaktu yang akan datang. Beberapa
orang percaya bahwa kematian yang telah diketahui terlebih dahulu atau
diantisipasi terlebih dahulu dapat memudahkan orang-orang untuk
mengatasi duka cita dari pada kematian secara tiba-tiba.
Jika seseorang mengetahui saudara atau orang yang terdekat akan
meninggal dunia, maka secara tidak langsung akan memberi waktu untuk
menyelesaikan beberapa urusan dengan orang tersebut. sehingga orang
yang ditinggalkan dapat lebih mudah untuk mengatasi duka cita daripad
orang yang ditinggalkan pada kematian yang tiba-tiba (Niven, 2013).
2. Kematian Mendadak
Pada kematian mendadak, dapat muncul pada konteks tertentu. Misalnya,
perang mengakibatkan keadaan tertentu yang melingkupi kematian dan
keadaan ini mempengaruhi sikap seseorang dalam mengatasi rasa
berduka cita.

11
Seseorang yang kehilangan karena kematian secara mendadak, biasanya
menginginkan informasi secepatnya dan biasanya yang detail mengenai
penyebab kematian guna membantu orang yang merasa kehilangan untuk
segera merasakan kehilangan. Selain itu kematian yang mendadak bukan
hanya tidak diduga-duga tetapi menyebabkan orang yang ditinggalkan
tidak dapat menyelesaikan urusan-urusan yang belum selesai dengan
orang meninggal (Niven, 2013).
C. Konsep Berduka (Grif)
1. Definisi Berduka (Grif)
Berduka menurut Chaplin (2002) sebagai suatu keadaan emosional
yang sangat tidak menyenangkan disertai rasa menderita atau hilang
hanyut dan sering kali dibarengi sedu sedan serta tangisan.
Menurut Papalia (2008) berduka adalah respon emosional pada semua
orang yang mengalami kehilangan seseorang yang memiliki hubungan
yang cukup dekat. Hal tersebut tentunya menyebabkan adanya perubahan
status dan peran. Sehingga membutuhkan proses menyesuaikan diri untuk
menjalani status dan peran yang baru bagi seseorang yang ditinggalkan.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan
yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak
nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Konsep duka cita telah seringkali dibahas pada berbagai literatur yang
berhubungan dengan peristiwa kehilangan dalam hidup. Berduka
merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. NANDA
merumuskan ada dua tipe dari berduka yaitu berduka diantisipasi dan
berduka disfungsional.
Berduka diantisipasi adalah suatu status yang merupakan pengalaman
individu dalam merespon kehilangan yang aktual ataupun yang dirasakan
seseorang, hubungan/kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal.
Berduka disfungsional adalah suatu status yang merupakan
pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu

12
kehilangan secara aktual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal,
abnormal, atau kesalahan/kekacauan.
2. Teori dari Proses Berduka
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat
digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan mereka dan mengatasinya. Peran perawat adalah
untuk mendapatkan gambaran tentang perilaku berduka, mengenali
pengaruh berduka terhadap perilaku dan memberikan dukungan dalam
bentuk empati.
a. Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase
yang dapat diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka
maupun menjelang ajal.
1) Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin
menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi
secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak
jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
2) Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan
mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah,
frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
3) Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang
hampa/kosong, karena kehilangan masih tetap tidak dapat
menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan
untuk mengalihkan kehilangan seseorang.

13
4) Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan
terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat menyesal
tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
5) Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai
diketahui/disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang
sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah
berkembang.
b. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah
berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai
berikut:
1) Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat
menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.
Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin seperti itu,” atau
“Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
2) Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak
lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif
sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini
merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan
merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi
kehilangan.
3) Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang
halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada tahap ini,
klien sering kali mencari pendapat orang lain.

14
4) Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari
makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi
kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai
memecahkan masalah.
5) Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-
Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila seseorang
mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada
pengunduran diri atau berputus asa.
c. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang
mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat
diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor
yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri. Reaksi yang terus
menerus dari kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka
yang mendalam mungkin berlanjut sampai 3-5 tahun.
d. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
1) Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
2) Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika
klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka dan
kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3) Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut
dan mulai memasuki kembali secara emosional dan sosial dunia
sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan
kehidupan mereka.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kehilangan merupakan suatu kondisi dimana seseorang mengalami
suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau
pernah dimiliki. Kehilangan merupakan suatu keadaan individu berpisah
dengan suatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian atau
seluruhnya.
Antara kematian dan kehilangan juga memiliki keterkaitan. Menurut
Papalia (2008) kematian merupakan fakta biologis, akan tetapi juga
memiliki aspek sosial, kultural, historis, religius, legal, psikologis,
perkembangan, medis dan etis. Aspek-aspek tersebut memiliki keterkaitan
antara satu sama lain. Antara kematian dan kehilangan juga memiliki
keterkaitan.
Konsep duka cita telah seringkali dibahas pada berbagai literatur yang
berhubungan dengan peristiwa kehilangan dalam hidup. Berduka menurut
Chaplin (2002) sebagai suatu keadaan emosional yang sangat tidak
menyenangkan disertai rasa menderita atau hilang hanyut dan sering kali
dibarengi sedu sedan serta tangisan.
B. Saran
Di harapkan setelah membaca makalah ini dapat menambah wawasan
pembaca terkait Konsep Kehilangan Kematian Berduka. Perlunya pihak
Institusi Pendidikan menyediakan buku-buku yang banyak berhubungan
dengan keperawatan khususnya tentang Psikososial. Penulis menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu penulis
mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah di atas.

16
DAFTAR PUSTAKA
Nathan, A. J., & Scobell, A. (2012, September). How China sees America.
Foreign Affairs. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004, di akses
tanggal 26 Oktober 2019
Izzaty, Dr. Rita Eka. 2010. Kematian Menjelang Ajal dan Berduka.
https://staff.unly.ac.id, di akses tanggal 26 Oktober 2019
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia: Kehilangan,
Kematian, dan Berduka dan Proses Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto

17
18

Anda mungkin juga menyukai