Walaupun gizi buruk di dunia ini banyak disebabkan oleh kekurangan pangan yang mutlak,
masalahnya bertambah parah akibat berbagai kepercayaan budaya dan pantangan-pantangan
yang sering membatasi pemanfaatan makanan yang tersedia. Maka dalam perencanaan
kesehatan, masalahnya tidak terbatas pada pencarian cara-cara untuk menyediakan lebih
banyak bahan makanan, melainkan harus pula dicarika cara-cara untuk memastikan bahwa
bahan makanan yang tersedia digunakan secara efektif.
Pembatasan budaya tersebut dapat dilihat dalam :
1. Kegagalan untuk melihat hubungan antara makanan dan kesehatan
Contoh: Persepsi mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan berupa suatu
pandangan keliru yang meluas: Makanan yang kaya protein, terutama daging dan susu
tidak boleh dimakan oleh anak-anak yang mengidap penyakit cacing karena dianggap
“menyebabkan cacing-cacing muncul”
Pada banyaki masyarakat, usia atau kondisi seseorang dapat dipakai sebagai alasan
untuk melarang makanan-makanan tertentu. Di beberapa bagian Afrika Barat
misalnya, telur tidak diberikan kepada anak-anak kecil karena adanya kepercayaan
bahwa telur akan menunda menutupnya ubun-ubun (pada orang Yoruba di Nigeria),
bahwa anak laki-laki yang makan telur akan menjadi pencuri )orang Yoruba),
sedangkan anak perempuan yang makan telur akan mempunyai moral yang longgar
(menurut orang Ghana).
Hasil penelitian menemukan: ayah dari seorang anak yang menderita kekurangan gizi
parah adalah seorang peternak ayam yang ber- hasil, yang menjual ratusan telur setiap
minggunya, namun tidak pernah terpikirkan olehnya untuk memberi makan telur pada
anaknya.
Di pantai timur Malaysia, wanita yang baru melahirkan dianggap sangat peka,
terutama terhadap “dingin” yang berasal dari udara atau makanan yang dingin,
akibatnya segala makanan dingin dilarang selama 40 hari pada setelah melahirkan.
Karena pembatasan ini, makanannya kurang mencukupi dari yang seharusnya.
(C. Wilson 1973)