Anda di halaman 1dari 4

Tugas Stabilitas Obat

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Stabilitas Obat

Dosen Pengampu: Agung Nur Cahyanta M.Farm., Apt

Disusun Oleh :

WINDI AFIYANI

E0016041

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BHAKTI MANDALA HUSADA

SLAWI

2018
A. Dasar teori

Stabilitas obat adalah derajat degradasi suatu obat dipandang dari segi kimia.
Stabilitas obat dapat diketahui dari ada tidaknya penurunan kadar selama
penyimpanan.Stabilitas obat merupakan kemampuan suatu produkuntuk mempertahankan
sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat (identitas,
kekuatan, kualitas, kemurnian) dalam batasan yang ditetapkan sepanjang periode
penyimpanan dan penggunaan (shelf- life). Sediaan obat/kosmetik yang setabil merupakan
suatu sediaan yang masih berada dalam batas yang dapat dterima selama priode penyimpanan
dan penggunaan, dimana sifat dan karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat
dibuat.Shelf life (waktu simpan) adalah periode penggunaan dan penyimpanan yaitu waktu
dimana suatu produk tetap memenuhi spesifikasinya jika disimpan dalam wadahnya yang
sesuai dengan kondisi penjualan dipasar. Waktu simpan minimum adalah periode yang
dibutuhkan suatu produk yang berada pada batas spesifikasi ‘release’ saat pembuatan untuk
mencpai batas spesifikasi periksa. Suatu produk dinyatakan stabil jika tidak menunjukan
degradasi bermakna , tida terjadi perubahan fisika, kimia, mikrobiologi, sifat biologi, dan
produk tetap dalam batas spesifikasi release/simpan.
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi penguraian
dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+) atau basa (OH-) dengan
menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak
mempengaruhi hasil dari reaksi. Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor yang harus
diperhatikan dalam membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal itu penting mengingat
sediaannya biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan juga memrlukan waktu yang
lama untuk sampai ketangan pasien yang membutuhkannya. Oabt yang disimpan dalam
jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan hasil urai dari zat
tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahaykan jiwa pasien. Oleh karena itu, perlu
diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kestabilan suatu zat hingga dapat dipilih
suatu kondisi dimana kestabilan obat tersebut optimum.(Anonim, 2004)

B. Hasil percobaan dan perhitungan

Waktu pH Volume awal Volume akhir Volume terpakai


(Menit)
0 7 0 2,2 2,2
7 2,2 5,2 3
15 7 5,2 7,2 2
8 7,2 10,1 2,9
30 8 10,1 11,9 1,8
8 11,9 14,5 2,6
60 9 14,5 17,1 2,6
9 17,1 20 2,9

Perhitungan kadar :
1. 0 menit sampel
V1 . N1 = V2 . N2
10 . N1 = 26 . 0,1

= 0,026
2. 15 menit sampel
V1 . N1 = V2 . N2
10 . N1 = 2,45 . 0,1
= 0,024
3. 30 menit sampel
V1 . N1 = V2 . N2
10 . N1 = 2,2 . 0,1
= 0,022
4. V1 . N1 = V2 . N2
10 . N1 = 4,05 . 0,1
= 0,0405

C. Pembahasan

Asetosal yang berupa serbuk hablur putih dilarutkan dalam alkohol bukan
dalam aquadest karena asetosal sukar larut dalam aquadest tetapi mudah larut dalam
etanol. Sedangkan Natrium sitrat berupa hablur tidak berwarna atau serbuk halus putih
dilarutkan dengan pembawa aquadest bukan dengan etanol karena Natrium sitrat dalam
etanol praktis tidak larut tetapi mudah larut dalam air. Pada percobaan ini larutan titran
dibuat dengan mencampurkan asetosal 4% dan Asam sitrat 10% dalam 100ml. Larutan
dibuat sebanyak 1000 ml tanpa mengurangi kadar tersebut yang telah ditentukan.
Larutan dibuat dengan melarutkan asetosal dengan etanol secukupnya kemudian
dicampurkan dengan larutan natrium sitrat (natrium sitrat dilarutkan dengan aquadest)
1000ml.
Larutan dibuat dalam labu ukur 1000 ml agar volumenya lebih tepat dan lebih akurat
karena labu ukur merupakan alat kimia yang mempunyai nilai akurasi tinggi
dibandingkan dengan gelas beaker. Penentuan stabilitas obat dilakukan dengan
melakukan titrasi zat uji dengan larutan baku NaOH. Sebelum dititrasi larutan titer
(sampel) dipanaskan terlebih dahulu dalam penangas air sampai suhu 30 0 C.
Pemanasan dilakukan bukan dengan api langsung melainkan dengan penangas air
karena jika dilakukan dengan api langsung akan menyebabkan kenaikan suhu yang
sangat cepat, sementara dalam praktikum ini dibutuhkan suhu yang konstan. Indikator
yang digunakan adalah indikator fenolftalein yang memiliki rentang pH 8,0-10,0.
Titrasi dihentikan apabila telah mencapai titik akhir titrasi yang ditandai dengan
berubahnya warna larutan dari tidak berwarna menjadi warna merah muda atau pink-
rose yang konstan. Perubahan warna ini merupakan tanda bahwa larutan baku primer
telah bereaksi sempurna dengan larutan baku sekunder.
Titrasi dilakukan duplo untuk memperoleh data yang lebih akurat. Berdasarkan teori
volume titrasi pertama dengan volume titrasi kedua tidak boleh mempunyai rentang
atau selisih diatas 0,5ml. Oleh karena itu titrasi harus dilakukan dengan benar-benar
teliti sehingga hasil yang diperoleh semaksimal atau seakurat mungkin. Sebelum
digunakan NaOH terlebih dahulu dibakukan dengan asam oksalat 0,1 N dan indikator
fenolftalein, hal ini bertujuan untuk mengetahui kadar sebenarnya dari NaOH yang
digunakan, yang nantinya digunakan dalam perhitungan.
Titrasi larutan zat uji dilakukan dengan suhu dengan waktu pemanasan yang berbeda
(0 menit, 15 menit, 30 menit, 60 menit). Tujuan dari perbedaan waktu pemanasan ini
adalah untuk mengetahui seberapa besar energi aktivasi yang diperlukan untuk masing-
masing zat uji. Energi aktivasi dapat digunakan untuk memperkirakan kestabilan dari
komponen titer atau sampel (Aspirin).
Dari data pengamatan yang diperoleh, volume titran yang dibutuhkan untuk menitrasi
masing-masing larutan zat uji tidak jauh berbeda satu sama lain atau hanya mempunyai
selisih antara 0 - 0,5 ml hal ini dikarenakan zat uji yang digunakan/dititrasi adalah sama
baik dalam volume maupun suhu hanya yang membedakan adalah lama pemanasan.
Metode pengujian stabilitas obat dengan kenaikan temperatur tidak dapat diterapkan
untuk semua jenis sediaan terutama untuk produk yang mengandung bahan
pensuspensi seperti metilselulosa yang menggumpal pada pemanasan, protein yang
mungkin didenaturasi, salep dan suppositoria yang yang meleleh pada kondisi
temperatur yang sedikit dinaikkan. Oleh karena itu, praktikan harus teliti dalam
memilih metode pengujian stabilitas suatu obat atau suatu sediaan obat.
Selain temperatur, stabilitas obat dapat dipengaruhi juga oleh efek pengemasan dan
penyimpanan. Sediaan berupa larutan masa simpannya relatif lebih singkat
dibandingkan dengan bentuk sediaan padat, karena sediaan larutan mudah terurai dan
bereaksi dengan keadaan sekitarnya atau lingkungannya (suhu dan cahaya).
Misalnya, Jika suatu larutan obat disimpan dalam kondisi terlalu panas, ada
kemungkinan botol (yang merupakan wadah umum untuk larutan) berinteraksi atau
bereaksi dengan obat-obat yang terdapat di dalam botol tersebut. Selain itu perlu
diperhatikan juga, bahwa jika suatu sediaan obat berupa larutan telah dibuka dari
kemasannya atau wadahnya, stabilitas obat tersebut tidak sama lagi seperti stabilitas
obat semula yang masih tersegel(masih dalam kemasan) sehingga waktu kadaluarsanya
pun tidak akan sama persis seperti yang tertera pada kemasan obat tersebut karena obat
yang telah dibuka segelnya (wadahnya/botolnya) akan berinteraksi langsung dengan
udara luar dan keadaan sekitarnya yang akan menurunkan kestabilan obat tersebut.

Anda mungkin juga menyukai