Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Pelabuhan Perikanan


Pelabuhan Perikanan adalah sebagai tempat pelayanan umum bagi masyarakat
nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan
ekonomi perikanan yang dilengkapi dengan fasilitas di darat dan di perairan
sekitarnya untuk digunakan sebagai pangkalan operasional tempat berlabuh,
bertambat, mendaratkan hasil, penanganan, pengolahan, distribusi dan pemasaran
hasil perikanan (Departemen Pertanian dan Departemen Perhubungan, 1996).

2.1.1 Klasifikasi Pelabuhan Perikanan


Menurut Murdiyanto (2004), klasifikasi besar-kecil usahanya pelabuhan
perikanan dibedakan menjadi tiga tipe pelabuhan, yaitu :
a. Pelabuhan Perikanan Tipe A (Pelabuhan Perikanan Samudera)
Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang
diperuntukkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan samudera yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan jarak
jauh sampai ke perairan ZEEI (Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia) dan
perairan internasional, mempunyai perlengkapan untuk menangani (handling)
dan mengolah sumber daya ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah
hasil ikan yang didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum
sebanyak 200 ton/hari atau 73.000 ton/tahun baik untuk pemasaran di dalam
maupun di luar negeri (ekspor). Pelabuhan perikanan tipe A ini dirancang
untuk bisa menampung kapal berukuran lebih besar daripada 60 GT (Gross
Tonage) sebanyak sampai dengan 100 unit kapal sekaligus. Mempunyai
cadangan lahan untuk pengembangan seluas 30 Ha.

5
b. Pelabuhan Perikanan Tipe B (Pelabuhan Perikanan Nusantara/PPN)
Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang
diperuntukkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan nusantara yang lazim digolongkan ke dalam armada perikanan jarak
sedang ke perairan ZEEI, mempunyai perlengkapan untuk menangani
dan/atau mengolah ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu jumlah ikan yang
didaratkan. Adapun jumlah ikan yang didaratkan minimum sebanyak 50
ton/hari atau 18.250 ton/tahun untuk pemasaan di dalam negeri. Pelabuhan
perikanan tipe B ini dirancang untuk bisa menampung kapal berukuran
sampai dengan 60 GT (Gross Tonage) sebanyak sampai dengan 50 unit kapal
sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas 10 Ha.
c. Pelabuhan Perikanan Tipe C (Pelabuhan Perikanan Pantai)
Pelabuhan perikanan tipe ini adalah pelabuhan perikanan yang
diperuntukkan terutama bagi kapal-kapal perikanan yang beroperasi di
perairan pantai, mempunyai perlengkapan untuk menangani dan/atau
mengolah ikan sesuai dengan kapasitasnya yaitu minimum sebanyak 20
ton/hari atau 7.300 ton/tahun untuk pemasaran di daerah sekitarnya atau
dikumpulkan dan dikirimkan ke pelabuhan perikanan yang lebih besar.
Pelabuhan perikanan tipe C ini dirancang untuk bisa menampung kapal
berukuran sampai dengan 15 GT (Gross Tonage) sebanyak sampai dengan 25
unit kapal sekaligus. Mempunyai cadangan lahan untuk pengembangan seluas
5 Ha.
d. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI)
Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) dimaksudkan sebagai prasarana
pendaratan ikan yang dapat menangani produksi ikan sampai dengan 5
ton/hari, dapat menampung kapal perikanan sampai dengan ukuran 5 GT
sejumlah 15 unit sekaligus. Untuk pembangunan PPI ini diberikan lahan darat
untuk pengembangan seluas 1 Ha.

6
2.1.2 Peran Alur Pelayaran dan Kolam Pelabuhan di Pelabuhan Perikanan
Alur pelayaran memiliki peran penting dalam menciptakan kelancaran traffic
kapal-kapal. Hal ini karena alur pelayaran merupakan bagian perairan pelabuhan
yang berfungsi sebagai jalan keluar masuk kapal-kapal yang berlabuh dan
menyandarkan kapalnya di pelabuhan perikanan. Karakteristik alur pelayaran
tergantung dari traffic kapal, kondisi hidro-oseanografi area pelabuhan dan
karakteristik kapal maksimum yang menggunakan fasilitas pelabuhan.
Kolam pelabuhan perikanan merupakan fasilitas utama yang diperlukan untuk
kapal-kapal agar terlindung dari pengaruh gelombang. Kolam pelabuhan perikanan
harus mempunyai kedalaman yang cukup, agar keluar masuknya kapal-kapal tidak
terpengaruh oleh pasang surut air laut. Perencanaan alur kolam pelabuhan juga
ditentukan oleh kapal terbesar yang akan masuk ke pelabuhan dan kondisi hidro-
oseanografi di sekitar area pelabuhan.
Apabila kolam pelabuhan perikanan mengalami masalah, maka operasional
kapal-kapal akan terganggu dan terhambat. Masalah-masalah tersebut dapat berupa
pendangkalan kolam pelabuhan akibat sedimentasi, pengaruh pasang surut terhadap
syarat draft kapal minimum tidak terpenuhi, dan kondisi eksisting kolam pelabuhan
yang belum terpenuhi terhadap kondisi hidro-oseanografi di sekitar area pelabuhan
perikanan.

2.2 Hidro-oseanografi
Menurut Triatmodjo (1999), tinjauan hidro-oseanografi adalah menyangkut
tinjauan pengaruh hidrodinamika perairan laut. Parameter utama yang biasanya
diperhitungkan adalah pasang surut, gelombang dan angin.
Hidro-oseanografi merupakan ilmu yang mempelajari fenomena fisis dan
dinamis air laut yang dapat diaplikasikan ke bidang-bidang lainnya seperti rekayasa,
lingkungan, perikanan, bencana laut dan mitigasi (pengelolaan dan pencegahan) dan
perencanaan pelabuhan.

7
2.2.1 Gelombang
Gelombang adalah perubahan bentuk permukaan air akibat dari gaya–gaya
tertentu yang dipengaruhi oleh tegangan permukaan dan gaya gravitasi. Gelombang
merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan letak suatu
bangunan pantai.
Karakteristik gelombang meliputi tinggi gelombang, amplitudo gelombang,
panjang gelombang, kedalaman laut, periode gelombang, frekuensi gelombang, cepat
rambat gelombang, angka gelombang dan fluktuasi muka air laut.
Gelombang di laut dapat dibedakan menjadi beberapa macam yang tergantung
pada gaya pembangkitnya. Gelombang tersebut adalah gelombang angin yang
dibangkitkan oleh tiupan angin di permukaan laut, gelombang pasang surut
dibangkitkan oleh gaya tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan
terhadap bumi, gelombang tsunami terjadi karena letusan gunung berapi atau gempa
di laut, gelombang yang dibangkitkan oleh kapal yang bergerak, dan sebagainya
(Triatmodjo, 1999).

2.2.1.1 Pembangkitan Gelombang oleh Angin


Angin merupakan salah satu faktor pembangkit gelombang. Hembusan angin
pada permukaan air laut menghasilkan energi sehingga menimbulkan gelombang.
Semakin lama dan kuat hembusan angin pada permukaan air laut, semakin besar pula
gelombang yang terjadi.
Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh angin
meliputi kecepatan angin U, lama hembus angin D, arah angin dan fetch F. Fetch
adalah daerah dimana kecepatan dan arah angin adalah konstan. Arah angin masih
bisa dianggap konstan apabila perubahan-perubahannya tidak lebih dari 15°.
Kemudian kecepatan angin masih dianggap konstan jika perubahannya tidak lebih
dari 5 knot (2,5 m/dt) terhadap kecepatan rerata. Panjang fetch membatasi waktu yang
diperlukan gelombang untuk terbentuk karena pengaruh angin, jadi mempengaruhi

8
waktu untuk mentransfer energi angin ke gelombang. Fetch ini berpengaruh pada
periode dan tinggi gelombang yang dibangkitkan (Triatmodjo, 1999).
a. Data Angin
Data angin diperlukan dalam menentukan tinggi dan periode gelombang
signifikan. Data angin dapat diperoleh melalui pengukuran langsung di atas
permukaan laut atau dengan mengukur kecepatan angin didarat dimana lokasi
pengukuran berdekatan dengan lokasi permukaan laut kemudian dilakukan konversi
data kecepatan angin yang diperoleh menjadi data kecepatan angin di laut. Data angin
dicatat setiap jam yang kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Untuk mempermudah
mengetahui arah angin dominan, presentase kejadian dan kecepatan angin
maksimum, data-data tersebut dapat diolah sehingga menghasilkan suatu diagram
yang disebut mawar angin atau wind rose sehingga karakteristik angin lebih mudah
dan cepat diketahui.

Gambar 2. 1 Windrose
Sumber : Triatmodjo (1999)

9
b. Distribusi dan Konversi Kecepatan Angin
Beberapa rumus atau grafik untuk memprediksi gelombang didasarkan pada
kecepatan angin yang diukur pada y = 10 m. Apabila angin tidak diukur pada elevasi
10 m, maka kecepatan angin harus dikonversi pada elevasi tersebut. Untuk itu
digunakan persamaan:

(10) = ( ). ( ) ; ≤ 20 (2.1)

Dimana :
U = kecepatan angin (m/dt)
y = elevasi terhadap permukaan air (m)
Biasanya pengukuran angin dilakukan di daratan, padahal di dalam rumus-
rumus pembangkitan gelombang data angin yang digunakan adalah yang ada di atas
permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi dari data angin di atas
daratan yang terdekat dengan lokasi studi ke data angin di atas permukaan laut.
Hubungan antara angin di atas laut dan angin di atas daratan terdekat diberikan oleh
persamaan berikut:
= (2.2)

Dimana :
Uw = kecepatan angin di laut (m/dt)
UL = kecepatan angin di daratan (m/dt)

10
Gambar 2. 2 Hubungan antara kecepatan angin di laut dan di darat
Sumber : Triatmodjo (1999)
c. Fetch
Dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh bentuk
daratan yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukan gelombang, gelombang tidak
hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam
berbagai sudut terhadap arah angin. Fetch rerata efektif diberikan oleh persamaan
berikut:

= ∑
(2.3)

Dimana :
Feff = fetch rerata efektif
xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang
ke ujung akhir fetch.
α = deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan
pertambahan 6° sampai sudut sebesar 42° pada kedua sisi dari arah
angin.

11
Gambar 2. 3 Fetch
Sumber : Triatmodjo (1999)
d. Peramalan Gelombang di laut dalam
Rumus-rumus dan grafik-grafik pembangkitan gelombang mengandung
variabel , yaitu faktor tegangan angin (wind-stress factor) yang dapat dihitung dari
kecepatan angin. Setelah dilakukan berbagai konversi kecepatan angin, kecepatan
angin dikonversikan pada faktor tegangan angin dengan persamaan berikut:
,
= 0,71 . (2.4)
Dimana :
= kecepatan angin terkoreksi (m/dt)
U = kecepatan angin (m/dt)
Berdasarkan pada kecepatan angin, lama hembus angin dan fetch, dilakukan
peramalan gelombang dengan menggunakan grafik pada gambar 2.4.

12
Gambar 2. 4 Grafik peramalan gelombang
Sumber : Triatmodjo (1999)

Dari grafik tersebut apabila panjang fetch (F), faktor tegangan angin ( ) dan
durasi diketahui maka tinggi dan periode gelombang signifikan dapat dihitung.
e. Gelombang Signifikan
Cara lain dalam menentukan tinggi gelombang signifikan (H ) dan periode
gelombang signifikan (T ), adalah dengan menggunakan analisis spektrum
gelombang Pierson dan Moskowits yang diturunkan berdasarkan kondisi FDS (Fully
Developed Sea). Dengan menentukan kecepatan angin rata-rata di atas permukaan
laut, untuk menentukan tinggi gelombang signifikan dan periode gelombang
signifikan, dapat digunakan rumus di bawah ini :
H = 0,0056 . (2.5)
T = 0,33 . (2.6)
Dengan :
H = tinggi gelombang signifikan (m)

13
T = periode gelombang signifikan (dt)
U = kecepatan angin terkoreksi (m/dt)

2.2.1.2 Perkiraan Gelombang Dengan Periode Ulang


Untuk menentukan gelombang dengan periode ulang tertentu dibutuhkan data
gelombang dalam jangka waktu pengukuran cukup panjang. Data tersebut dapat
berupa data pengukuran gelombang atau data gelombang hasil prediksi berdasarkan
data angin.
Dari setiap tahun pencatatan dapat ditentukan gelombang representatif,
seperti Hs, H10, H1, Hmaks dan sebagainya. Berdasarkan data representatif untuk
beberapa tahun pengamatan dapat diperkirakan gelombang yang diharapkan disamai
atau dilampaui satu kali dalam T tahun dan gelombang tersebut dikenal dengan
periode ulang T tahun atau gelombang T tahunan. Perhitungan periode ulang
gelombang dapat menggunakan beberapa metode yaitu : Fisher-Tippet Type I,
Weibull dan Gumbel.
1. Fisher-Tippet Type I
Distribusi Fisher-Tippet Type I
,
P (H < H ) =1- (2.7)
,

= . + (2.8)

=− − 1− (2.9)
.

2. Weibull
,
,

P (H < H ) =1– , (2.10)
,

={ ( )} (2.11)

L = (2.12)

14
Dengan :
P (H < H ) = probabilitas dari tinggi gelombang represebtatif ke m
yang tidak dilampaui
H = tinggi gelombang urutan ke-m
m = nomor urut tinggi gelombang signifikan
k = parameter bentuk (Tabel 2.1)
N = jumlah kejadian gelombang selama pencatatan
H = tinggi gelombang signifikan dengan periode ulang
T = periode ulang (tahun)
K = panjang data (tahun)
L = rerata jumlah kejadian per tahun
3. Metode Gumbel
Menentukan periode ulang dengan metode Gumbel :

= (2.13)

∑( )
= (2.14)

H =H + (Y – Y ) (2.15)

Dengan :
= Tinggi gelombang signifikan rerata.
∑ = Standar deviasi.
H = Tinggi gelombang rencana.
Y = Reduced variate sebagai fungsi periode ulang T.
Y = Reduced variate sebagai fungsi dari banyaknya data N.
= Reduced standar deviasi sebagai fungsi dari banyaknya data N.
Parameter bentuk dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini :

15
Tabel 2. 1 Koefisien untuk menghitung deviasi standar
Distribusi ∝ ∝ k e ε
FT – 1 0,64 9,0 0,93 0,0 1,33
Weibull ( k = 0,75) 1,65 11,4 -0,63 0,0 1,15
Weibull ( k = 1) 1,92 11,4 0,00 0,3 0,90
Weibull ( k = 1,4) 2,05 11,4 0,69 0,4 0,72
Weibull ( k = 2) 2,24 11,4 1,34 0,5 0,54
Sumber : Triatmodjo (1999)

2.2.1.3 Refraksi Gelombang


Refraksi terjadi karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Semakin
dangkal perairan, pengaruh dasar laut semakin dirasakan oleh gelombang. Jadi
refraksi merupakan fenomena perairan dangkal. Parameter-parameter yang penting
dalam analisis refraksi gelombang adalah :
Ks = Koefisien pendangkalan
Kr = Koefisien refraksi
Sehingga tinggi gelombang yang terjadi pada perairan dangkal (H) dapat
dihitung dengan formula sebagai berikut :
a. H = Ho.Ks.Kr (2.16)
b. Sudut Arah Datang Gelombang:

sin = . (2.17)

Dengan :
α = Sudut antara garis puncak gelombang dan garis kontur dasar laut di
titik yang ditinjau.
α0 = Sudut antara garis puncak gelombang di laut dalam dan garis pantai.
C = Cepat rambat gelombang di kedalaman tertentu (m/dt).
C0 = Cepat rambat gelombang di laut dalam (m/dt).

16
c. Koefisien Pendangkalan
Koefisien pendangkalan Ks merupakan fungsi panjang gelombang, kedalaman
air, sehingga dapat ditulis dengan persamaan :
.
= (2.18)
.

Dengan :
Ks = Koefisien Pendangkalan
no = Koefisien gelombang dilaut dalam. Nilai = 0,5
Lo = Panjang gelombang di laut dalam
L = Panjang gelombang di kedalaman tertentu.
n = Koefisien gelombang di kedalaman tertentu. (Lampiran A.1
Tabel d/L).
d. Koefisien Refraksi
Analisis refraksi dapat dilakukan dengan cara analitis apabila garis kontur
lurus dan saling sejajar dengan menggunakan Hukum Snell langsung.

= (2.19)

Dengan :
Kr = Koefisien refraksi.
α = Sudut antara garis puncak gelombang dengan garis kontur
dasar laut di titik yang ditinjau.
α0 = Sudut antara garis puncak gelombang di laut dalam dan garis
pantai.
e. Tinggi Gelombang
H = Ks.Kr.Hs (2.20)
Dengan :
H = Tinggi gelombang di kedalaman tertentu
Hs = Gelombang signifikan
Ks = Koefisien Pendangkalan
Kr = Koefisien Refraksi

17
2.2.1.4 Difraksi Gelombang
Apabila gelombang datang terhalang oleh suatu rintangan seperti pemecah
gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan membelok disekitar ujung
rintangan dan masuk di daerah terlindung di belakangnya. Seperti terlihat pada
gambar 2.5. Dalam proses difraksi ini terjadi transfer energi dalam arah tegak lurus
penjalaran gelombang menuju daerah terlindung. Transfer energi ke daerah
terlindung menyebabkan terbentuknya gelombang di daerah tersebut., meskipun tidak
sebesar gelombang di daerah terlindung. Garis puncak gelombang di belakang
rintangan membelok dan mempunyai bentuk busur lingkaran dengan pusatnya pada
ujung rintangan.

Gambar 2. 5 Difraksi gelombang


Sumber : Triatmodjo (1999)
Pada rintangan/pemecah gelombang tunggal, tinggi gelombang di suatu
tempat di daerah terlindung tergantung pada jarak titik tersebut terhadap ujung
rintangan r, sudut antara rintangan dan garis yang menghubungkan titik tersebut
dengan ujung rintangan β, dan sudut antara arah penjalaran gelombang dan rintangan
θ. Perbandingan antara tinggi gelombang di titik yang terletak di daerah terlindung
dan tinggi gelombang datang disebut koefisien difraksi K’.

18
= . ; (2.21)
K’ = f(θ,β,r/L) (2.22)

Dimana:
K’ = koefisien difraksi
HA = tinggi gelombang di titik A
Hp = tinggi gelombang di ujung pemecah gelombang

2.2.1.5 Gelombang Laut dalam Ekivalen


Analisis transformasi gelombang sering dilakukan dengan konsep gelombang
laut dalam apabila gelombang tidak mengalami refraksi. Pemakaian gelombang ini
bertujuan untuk menetapkan tinggi gelombang yang mengalami refraksi, difraksi dan
transformasi lainnya, sehingga perkiraan transformasi dan deformasi gelombang
dapat dilakukan dengan lebih mudah. Tinggi gelombang laut dalam ekivalen
diberikan oleh bentuk:
H’o = K’.Kr.Ho (2.23)
Dengan :
Ho = Tinggi gelombang di laut dalam
H’o = Tinggi gelombang di laut dalam ekivalen
K’ = Koefisien Difraksi
Kr = Koefisien Refraksi

2.2.1.6 Gelombang Pecah


Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringannya, yaitu perbandingan antara
tinggi dan panjang gelombang. Di laut dalam kemiringan gelombang maksimum
dimana gelombang mulai tidak stabil diberikan oleh persamaan:
= 0,142 (2.24)

Apabila gelombang bergerak menuju laut dangkal, kemiringan batas tersebut


tergantung pada kedalaman relatif d/L dan kemiringan dasar laut m. Gelombang dari

19
laut dalam yang bergerak menuju pantai akan bertambah kemiringannya sampai
akhirnya tidak stabil dan pecah pada kedalaman tertentu. Munk (1949) dalam CERC
(1984) memberikan rumus untuk menghitung tinggi dan kedalaman gelombang pecah
berikut ini:

= (2.25)
, ( )

= 1,28 (2.26)

Dimana:
Hb = Tinggi gelombang pecah (m)
db = Kedalaman gelombang pecah (m)

Gambar 2. 6 Penentuan tinggi gelombang pecah


Sumber : Triatmodjo (1999)

20
Gambar 2. 7 Penentuan kedalaman gelombang pecah
Sumber : Triatmodjo (1999)

2.2.2 Pasang Surut


Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-
benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi. Gaya
tarik menarik ini tergantung dari jarak bumi dengan benda langit dan massa benda
langit itu sendiri. Pasang surut merupakan faktor penting dari geomorfologi pantai,
dalam hal ini berupa perubahan teratur muka air laut sepanjang pantai dan arus yang
dibentuk oleh pasang surut. Selain itu pengetahuan tentang pasang surut adalah
penting di dalam perencanaan bangunan pantai dan pelabuhan.
Menurut Bambang Triatmojo (1999) pasang surut yang terjadi di berbagai
daerah dibedakan menjadi empat tipe yaitu :
1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide)
Pasang surut tipe ini adalah dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua
kali air surut dengan tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara
berurutan dan teratur. Periode pasang surut rata-rata adalah 12 jam 24 menit.

21
2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide)
Pasang surut tipe ini apabila dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan
satu kali air surut dengan periode pasang surut 24 jam 50 menit.
3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing diurnal)
Pasang surut tipe ini apabila dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan
dua kali air surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda.
4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal)
Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut,
tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali pasang dan dua kali
surut dengan tinggi dan periode yang sangat berbeda.

Gambar 2. 8 Kurva pasang surut dan beberapa elevasi muka air


Sumber : Triatmodjo (1999)

2.2.2.1 Elevasi Muka Air Pasang Surut Rencana


Mengingat elevasi muka air laut selalu berubah setiap saat, maka diperlukan
suatu elevasi yang ditentukan berdasarkan data pasang surut yang dapat digunakan
sebagai pedoman di dalam perencanaan suatu bangunan pantai. Beberapa elevasi
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Muka air tinggi (high water level), yaitu muka air tertingi yang dicapai pada
saat air pasang dalam satu siklus pasang surut.
2. Muka air rendah (low water level), yaitu muka air terendah yang dicapai pada
saat air surut pada satu siklus pasang surut.

22
3. Muka air tinggi rata-rata (mean high water level, MHWL), yaitu rata-rata dari
muka air tinggi selama periode 19 tahun.
4. Muka air rendah rata-rata (mean low water level, MLWL), yaitu rata-rata dari
dari muka air rendah selama periode 19 tahun.
5. Muka air laut rata-rata (mean sea Level, MSL), yaitu muka air rata-rata antara
muka air tinggi rata-rata dan muka air rendah rata-rata. Elevasi ini digunakan
sebagai referensi untuk elevasi di daratan.
6. Muka air tinggi tertinggi (highes high water level, HHWL), yaitu muka air
tertinggi pada saat pasang surut purnama dan pasang surut perbani.
7. Muka air rendah terendah (lowes low water level, LLWL), yaitu muka air
terendah pada saat pasang surut purnama dan pasang surut perbani.
8. Low Water Springs (HWS), yaitu tinggi muka air dari dua air rendah berturut-
turut, yaitu jika tunggang (range) pasut itu terendah.
9. High Water Springs (LWS), yaitu tinggi muka air dari dua air tinggi berturut-
turut, yaitu jika tunggang (range) pasut itu tertinggi.
Elevasi muka air laut (MHWL, MLWL, MSL) dapat ditentukan berdasarkan
pengukuran pasang surut selama minimum 15 hari. Pengukuran dilakukan dengan
sistem topografi lokal di suatu lokasi yang ditentukan.

2.2.3 Transpor Sedimen


Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang
disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Transpor sedimen pantai
dapat diklasifikasikan menjadi transpor sedimen menuju dan meninggalkan pantai
dan transpor sepanjang pantai. Transpor sedimen menuju dan meninggalkan pantai
mempunyai arah rata-rata tegak lurus garis pantai, sedangkan transpor sedimen
sepanjang pantai mempunyai arah rata-rata sejajar pantai.

23
2.2.3.1 Ukuran Partikel Sedimen
Sedimen pantai diklasifikasikan berdasarkan ukuran butir menjadi lempung,
lumpur, pasir, kerikil, koral (pebble), cobble, dan batu (boulder). Tabel 2.2
menunjukan klasifikasi ukuran butir dan sedimen yang banyak digunakan dalam
bidang teknik pantai (CERC, 1984).

Tabel 2. 2 Klasifikasi ukuran butir dan sedimen


Diameter Partikel
Klasifikasi
mm Satuan phi
Batu 256 -8
128 -7
Cobble
64 -6
Besar 32 -5
Sedang 16 -4
Koral (Pebble)
Kecil 8 -3
Sangat Kecil 4 -2
Kerikil 2 -1
Sangat Kasar 1 0
Kasar 0,5 1
Pasir Sedang 0,25 2
Halus 0,125 3
Sangat Halus 0,063 4
Kasar 0,031 5
Sedang 0,015 6
Lumpur
Halus 0,0075 7
Sangat Halus 0,0037 8
Kasar 0,0018 9
Sedang 0,0009 10
Lempung
Halus 0,0005 11
Sangat Halus 0,0003 12
Sumber : Triatmodjo (1999)

24
2.2.3.2 Analisa Gradasi Partikel Sedimen
Analisa gradasi partikel sedimen bertujuan untuk mengetahui distribusi
ukuran partikel sedimen. Untuk partikel sedimen yang butir – butirnya lebih besar
dari 0,075 mm (tertahan saringan no. 200), pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan saringan – saringan (analisa saringan), sedangkan untuk partikel
sedimen yang butirannya lebih kecil dari 0,075 mm (lewat saringan no. 200),
pemeriksaan dilakukan dengan cara sedimentasi yang dapat menggunakan cara
hidrometer atau dengan pipet.

Tabel 2. 3 Contoh klasifikasi ukuran butir dan sedimen


No Saringan Berat Tertahan Jumlah Persen %

mm Inchi Tertahan Jumlah Tertahan lolos

9,500 No 3/8 ″ 0 0 0 100

4,750 No 4″ 14.8 14.8 1.0697 98.9303

2,000 No 10″ 117.2 132 8.4707 90.4596

0,850 No 20″ 239.6 371.6 17.3171 73.1425

0,425 No 40″ 261.5 633.1 18.9 54.2425

0,180 No 80″ 383.4 1016.5 27.7103 26.5322

0,150 No100″ 49.9 1066.4 3.6065 22.9257

0,074 No 200″ 164.7 1231.1 11.9037 11.022

0 pan 152.5 1383.6 11.022 0


Sumber : Praktikum Mekanika Tanah Kelompok 8 (2013)

2.2.3.3 Transpor Sedimen Sepanjang Pantai


Transpor sedimen sepanjang pantai terdiri dari dua komponen utama, yaitu
transpor sedimen dalam bentuk mata gergaji di garis pantai dan transpor sedimen
sepanjang pantai di surf zone.

25
Gambar 2. 9 Transpor sedimen sepanjang pantai
Sumber : Triatmodjo (1999)
Beberapa cara yang biasa digunakan untuk memprediksi transpor sedimen
sepanjang pantai adalah sebagai berikut:
a. Cara terbaik memperkirakan transpor sedimen sejajar pantai pada suatu
tempat adalah mengukur debit sedimen di lokasi yang ditinjau.
b. Peta atau pengukuran yang menunjukan perubahan elevasi dasar dalam suatu
periode tertentu dapat memberikan petunjuk tentang angkutan sedimen. Cara
ini terutama baik apabila di daerah yang ditinjau terdapat bangunan yang bisa
menangkap transpor sedimen sepanjang pantai, misalnya groin, pemecah
gelombang suatu pelabuhan, dan sebagainya.
c. Rumus empiris yang didasarkan pada kondisi gelombang di daerah yang
ditinjau.
Rumus empiris yang ada untuk menghitung transpor sedimen sepanjang
pantai dikembangkan berdasarkan data-data pengukuran model dan prototip pada
pantai berpasir. Sebagian rumus-rumus tersebut merupakan hubungan yang sederhana
antara transpor sedimen dan komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai
dalam bentuk:
= 1 (2.27)
1= sin cos (2.28)

26
Dimana:
Qs = angkutan sedimen sepanjang pantai (m3/hari)
P1 = komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai pada saat pecah
(Nm/dt/m)
ρ = rapat massa air laut (kg/m3)
Hb = tinggi gelombang pecah (m)
Cb = cepat rambat gelombang pecah (m/dt) =
αb = sudut datang gelombang pecah
K, n = konstanta
CERC (1984) memberikan hubungan berikut:
= 1290 1 (2.29)
Dengan Qs mempunyai satuan m3/tahun. Apabila dikehendaki Qs dalam
m3/hari maka persamaan tersebut menjadi:
= 3,534 1 (2.30)
Tabel 2. 4 Beberapa rumus transpor sedimen sepanjang pantai
No Nama Rumus Keterangan
,
1 Caldwell = 1,200 1
2 Savage = 0,219 1
,
3 Ijima,Sato,Aono,Ishii = 0,130 1 Qs (m3/hari)
4 Tanaka = 0,120 1 P1 (ton m/hari/m)
5 Das = 0,325 1
6 CERC = 0,401 1
Sumber :Triatmodjo (1999)

2.2.3.4 Transpor Sedimen Menuju meninggalkan Pantai


Transpor sedimen menuju meninggalkan pantai mempunyai arah rata-rata
tegak lurus garis pantai. Gerak air di dekat dasar menimbulkan tegangan geser dasar
lebih besar tegangan kritik erosi, partikel sedimen mulai bergerak. Dianggap bahwa

27
berat terendam partikel sedimen yang bergerak tiap satuan luas adalah sebanding
dengan tegangan geser.
( − ) = 1 (2.30)

Dimana:
N = jumlah partikel yang bergerak tiap satuan luas
ρs = rapat massa partikel
D = diameter partikel
ρ = rapat massa air
g = percepatan gravitasi
k1 = konstanta tak berdimensi
τb = tegangan geser dasar
Transpor sedimen menuju meninggalkan pantai terjadi apabila arah
gelombang datang tidak membentuk sudut terhadap garis pantai. Jika hal ini terjadi,
maka perhitungan transpor sedimen menuju meninggalkan pantai harus dilakukan.
Transpor sedimen tipe ini memberikan kontribusi sedimentasi yang sedikit, jarang
terjadi dan untuk arah gelombang datang yang membentuk sudut dapat diabaikan.

2.3 Fasilitas Pelabuhan dan Karakteristik Kapal


Pelabuhan harus dapat berfungsi dengan baik yaitu dapat melindungi kapal
yang berlabuh dan beraktivitas di dalam areal pelabuhan. Agar dapat memenuhi
fungsinya pelabuhan perlu diperhatikan beberapa fasilitas-fasilitas pokok untuk
menunjang keperluan operasional kapal-kapal pada saat berada di area pelabuhan.

2.3.1 Alur Pelayaran


Alur pelayaran digunakan untuk mengarahkan kapal yang akan masuk ke
kolam pelabuhan. Alur pelayaran harus cukup tenang terhadap pengaruh gelombang
dan arus. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan karakteristik alur masuk ke
pelabuhan adalah sebagai berikut:
1. Keadaan trafik kapal.

28
2. Keadaan geografi dan meteorologi di daerah alur.

2.3.1.1 Kedalaman Alur Pelayaran


Untuk mendapatkan kondisi kedalaman alur pelayaran dan kedalaman kolam
pelabuhan yang ideal, digunakan dasar perhitungan dengan formula (Triatmodjo,
1996 ) :
H=d+G+R+P+S+K (2.31)
Dimana :
H = Kedalaman alur pelayaran (m)
d = Draft kapal
G = squat atau Gerak vertikal kapal karena gelombang (toleransi max 0,5 m)
R = Ruang kebebasan bersih minimum 0,5 m (untuk dasar laut berpasir)
P = Ketelitian pengukuran diambil 20 cm
S = Pengendapan sedimen antara dua pengerukan
K = Toleransi pengerukan

Gambar 2. 10 Kedalaman alur pelayaran


Sumber : Triatmodjo (1996)

29
2.3.1.2 Lebar Alur Pelayaran
Alur pelayaran apakah digunakan untuk lalu lintas satu kapal atau dua kapal
(one way traffic atau two way traffic), dihitung dengan formula sebagai berikut
(Murdiyanto, 2004) :
Alur dengan 1 kapal : W = 2 BC + ML
Alur dengan 2 kapal : W = 2 (BC + ML) + SC
Dimana :
W = Lebar alur pelayaran
BC = Bank Clearance ( Ruang aman sisi kapal ) ≈ 1,5 B
ML = Manuevering Lane ( 1½ x Lebar kapal ) ≈ (1,2 - 1,5) B
SC = Ship Clearance ( Ruang aman antar kapal ) minimal 0,5 m

Gambar 2. 11 Lebar alur satu jalur


Sumber : Triatmodjo (1996)

Gambar 2. 12 Lebar alur dua jalur


Sumber : Triatmodjo (1996)

30
Cara lain untuk menentukan lebar alur diberikan oleh OCDI (1991). Lebar
untuk dua jalur diberikan oleh tabel 2.5. Untuk alur diluar pemecah gelombang, lebar
alur harus lebih besar dari pada yang diberikan dalam tabel tersebut, supaya kapal
bisa melakukan gerakan (manuver) dengan aman dibawah pengaruh gelombang, arus,
topografi dan sebagainya.

Tabel 2. 5 Lebar alur menurut OCDI


Panjang Alur Kondisi pelayaran Lebar
Kapal sering bersimpangan 2 Loa
Relatif panjang
Kapal tidak sering bersimpangan 1,5 Loa
Kapal sering bersimpangan 1,5 Loa
Selain dari alur diatas
Kapal tidak sering bersimpangan Loa
Sumber : Triatmodjo (1996)

2.3.2 Kolam Pelabuhan


Kolam Pelabuhan adalah lokasi perairan tempat kapal berlabuh, mengisi
perbekalan atau melakukan aktivitas bongkar muat. Kondisi kolam pelabuhan yang
tenang dan luas, menjamin efisiensi operasi pelabuhan. Kenyamanan dan ketenangan
kolam pelabuhan dapat dipenuhi apabila memenuhi syarat :
1. Kolam pelabuhan cukup luas dan dapat menampung semua kapal yang datang
dan masih tersedia cukup ruang bebas, agar kapal yang sedang melakukan
manuver dapat bergerak bebas tanpa mengganggu aktivitas kapal yang sedang
membongkar ikan di dermaga.
2. Kolam pelabuhan mempunyai kedalaman yang cukup, agar arus keluar
masuknya kapal-kapal tidak terpengaruh pada pasang surut air laut.
3. Tersedianya bangunan peredam gelombang, sehingga kolam pelabuhan
sebagai kolam perlindungan dari pengaruh gelombang.
4. Memiliki radius putar (turning basin) bagi kapal-kapal yang melakukan gerak
putar berganti haluan, tanpa mengganggu aktivitas kapal-kapal lain yang ada
di kolam pelabuhan.

31
2.3.2.1 Kedalaman Kolam Pelabuhan
Dengan memperhitungkan gerak osilasi kapal karena pengaruh alam seperti
gelombang, angin dan arus pasang surut, kedalaman kolam pelabuhan adalah 1,1 kali
draft kapal pada muatan penuh di bawah elevasi muka air rencana.

2.3.2.2 Ketenangan di Kolam Pelabuhan


Kolam pelabuhan harus cukup tenang baik dalam kondisi biasa maupun badai.
Kolam di depan dermaga harus tenang untuk memungkinkan penambatan selama 95
% - 97,5 % dari hari atau lebih dalam satu tahun.
Tinggi gelombang kritis untuk bongkar muat barang di kolam pelabuhan di
depan fasilitas tambatan ditentukan berdasarkan jenis kapal, ukuran dan kondisi
bongkar muat, yang diberikan dalam tabel 2.5.

Tabel 2. 6 Tinggi gelombang kritis di pelabuhan


Tinggi gelombang kritis untuk bongkar
Ukuran kapal
muat (H 1/3)
Kapal kecil 0,3 m
Kapal sedang dan besar 0,5 m
Kapal sangat besar 0,7-1,5 m
Sumber : Triatmodjo (1996)
Catatan:
Kapal kecil:
Kapal kurang dari 500 GRT yang selalu menggunakan kolam untuk
kapal kecil.
Kapal sedang dan besar:
Kapal selain kapal kecil dan sangat besar.
Kapal sangat besar:
Kapal lebih dari 500.000 GRT yang menggunakan dolphin besar dan
tambatan di laut.

32
2.3.3 Karakteristik Kapal
Jenis dan dimensi kapal yang akan masuk ke pelabuhan berhubungan
langsung pada perencanaan pelabuhan seperti panjang dermaga, besarnya alur
pelayaran dan gaya-gaya yang bekerja pada kapal. Beberapa istilah dimensi yang
dipergunakan dalam perencanaan pelabuhan
 Displacement Tonnage (DPL)/ Ukuran Isi Tolak, yaitu volume air yang
dipindahkan oleh kapal dan sama dengan berat kapal.
 Deadweight Tonnage (DWT)/ Bobot mati, yaitu berat total muatan dimana
kapal dapat mengangkut dalam keadaan pelayaran optimal (draft maksimum).
 Gross Register Tons (GRT)/GT/ Ukuran Isi Kotor, yaitu volume keseluruhan
ruangan kapal (untuk kapal ikan).
1 GRT = 2,83 m3 = 100 ft3
 Netto Register Tons (NRT)/NT/ Ukuran Isi Bersih, yaitu ruangan yang
disediakan untuk muatan dan penumpang, besarnya sama dengan GRT
dikurangi dengan ruangan- ruangan yang disediakan untuk nahkoda dan anak
buah kapal, ruang mesin, gang, kamar mandi, dapur dan ruang peta.
 Draft (sarat) yaitu bagian kapal yang terendam air pada keadaan muatan
maksimum.
 Length Overall (Loa)/ Panjang Total, yaitu panjang kapal dihitung dari ujung
depan (haluan) sampai ke ujung belakang (buritan)
 Length Between Perpendiculars (Lpp)/ Panjang Garis Air, yaitu panjang
antara kedua garis air pada beban yang direncanakan
Lpp = 0,846 Loa 1,0193 (untuk kapal barang)
Lpp = 0,852 Loa 1,0201 (untuk kapal tanker)

33
Gambar 2. 13 Dimensi kapal
Sumber : Triatmodjo (1996)
Selain dimensi dan karakteristik kapal, hal lain yang penting juga adalah
jumlah kapal yang bersandar di dermaga. Jumlah kapal yang bersandar sangat
berguna untuk merencanakan luas kolam pelabuhan dan besarnya alur.

34

Anda mungkin juga menyukai