Mata uang Rupiah hanya dapat digunakan di Indonesia. Sedangkan, apabila Anda
sedang berada di luar negeri dan ingin membeli barang, maka Anda harus
menyesuaikan mata uang yang diakui dalam negara tersebut.
Mata uang asing yang populer digunakan dalam dunia internasional adalah Dollar
Amerika (US$), Euro (EUR), Yen Jepang (JPY), Poundsterling Inggris (GBP),
Franc Swiss (CHF), dan Dollar Australia (AUD).
Perbandingan antara mata uang Rupiah dengan mata uang asing lainnya dapat
diartikan sebagai kurs mata uang suatu negara.
Apabila kurs mata uang Rupiah melemah terhadap kurs Dollar Amerika, maka
nilai tukar Rupiah menjadi semakin mahal terhadap Dollar Amerika.
Pada peristiwa ini, Dollar mengalami apresiasi terhadap rupiah dan rupiah
mengalami depresiasi terhadap Dollar.
Sebaliknya, apabila kurs mata uang menguat, artinya kurs mata uang Rupiah
terhadap Dollar Amerika semakin murah. Kurs mata uang ini dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti nilai pasar, utang luar negeri, cadangan devisa, situasi
politik, dan lain-lain.
Valuta asing dapat digunakan sebagai salah satu alat pembayaran internasional.
Seperti contoh, apabila Indonesia memiliki utang dengan negara lain, maka
Indonesia dapat membayarkan utang beserta bunganya dengan valuta asing lain
yang sesuai.
Begitupun sebaliknya, apabila ada negara yang memiliki utang dengan Indonesia,
maka negara tersebut dapat membayar dengan kurs mata uang asing yang nilainya
sesuai dengan mata uang Rupiah.
Salah satu fungsi valuta asing adalah menjadi alat yang memperlancar proses
perdagangan di dunia internasional.
Dengan adanya valuta asing, maka proses pembayaran tidak perlu dengan
menggunakan barter yang belum tentu memiliki nilai yang setara. Apabila tidak
ada valuta asing, maka proses transaksi dalam perdagangan internasional menjadi
lebih rumit.
Defisit secara harfiah berarti adalah berkurangnya kas dalam keuangan. Defisit
biasa terjadi ketika suatu organisasi (biasanya pemerintah) memiliki
pengeluaran lebih banyak daripada penghasilan. Lawan dari defisit adalah
surplus. Hal pertama yang harus dicatat adalah, munculnya kekurangan dalam
pendanaan di banyak negara merupakan hal yang klasik. Pemerintah di banyak
negara juga mengenal defisit anggaran, bahkan sebelum penemuan istilah
anggaran umum. Dulu, negara meminjam dari pedagang dan rentenir saat dalam
kondisi membutuhkan, khususnya untuk membiayai perang, seremoni dan
festival kerajaan, dan menanggulangi bencana.
Perlu juga dipaparkan, terjadinya defisit anggaran diakibatkan oleh beberapa faktor
penting: adakalanya ia terjadi karena anggaran yang memang kurang, dan
adakalanya pula cara atau metode pembiayaan yang mengakibatkan defisit. Defisit
berarti, pemerintah mengkonsumsi lebih dari jumlah pendapatannya yang
kemudian biaya kekurangannya itu diambilkan dari pendapatan individu. Ini
artinya, total permintaan terhadap barang dan jasa berlebih jika dibandingkan
dengan total penawaran. Pengertian ini dengan asumsi bahwa masyarakat
terhalangi dari perdagangan luar negeri yang menyebabkan seluruh konsumsi
individu harus ditekan untuk memberi ruang bagi konsumsi pemerintah yang
berlebih.
Jika defisit anggaran didanai melalui prosedur pinjaman publik dalam negeri,
tekanan moneter dari total permintaan pemerintah terhadap harga tidak akan
terjadi—setidaknya dalam teori—karena sarana pembayaran individu yang
kelebihan berhasil di serap, dan dengan demikian inflasi mata uang tidak terjadi
karena kebijakan tersebut. Adapun apabila defisit dibiayai oleh pinjaman Bank
Sentral—penerbitan mata uang—maka tekanan inflasi harga mata uang mulai
muncul sebagai akibat adanya alat pembayaran yang berlebih daripada penawaran
yang ada. Adapun dalam sistem perekonomian yang terhubung dengan
perdagangan internasional melalui ekspor dan impor, kelebihan konsumsi
pemerintah dapat ditutupi oleh impor. Di sini, metode penanganan defisit juga
berdampak besar terhadap konsekuensi yang muncul. Yaitu, apabila penanganan
defisit anggaran ditutupi dengan penerbitan uang baru (ekspansi moneter) akan
menyebabkan inflasi dan merosotnya nilai kurs mata uang lokal di hadapan mata
uang asing. Pada akhirnya, penurunan kurs (nilai mata uang) juga akan
meningkatkan defisit anggaran yang justru mempersulit penanganan defisit
anggaran. Hal inilah yang membuat cara seperti ini tidak dapat diterapkan secara
kontinyu dalam kebijakan ekonomi. Oleh karena itu, ajakan untuk mencapai
stabilitas harga dan tukar selalu terfokus pada penyeimbangan pertumbuhan
pertukaran uang, yang juga selalu terfokus pada keharusan penyeimbangan antara
anggaran suatu negara dengan tidak menutupi defisit anggarannya dengan
instrumen moneter.
Menurut penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI seri yang ke-3
oleh Departemen Pendidikan Nasional:
Surplus merupakan jumlah yang biasanya melebihi hasil pada umumnya, atau
sisa.
Obligasi pemerintah atau biasa juga disebut government bond adalah suatu
obligasi yang diterbitkan oleh pemerintahan suatu negara dalam denominasi
mata uang negara tersebut. Obligasi pemerintah dalam denominasi valuta asing
biasa disebut dengan obligasi internasional (sovereign bond).[1]
Obligasi adalah suatu istilah yang digunakan dalam dunia keuangan yang
merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang
obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon
bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran.
Definisi Privatisasi
Privatisasi pada umumnya adalah penyerahan asset public kepada sektor
swasta. Dalam praktiknya privatisasi dapat berupa penjualan saham Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) yang dijual di pasar modal.
Menurut Bastian (2002), Privatisasi merupakan kebijakan publik yang
mengarahkan bahwa tidak ada alternatif lain selain pasar yang dapat
mengendalikan ekonomi secara efisien, serta menyadari bahwa sebagian besar
kegiatan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan selama ini seharusnya
diserahkan kepada sektor swasta.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu
untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Tujuan DBH adalah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan
daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil. Pembagian DBH
dilakukan berdasarkan prinsip by origin.
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu untuk
mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Tujuan DBH adalah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan
daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.
DBH PBB dan PPh dibagi kepada daerah penghasil sesuai dengan porsi yang
ditetapkan dalam UU No. 33/2004.
DBH CHT dan DBH SDA dibagi dengan imbangan Daerah penghasil
mendapatkan porsi lebih besar, dan Daerah lain (dalam provinsi yang
bersangkutan) mendapatkan bagian pemerataan dengan porsi tertentu yang
ditetapkan dalam UU.
Perhitungan Fihak Ketiga (PFK) adalah utang pemerintah kepada pihak lain yang disebabkan
kedudukan pemerintah sebagai pemotong pajak atau pungutan lainnya, seperti Pajak Penghasilan
(PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), iuran Askes, Taspen, dan Taperum.[1]
Penerimaan PFK
Penerimaan PFK adalah semua penerimaan negara yang berasal dari potongan
penghasilan pegawai negeri serta setoran subsidi dan iuran Pemerintah Daerah dalam rangka
penyelenggaraan asuransi kesehatan.[2]
Dana PFK
Dana PFK adalah sejumlah dana yang dipotong langsung dari gaji pokok dan tunjangan
keluarga pegawai negeri/pejabat negara, dan iuran asuransi kesehatan yang disetor
oleh pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, serta tabungan perumahan Pegawai Negeri
Sipil Pusat/Daerah untuk disalurkan kepada Pihak Ketiga.[3
TUGAS KELOMPOK
AKUNTANSI LEMBAGA
Oleh:
( Kelompok I )