Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

SEJARAH SENI RUPA ISLAM


PANDANGAN ISLAM TENTANG SENI

DI SUSUN
OLEH :

KELOMPOK 2

FATHUL FAJERI MAHDAR


AKZAN AKBARI
IKIH SAPUTRI ANGRAINY
ROSDAHWATI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


SENI RUPA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
sehingga saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya
yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam mata kuliah.

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman serta
pengetahuan yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada para
pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.

Makassar,31 Maret 2019

Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab 1
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang....................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................
1.3 Tujuan...................................................................................................................
1.4 Manfaat..................................................................................................................
1.5 Ruang Lingkup.........................................................................................................
Bab 2
Pembahasan
2.1 Pengertian Seni Dalam Islam......................................................................................
2.1 Pandangan Islam Tentang Seni..................................................................................
2.3 Prinsip Prinsip Kebudayaan Islam.....................................................................
2.4 Pengaruh Dan Nilai Seni Dan Budaya Terhadap Islam..........................................
2.5 Pengertian Seni Secara Umum...................................................................................

2.6 Problematika Seni Dalam Islam..................................................................................

2.7 Aliran Filsafat Seni....................................................................................................

Bab 3

Penutup

1.Kesimpulan.....................................................................................................................

2.Saran..................................................................................................................................

Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Islam merupakan agama yang luas dan fleksibel. Islam mengkaji banyak hal.
Kajian ilmu dalam islam tidak hanya pada inti ajaran islam itu sendiri, melainkan juga pada
ilmu lain yang relevan terhadap ajaran islam. Semua aspek dan hal dalam kehidupan manusia
diatur oleh islam. Cakupan kajian islam sangatlah luas karena tidak ada satupun hal yang
tidak diatur dan dibahas dalam islam, mulai dari keindahan dalam hal ini seni dan budaya,
ilmu pengetahuan, hingga cara berpikir dengan filsafat. Islam agama yang mencintai
keindahan sehingga dalam islam terdapat aspek hubungan islam dengan seni dan budaya.
Islam merupakan agama yang berkembang, fleksibel dan dapat menyesuaikan dengan
perkembangan jaman. Namun hal ini perlu dipikirkan secara lebih mendasar, logis dan
menyeluruh sehingga perkembangan yang terjadi tidak bertentangan dengan inti ajaran islam.
Islam adalah agama yang sangat menghargai seni. Hampir dalam setiap masa penyebaran
islam diberbagai belahan dunia, seni selalu dianggap sebagai cara dakwah yang paling tepat.
Karena masyarakat akan lebih mudah memahami nilai-nilai yang dibawa oleh agama islam
melalui seni tanpa perlu ada kekerasan. Setelah agama islam diterima hampir diseluruh dunia,
timbul lah banyak jenis kebudayaan islam. Jenis kebudayaan disetiap daerah berbeda-beda.
Namun, saat ini seluruh kebudayaan islam tersebut telah mengalami perkembangan yang
sangat signifikan dan semakin baik. Hal yang sangat mempengaruhi perkembangan
kebudayaan islam adalah adanya konsep pengembangan budaya islam. Kebudayaan Islam
adalah peradaban yang berdasarkan pada nilai-nilai ajaran islam. Nilai kebudayaan Islam
dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang lahir di bidang ilmu pengetahuan agama dan bidang sains
dan teknologi. Semua itu di ilhami oleh ayat-ayat Al Quran dan sunnah.
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada manusia sebagai
rahmatan lil alamin atau rahmat bagi alam semesta. Hal itu membuat ajaran Islam tampil
sebagai solusi dari segala permasalahan yang menimpa umat manusia. Upaya Islam sebagai
agama rahmatan lil alamin dibuktikan dengan peran wali songo yang begitu besar dalam
penyebaran Islam khususnya di pulau Jawa. Salah satu cara yang digunakan wali songo
adalah pendekatan melalui kebudayaan, misalnya kesenian. Hal itu menunjukkan bahwa wali
songo mengutamakan jalan yang menjadikan masyarakat tertarik dan sarat dengan ajakan
yang baik daripada mengedepankan hal-hal yang bersifat normatif dan tekstual. Islam adalah
agama yang diturunkan kepada manusia sebagai rahmat bagi alam semesta dan selalu
membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia di dunia ini.

1.2 Rumusan masalah


Kata agama dan kebudayaan merupakan dua kata yang seringkali bertumpang tindih,
sehingga mengaburkan pamahaman kita terhadap keduanya. Banyak pandangan yang
menyatakan agama merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang
menyatakan kebudayaan merupakan hasil dari agama. Hal ini seringkali membingungkan
ketika kita harus meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari. Seni
dan kebudayaan dalam islam juga memiliki berbagai macam ragam dan corak yang
berbeda-beda. Dari sini kami akan merumuskan permasalahan dalam pembahasan yaitu :
1. Apa pengertian dan hakikat seni dan budaya dalam islam?
2. Apa wujud kebudayaannya?
3. Bagaimana prinsip-prinsip kebudayaan islam?
4. Bagaimana hubungan antara agama dan budaya?
5. Apa saja seni dan budaya islam?
6. Bagaimana nilai islam dalam budaya Indonesia?
7. Bagaimana hubungan islam dengan budaya lokal?

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui seni dan kebudayaan
dalam islam secara lebih mendalam. Selain itu untuk sebuah pemikiran dasar tentang apa dan
bagaimana seni dan budaya islam berkembang sekarang.

1.4 Manfaat
Manfaat dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Memperoleh pengetahuan dan wawasan mengenai seni dan budaya dalam islam.
2. Memahami seni dan kebudayaan islam.
3. Menerapkan seni dan budaya islam yang sedang berkembang.

1.5. Ruang Lingkup


Ruang lingkup seni dan budaya dalam islam berkaitan dengan seni dan budaya yang
sedang berkembang saat ini. Jadi, seni dan budaya dalam islam memiliki segenap aspek-
aspek yang perlu diperhatikan dalam perkembangannya serta memiliki batasan-batasan yang
telah terdapat dalam al quran dan hadist. Ruang lingkup seni budaya dalam islam dapat di
tinjau dari berbagai perspektif yang akan dijelaskan dalam pembahasan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Seni Dalam Islam


Secara umum kata atau term seni berarti ‘halus’(dalam rabaan) ‘kecil dan halus’,
tipis dan halus’, ‘lembut dan enak (didengar), ‘mungil dan elok’(tubuh), ‘sifat halus’. Secara
etimologis seni dapat didefinisikan sebagai kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu
yang bermutu tinggi (Kamus, 1990 : 816). Ukuran tinggi itu jika orang lain bisa mengatakan
indah, kagum, atau luar biasa terhadap ciptaan tersebut.
Sedangkan kebudayaan berasal dari kata Sansekerta, buddhayah, ialah bentuk jamak
dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikianlah kebudayaan itu dapat diartikan “hal-hal
yang bersangkutan dengan akal”. Dalam bahasa Arab terdapat istilah al tsaqafah dan al
hadlarah. Para ahli sosial cenderung berpendapat bahwa kata al tsaqafah merujuk pada aspek
ide, sedangkan kata al hadlarah menunjuk kepada aspek material. Maka, al hadlarah lebih
tepat diterjemahkan sebagai culture. Kebudayaan mengandung pengertian meliputi
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, dan adat istiadat dan pembawaan lainnya
yang diperoleh dari anggota masyarakat (Munandar Soelaiman, 1992 dalam Zakky Mubarak,
2010).
Menurut Koentjaraningrat wujud kebudayaan meliputi :
1. Wujud Ideal
Wujud ideal merupakan ide-ide, norma, peraturan, hukum dan sebagainya.
2. Wujud Tingkah Laku
Wujud tingkah laku berupa aktifitas tingkah laku berpola dari manusia dalam
masyarakat. Pola tingkah laku yang mendasar dan dimaksudkan dalam ajaran Islam meliputi
hal-hal sebagai berikut :
Ketakwaan, beriman, cinta dan takut kepada Allah SWT.
Penyerahan diri.
Kebenaran menciptakan pola tingkah laku setia pada realita atau suatu pendekatan realistis
terhadap kehidupan dan ketulusan.
Keadilan baik terhadap diri sendiri, maupun orang lain atau makhluk lain.
Cinta terhadap makhluk tuhan.
Hikmah mendorong seseorang untuk menumbuhkan tingkah laku berdasarkan keilmuan.
Keindahan membuahkan kemanisan, kelembutan dan keluwesan yang muncul dalam moral
dan kebiasaan.
3. Wujud Benda
Wujud benda merupakan hasil karya. Peradaban sering disebut untuk kebudayaan
yang memiliki sistem teknologi, seni bangunan, seni rupa, sistem kenegaraan dan sebagainya.
Maka peradaban adalah bagian dari kebudayaan, tapi tidak sebaliknya.

Menurut J.J Hoeningman, wujud kebudayaan dibedakan menjadi tiga gagasan,


menjadi gagasan, aktivitas dan artefak.
1. Gagasan (Wujud Ideal)
Wujud ideal kebudayaan adalah kebudayaan yang terbentuk kumpulan ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya yang sifatnya abstrak, tidak
dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan ini terletak dalam kepala-kepala atau di dalam
pemikiran warga masyarakat. Jika masyarakat tersebut menyatakan gagasan mereka itu
dalam bentuk tulisan, maka lokasi dari kebudayaan ideal itu berada dalam karangan dan
buku-buku hasil karya para penulis warga masyarakat tersebut.
2. Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat itu. Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial. Sistem sosial ini
terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta
bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata
kelakuan. Sifatnya konkret, terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan dapat diamati serta
didokumentasikan.
3. Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktifitas, perbuatan dan
karya semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba,
dilihat dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret dari ketiga wujud kebudayaan.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, antara wujud kebudayaan yang satu tidak
bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh : wujud kebudayaan ideal
mengatur dan memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya (artefak) manusia.
Menurut Zakky Mubarrak, dilihat dari dimensi wujud, kebudayaan dibagi menjadi
tiga bagian yaitu :
1. Kompleks gagasan, konsep, dan fikiran manusia. Wujud dari budaya ini masih
abstrak, tidak kasat mata, dan berada pada jiwa manusia.
2. Kompleks aktivitas berupa aktivitas manusia yang saling berinteraksi, bersifat
konkrit, kasat mata, dapat diamati dan diobservasi. Wujudnya sering disebut sistem sosial.
3. Wujud kebudayaan berupa benda. Aktivitas manusia yang saling berinteraksi
dipastikan selalu menggunakan sarana dan peralatan, sebagai hasil karya manusia untuk
mencapai tujuannya. Aktivitas dari karya manusia tersebut menghasilkan berbagai macam
benda. Benda-benda itu bisa berwujud benda bergerak atau benda yang tidak bergerak.
Unsur-unsur kebudayaan terdiri dari tujuh macam, yaitu :
Bahasa,
Sistem teknologi,
Sistem mata pencaharian,
Organisasi sosial,
Sistem pengetahuan,
Religi,
Kesenian.

Sedangkan jika kita membahas masalah seni, seni merupakan bagian dari kebudayaan
yang menekankan pada persoalan nilai kehidupan. Seni merupakan ekspresi dari jiwa yang
halus dan indah yang lahir dari bagian yang terdalam dari jiwa manusia yang didorong oleh
kecenderungan pada keindahan. Dorongan tersebut merupakan naluri manusia atau fitrah
yang dianugerahkan Tuhan. Seni dikaitkan dengan keindahan, bagus, cantik, elok, molek, dan
sebagainya. Segala sesuatu yang memiliki keindahan merupakan hasil seni. Seni ada yang
bersal dari hasil karya manusia ada pula yang bersifat alamiah. Seni selalu berusaha
memberikan makna yang sepenuhnya mengenai obyek yang diungkapkan. Keindahan juga
bersifat universal, maksudnya tidak terikat oleh selera individu, waktu dan tempat, selera
mode, kedaerahan atau lokal (Ismala Dewi dkk, 2009 dalam Zakky Mubarak, 2010). Agama
Islam mendukung kesenian selama tidak melenceng dari nilai-nilai agama. Kesenian dalam
Islam diwujudkan dalam seni bangunan, arsitektur, lukis, ukir, suara, tari, dan lain-lain.
Aspek seni dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu : visual arts dan performing
arts, yang mencakup seni rupa (melukis, memahat, mengukir), seni pertunjukan (tari, musik),
seni teater (drama, wayang), seni arsitektur (rumah dan bangunan). Aspek ilmu pengetahuan
meliputi science (ilmu-ilmu eksakta) dan humaniora (sastra, filsafat kebudayaan dan sejarah).

Dari ENSIKLOPEDI INDONESIA (lihat “Ensiklopedi Indonesia” PT. Ikhtiar Baru –


Van Hoeve, Jakarta. Jilid V halaman 3080 dan 3081). dipetik bahwa definisi seni yaitu
penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, dilahirkan dengan perantaraan
alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara),
penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama).beberapa
jenis seni estetika (Seni estetika adalah seni halus (fine art) yang meliputi seni lukis, pahat,
bina tari, musik, pentas, film, dan kesusasteraan. Pengertian halus di sini karena ia
mewujūdkan melalui perasaan) yaitu seni musik, seni suara, dan seni tari.
1. SENI MUSIK.
Seni musik (instrumental art) adalah bidang seni yang berhubungan dengan alat-alat
musik dan irama yang keluar dari alat musik tersebut. Bidang ini membahas cara
menggunakan instrumen musik. Masing-masing alat musik memiliki nada tertentu. Di
samping itu seni musik, misalnya musik vokal dan musik instrumentalia.
Seni musik dapat disatukan dengan seni instrumental atau seni vokal. Seni
instrumentalia adalah seni suara yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik,
sedangkan seni vokal adalah melagukan syair yang hanya dinyanyikan dengan perantaraan
oral (suara saja) tanpa iringan intrusmen musik.

2. SENI PENDENGARAN.
Seni pendengaran (auditory art) adalah bidang seni yang menggunakan suara (vokal
maupun instrumental) sebagai medium pengutaraan, baik dengan alat-alat tunggal (biola,
piano dll) maupun dengan alat majemuk seperti orkes simponi, band, juga lirik puisi berirama
atau prosa yang tidak berirama, serta perpaduan nada dan kata seperti lagu asmara, qashīdah
dan tembang (jawa). Seni inilah yang menjadi topik bahasan.

3. SENI TARI.
Seni tari adalah seni menggerakkan tubuh secara berirama dengan iringan musik.
Gerakannya dapat sekadar dinikmati sendiri, merupakan ekspresi suatu gagasan atau emosi,
dan cerita (kisah). Seni tari juga digunakan untuk mencapai ekskatase (semacam mabuk atau
tak sadar diri) bagi yang melakukannya.

2.2 Pandangan Islam Terhadap Seni


Seni menurut Islam hakikatnya sebuah refleksi dan ekspresi dari berbagai cita rasa,
gagasan dan ide sebagai media komunikasi yang bergaya estetis untuk menggugah citarasa
inderawi dan kesadaran manusiawi dalam memahami secara benar berbagai fenomena,
panorama dan aksioma yang menyangkut dimensi alam, kehidupan, manusia dan
keesaan/keagungan rabbani berdasarkan konsepsi ilahi dan nilai-nilai fitri yang tertuang dan
tersajikan dalam bentuk suara/ucapan, lukisan/tulisan, gerak dan berbagai implementasi dan
apresiasi lainnya.
Seni realitanya sebagai suatu media komunikasi, interpretasi, sekaligus kreasi. Maka
dalam menilai sebuah apresiasi seni tidak dapat dielakkan dari unsur-unsur dan dimensi-
dimensi integralnya yang menyangkut; keyakinan, ideologi, motivasi, pola pikir, kepekaan,
kepedulian, arah dan tujuan di samping aspek gaya dan estetikanya.
Oleh karenanya, tiada satu pun bentuk apresiasi dan karya seni yang bebas nilai.
Maka dalam menilai satu seni sebagai seni Islam diperlukan kriteria dan rambu-rambu
syariah yang jelas sehingga dapat mudah membedakan dan memilahkannya dari kesenian
jahiliah meskipun bernama ataupun menyebut lafal keislaman.
Masyarakat kaum Muslimīn dewasa ini umumnya menghadapi kesenian sebagai suatu
masalah hingga timbul berbagai pertanyaan, bagaimana hukum tentang bidang yang satu ini,
boleh, makrūh atau harām? Di samping itu dalam praktek kehidupan sehari-hari, sadar atau
tidak, mereka juga telah terlibat dengan masalah seni. Bahkan sekarang ini bidang tersebut
telah menjadi bagian dari gaya hidup mereka dan bukan hanya bagi yang
berdomisilli (bertempat kediaman tetap; bertempat kediaman resmi) di kota. Umat kita yang
berada di desa dan di kampung pun telah terasuki.(penetrate, possess).
Media elektronika seperti radio, radiokaset, televisi, dan video telah menyerbu pedesaan.
Media ini telah lama mempengaruhi kehidupan anak-anak mudanya. Kehidupan di kota
bahkan lebih buruk lagi. Tempat-tempat hiburan (ma‘shiat) seperti “night club”, bioskop dan
panggung pertunjukkan jumlahnya sangat banyak dan telah mewarnai kehidupan pemuda-
pemudanya.
Sering kita melihat anak-anak muda berkumpul di rumah teman-temannya. Mereka
mencari kesenangan dengan bernyanyi, menari bersama sambil berjoget tanpa mempedulikan
lagi hukum halāl-harām. Banyak di antara mereka yang berpikir bahwa hidup itu hanya untuk
bersenang-senang, jatuh cinta, pacaran, dan lain-lain.
Adapun berbagai macam pandangan para ulama’ pada seni, antara lain ;
1. Imām Asy-Syaukānī, dalam kitabnya NAIL-UL-AUTHĀR menyatakan sebagai
berikut (Lihat Imām Asy-Syaukānī, NAIL-UL-AUTHĀR, Jilid VIII, hlm. 100-103):
a. Para ‘ulamā’ berselisih pendapat tentang hukum menyanyi dan alat musik. Menurut
mazhab Jumhur adalah harām, sedangkan mazhab Ahl-ul-Madīnah, Azh-Zhāhiriyah dan
jamā‘ah Sūfiyah memperbolehkannya.
b. Abū Mansyūr Al-Baghdādī (dari mazhab Asy-Syāfi‘ī) menyatakan: “‘ABDULLĀH BIN
JA‘FAR berpendapat bahwa menyanyi dan musik itu tidak menjadi masalah. Dia sendiri
pernah menciptakan sebuah lagu untuk dinyanyikan para pelayan (budak) wanita (jawārī)
dengan alat musik seperti rebab. Ini terjadi pada masa Amīr-ul-Mu’minīn ‘Alī bin Abī Thālib
r.a.
c. Imām Al-Haramain di dalam kitābnya AN-NIHĀYAH menukil dari para ahli sejarah
bahwa ‘Abdullāh bin Az-Zubair memiliki beberapa jāriyah (wanita budak) yang biasa
memainkan alat gambus. Pada suatu hari Ibnu ‘Umar datang kepadanya dan melihat gambus
tersebut berada di sampingnya. Lalu Ibnu ‘Umar bertanya: “Apa ini wahai shahābat
Rasūlullāh? ” Setelah diamati sejenak, lalu ia berkata: “Oh ini barangkali timbangan buatan
negeri Syām,” ejeknya. Mendengar itu Ibnu Zubair berkata: “Digunakan untuk menimbang
akal manusia.”
d. Ar-Ruyānī meriwayatkan dari Al-Qaffāl bahwa mazhab Maliki membolehkan menyanyi
dengan ma‘āzif (alat-alat musik yang berdawai).
e. Abū Al-Fadl bin Thāhir mengatakan: “Tidak ada perselisihan pendapat antara ahli
Madīnah tentang, menggunakan alat gambus. Mereka berpendapat boleh saja.”
f. Ibnu An Nawawi di dalam kitabnya AL-‘UMDAH mengatakan bahwa para shahābat
Rasūlullāh yang membolehkan menyanyi dan mendengarkannya antara lain ‘Umar bin
Khattāb, ‘Utsmān bin ‘Affān, ‘Abd-ur-Rahmān bin ‘Auf, Sa‘ad bin Abī Waqqās dan lain-
lain. Sedangkan dari tābi‘īn antara lain Sa‘īd bin Musayyab, Salīm bin ‘Umar, Ibnu Hibbān,
Khārijah bin Zaid, dan lain-lain.
2. Abū Ishāk Asy-Syirāzī dalam kitābnya AL-MUHAZZAB (Lihat Abū Ishāk Asy-Syirāzī,
AL-MUHAZZAB, Jilid II, hlm. 237)berpendapat:
a. Diharāmkan menggunakan alat-alat permainan yang membangkitkan hawa nafsu seperti
alat musik gambus, tambur (lute), mi‘zah (sejenis piano), drum dan seruling.
b. Boleh memainkan rebana pada pesta perkawinan dan khitanan. Selain dua acara tersebut
tidak boleh.
c. Dibolehkan menyanyi untuk merajinkan unta yang sedang berjalan.
d. Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-MA‘ĀNĪ (Lihat Al-Alūsī dalam tafsīrnya RŪH-UL-
MA‘ĀNĪ, Jilid XXI, hlm. 67-74).
e. Al-Muhāsibi di dalam kitābnya AR-RISĀLAH berpendapat bahwa menyanyi itu harām
seperti harāmnya bangkai.
f. Ath-Thursusi menukil dari kitāb ADAB-UL-QADHA bahwa Imām Syāf‘ī berpendapat
menyannyi itu adalah permainan makrūh yang menyerupai pekerjaan bāthil (yang tidak
benar). Orang yang banyak mengerjakannya adalah orang yang tidak beres pikirannya dan ia
tidak boleh menjadi saksi.
g. Al-Manawi mengatakan dalam kitābnya: ASY-SYARH-UL-KABĪR bahwa menurut
mazhab Syāfi‘ī menyanyi adalah makrūh tanzīh yakni lebih baik ditinggalkan daripada
dikerjakan agar dirinya lebih terpelihara dan suci. Tetapi perbuatan itu boleh dikerjakan
dengan syarat ia tidak khawatir akan terlibat dalam fitnah.
h. Dari murīd-murīd Al-Baghāwī ada yang berpendapat bahwa menyanyi itu harām
dikerjakan dan didengar.
i. Ibnu Hajar menukil pendapat Imām Nawawī dan Imām Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa
harāmnya (menyanyi dan main musik) hendaklah dapat dimengerti karena hāl demikian
biasanya disertai dengan minum arak, bergaul dengan wanita, dan semua perkara lain yang
membawa kepada maksiat. Adapun nyanyian pada saat bekerja, seperti mengangkut
suatu yang berat, nyanyian orang ‘Arab untuk memberikan semangat berjalan unta
mereka, nyanyian ibu untuk mendiamkan bayinya, dan nyanyian perang, maka
menurut Imām Awzā‘ī adalah sunat.
j. Jamā‘ah Sūfiah berpendapat boleh menyanyi dengan atau tanpa iringan alat-alat musik.
Sebagian ‘ulamā’ berpendapat boleh menyanyi dan main alat musik tetapi hanya pada
perayaan-perayaan yang memang dibolehkan Islam, seperti pada pesta pernikahan, khitanan,
hari raya dan hari-hari lainnya.
k. Al-‘Izzu bin ‘Abd-us-Salām berpendapat, tarian-tarian itu bid‘ah. Tidak ada laki-laki
yang mengerjakannya selain orang yang kurang waras dan tidak pantas, kecuali bagi
wanita.Adapun nyanyian yang baik dan dapat mengingatkan orang kepada ākhirat
tidak mengapa bahkan sunat dinyanyikan.
l. Imām Balqinī berpendapat tari-tarian yang dilakukan di hadapan orang banyak tidak
harām dan tidak pula makrūh karena tarian itu hanya merupakan gerakan-gerakan dan belitan
serta geliat anggota badan. Ini telah dibolehkan Nabi s.a.w. kepada orang-orang Habsyah
di dalam masjid pada hari raya.
m. Imām Al-Mawardī berkata: “Kalau kami mengharamkan nyanyian dan bunyi-bunyian
alat-alat permainan itu maka maksud kami adalah dosa kecil bukan dosa besar.”

3. ‘ABD-UR-RAHMĀN AL-JAZARĪ di dalam kitabnya AL-FIQH ‘ALĀ AL-


MADZĀHIB-IL ARBA‘A(Lihat ‘Abd-ur-Rahmān Al-Jazarī, AL-FIQH ‘ALĀ AL-
MADZĀHIB-IL ARBA‘A, Jilid II, hlm. 42-44)mengatakan:
a. ‘Ulamā’-‘ulamā’ Syāfi‘iyah seperti yang diterangkan oleh Al-Ghazali di dalam kitab
IHYA ULUMIDDIN. Beliau berkata: “Nash nash syara’ telah menunjukkan bahwa
menyanyi, menari, memukul rebana sambil bermain dengan perisai dan senjata-senjata
perang pada hari raya adalah mubah (boleh) sebab hari seperti itu adalah hari untuk
bergembira. Oleh karena itu hari bergembira dikiaskan untuk hari-hari lain, seperti khitanan
dan semua hari kegembiraan yang memang dibolehkan syara’.
b. Al-Ghazali mengutip perkataan Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa sepanjang
pengetahuannya tidak ada seorangpun dari para ulama Hijaz yang benci mendengarkan
nyanyian, suara alat-alat musik, kecuali bila di dalamnya mengandung hal-hal yang tidak
baik. Maksud ucapan tersebut adalah bahwa macam-macam nyanyian tersebut tidak lain
nyanyian yang bercampur dengan hal-hal yang telah dilarang oleh syara’.
c. Para ulama Hanfiyah mengatakan bahwa nyanyian yang diharamkan itu adalah nyanyian
yang mengandung kata-kata yang tidak baik (tidak sopan), seperti menyebutkan sifat-sifat
jejaka (lelaki bujang dan perempuan dara), atau sifat-sifat wanita yang masih
hidup(“menjurus” point, lead in certain direction, etc.). Adapun nyanyian yang memuji
keindahan bunga, air terjun, gunung, dan pemandangan alam lainya maka tidak ada larangan
sama sekali. Memang ada orang orang yang menukilkan pendapat dari Imam Abu Hanifah
yang mengatakan bahwa ia benci terhadap nyanyian dan tidak suka mendengarkannya.
Baginya orang-orang yang mendengarkan nyanyian dianggapnya telah melakukan perbuatan
dosa. Di sini harus dipahami bahwa nyanyian yang dimaksud Imam Hanafi adalah nyanyian
yang bercampur dengan hal-hal yang dilarang syara’.
d. Para ulama Malikiyah mengatakan bahwa alat-alat permainan yang digunakan untuk
memeriahkan pesta pernikahan hukumnya boleh. Alat musik khusus untuk momen seperti itu
misalnya gendang, rebana yang tidak memakai genta, seruling dan terompet.
e. Para ulama Hanbaliyah mengatakan bahwa tidak boleh menggunakan alat-alat musik,
seperti gambus, seruling, gendang, rebana, dan yang serupa dengannya. Adapun tentang
nyanyian atau lagu, maka hukumnya boleh. Bahkan sunat melagukannya ketika membacakan
ayat-ayat Al-Quran asal tidak sampai mengubah aturan-aturan bacaannya.

2.3 Prinsip-Prinsip Kebudayaan Islam


Sendi perumusan prinsip-prinsip kebudayaan islam antara lain :
1. Sumber segala sesuatu adalah Allah karena dari-Nya berasal semua ciptaan.
2. Diembankan amanah khalifah kepada manusia.
3. Manusia diberi potensi yang lebih dibanding makhluk lainnya.
4. Ditundukkan ciptaan Allah yang lain kepada manusia, baik tanah, air, angin, tumbuhan
dan hewan.
5. Dinyatakan bahwa semua fasilitas dan amanah tersebut akan diminta
pertanggungjawabannya kelak.
Dengan berbagai kelebihan dan fasilitas yang diberikan oleh Allah kepada manusia,
beserta tanggung jawab atas semua itu, manusia melahirkan berbagai ide dan muncul
keinginan untuk selalu berbuat dan berkarya. Dan pada puncaknya, manusia akan
menghasilkan apa yang disebut dengan kebudayaan. Prinsip-prinsip yang diperlukan untuk
menghasilkan kebudayaan yang Islami antara lain :
1. Dibangun atas dasar nilai-nilai Illahiyah.
2. Munculnya sebagai pengembangan dan pemenuhan kebutuhan manusia.
3. Sasaran kebudayaan adalah kebahagiaan manusia, keseimbangan alam dan penghuninya.
4. Pengembangan ide, perbuatan dan karya, dituntut sesuai kemampuan maksimal manusia.
5. Keseimbangan individu, sosial dan anatara makhluk lain dengan alam merupakan cita
tertinggi dari kebudayaan.
Prinsip kebudayaan dalam Islam adalah suatu di antara dua alternatif. Sepanjang
sejarah umat manusia, kebudayaan hanya mempunyai dua model yaitu “membangun” atau
“merusak”. Kedua model itu hidup dan berkembang dan saling bergantian (Al-Anbiya : 104).
Selain itu prinsip kebudayaan dalam pandangan Islam adalah adanya ruh (jiwa) di dalamnya
dan ruh itu tidak lain adalah wahyu Allah (Al-Qur’an menurut Sunnah Rasul-Nya), seperti
yang telah di nyatakan oleh surat Asy-Syuraa : 52-53. Jika ruh kebudayaan adalah wahyu
Allah, maka kebudayaan bergerak ke arah kemajuan atau membangun. Dan sebaliknya jika
ruh kebudayaan bukan berasal dari wahyu Allah maka arah kebudayaan ialah akan merusak.

2.4 Pengaruh Dan Nilai Seni Dan Budaya Terhadap Islam


Diantara kaedah - kaedah (rambu-rambu) yang menjadi kriteria seni dalam islam
tersebut, menurut Yusuf al-Qaradhawi, adalah :
Harus mengandung pesan-pesan kebijakan dan ajaran kebaikan diantara sentuhan
estetikanya agar terhindar laghwun (perilaku absurdisme, hampa, sia-sia),
Menjaga dan menghormati nilai -nilai susila islam dalam pertunjukannya,
Tetap menjaga aurat dan menghindari erotisme dan keseronokan,
Menghindari semua syair, teknik, metode, sarana dan instrumen yang diharamkan syari'at
terutama yang meniru gaya khas ritual religius agama lain (tasyabbuh bil kuffar) dan yang
menjurus kemusyrikan,
Menjauhi kata-kata, gerakan, gambaran yang tidak mendidik atau meracuni fitrah,
Menjaga disiplin dan prinsip hijab,
Menghindari perilaku takhnnus (kebancian),
Menghindari fitnah dan prkatek kemaksiatan dalam penyajian dan pertunjukannya,
Dilakukan dan dinikamti sebatas keperluan dan menghindari berlebihan (israf dan tabdzir)
sehingga melalaikan kewajiban kepada Allah.
Menurut islam seni bukan sekedar untuk seni yang absurb dan hampa nilai (laghwun).
Keindahan bukan berhenti pada keindahan dan kepuasan estetis, sebab semua aktifitas hidup
tidak terlepas dari lingkup ibadah yang universal. Seni islam harus memiliki semua unsur
pembentuknya yang penting yaitu ; jiwany, prinsipnya, metode, cara penyampaiannya, tujuan
dan sasaran. Motovasi seni islam adalah spirit ibadah kepada Allah swt, bukan mencari
popularitas ataupun materi duniawi semata. Seni islam harus memiliki risalah dakwah
melalui sajian seninya yaitu melalui tiga pesan :
a. Ketauhidan : dengan menguak dan mengungkap kekuasaan, keagungan dan
transendensi (kemahaannya) dalam segala-galanya, ekspresi dan penghayatan keindahan
alam, ketakberdayaan manusia dan ketergantungannya terhadap Allah, prinsip-prinsip
uluhiyah dan 'ubudiyah.
b. Kemanusiaan dan penyelamatan HAM serta memelihara lingkungan : seperti
mengutuk kedzaliman/penindasan, penjajahan, perampasan hak, penyalahgunaan wewenang
dan kekuasaan, memberantas kriminalitas, kejahatan, kebodohan, kemiskinan, perusakan
lingkungan hidup, menganjurkan keadilan, kasih sayang, kepedulian sosial-alam dsb.
c. Akhlak dan Kepribadian Islam : seperti pengabdian, kesetiaan, kepahlawanan
atau kesatriaan, solidaritas, kedermawanan, kerendahan hati, keramahan, kebijaksanaan,
perjuang atau kesungguhan, keikhlasan, dst. Juga penjelasan nilai-nilai keislaman dalam
berbagai segi menyangkut keluarga dan kemasyarakatan, pendidikan, ekonomi, dan politik.
Puncak dari manifestasi seni islam adalah al-Quran. Maka dari itu ukuran jiwa seni
bagi setiap muslim itu adalah seberapa besar kesadaran dan penghayatan nilai-nilai al-Quran
tersebut menumbuhkan kesadaran terhadap ayat-ayat Tuhan lainnya, yakni jagad raya ini
(ayat kauniyah). Artinya, estetika dan harmoni seni islam tidak saja diwarnai oleh nilai-nilai
al-Quran, lebih jauh seni islam terhampar pada gelaran jagad raya yang tiada cacatnya.
Semuanya Allah ciptakan dengan kecermatan yang sempurna, tidak ada segi dan unsurnya
yang sia-sia atau kerancuan (bathilah), semua serba melengkapi dan mendukung membentuk
kesatuan fitrah panorama yang indah (Q.s. Ali 'Imran/3:190-191).

Islam masuk ke indonesia lengkap dengan budayanya. Oleh karena islam besar dari
negeri arab, maka islam yang masuk ke Indonesia, dirasakan sangat sulit membedakan mana
ajaran islam dan mana budaya Arab. Masyarakat awam menyamakan antara perilaku yang
ditampilkan orang arab dengan perilaku ajaran islam. Seolah-olah apa yang dilakukan orang
arab masih melekat pada tradisi masyarakat Indonesia.
Dalam perkembangan dakwah islam di Indonesia, pada da'i mendakwahkan ajaran
islam melalui bahasa budaya, sebagaimana dilakukan para wali di tanah jawa. Kehebatan
para wali adalah kemampuannya dalam mengemas ajaran islam dengan bahasa budaya
setempat, sehingga masyarakat tidak sadar bahwa nilai-nilai islam telah masuk dan menjadi
tradisi dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Lebih jauh lagi nilai-nilai islam sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari kebudayaan mereka. Seperti dalam upacara-upacara adat dan dalam penggunaan bahasa
sehari-hari. Bahasa arab sudah banyak masuk ke dalam bahasa daerah, bahkan ke dalam
bahasa Indonesia yang baku. Hal itu tanpa disadari apa yang dilakukannya merupakan bagian
dari ajaran islam.
Istilah-istilah arab masuk dalam budaya Jawa, misalnya dalam wayang, aktor janoko
tidak lain adalah bahasa arab jannaka. Empat sekawan semar, gareng, petruk, dan bagong
merupakan produk personifikasi dari ucapan Ali bin Abi Thalib "itsmar kalimosodo fatruk
ma bagha" (berbuatlah kebaikan, tinggalkan perbuatan sia-sia). Sedang kalimosodo, tidak
lain adalah kalimah syahadat. Istilah Majelis Permusyawaratan Rakyat atau DPR, semuanya
berbahasa arab. Masih banyak lagi istilah-istilah bahasa arab lainnya, yang diadopsi menjadi
bahasa Indonesia.
Dengan demikian, dinamika kreativitas seni budaya islam seharusnya tidak boleh
berhenti atau mandeg, karena bertentangan dengan spirit seni islam yang tidak pernah diam
(digambarkan oleh ayat dalam posisi berdiri, duduk, ataupun berbaring). Apalagi spirit seni
budaya islam itu telah diwariskan oleh para pendahulu (al-sabiqun) dari kalangan ulama
maupun ilmuan lewat karya-karya seninya yang mengagumkan.
2.5 Pengertian Seni Secara Umum

Secara umum kata atau term seni berarti ‘halus’(dalam rabaan) ‘kecil dan halus’, tipis dan halus’,
‘lembut dan enak (didengar), ‘mungil dan elok’(tubuh), ‘sifat halus’. Secara etimologis seni dapat
didefinisikan sebagai kesanggupan akal untuk menciptakan sesuatu yang bermutu tinggi (Kamus,
1990 : 816). Ukuran tinggi itu jika orang lain bisa mengatakan indah, kagum, atau luar biasa terhadap
ciptaan tersebut.
Kata seni sering dirangkai dengan kata lain umpama budaya sehingga menjadi ‘seni budaya, ‘gelar
seni budaya’. Pengertian ini sebenarnya rancu karena seni itu sebenarnya merupakan satu unsur dari
budaya. Dalam kajian budaya, unsurnya yang mesti ada mencakup tujuh hal, yaitu: sosial, politik,
bahasa, agama, ekonomi, seni, dan eistetika. Seni budaya sebenarnya hanya seni itu sendiri atau
bagian dari seni, dan biasanya secaara praktis terbatas pada seni tari, seni suara, seni panggung, atau
gabungan dari ketiga seni itu seperti kalau kita mendengar sebuah pernyataan “Saputra dan kawan-
kawannya menjadi duta seni budaya Indonesia ke berbagai manca negara”. Apa yang mereka lakukan
di luar negeri atas nama bangsa Indonesia hanya menggelar seni dalam panggung di hadapan
pemirsa

2.6 Problematika Seni Dalam Islam

Mengkaji Seni Islam selalu tertumbuk pada jalan buntu ketika hendak memasuki wilayah kajian seni
Islam. Di kalangan Islam terdapat pro dan kontra.

Hingga kini belumn ada lembaga apapun juga yang secara formal dan sistematis melakukan kajian
seni secara komrehensif, filosofis (eistetika atau filsafat seni Islam, yang merumuskan batasan nilai
keindahan sesuai dengan ajaran Islam), teoritik (sejarah, struktur, dan klasifikasi: apakah ada seni
Islam ataukah hanya ada seni muslim), praktik (kajian tentang teknik-teknik perbidang), dan apresiatif
(kritik seni yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan perkembangan
masyarakat muslim) yang mengatasnamakan lembaga seni Islam. Inti pendirian kelompok ini
menyatakan bahwa Seni Islam itu tidak ada, dan yang ada adalah orang Islam bersseni.

Sebagian umat Islam atau bisa disebut seniman muslim bersemangat menunjukkan berbagai dalil
‘aqliyah’ (rasional) bahwa Alquran sendiri mengandung nilai seni yang amat tinggi dan demonstratif
bahwa musabaqah tilawatil qur’an digelar di mana-mana, demikian juga seni kaligrafi Islam-Arab,
maupun naqliyah (teks yang bersumber dari Alquran maupun as-Sunnah; Alfaruqi, 1999: v-vi)
menjelaskan tentang keindahan sebagai buah karya seni. Inti pendirian kelompok ini adalah seni
merupakan salah satu dari kandungan atau jangkauan Islam. Dalam bab ini tentu dinyatakan bahwa
seni Islam itu ada.

2.7 Aliran Filsafat Seni

Sekurang-kurangnya terdapat dua aliran besar dalam seni, yaitu seni untuk seni (the art for the
art) dan seni untuk sesuatu (the art for the others).

1. Seni untuk Seni

Pada awal abad 19 ditengarai munculnya gerakan seni untuk seni (the art for the art) . Di
Perancis gerakan ini didukung oleh Flaubert, Gauthier, dan Baudelaire. Di rusia oleh Pushkein. Di
Inggris oleh Walter Patter Oscar Wilde. Di Amerika oleh sastrawan Allan Poe. Aliran ini berakar dari
Romantisime Romawi yang dapat ditemukan akar-akarnya pada Friedrich Schlegel dan Henrich
Heine (Syarif, 1984 : 114).

Mereka meyakini slogan “Seni Untuk Seni”. Dengan slogan ini dimaksudkan bahwa keindahan
sebagai produk seni, adalah kualitas seni yang khusus. Ia adalah nilai dasar yang absolut, menyeluruh
dan tertinggi. Nilai-nilai lain seperti kebenaran dan kebaikan berada di bawahnya atau malah sama
sekali tidak relefan. Di dalam panggung kehidupan, seni memiliki daerahnya sendiri, mempunyai
tujuannya sendiri, tidak mempunyai misi yang harus dipenuhi kecuali membangkitkan jiwa sang
kontemprator untuk menciptakan sensasi-sensasi keindahan tertinggi. Moralitas, instruksi, uang, dan
populalaritas tidak boleh menjadi tujuan seni, tetapi malah merendahkan nilai artistik sesuatu seni
(Syarif, l984 : 115). Buat mereka, seni adalah otonom tidak bergantung pada yang di luar seni.

Gauthier, utamanya, ia mengatakan bahwa seni bukan suatu cara, tetapi tujuan. Seorang seniman yang
mengejar tujuan lain di luar keindahan adalah bukan seniman (Syarif, l984 : 115). Sementara itu,
Orcar Wilde memisahkan secara penuh antara lingkungan etika dan seni( Syarif, l984 : 1). Sebuah
patung naturalis telanjang bulat yang dipasang di pusat keramaian, jia ini dipandang indah, tentu
dilakukan dengan tanpa mermpertimbankan nilai etis. Jika peristiwa ini benar-benar ada, pasti
menjadi heboh. Tokoh agama dan kaum moralis lainnya pasti memprotesnya, karena dipandang
bertentangan dengan nilai moral. Beberapa tahun yang lalu, kasus pembuatan gambar-gambar bugil
Dewi Sukarno Putri pada suatu majalah menjadi heboh. Tabloid yang pernah muncul penaka
kecambah, beberapa diantaranya mengintrodusir gambar-gambar bugil atau hampir bugil atau secara
umum seronok pada halaman sampulnya mendapat reaksi keras dari tokoh maupun lembaga-lembaga
penjunjung tinggi moralitas. Goyang ngebor Inul Daratista, goyang patah-patah Anisa bahar, Goyang
gergaji dari Dewi perssik dalam seni panggung menjadi heboh dan mendapat protes keras dari
pendukung kaum moralis yang anti pornografi dan pornoaks atau sekurang-kurang erotisme. Karya
‘Taman Eden” yang menampilkan pose bugil Anjasmoro dan kawan-kawannya tidak luput dari
hujatan keras dari kaum pendukung seni untuk sesuatu di luar seni. Mulai Maret 2008 Pemerintah
Republik tercinta ini (Indonesia), demi menjaga supaya generasi mudatidak rusak parah moralitasnya
menutup situs pornografi maupun pornoaksi dalam dunia internet, adalah sikap dan gerak nyata anti
seboyan “seni untuk seni”

Seni untuk seni yang produksi seninya dinilai seronok oleh masyarakat tidak akan menjadi masalah
manakala semua orang mendukung paham itu. Mungkinkah ini bisa terjadi ? rasanya tidak mungkin
atau malah pasti tidak mungkin. Manusia tidak bisa diseragamkan dalam paham seni. Justru
kebanyakan manusia tidak sadar akan dunia seni atau malah tidak menyadarkan diri akan dunia seni.
Bagi mereka, sebagian berpendirian bahwa yang penting tuntutan ekonomi dasar (pangan, sandang,
papan). Seni bagi kebanyakan orang adalah komoditas mewah. Orang-orang semacam ini biasanya
dalam penghayatan agama juga terbatas pada aturan-aturan pokok kehidupan agama seperti
pelaksanaan ritus dalam Islam. Agama, dalam kasus Islam dilihat melalui tolok ukur wajib-haram,
sunnah-makruh, dosa-memperoleh pahala, ketika melihat patung naturalis bugil di pusat keramaian,
tidak dipandang sebagai karya seni yang indah, melainkan dihukumi haram, dosa, dan
membinatangkan manusia.

Jadi, sebenarnya doktrin seni untuk seni bukanlah sesuatu yang ideal, justru ditentukan oleh
persoalan-persoalan eksternal non seni, seperti etika jika harus dihadapkan dengan etika sebagai
lawan seni. Seni menjadi sesuatu yang menentang kodrat Ilahi. Tujuan utama keutusan para Nabi dan
Rasul sepanjang sejarah manusia justru mengenai etika. Nabi dan Rasul terakhir Islam adalah
Muhammad saw (570:622) mengaku bahwa tugas pokoknya sebagaimana ia katakan adalah sebagai
berikut: . . . ‫ ( )انس بن مالك عن الليس رواه( االخالق حسن إلتمم بعثت‬Aku diutus hanyalah utuk
menyempurnakan kebaikan akhlak. H.R. al-Laisi dari Malik bin Anas). Seni menjadi bagian integral
dalam risalah kenabian Muhammadsaw.

Suatu hal lain menjadi kelemahan doktrin seni untuk seni adalah menyaksikan alam semesta, yang
menurut pandangan iman adalah refleksi karya Agung Sang Maha Pencipta, dipandang sebagai
sesuatu yang statis dan tidak bermakna karena lepas dari sensasi-sensai keindahan dari sang seniman.
Flaubert si pendukung mazhab ini amat membenci kenyataan. Keindahan pegunungan Alpen tidak
menimbulkan daya tarik baginya. Baudelaire menatap alam dalam penampakan keaslinya, ia pandang
sebagai sesuatu yang monoton dan menjemukan. Menurutnya, seni harus berhubungan nilai absolut
dan tertingi yaitu dipakai untuk menggantikan filsafat dan agama (Syarif, l984 : 116). Kalau sudah
sampai tahap begini, seniman tidak bisa menjadi filosof dan agamawan, demikian sebaliknya. Tidak
pula ia menjadi seniman yang berdoktrin “Seni untuk seni” secara setengah-setengah dan menjadi
agamawan atau filosof setengah-setengah. Menjadi agamawan setengah-setengah adalah fasiq yang
secara praktis adalah rusak. Bahkan, arti fasiq semula adalah sesuatu yang keluar dari kulitnya atau
keluar dari perlindungan. Fasiq dalam arti agama berarti keluar dari ketaatannya pada Aallah (Anis,II
: 687). Kalau agama seniman yang menjunjung tinggi doktrin “seni untuk seni” dan ia amat kuat
dukungannya, sementara ia adalah seorang agamawan, boleh jadi ia kurang kesadarannya terhadap
agamanya. Dalam kasus Islam, agama ini menuntut kepada pemeluknya supaya masuk ke dalam
Islam secara total dan menyheluruh. Demikian seruan Alquran:

‫مبين عدو لكم إنه الشيطان خطوات تتبعوا وال كافة السلم فى ادخلوا أمنوا ياليهاالذين‬

(Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu
turuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu. Q.S. al-Baqarah/2
: 228)

Dalam ayat ini, dapat dipahami bahwa ketika seseorang memeluk agama Islam secara tidak totalitas,
sisanya adalah pengikut langkah syetan. Dengan demikian seniman yang menjunjung tinggi doktrin
“seni untuk seni” hingga tahap menepikan filsafat dan agama menurut pandangan Islam seni itu
adalah seni syetan. Karen itu sebagai seorang agamawan – masih dalam taraf awam, dan belum
mencapai tingkatan ulama – saya menghimbau kalau di tanah air ini ada seniman yang bermazhab
secara berat “seni untuk seni” dan mereka ini memeluk agama, khususnya Islam, hendaklah anda
bertaubat dan pindah kepada paham seni yang fungsionalis-religius.

Seandainya harus dicari manfaatnya dari doktrin seni untuk seni sebenarnya masih ada, tetapi amat
terbatas dan sifatnya terapiutik yang dalam hasanah Froedian termasuk orang-orang gila yang asyik
dengan dunianya sendiri dan tidak hirau dengan dunia sekelingnya. Segi positif yang lain adalah karya
ciptaannya selalu fres, orisinal, dan kreatif karena anti naturalisme. .

2. Seni Untuk Sesuatu (Seni Fungsionalsme)

Islam sebagai salah satu agama besar dunia dan yang paling belakangan menyatakan bahwa Alquran
diturunkan untuk menjelaskan segala sesuatu. Dalam hal ini Allah berfirman: ‫لكل تبيانا الكتاب عليك ونزلنا‬
‫( شيئ‬Dan Kami turunkan kepadamu sebuah Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu, Q.S. 16 : 138).
Sudah barang tentu bukan dalam arti penjelasan teknis dan detail yang diberikan oleh Alquran,
melainkan hanya prinsip-prinsip dasarnya. Keluasan jangkauan Islam ini diakui juga oleh Orientalis
seperti H.A.R. Gibb dengan pernyataannya: “Islam is much more than system of theology. It is a
complite civilization”. Noor Cholish Madjid menyatakan Islam sebagai agama doktrin dan peradaban.
Point yang diperoleh dari premis ini adalah Islam mengandung soal seni. Kandungan ini amat kecil
barangkali sehingga amat samar dan akibatnya sulit memotret secara jelas apa itu seni Islam,
bagaimana umat Islam mengapresiasi kesenian yang semuanya menjadi wacana yang hangat yang
secara keseluruhan atau sekurang-kurangnya secara mayor mencurigai seni.

Bolehlah dikatakan bahwa Islam ‘ya’ terhadap seni, tetapi seperti apa ? Jawaban pertanyaan ini dapat
dijelaskan dalam dua level, operasional dan konsepsional tentang seni.

a. Devinisi
Inti ajaran Islam dalam rumusan verbal dan perbandingan antar agama-agama adalah tauhid. Essensi
tauhid adalah meng-Esa-kan Tuhan, bukan hanya dalam level keyakinan, melainkan total kehidupan.
Karena itu, fenomena apa pun yang berlabel Islam pasti dan harus berasal, beroperasional, dan
bermuara pada tauhid. Islam yang sumber ajaran pokoknya Alquran dan as-Sunnah, dan
kandungannya menyediakan pembentukan kebudayaan lengkap. Semuanya terbawahkan oleh posisi
tauhid. Tauhid berada di puncak piramida sesuatu yang disebut Islam. Atas dasar alur pikir ini
mendevinisikan seni Islam kiranya dapat dipahami.

Seni Islam dapat didevinisikan sebagai segala produk historis yang memiliki nilai eistetis yang telah
dihasilkan oleh orang-orang Islam dan dalam kurun sejarah Islam, berdasarkan pandangan eistetika
tauhid dan selaras dengan semangat keseluruhan peradaban Islam, dengan enam ciri yang diambilkan
dari ideal Alquran: abstraksi, struktur modular, kombinasi suksesif, repetisi, dinamis, dan rumit
(Alfaruqi, l999 : vii-viii). Pertama-tama yang harus disadari dalam devinisi ini adalah sifatnya yang
aplikatif dalam arti mengabstraksi prestasi seni yang telah dicapai, meskipun dapat juga dikenakan
sebagai kerangka paradigmatik. Penjelasan keenam ciri tersebut adalah sebagai berikut:

1). Abstraksi

Yang dimaksuds ciri abstraksi dalam seni Islam adalah pengingkaran naturalisme dan pencegahan
menghadirkan fenomena natural dalam karya seni, khususnya adala seni patung. Kalau pun harus
akan mencipta karya-karya figuratif alami harus diupayakan denaturalisasi (Alfaruki, 1999 : 8).
Demikian inilah diagnosa pengamat seni Islam. Iqbal yang filosof dan seniman (Syarif, 1973 : 99)
menyarankan bahwa seni yang benar adalah seni yang bebas dari belenggu alam (Darb-I Kalim : 115).
Seni yang meniru alam dianggap pengemis di depan pintu alam. Dalam idea Insan Kamil, Iqbal
menggubah syair yang potongannya sebagai berikut:

Thou dist Create night and I made the lamp

Thou dist Create cly and I made the cup

Thou dist Create desert, mountains, and forrests

I produce the orchards, gardens, and grocests

It is I who turneth stone intoa mirror

And it is I who turneth possion into an antitode

(Audah, 1981: xvi, Danusiri, 1996 : 139, mengutip dari Iqbal)

Dalam bait tersebut nampak jelas bahwa hasil karya yang dikehendaki adalah sama sekali baru dan
orisinal, tidak dublikatif, tidak pula meniru dari yang sudah ada.

Secara kebetulan banyak teks hadis Nabi Muhammad yang mencela seniman yang berkarya secara
naturalis mu;lai tingkat rendah hingga amat berat, padahal sabda-sabda tersebut diyakini
kebenarannya secara mutlak oleh umat Islam karena memang itu juga wahyu. Diantara teks-teks yang
dimaksud adalah:

(1) Allah melaknat seniman naturalisme: ‘La’ana . . . almus}awwir (Allah melaknat . . .


pematung/naturalis – H.R. al-Bukhari dari Ibnu Juh}aifah).
(2) Malaikat menjauh dari rumah yang di dalamnya ada patung naturalis. Demikian sabda Rasulullah:

)‫ إن الملئكت ال تدخل بيتا فيه صورة (رواه البخارى عن ابن عباس‬:‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬

Artinya:

Sesungguhnya malaikat tidak akan masuk pada rumah yang di dalamnya ada patung naturalis; H.R.
al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas). Hadis ini tercatat hingga 49 kali.

(3) pembuat patung naturalis akan disiksa

‫وإن من صنع الصورة يعذب يوم القيامة‬

(dan sesungguhnya orang yang membuat patung (naturalis) akan disiksa besok pada hari kiyamat;
H.R. al-Bukhari dan Muslim)

(4) Siksaan, pada nomor tiga di atas amat pedih:

.‫إن من اشد الناس عذابا يوم القيامة الذين يشهون او قيل يضاهون بخلق هللا‬

(Sesungguhnya diantara yang amat berat siksaannya adalah orang yang memahat menyerupai atau
menyamai ciptaan Allah; H.R. al-Bukhari dan Muslim).

(5) Pematung naturalis memang menjadi penghuni neraka:

.‫إن من اشد اهل النار يوم القيامة عذابا المصورون‬

(Sesungguhnya sebagian penduduk neraka besok pada hari kiyamat untuk mendapat siksa yang amat
berat adalah para seniman naturalis; H.R. Muslim).

(6). Pematung naturalis dituntut untuk memberi nyawa atau menghidupkan hasil karyanya:

‫(رواه‬.‫من صور صورة فى الدنيا كلف ان ينفخ فيها الروح يوم القيامة وليس بنافخ(رواه مسلم عن ابن عباس) او يقول احيوا‬
.)‫البخارى‬

(Barang siapa membuat patung naturalis di dunia, ia dituntut untuk meniupkan roh di dalamnya besok
pada hari kiyamat, padahal ia tidak bisa meniupnya, H.R. Muslim dari Ibnu ‘Abbas; atau beliau
bersabda: “Hidupkanlah!” H.R. al-Bukhari).

Dalam memahami ancaman tersebut hendaklah mempetimbangkan dua keadaan: pertama, Nabi amat
sensitif terhadap patung. Islam, ketika pertama kali menguasai kota Makkah (fath} al-Makkah) benar-
benar tegas dalam melakukan pemberantasan terhadap patung (al-asna>m). Di sekeliling ka’bah tidak
kurang dari 360 buah, belum lagi di tempat-tempat lain. Patung-patung ini menjadi sarana atau objek
penyembahan dan poengorbanan kepada para dewa (ilah). Sementara Islam memperkenalkan tauhid.
Jadi, penghancuran ini dilakukan supaya orang tidak musyrik. Jika karya patung naturalis tidak dalam
konteks sebagai sarana penyembahan, pengorbanan, atau sebagai ruitus-ritus keagamaan, tentunya
lain ceritanya. Penjelasan demikian: Seandainya berkarya seni patung naturalisme harus ditetapkan
putusan hukumnya, haram itulah penetapannya karena (1) Allah dan Rasulullah melaknat, (2) Allah
dan Rasulullah memberi ancaman siksaan besok di hari akhir, (3) Rasulullah sama sekali tidak pernah
melakukannya. Sesuatu diharamkan itu karena mengandung mad}arat bagi pelaku yang diputusi
haram. Jika tidak pernah melakukannya justru memperoleh manfaat, sekalipun bersifat janji-janji
eskatologis. Tetapi, di dalam proses penetapan hukum dalam Islam itu berlaku kaidah bahwa,
“Hukum itu tergantung pada ‘illat ; sebab, konteks, alasannya: ‫( بالعلة تناط االحكام إن‬Zahra, 1958 :
224,250). Jika patung naturalis dibuat tidak dalam konteks sarana atau dalam penyembahan dan
pengorbanan, atau secara umum ritus-ritus sakral, alasan menetapkan hukum haram pada patung
naturalis tidak cukup. Kedua, alam dengan segala isinya – natural – adalah ciptaaan dan hak paten
Allah swt. Wajar jika orisinalitas ciptaannya ditiru orang yang itu adalah juga makhluk-Nya. Dalam
dunia manusia saja, karya yang telah ada hak patennya, tidak boleh dijiplak atau dibajak, kecuali telah
mendapat ijin pengarang atau pembuat aslinya. Ini sebenarnya mengandung ajaran supaya seorang
seniman senantiasa berkarya kreatif dan orisinal.

Meskipun deminian, masih ada peluang bagi orang Islam untuk membuat karya patung bukan yang
bernyawa. Dalam hal ini Rasulullah bersabda:

Beliau bersabda: jika kamu terpaksa harus membuat patung ( ‫قال إن كانت البد فاعال فاصنع الشجر وماال نفس له‬
.)naturalis, maka buatlah pohon atau sesuatu lain yang tidak bernyawa; H.R. Muslim dari Ibnu ‘Abbas

2). Struktur modular

Karya seni Islam tersusun atas berbagai bagian atau modul yang dikombinasikan untuk membangun
rancangan atau kesatuan yang lebih besar. Masing-masing modul ini adalah sebuah entitas yang
memiliki keutuhan dan kesempurnaan diri, yang memungkinkan mereka untuk diamati sebagai
sebuah unit ekspresif dan mandiri dalam dirinya sendiri maupun sebagai bagian penting dari
kompleksitas yang lebih besar.

Ciri ini bisa dipadatkan dalam term ekspresionisme. Hanya saja, kadang-kadang seorang seniman
tidak bisa mengontrol karya seninya secara utuh. Kalimuddin menulis demikian:

An artist may not know anything about the nature of art. The process of cration is often
incomprehensible to the artist. He created, and be creates in a particular manner, but very often he
can not explain why he work in a certain way and not other. He knows he is right; he feels it in his
hones that a thing should be just so that the least alternation would spoil it, but for the life of him he
can not give any clear and convincing reasons wich would be obvious to critic (Kalim, 1973 : 249).

Dalam kasus seperti ini sang seniman hanya menyadari bahwa tindakannya benar dan hasil karyanya
indah. Secara etis memang tidak ada masalah dengan hukum, artinya tidak haram sepanjang ciri-ciri
naturalisme tidak ada.

3). Kombinasi Suksesif

Pola-pola infinit seni Islam menunjukkan adanya kombinasi berkelanjutan (suksesif) dari modular
dasar penyusunannya. Elemen-elemen tersebut disusun untuk membangun sebuah desain lebih besar,
utuh, dan independen. Kombinasi tersebut dapat diulang, divariasi, dan digabung dengn entitas lain
yang lebih besar dan lebih kompleks untuk membentuk kombinasi yang lebih kompleks lagi. Dengan
demikian dalam pola infinit tidak hanya ada satu fokus perhatian eistetis, melainkan terdapat
sejumlah ‘penglihatan’ yang harus dialami ketika mengamati modul, entitas, atau motif-motif yang
lebih kecil. Tidak ada desain yang hanya memiliki satu titik tolak eistetik, atau perkembangan
progesif yang mengarah kepada poinvokal yang kulminatif atau konklusif. Desain Islam selalu
memiliki titik pusat yang tak terhitung jumlahnya, dan sebuah gaya persepsi internal yang
menghilangkan adanya permualaan maupun akhir yang konklusif (Alfaruqi, l999 : 9).

4). Repetisi
Ciri ke empat yang diperlukan dalam rangka menciptakan infinitas dalam sebuah objek seni adalah
pengulangan dalam intesitas yang cukup tinggi. Kombinasi aditif (pertambahan) dalam seni Islam
melakukan berbagai pengulangan motif, modul, struktural maupun kombinasi suksesif mereka yang
nampak terus berlanjut. Kesan abstrak diperkuat dengan pengekangan individuasi bagi bagian-bagian
penyusunannya. Ia juga mencegah modul manapun dalam desain tersebut untuk lebih menonjol
dibanding yang lain.

5). Dinamisme

Seni Islam amat dinamis atas dasar ruang dan waktu. Kombinasi antara keduanya, satu dengan yang
lain lebih mendominasi bisa saja terjadi sepanjang menghasilkan eistetita di bawah siraman Islam

6). Rumit

Detail yang rumit merupakan ciri ke enam sebuah karya seni Islam. Kerumitan memperkuat
kemampuan suatu pola Arabeks untuk menarik perhatian pengamat dan mendorong konsentrasi
kepada entitas struktural yang diprersentasikannya. Sebuah garis atau figur, selembut apa pun diolah,
tidak akan pernah menjadi satu-satunya ikon dalam rancangan seni Islam. Hanya dengan multiplikasi
elemen-elemen internal serta peningkatan kerumitan penataan dan kombinasi, akan dapat dihasilkan
dinamisme dan momentum pola infinit.

Ke enam ciri tersebut harus selalu ada dalam sebuah karya seni Islam, sifatnya situasional tergantung
macam apa sebuah karya seni hendak dicipta. Dan, ciri-ciri tersebut secara umum kiranya, dalam
tampilan praktis, bukan monopoli seni Islam. Ke enam ciri ini akan lebih menjadi ciri-ciri yang benar-
benar hakiki jika indahnya sebuah karya seni muncul dari pandangan tauhid atau keindahan yang
dapat membawa kesadaran transendensi ilahiah (Alfaruqi, l999 : vii).

b. Konsepsional Seni

1). Tuhan sebagai Pencipta

Alquran menjelaskan Allah itu adalah wujud yang Transenden, tak ada pandangan dapat melihatnya,
dan di atas segala perbandingan. Dalam hal ini Allah berfirman:

‫ال يدركه االبصار وهو يدرك االبصار وهو اللطيف الخبير‬

(Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia adapat melihat segala yang kelihatan; Dan
Daialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui – Q.S. al-An’am/6: 103).

Tidak ada sesuatu apapun seperti Dia. Dia berfirman:

‫ليس كمثله شيئ وهو السميع البصير‬

(Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia; dan Dialah Yang Mah Mendengar lagi Maha
Melihat, Q.S. asy-Syu’ara’/42 : 11).

Ia berada di luar jangkauan penjelasan apa pun dan tidfak mungkin dipresentasikan melalui gambaran
(image) antropomorfis, zoomorfis, maupun simbul figural alam (Alfaruqi, 1999: 3). Ajaran yang
terkandung di balik kualitas-kualitas Tuhan seperti dalam dunia seni adalah pelarangan mengubah
karya seni itu dalam berbagai aliran: abstraksionisme, ekspresionisme, maupun naturalisme tentang
Tuhan. Tetapi kualitas Dia adalah pencipta segala sesuatu:

Dia yang menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala ( ‫هللا خالق كل شيئ وهو على كل شيئ وكيل‬
.)sesuatu, Q.S. az-Zumar/39 : 62

Kegiatan penciptaan terkadang mencipta dari ketiadaan menjadi ada sesuatu dengan kualitas
mengadakan sesuatu tanpa alat, bahan, waktu, dan ruang (al-Asfahani, l992 : 111), creatio ex nihillo.
Contoh pemakainnya dalam Alquran adalah: ‫( واالرض السماوات بديع‬Dia yang menciptakan langit-langit
dan bumi . . . Q.S. al-Baqarah/2 : 117), atau mencipta sesuatu dari sesuatu yang sudah ada (al-
Asfahani, l992 : 292), transforming matter. Contohnya adalah pernyataan Alquran: ‫واحدة نفس من خلقكم‬
(Dia mencipta kamu dari diri yang satu, Q.S. an-Nisa>’/4 : 1). Dan: ‫( نطفة من االنسان خلق‬Dia mencipta
mencipta manusia dari air mani, Q.S. an-Nahl/16 : 4).

Akan tetapi dalam kualitas seperti itu, Dia memperkenalkan diri dalam banyak atribut, antara lain: (1)
Sebagai al-Khaliq dan al-Mus}awwir . Dalam hal ini Allah berfirman: ‫االسماء المصور البارئ الخالق هللا هو‬
‫( الحسنى‬Dia adalah Allah yang Maha Mencipta yang Mengadakan, yang Membentuk rupa, yang
Mempunyai nama-nama yang baik, Q.S. al-H}asyr/59 : 4).

Salah satu tajalli (refleksi) al-Mus}awwir adalah membentuk rupa manusia. Dalam hal ini Allah
berfirman:‫( تقويم احسن فى االنسان خلقنا لقد‬Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
sebaik-baiknya, Q.S. ath-Thin/95 : 4).

Arti general s}awwara dan ensiklopedis adalah ja’ala lahu s}u>ratan mujassimatan (menjadikan
sesuatu dalam bentuk yang fisikal). Manusia dibentuk secara matrial dalam kelas yang disebut
manusia secara fisika;l, demikian pula aneka jenis mineral, tetumbuhan, binataang, maupun benda-
benda angkasa. Semuanya dalam bentuknya yang khas, spesifik, dan tidak ada bentuk yang benar-
benar kembar. Secara pragmatis dan logis masing-masing bentuk fisik yang serumpun disaebut
spisies.

Dalam penampakan ke-wujud-an terjadi tidak secara bim salabim, melainkan secara evolusional atau
sekurang-kurang prosessual, betatapun pelaku s}awwara/mus}awwir (pemberi bentuk) itu adalah
Tuhan. Arti term ini adalah intaqala min h}a>l ila al-ukhra (pindah dari suatu kualitas kepada yang
lain, Anis,I, 531). Contoh pemakaian makna term ini adalah: ‫إلدم السجدوا للملئكة قلنا ثم صورناكم ثم خلقناكم ولقد‬
. . . ( Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu(Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, lalu Kami
katakan kepada para malaikat:”Bersujudlah kamu kapada Adam. . .”, Q.S. al-A’raf/7 : 11).

Jika konsep s}awwara diterapkan ke dalam dunia aliran seni, tindak penciptaan dan pembentukan oleh
Tuhan adalah berpola non naturalisme, meskipun hasil jadi ciptaan dan bentukan Tuhan yang
mewujud dalam bentuk alam semesta dengan segala isinya oleh manusia disebut natura. Tindak
Tuhan mencipta dan membentuk disebut non naturalisme karena memang tidak mencontoh barang
yang telah ada.

2). Dia Sebagai Yang Indah

Secara tekstual Nabi saw mengatakan: ‫( الجمال يحب جميل وجل عز هللا إن‬Sesungguhnya Allah Yang Maha
Tinggi dan Maha Agung adalah Indah dan Dia menyukai keindahan, H.R. Ahmad dari ‘Uqbah bin
Amir). Ia (Ahmad) meriwayatkan hadis ini tiga kali dan Muslim satu kali. Itulah sebabnya indah
dalam pandangan Islam berlaku manakala sebuah karya seni dapat membawa kesadaran pencipta seni
maupun penaggapnya kepada idea transendensi ilahiah.
Kalau Nabi saw mengatakan demikian, maka diyakini kebenrannya oleh umat Islam. Dalam sejarah
Islam, para sufi dan sastrawan menghayati dan mencintai Tuhan dalam taraf cinta asketik dan
mengungkapkannya Tuhan sebagai Yang Maha Indah.

Jauh hari sebelum Muhammad saw lahir, Plato telah mengatakan Tuhan sebagai Keindahan Yang
Abadi atau Keindahan Mutlak, good absolut (Syarif, 100; Runes, 1976 : 97), Keindahan Yang
Tertingi, Summum Bonum (Syarif, l984 : 91). Dalam semua wewujudan Tuhan menampakkan Diri.
Demian Syarif menulis:

Tuhan sebagai Keindahan Abadi, Yang Ada tanpa tergantung pada dan mendahului segala sesuatu,
dan karena itu menampakkan diri dalam semuanya itu. Dia menyatakan Dirinya di langit dan di bumi,
di matahari dan di bulan, pada kerlip bintang-bintang, dan jatuhnya embun, di tanah dan di laut, di
api dan nyalanya, di batu-batu dan pepohonan, pada burung-burung dan binatang buas, di wewangian
dan nyanyian; tetapi di mana pun Ia menunjukkan Diri, tidak lebih dari pada yang nampak di mata
Salimah, bahkan sebagai Dante; di mana pun, Dia menampakkan Diri, Dia tidak lebih dari pada yang
tampak pada Beatrice. Seperti halnya besi ditarik oleh magnet, demikian pula segala sesuatu ditarik
oleh Tuhan.

Dalam kutipan tersebut tampak jelas pengertiannya bahwa segala ciptaan Allah indah karena keluar
dari Yang maha Indah. Semua ciptaan dan bentukan Allah adalah Master Piece (karya agung)
sehingga Ia tidak malu-malu membuat nyamuk atau yang lebih rendah dari itu (Q.S. al-Baqarah/2 :
26) sebagai hasil karya yang lebih bermanfaat dibanding berhala/patung sebagai sesembahan yang
tidak mampu memberi perlindungan apa pun laksana sarang laba-laba (Depag, l971 : 13).

Hanya saja dalam bahasa dan akal diskursif manusia, sesuatu atau segala sesuatu dalam kajian seni
dibagi secara dikhotomis menjadi indah dan jelek, baik dan buruk, , , dst, orang akan mengatakan :

“Seorang wanita berkulit putih bersih, hidungnya mancung, bermata biru, rambutnya pirang, atau
hitam berkilau, tinggi/langsing akan dikatakan cantik atau indah; semerntara yang berkulit hitam,
hidungnya pesek, bibirnya tebal, rambutnya keriting, tubuhnya besar dan pendek, dan perutnya buncit
tentu akan dikatakan jelek.

Padahal, orang ini juga termasuk Master Piece (karya agung) Tuhan. Itulah sebabnya dalam aspek
moral Nabi Muhammad saw mengatakan demikian:

‫قلوبكم الى ينظر ولكن اصواركم الى وال اجسامكم الى ينظر ال هللا إن‬.

( Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan paras rupamu, tetapi melihat hatimu, H.R.
Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah).

3). Manusia Sebagai Wakil Tuhan

Tuhan menyatakan bahwa makhluk yang bernama manusia dilantik oleh Tuhan menjadi
khalifah fi al-ard}, wakil-Nya di bumi ini (Q.S al-Baqarah/2 : 30-38). Di bumi ini, manusia
merupakan puncak evolusi dari semua makhluk hidup, baik dari segi fisik, intelektual, maupun
spiritual.

Sebagai khalifah di bumi, manusia diberi tugas oleh Allah swt untuk memakmurkan bumi: ‫من انشاٌكم هو‬
‫فيها مركم واستا االرض‬. . . (Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu
pemakmurnya (Q.S. Hud/11 : 61) dalam arti manusia diberi kuasa penuh oleh Allah terhadap bumi ini
supaya menjadi makmur.

Supaya bisa melaksanakan tugasnya, manusia diberi akal. Dengan akal manusia bisa mengembangkan
diri jauh melampaui binatang. Selain itu manusia diberi kebebasan, tetapi dimintai
pertanggungjawaban atas kebebasannya (Q.S. al-Kahfi/18 : 29). Kenyataannya, tidak semua manusia
mampu memerankan diri sebagai wakil Tuhan. Mereka malah merusak (Q.S. al-Maidah/5 : 32) atau
turun derajatnya bagaikan binatang ternak atau lebih rendah dari itu (Q.S. al-F\urqan/25 : 44), yaitu
serendah-rendahnya barang rendah (Q.S. ath-Thin/95 : 5).

Dehumanisasi terjadi karena manusia tidak bisa menjadi wakil Tuhan yang baik. Untuk menjadi
khalifah yang baik, manusia harus menjadi insan kamil (the perfect man). Salah satu kualitas insan
kamil adalah kerja kreatif dan orisinal. “jangan hinakan pribadimu dengan tiruan/jagalah padanya
laksana pribadimu intan tak ternilai/setiap orangyang tak kuasa mencipta/ia orang yang beriman dan
zindiq (Iqbal, l979 : 5-6). Dalam bahasa yang amat meledak-ledak, Iqbal membayangkan bahwa Insan
kamil adalah manusia yang dilengkapi Tuhan dengan berbagai daya tangkap: serapan indra, rasio, dan
intuisi dalam kadar yang amat tinggi (Bahrum, l976 : 181). Teman kerja Tuhan di bumi.”Be man of
God/bear mysteries within/”(Jadilah manusia Tuhan/kandunglah rahasia dalammu; Iqbal, l976 : 58).
Iradah atau kehendak manusia utama adalah se-iradah Tuhan: In his will that which God wills
becomes lost (Dalam kemauannya/iradah Tuhan hilang di dalamnya; Iqbal, 1976 : 69).

Kalau kualitas Tuhan adalah mencipta, maka demikian pula kualitas Insan kamil, dan predikat Insan
kamil oleh siapa saja asal ia melalui jalan yang benar untuk itu, termasuk oleh para seniman. Seniman
yang sejati adalah mencipta karya seni yang bebas dari belenggu alam (Iqbal, Kalim, 115) dan
karyanya bukan seni demi seni, melainkan seni yang fungsionalis

Kalau tujuan Islam turun di muka bumi ini sebagai rahmat dan berkah bagi alam semesta: ‫إال ارسلناك وما‬
‫ ( للعالمين رحمة‬Dan tidak Aku utus engkau (Muhammad), kecuali untuk rahmat bagi alam semesta:
Q.S. al-Anbiya/22 : 107), maka seni, sebagai bagian integral dari Islam., harus juga sinergi dengan
tujuan risalah ini. Itulah yang dimaksud seni dalam pandangan Islam adalah seni yang fungsionalis.
Dalam hal ini Allah berfirman:

‫قل حرم زينة هللا التى اخرج لعباده والطيبات من الرزق قل هي للذين أمنوا فى الحياة الدنيا خالصة يوم القيامة‬

Arttinya: Katakanlah :Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkannya
untuk hamba-hamba-Nya (siapa pula yang mengharamkan) rezeki yang baik ? “katakanlah semua itu
bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiyamat;
Q.S. al-A’raf/7 : 32).

Yang dimaksud perhiasan adalah segala sesuatu yang mendatangkan keindahan. Perhiasan dengan
demikian adalah karya seni, dan seni sebagaimana diisyaratkan dalam ayat itu adalah fungsionalisme,
bukan hanya bagi atribut kehidupan orang beriman di dunia, melainkan hingga ke akhirat kelak.

Akar dari paham fungsionalisme adalah Plato. Menurutnya seni harus mengandung tujuan etis dan
instruksional. Daya magis seni harus digunakan untuk menghasilkan warga yang baik (Syarif, 1984 :
126). Di Barat, fungsionalisme seni didukung oleh antara lain: Ruskin, Guyau, Tolstoy, Ibsen, dan
Shaw. Mereka menghendaki fungsi seni sebagai perubahan. Dalam Islam, Iqbal adalah pendukung
fungsionalisme yang amat berat. Seni, katamya, adalah sarana ayang berharga bagi prestasi kehidupan
( Iqbal, Asrar: 42). Menurutnya, menentang apa yang ada dilandasi keinginan untuk mencipta apa
yang seharusnya adalah sikap hidup yang baik ( Syarif, 1984 : 130), dan teman sekerja Tuhan adalah
seniman yang menjadi rahmat bagi kemanusiaan (Syarif, l984 : 1209). Jadi, seniman sejati dalam
pandangan Islam adalah seniman yang berkarya dengan dilandasi kesadaran bertuhan; tangannya
digerakkan oleh Tuhan karena pribadinya telah menyatu dengan Tuhan dan hasil karyanya, tidak
hanya menyenangkan karena ini hanya efek karya seni, melainkan untuk rahmat bagi kemanusiaan.
Seniman yang egois dan tidak peka terhadap persoalan kemanusiaan adalah menyalahi kodrat dirinya
sebagai wakil Tuhan di muka bumi ini, yaitu memakmurkannya.

Sekarang ini, dapat disaksikan bahwa penganut fungsionalisme seni dari orang Islam adalah Noor
Mustakim – salah satu galery seninya terletak di lereng gunung Muria Kabupaten Kudus Jawa tengah,
dan yang lainnya terletak di Jakarta maupun Yogyakarta. Sebagai seniman, ia mengaku dalam
berkarya selalu berangkat dari kesadaran iman. Tuhan lah yang menggerakkan tangannya. Pikiran
seolah-olah kosong. Dalam beberapa kesempatan dialog dengan saya, ia berkata:

Setelah tangan memegang kanfas dan instrumen-instrumen lainnya tersedia, tiba-tiba leerr, , , leerr, ,
leerr, , , Dalam keadaan itu, terkadang dalam hati protes, dengan coret-coret sembarang supaya
hasilnya tak karuan. Tetapi hasilnya, ternyata dinilai oleh pengamat dan penghayat seni amat indah.

Atas dasar pemikiran seperti ini, dan ini biasa terulang, katanya, maka ketika ditanya mana karyanya
yang dianggap sebagai Master Piece, ia mnenjawab bahwa semua karyanya adalah Master Piece
karena ia bekerja atas dorongan iman. Untuk itulah ia berkata: “Sesederhana apapun, ciptaan Tuhan
itu indah, dan setiap sentuhan tanganku dalam bentuk apapun adalah seni yang merupakan karunia-
Nya”. Inilah barangkali rahasianya, ia tidak menganut paham seni untuk seni, melainkan seni untuk
sesuatu karena datangnya dari Allah. Sementara Allah mengamanatkan pada manausia supaya
menebarkan kemakmuran di bumi.Untuk itu, perlu ada keterpaduan antara seniman, pengusaha, dan
pencinta seni, kata Panoet Harsono, orang yang pernah menjadi orang nomor satu di Bank
Penbangunan Daerah Jawa Tengah.

Sebagai bukti pilihannya yang fungsionalistik, ia berobsesi mendirikan sebuah universitas di lereng
gunung Muria Kudus pantura Jawa Tengah, dengan modal perguruan yang berbasis pada alam, lalu
diolah atas dasar seni dan ditujukan bagi kesejahteraan manusia. Khusunya fakultas seni bebas dengan
berbagai juruasannya akan dibuka pada tahun 2002 – 2003. hanya saja, obsesi itu telah menjadi
kenyataan atau belum adalah persoalan lain, setidak-tidaknya idea mendirikan lembaga seni secara
legal sebagaimana dipertanyakan Alfaruqi telah direspon, justru di kota kecil di Jawa Tengah, yaitu di
Kudus.

D. Muhammadiyah dan Seni

Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang memiliki misi: (1)


Menegakkan keyakinan tauhid yang murni; (2) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber
kepada Alquran dan as-Sunnah’ dan (3) Mewujudkan amal Islami dalam kehidupan pribadi keluarga,
dan masyarakat (Sukaca, 2008 : 4), menghindarkan penyakit TBC+S [tahayyul, bid’ah, khurafat, dan
syirik) menimbulkan efek pemiskinan kebudayaan, termasuk di dalamnya seni sehingga secara luas
Muhammadiyah kurang diminati oleh masyarakat awam luas.

Muhammadiyah akan mendapat respon di kalangan masyarakat luas jika mampu mencipta karya seni
apa saja, khususnya seni musik yang merakyat, namun tidak bertentangan dengan syariat. Kawan-
kawan di NU mampu berbuat itu. Mereka sangat adabtatif, mampu menggunakan instrumen yang
mestinya bukan alirannya, namun diaransemen demikian apik. Instrumennya campursari tetapi
gubahan iramanya padang pasir. Instrumen karawitan dikolaborasi dengan samrah atau sebaliknya
dapat mencipta karya seni yang dapat dinikmati orang awam. Hanya saja karena saking luwesnya,
aspek akidah kurang menjadi pertimbangan penting sehingga sebuah karya seni sering dikritik oleh
mereka yang berasal dari Muhammadiyah sebagai sesuatu yang berbau syirik.

Dalam Muhammadiyah juga terjadi distorsi. Mereka sering mengritik seni dari segi akidah, sementara
tidak bisa memberikan alternatif, malah sekalian terjun bebas ke dalam musik Barat, dalam arti
instrumen musik yang digunakan sebagai ekspresi seni terbatas pada band. Musisi Muhammadiyah
kurang bisa beradabtatif dengan nuansa musik lokal atau daerah.

Untuk memperoleh efektifitas dakwah amar ma’ruf nahi munkar, Muhammadiyah perlu
menguasai musik-musik lokal di mana mereka berada sehingga, untuk langkah pertama berdialog
dengan masyarakat sekurang-kurangnya tidak mengundang kecurigaan.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Seni adalah dua hal yang sudah lama menjadi bagian dari kehidupan manusia. Seni
dan budaya ini selalu berkembang di setiap zamannya. Islam, sebagai agama Rahmatan Lil
Alamin juga menjadi salah satu bagian dari perkembangan budaya dan seni. Banyak seni
yang memasukkan nilai-nilai islam dalam karya seninya, misalnya seni kaligrafi, nasyid, dan
lainnya. Dalam setiap karya yang dihasilkan, nilai-nilai Islam yang juga merupakan sebagai
syiar Islam di kehidupan bermasyarakat. Budaya pun berkembang dengan nilai-nilai Islam
didalamnya.
Agama Islam mendukung kesenian selama tidak melenceng dari nilai-nilai agama.
Sebaliknya apabila seni itu bertentangan dengan ajaran agama dilarang secera keras.
Kesenian dalam islam diwujudkan dalam seni bangunan, arsitektur, lukis, ukir, suara, tari dan
berbagai macam seni lainnya. Apabila seni membawa manfaat bagi manusia, memperindah
hidup dan hiasannya yang dibenarkan agama, mengabadikan nilai-nilai luhur dan
menyucikannya, serta mengembangkan serta memperhalus rasa keindahan dalam jiwa
manusia, maka sunnah Nabi mendukung, tidak menentangnya. Karena ketika itu ia telah
menjadi salah satu nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia.

3.2 Saran
Dalam kaidah fiqh disebutkan “al adatu muhakkamatun” artinya bahwa adat istiadat
dan kebiasaan suatu masyarakat, yang merupakan bagian dari budaya manusia, mempunyai
pengaruh di dalam penentuan hukum. Tetapi yang perlu dicatat, budaya tersebut tidak
bertentangan dengan Islam. Ketika terdapat kebudayaan yang bertentangan dengan Islam,
maka kebudayaan itu harus dihindari.
Islam selalu memiliki batasan-batasan tertentu untuk mengatur umatnya agar tidak
melenceng dari ajaran Islam. Seni yang dikehendaki islam adalah seni yang bisa
mendatangkan manfaat, bukan mendatangkan mudarat seperti menimbulkan kemungkaran,
syirik, menimbulkan syahwat, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA
‘Abd-ur-Rahmān Al-Baghdādī, SENI DALAM PANDANGAN ISLAM (Seni Vokal, Musik
dan Tari), Ref. Internet 3-12-2008.

Anda mungkin juga menyukai