Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Human Imunodefisiency Virus adalah virus penyebab melemahnya


sistem kekebalan tubuh manusia. Virus ini berada dalam cairan tubuh
manusia seperti darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu.
Penyakit HIV/AIDS termasuk penyakit yang sangat membahayakan bagi
manusia

Kasus paling awal infeksi HIV ditemukan dalam darah. sampel


diambil tahun1959 pria di khishasa, Rebublik Demokrasi Kongo (dahulu
disebut zaire). Sampel yang menunjukan bahwa HIV ada lebih dari dua
dekade sebelum laporan CDC pertama (Firman, 2017).

AIDS pertama kali dilaporkan pada tahun 1981 oleh pusat


pengendalian dan pencegahan penyakit di Amerika serikat (CDC) yang
berbasis di Atlanta, Georgia. Hampir satu juta orang di Amerika serikat di
diagnosis dengan AIDS selama 25 tahun pertama. Lebih dari setengah juta
orang Amerika meninggal karena AIDS selama seperempat abad pertama
epidemi, dan lebih dari 400.000 hanya sebuah epidemi di Amerika Serikat.
Penyakit AIDS ini adalah penyakit yang ditemukan di Negara diseluruh dunia
(dikutip dari Firman, 2017).

Pada tahun 2007, menurut data yang dikumpulkan oleh Amerika


bersama program HIV/AIDS (UNAIDS), 33 juta orang hidup dengan infeksi
HIV/AIDS di Indonesia dilaporkan pertama kali pada tahun 1987 di Bali, dan
sampai akhir tahun 2003 jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 4.091.
Jumlah kasus terbanyak uang dilaporkan berasal dari DKI Jakarta, disusul
Papua, Jawa Timur, Riau (Batam) dan Bali (dikuti dari Firman, 2017).

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa kasus HIV/AIDS


semakin banyak terjadi baik diluar negeri maupun di Indonesia sendiri. Oleh

1
karena itu, penulis tertarik untuk menyusun makalah dengan judul
“Patofisiologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan HIV/AIDS.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana patofisiologi pada HIV?

2. Bagaimana diagnosa pada HIV?

3. Bagaimana penatalaksanaan pada HIV?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui patofisiologi pada HIV

2. Mengetahui diagnosa pada HIV

3. Mengetahui penatalaksanaan pada HIV

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Patofisiologi Virus HIV

Virus HIV adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan


menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan
dikenali selama periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya
menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan system imun dan menghancurkannya. hal tersebut terjadi
dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit (Firman, 2017).

1. Mekanisme sistem imun normal

2. Efek HIV pada sistem imun.

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang


menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS.
Human Immunodeficiency Virus menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah
putih, yaitu limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda
yang berada di permukaan sel limfosit. Berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang
seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara
1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu
nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun, bahkan dapat mencapai nol
(Komisi penanggulangan AIDS, 2007) (dikutip dari Olynk, N. J. 2009).

Virus masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui perantara


darah, semen dan sekret vagina. Setelah memasuki tubuh manusia, maka
target utama HIV adalah limfosit CD4 karena virus mempunyai afinitas
terhadap molekul permukaan CD4. Virus ini akan mengubah informasi
genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari
sel yang diserangnya, yaitu merubah bentuk RNA (ribonucleic acid) menjadi
DNA (deoxyribonucleic acid) menggunakan enzim reverse transcriptase.

3
DNA pro-virus tersebut kemudian diintregasikan ke dalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus. Setiap kali sel yang
dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut
diturunkan. Human Immunodeficiency Virus menyerang CD4 baik secara
langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang
mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. Secara tidak
langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24
berinteraksi dengan CD4 yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang
mempresentasikan antigen. Hilangnya fungsi CD4 menyebabkan gangguan
imunologis yang progresif (Olynk, N. J. 2009).

Menurut Nasronudin, perjalan HIV/AIDS dibagi menjadi 3 fase


(Nasronudin, 2008) (dikutip dari Olynk, N. J. 2009) :

1. Fase infeksi akut

Keadaan ini, disebut juga infeksi primer HIV, ditandai oleh proses
replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) dalam jumlah yang
besar. Virus yang dihasilkan dapat terdeteksi dalam darah dalam waktu
sekitar tiga minggu setelah terjadinya infeksi. Pada periode ini protein
virus dan virus yang infeksius dapat dideteksi dalam plasma dan juga
cairan serebrospinal. Jumlah virion di dalam plasma dapat mencapai 106
hingga 107 per mililiter plasma. Viremia oleh karena replikasi virus
dalam jumlah yang besar akan memicu timbulnya sindroma infeksi akut
dengan gejala yang mirip infeksi mononukleosis akut yakni demam,
limfadenopati, bercak pada kulit, faringitis, malaise, dan mual muntah,
yang timbul sekitar 3–6 minggu setelah infeksi. Pada fase ini selanjutnya
akan terjadi penurunan sel limfosit T

CD4 yang signifikan, sekitar 2–8 minggu pertama infeksi primer HIV,
kemudian terjadi kenaikan limfosit T karena mulai terjadi respons imun.
umlah CD4 pada fase ini masih diatas 500 sel/mm3 dan akan mengalami
penurunan setelah enam minggu terinfeksi HIV

4
2. Fase infeksi laten

Setelah terjadi infeksi primer HIV akan timbul respons imun spesifik
tubuh terhadap virus HIV. Sel sitotoksik B dan limfosit T memberikan
perlawanan yang kuat terhadap virus sehingga sebagian besar virus
hilang dari sirkulasi sistemik. Sesudah terjadi peningkatan respons imun
seluler, akan terjadi peningkatan antibodi sebagai respons imun humoral.
Selama periode terjadinya respons imun yang kuat, lebih dari 10 milyar
kopi HIV baru dihasilkan tiap harinya, namun dengan cepat virus-virus
tersebut dihancurkan oleh sistem imun tubuh dan hanya memiliki waktu
paruh sekitar 5–6 jam. Meskipun di dalam darah partikel virus dapat
terdeteksi hingga 108 kopi per mililiter darah, akan tetapi jumlah partikel
virus yang infeksius hanya didapatkan dalam jumlah yang lebih sedikit.
Hal ini menunjukkan bahwa sejumlah besar virus telah berhasil
ihancurkan (Nasronudin, 2008; Choffin et al., 2010).

Pembentukan respons imun spesifik terhadap HIV menyebabkan virus


dapat dikendalikan, jumlah virus dalam darah menurun dan perjalanan
infeksi mulai memasuki fase laten. Meskipun Jumlah dalam plasma
menurun sebgian virus masih menetap dan terakumulasi di dalam tubuh
terutama di dalam kelenjar limfe, terperangkap di dalam sel dendritik
folikuler, dan masih terus mengadakan replikasi. Penurunan limfosit T
CD4 terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit. Pada fase
ini jumlah limfosit T CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200
sel/mm3 (Nasronudin, 2008; Choffin et al., 2010). Jumlah virus, setelah
mencapai jumlah tertinggi pada awal fase infeksi primer, akan mencapai
jumlah pada titik tertentu atau mencapai suatu "set point" selama fase
laten. Set point ini dapat memprediksi onset waktu terjadinya penyakit
AIDS. Dengan jumlah virus kurang dari 1000 kopi/ml darah, penyakit
AIDS kemungkinan akan terjadi dengan periode laten lebih dari 10
tahun. Sedangkan jika jumlah virus kurang dari 200 kopi/ml, infeksi HIV
tidak mengarah menjadi penyakit AIDS. Sebagian besar pasien dengan

5
jumlah virus lebih dari 100.000 kopi/ml, mengalami penurunan jumlah
limfosit T CD4 yang lebih cepat dan mengalami perkembangan menjadi
penyakit AIDS dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Sejumlah
pasien yang belum mendapatkan terapi memiliki jumlah virus antara
10.000 hingga 100.000 kopi/ml pada fase infeksi laten. Pada fase ini
pasien umumnya belum menunjukkan gejala klinis atau asimtomatis.
Fase laten berlangsung sekitar 8–10 tahun (dapat 3–13 tahun) setelah
terinfeksi HIV.

3. Fase infeksi kronik

Selama berlangsungnya fase ini, di dalam kelenjar limfe terus terjadi


replikasi virus yang diikuti dengan kerusakan dan kematian sel dendritik
folikuler serta sel limfosit T CD4 yang menjadi target utama dari virus
HIV oleh karena banyaknya jumlah virus. Fungsi kelenjar limfe sebagai
perangkap virus menurun atau bahkan hilang dan virus dicurahkan ke
dalam darah. Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara
berlebihan di dalam sirkulasi sistemik. Respons imun tidak mampu
mengatasi jumlah virion yang sangat besar. Jumlah sel limfosit T CD4
menurun hingga dibawah 200 sel/mm3, jumlah virus meningkat dengan
cepat sedangkan respons imun semakin tertekan sehingga pasien semakin
rentan terhadap berbagai macam infeksi sekunder yang dapat disebabkan
oleh virus, jamur, protozoa atau bakteri. Perjalanan infeksi semakin
progresif yang mendorong ke arah AIDS. Setelah terjadi AIDS pasien
jarang bertahan hidup lebih dari dua tahun tanpa intervensi terapi. Infeksi
sekunder yang sering menyertai antara lain: pneumonia yang disebabkan
Pneumocytis carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis,
diare akibat kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus
herpes, kandidiasis esofagus, kandidiasis trakea, kandidiasis bronkhus
atau paru serta infeksi jamur jenis lain misalnya histoplasmosis dan
koksidiodomikosis. Terkadang juga ditemukan beberapa jenis kanker

6
yaitu, kanker kelenjar getah bening dan kanker Sarkoma Kaposi's
(Nasronudin, 2008; Choffin et al., 2010; Hunt, 2010).

B. Diagnosa HIV

1. Diagnosis HIV pada orang dewasa

Diagnosis HIV pada orang dewasa mengikuti prinsip-prinsip khusus.


Baik diagnosis klinik maupun laboratorium dikembangkan untuk
menentukan diagnosis atau positif. Tanda dan gejala pada infeksi HIV
awal bisa sangat tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu
letargi, malaise, sakit tenggorokan, mialgia (nyeri otot, demam, dan
berkeringat). Pasien mungkin mengalami beberapa gejala, tetapi tidak
mengalami keseluruhan gejala tersebut di atas. Pada stadium awal,
pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik untuk mengetahui
apakah pasien terinfeksi virus HIV atau tidak.

ELISA merupakan tes yang baik, tetapi hasilnya mungkin masih akan
negative sampai 6-12 minggu pasien telah terinfeksi. Jika terdapat tanda-
tanda infeksi akut pada pasien dan hasil ELISA negatif, maka
pemeriksaan ELISA perlu diulang. gelaja infeksi akut yang mirip dengan
gejala flu ini akan sembuh dan pasien tidak menunjukkan tanda-tanda
terinfeksi virus HIV sampai dengan beberapa tahun. Periode ini disebut
periode laten dan berlangsung selama 8-10 tahun. Selama periode laten,
virus HIV terus menyerang kekebalan tubuh penderita meskipun tidak
tampak tanda dan gejala infeksi HIV. Stadium lanjut infeksi HIV dimulai
ketika pasien mulai mengalami penyakit AIDS. Gejala yang paling sering
yang dijumpai pada stadium ini adalah penurunan berat badan, diare dan
kelemahan. Terdapat beberapa klarifikasi HIV/AIDS. Adapun sistem
klasifikasi yang biasa digunakan untuk dewasa dan remaja dengan infeksi
HIV adalah menurut WHO dan CDC (Centre for Disease and
Prevention). (Firman, 2017).

7
2. Diagnosis HIV pada bayi

Penyebaran virus HIV/AIDS di sejumlah provinsi di tanah air dalam


beberapa tahun terakhir telah memasuki pipulasi umum, yakni ibu dan
bayi. Setiap hari, hamper 1800 bayi di dunia telah terinfeksi HIV. di
Indonesia, jika tanpa intervensi diperkirakan bayi 3000 bayi lahir dengan
HIV pertahun. Biasanya bayi dan anak terinfeksi HIV melalui :

a. Penularan dari ibu kepada anak

1) Dari ibu kepada anak dalam kandungannya (anterpartum)

2) Selama persalinsan (Intrapartum)

3) Bayi baru lahir terpajan oleh cairan tubuh ibu yang terinfeksi
(postpartum)

4) Bayi yang tertular melalui pemberian ASI

b. Penularan melalui darah

1) Transfusi darah atau produk darah yang tercemar HIV

2) Penggunaan alat yang tidak steril di sarana pelayanan kesehatan

3) Penggunaan alat yang tidak streril di saranan pelayanan


kesehatan tradisional misalnya tindik, sirkulasi

c. Penularan melalui hubungan seks

1) Pelecahan pada seksual

2) Pelacuran anak

Bayi yang tertular HIV ibu saja tamoak normal secara klinis selama
peroide neonatal. Penyakit nandakan AIDS tersering ditemukan di anak
adalah pneumonia yang disebabkan pneumositis carinii. gejala umum
yang ditemukan pada bayi dengan infeksi HIV adalah gangguan
tumbuh kembang, kondisiasis oral, diare kronis, atau
hepatosplenomegali (pembesaran hepar dan lien)

8
Mengingat anti bodi ibu bisa dideteksi pada bayi sampai 18 bulan,
maka tes ELISA dan wester blood akan positif meskipun bayi tidak
terinfeksi HIV karena tes ini berdasarkan ada atau tidaknya antibody
terhadap virus HIV. Tes yang paling spesifik untuk mengidentifikasi
HIV adalah PCR untuk DNA HIV. Kultur HIV yang positif juga
menunjukan pasien terinfeksi HIV. Untuk pemeriksaan PCR, bayi harus
dilakukan pengambilan darah untuk tes PCR pada dua saat yang
berlainan. DNA PCR pertama diambil saat bayi berusia satu bulan
karena tes ini kurang sensitif selama periode satu bulan setelah lahir.
CDC merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang
pada saat bayi berusia 4 bulan. Jika tes ini negatif, maka bayi tidak
terinfeksi HIV. Tetapi bayi tersebut mendapatkan ASI maka bayi
berisiko terkena HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi
disapi. Pada usia 18 bulan, pemeriksaan ELISA bisa dilakukan pada
bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lain. (Firman, 2017).

3. Diagnosis HIV pada anak

Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan


menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi bakteri
kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wating limfadenopati menetap,
keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak dari
usia 18 bulan bisa didiagnosis dengan ELISA dan tes konfirmasi lain
seperti orang dewasa. Terdapat 2 klasifikasi yang bisa digunakan untuk
mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan
WHO. (Firman, 2017).

9
C. Penatalaksanaan HIV

Penatalaksanaan HIV/AIDS pada dasarnya meliputi aspek medis klinis,


psikologis dan aspek sosial (Firman, 2017).

1. Aspek medis klinis

a. Pengobatan suportif

Penilaian gizi penderita sangat perlu dilakukan dari awal sehingga


tidak terjadi hal-hal yang berlebihan dalam pemberian nutrisi atau
terjadi kekurangan nutrisi yang dapat menyebabkan perburukan
keadaan penderita dengan cepat . Penyajian maknan hendaknya
bervariatif sehingga penderita dapat tetap berselera makan. Bila
nafsu makan penderita sangat menurun dapat dipertimbangkan
pemakaian obat Anabolik steroid. Proses penyediaan makanan
sangat perlu diperhatikan agar pada saat proses tidak terjadi
penularan yang fatal tanpa kita sadari. Sepert imisalnya pemakaian
alat-alat memasak, pisau untuk memotong daging tidak boleh
digunakan untuk mengusap buah, hal ini di maksudkan untuk
mencegah terjadinya penularan tokoplasma untuk mencegah
terjadinya penularan jamur.

b. Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik meliputi penyak


itinfeksi oportunistik yang sering terdapat pada penderita infeksi
HIV dan AIDS.

1) Tuberkulosis

Sejak epidemi AIDS maka kasus TBC meningkat kembali.


Dosis INH 300mg setiap hari dengan vit B6 50mg paling tidak
untuk masa satu tahun.

2) Toksoplasmosis

Sangat perlu diperhatikan makanan yang kurang masak terutama


daging yang kurang matang. Obat : TMP-SMX 1 dosis/hari.

10
3) CMV

Virus ini dapat menyebabkan retinitis dan dapat menimbulkan


kebutaan. Ensefalitis, pneumonitis pada paru, infeksi saluran
cerna yang dapat menyebabkan luka pada usus. Obat :
Gansiklovir kapsul 1gram tiga kali sehari.

4) Jam

Jamur yang paling sering ditemukan pada penderita AIDS


adalah jamur kandida. Obat : Nistatin 500.000u per hari
Flukonazol 100mg per hari.

c. Pengobatan Antirettrovial

2. Aspek psikologis

a. Perawatan personal dan dihargai

b. Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah-


masalahnya

c. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya

d. Tindak lanjut medis

e. Mengurangi penghalang untuk pengobatan

f. Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka

3. Aspeksosial

Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab atau


kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali merupakan
sumber dukungan sosial yang paling penting. Ada empat jenis dimensi
dukungan sosial :

a. Dukungan emosional

Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap


pasien dengan HIV/AIDS yang bersangkutan

11
b. Dukungan penghargaan

Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk orang


lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau
perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan orang
lain.

c. Dukungan instrumental

Mencakup bantuan langsung misalnya orang memberi pinjaman


uang, kepada penderita HIV / AIDS yang membutuhkan untuk
pengobatannya

d. Dukungan informative

Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Virus HIV adalah retrovirus yang mempunyai kemampuan


menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan
dikenali selama periode inkubasi yang panjang (klinik-laten), dan utamanya
menyebabkan munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan
beberapa kerusakan system imnu dan menghancurkannya. hal tersebut terjadi
dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit.

Diagnosis HIV pada orang dewasa mengikuti prinsip-prinsip khusus.


Baik diagnosis klinik maupun laboratorium dikembangkan untuk menentukan
diagnosis atau positif. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat
tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu letargi, malaise, sakit
tenggorokan, mialgia. Biasanya bayi dan anak terinfeksi HIV melalui
penularan dari ibu kepada anak, penularan melalui darah dan penularan
melalui hubungan seks. Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa
didiagnosis dengan menggunakan kombinasi antara gejala klinis dan
pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi
bakteri kambuh-kambuhan, gagal tumbuh atau wating limfadenopati
menetap, keterlambatan berkembang, sariawan pada mulut dan faring

Penatalaksanaan HIV/AIDS pada dasarnya meliputi aspek medis


klinis (pengobatan suportif, pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik
serta pengobatan Antirettrovial), psikologis dan aspek sosial (dukungan
emosional, penghargaan, instrumental dan dukungan informative.

B. Saran

Diharapkan agar mahasiswa, perawat dan pelayanan kesehatan lainnya dapat


mengetahui patofisiologi, diagnosis serta penatalaksanaan HIV yang baik dan
benar, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan maksimal dan tepat
pada pasien dengan HIV/AIDS.

13
DAFTAR PUSTAKA

Firman. 2017. Buku Ajar Keperawatan HIV / AIDS. Penulis Muda Publisher:
Surabaya

Olynk, N. J. (2009). AGRICULTURAL PRODUCER RESPONSES TO


CHANGES IN CONSUMER DEMAND FOR PRODUCTION
PROCESS ATTRIBUTES. Michigan State University.

14

Anda mungkin juga menyukai