Anda di halaman 1dari 2

Aturan dalam Puasa Sunnah

Ada beberapa aturan dalam puasa sunnah yang mesti diperhatikan.

Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak
melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan
sebelum fajar.

Dalil masalah ini adalah hadits ‘Aisyah berikut ini.

Dari Aisyah Ummul Mukminin, ia berkata,

َ ‫خ‬
َ‫ل‬ َ ‫ الن ِبىَ َعلَىَ َد‬-‫وسلم عليه هللا صلى‬- ‫ات‬ ََ ‫ل « َف َقا‬
ََ ‫ل يَ ْومَ َذ‬ َْ ‫ه‬َ ‫م‬ َْ ‫ع ْند َُك‬
ِ َ‫ىء‬ْ ‫ش‬َ ». ‫ل َ َف ُق ْلنَا‬
َ.‫ل‬ ََ ‫» صَائِمَ إِ ًذا َف ِإنِى « ََقا‬. َ‫ثُم‬
َ
‫خ ََر يَ ْو ًما أتَانَا‬ ْ ُ َ
َ ‫ل يَا فقلنَا آ‬ ُ ‫ّللا ر‬
ََ ‫َسو‬ َِ ‫ى‬ ْ ُ َ
ََ ‫ح ْيسَ لنَا أه ِد‬ َ .‫ل‬ َ َ
ََ ‫ه « فقا‬ َ
َِ ‫د أرِينِي‬ َ َ
َْ ‫ت فلق‬َ ُ ْ ‫صب‬
َ ‫َح‬ َ
ْ ‫ما أ‬
ً ِ‫» صَائ‬. ‫ل‬ ََ ‫فأَك‬.
َ َ

“Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai
makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian
beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa
Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari,
sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154).

Imam Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di
siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah
meskipun tanpa udzur. ”

Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah.

Dalil dari hal ini adalah hadits ‘Aisyah yang telah kami sebutkan di atas.

Ada dua pelajaran yang bisa kita petik dari hadits ‘Aisyah di atas sebagaimana penjelasan An Nawawi
rahimahullah:

Puasa sunnah niatnya boleh di siang hari sebelum waktu zawal (sebelum matahari bergeser ke barat). Inilah
pendapat mayoritas ulama.

Puasa sunnah boleh dibatalkan dengan makan di siang hari karena ia hanya puasa sunnah saja. Jadi puasa
sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan
puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi
mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan
puasa tersebut. (Syarh Muslim, 8: 35)

Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin
suaminya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ل‬ ُ َ‫مرْأَ َُة ت‬


َُ ‫صو‬
َ ‫م‬ َ ‫هدَ َوب َْعلُهَا ْال‬ َِ ِ‫بِ ِإ ْذن‬
َ َ‫ه إِل‬
ِ ‫شا‬

“Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no.
5192 dan Muslim no. 1026). Imam Bukhari membawakan hadits ini dalam Bab: Puasa sunnah si istri dengan
izin suaminya.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah
yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan
haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami
memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan
segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah
atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.” (Syarh Muslim, 7: 115)

Lalu bagaimana jika suami tidak di tempat seperti ketika suami bersafar?
Jawabannya, boleh ketika itu si istri berpuasa karena sebab pelarangan tadi tidak ada.

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena
ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.” (Idem)

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

Keutamaan Puasa Sunnah

Dari Abu Said Al Khudri -radhiallahu anhu- dia berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

َ ْ‫من‬
‫ما‬ َ ‫م‬
ِ ْ‫عبد‬ ُْ ‫صو‬
ُ َ‫ما ي‬
ً ‫يل فِي يَو‬ َ ‫ّللا‬
ِْ ِ‫سب‬ َْ ِ ‫د إ‬
ِْ َ ‫ّل‬ َْ ‫ع‬ ُْ َ ‫ك‬
َ ‫ّللا بَا‬ َْ ِ‫م بِ َذل‬ ُْ ‫ه‬
ِْ ‫ه اليَو‬ َ ‫عنْ َوج‬ َ ‫ين‬
َ ‫النا ِْر‬ َْ ‫ع‬ ً ‫ر‬
َ ‫يفا‬
ِ ‫سب‬ َ
ِ ‫خ‬

“Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkan wajahnya dari api
neraka sejauh tujuh puluh ribu musim.” (HR. Al-Bukhari no. 2628 dan Muslim no. 1153)

Ada yang menafsirkan ‘di jalan Allah’ dengan jihad dan ada juga yang menafsirkannya dengan ketaatan
kepada Allah secara umum, wallahu a’lam.

Abu Hurairah -radhiallahu anhu- berkata: Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam- bersabda:

َ ‫قا‬
ْ‫ل‬ ُْ َ ْ‫كل‬
َ ‫ّللا‬ ُ ‫ل‬ ِْ ‫م‬َ ‫ع‬ َ ‫ن‬ ِْ ‫م اب‬َْ ‫د‬َ ‫هآ‬ َْ ِ ‫م إ‬
ُْ َ‫ّل ل‬ َْ ‫الصيَا‬
ِ ‫ه‬ َ ‫زي َوأَنَا لِي‬
ُْ َ ‫ف ِإن‬ ِ ‫ه أج‬
َ ِْ ‫م ب‬
ِ ُْ ‫الصيَا‬
ِ ‫ج َنةْ َو‬ ُ ‫ذا‬ َ ِ ‫ان َوإ‬
َْ ‫ك‬ َ ‫م‬ ُْ ‫م يَو‬ ِْ ‫صو‬ َ ْ‫كم‬ ُ ‫د‬
ِ ‫ح‬ َ َ‫أ‬
َْ ‫ف‬
‫ل‬ َ ْ‫ّل يَر ُفث‬
َْ ‫خبْ َو‬ َ ‫ف ِإنْ يَص‬ َ ‫ه‬ ُْ َ‫ساب‬ َ ْ‫حد‬ َ َ
َ ‫ه أوْ أ‬ ُْ َ‫قاتَل‬ َ ْ‫فلي َُقل‬ َ ‫صائِمْ ام ُرؤْ إِنِي‬ َ ‫ذي‬ ِ َ ‫س َوال‬ُْ ‫مدْ نَف‬ َ ‫ح‬
َ ‫م‬ ُ ‫ه‬ ِْ ‫د‬ ُْ ُ‫خل‬
ِ ‫وف بِ َي‬ ُ َ‫م ل‬ ِْ ‫ف‬َ
َ
ِْ ِ‫َب الصائ‬
‫م‬ ُ
ْ ‫د أطي‬ َ َ
ْ ‫عن‬ ِْ
ِ ‫ّللا‬ َ ْ‫من‬ِ ِ‫ح‬ ْ ‫ك رِي‬ ِْ ‫مس‬ ِ ‫م ال‬ َ
ِْ ِ‫ن لِلصائ‬ ِْ ‫ح َتا‬ َ
َ ‫ما فر‬ ُ ُ
َ ‫ر إِذا يَف َرحه‬ َ َ
َْ ‫ح أفط‬ َ َ َ َ
ْ ِ‫ي َوإِذا فر‬ َ
َْ ‫ه ل ِق‬ ُ َ
ْ ‫ح َرب‬ َ َ
ْ ِ‫ه فر‬ِْ ‫م‬ِ ‫صو‬ َ ِ‫ب‬

“Allah Ta’ala telah berfirman: “Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali shaum, sesungguhnya shaum
itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya. Dan shaum itu adalah benteng (dari api
neraka), maka apabila suatu hari seorang dari kalian sedang melaksanakan shaum, maka janganlah dia
berkata rafats dan bertengkar sambil berteriak. Jika ada orang lain yang menghinanya atau mengajaknya
berkelahi maka hendaklah dia mengatakan ‘Aku orang yang sedang shaum’. Dan demi Zat yang jiwa
Muhammad berada di tanganNya, sungguh bau mulut orang yang sedang shaum lebih harum di sisi Allah
Ta’ala dari pada harumnya minyak misik. Dan untuk orang yang shaum akan mendapatkan dua kegembiraan
yang dia akan bergembira dengan keduanya: Apabila berbuka dia bergembira dan apabila berjumpa dengan
Rabnya dia bergembira disebabkan ibadah shaumnya itu”. (HR. Al-Bukhari no. 1771 dan Muslim no. 1151)

Penjelasan ringkas:

Puasa termasuk dari ibadah-ibadah yang mulia lagi mempunyai keutamaan yang besar, saking besarnya
sampai-sampai para ulama berbeda pendapat mengenai ibadah yang paling utama, apakah shalat atau puasa.
Hal itu karena semua amalan anak Adam akan dilipatgandakan maksimal sampai 700 kali lipat kecuali puasa,
pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah tanpa batas bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada yang dipenuhkan pahalanya tanpa batas kecuali orang-orang yang bersabar,” dan puasa
mengumpulkan ketiga jenis kesabaran: Sabar dalam menjalankan perintah, sabar dalam menjauhi larangan,
dan sabar terhadap takdir yang menyusahkan (berupa lapar dan haus).

Puasa -baik yang sunnah apalagi yang wajib- juga adalah perisai yang bisa melindungi bahkan menjauhkan
pelakunya dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan, sebagaimana dia juga melindungi dari semua bentuk
maksiat dan kemungkaran. Karenanya sangat wajar kalau Allah Ta’ala mensyariatkan ibadah puasa ini bukan
hanya pada umat Islam akan tetapi kepada semua umat sebelum Islam, karena Allah ingin agar mereka semua
mendapatkan keutamaannya.

Maka sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk bersegera mengamalkan amalan mulia ini dan hendaknya
dia menanggung beban kesulitan yang sedikit itu (pembatal puasa) guna mendapatkan kebahagian yang besar
ketika dia berbuka dan ketika dia berjumpa dengan Rabbnya pada hari kiamat.

Anda mungkin juga menyukai