Situ Bagendit

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 4

Situ Bagendit

Pada zaman dahulu kala disebelah utara kota Garut ada sebua desa penduduknya
kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah
kekurangan air dan sawah mereka selalu mengahasilkan padi yang berlimpah.
Namun para pendudukdesa itu tetap miskin karena kekurangan.
( )

.....

Hari ini masih gelap dan embun masih terlihat, namun para penduduk sudah
bergegas menuju sawah mereka untuk memanen dan akan menjualnya ke Nyai
Endit itu adalah orang terkaya di desa itu. Dia mempunyai lumpung oadi yang
sangat luas karena harus menampu padi yang dibelinya dari seluruh peta di desa.
Jika pasokan mereka habis, mereka terpaksa harus membeli dari Nyai Endit
dengan harga yang lebih mahal. ( )

.....

Pada siang hari pada saat petani sedang pertanu ada dua petani yang sedang
berbincang-bincang.

Petani 1 : “wah kapan yah, nasib kita nisa berubah?, Saya tidak akan hidup seperti
ini. Kenapa Tuhan tidak menghukum si lintah darat?!”

Petani 2 : “ssttt, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang dengar, kita maha
harus sabar nanti jufga akan datang pembalasan yang setimpal, kan Tuhn mah
tidak pernah tidur.

Sementara iu Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya. ( )

…..

Nyai Endit : “Barja!!, Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?”

Barja : “Sudah beres Nyi!!, boleh diperiksa lumbungnya Nyi!. Lumbungnya sudah
penuh diisi padi, bahkan beberapa masig kita simpan di luar karena sudah tak
muat lagi.”

Nyai Endit : “Ha..ha..ha..ha…!! Sebentar lagu mereka akan kehabisan beras dan
akan membelinya kepadaku, aku akan semakin Kaya! Bagus! Awasi mereka,
jangan sampai mereksa menjual ke tempat lain beri pelajaran bagi siapa yang
membangkang.
Benar saja beberapa minggu kemudian penduduk desa mulai kehabisan bahan
makanan dan banyak yang menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu
berpesta pora.

..

Suatu siang yang panas, dari ujung desa tampak seorang Nenek yang berjalan
terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapn penuh
iba.

Nyi Asih : “ya, nek, ada apanya?”

Nenek : “Di manakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?”

Nyi Asih : “Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit? Sudah dekat, Nek. Nenek
tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu, Nenek belok kiri. Nanti Nenek
akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang Nenek ada perlu
apa sama Nyi Endit?”

Nenek : “Saya mau minta sedekah.”

Nyi Asih : “Ah, percuma saja Nenek minta sama dia. Nggak bakalan dikasih.
Kalau Nenek lapar, Nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya.”

Nenek : “Tidak perlu, aku cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang
minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap
mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.
Nyi Asih : “Nenek bercanda, ya? Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”

Nenek : “Aku tida bercanda. Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada
Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik
kalian.”

Setelah itu si Nenek pergi meninggalkan Nyi Asih yang masih bengong.
Sementara itu, Nyai Endit dan centengnya sedang menikmati hidangan yang
berlimpah. Si pengemis tiba di rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh
para centeng.

Centeng : “Hei, pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah
ini kotor terinjak kakimu!”

Nenek : “Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya
makan. Sudah tiga hari saya tidak makan.”

Centeng : “Apa peduliku. Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan, ya beli,
jangan minta! Cepat pergi sekarang juga!

Nenek : “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!”

Centang-centang itu berusaha mengusir si Nenek yang terus berteriak-teriak, tapi


tidak berhasil.

Nyai Endit : “Siapa sih yang berteriak-teriak di luar. Ganggu orang makan saja!
Hei…! Siapa kamu Nenek tua? Kenapa betreriak-teriak di depan rumah orang?”

Nenek : “Saya cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak
makan.”

Nyai Endit : “Lah, nggak makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari
sini! Nanti banyak lalat nyium baumu.

Si Nenek bukannya pergi, dia malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu


memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.

Nenek : “Hei, Endit! Selama ini Tuhan memberimu rezeki berlimpah tapi kau
tidak pernah bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk Desa kelaparan, kau
malah menghambur-hamburkannya. Aku datang kesini untuk para penduduk yang
sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
Nyai Endit : “Ha ha ha…. Kau mau menghukumku? Tidak salah, nih? Kamu tidak
lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati.”

Nenek : “Tidak perlu repot-repot mengusirku. Aku akan pergi dari sini jika kau
bisa mencabut tongkatku dari tanah.”

Nyai Endit : “Dasar Nenek gila. Apa susahnya mencabut tongkat. Tanpa tenaga
pun aku bisa!”

Lalu, hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan.
Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup!
Masih tidak bergeming juga.

Nyai Endit : “Sialan! Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak
tercabut. Gaji kalian akan ku potong!”

Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si Nenek, namun meski sudah


ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tidak bergeming.

Nenek : “Ha ha ha… kalian tidak berhasil! Ternyata tenaga kalian tidak seberapa.
Lihat, aku akan mencabut tongkat ini.”

Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah.
Byuuuuuuurrr!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si Nenek, air menyembur
sangat deras.

Nenek : “Endit! Inilah hukuman untukmu! Air ini adalah air mata para penduduk
yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”

Setelah berkata demikian si Nenek tiba-tiba menghilang entah ke mana. Tinggak


Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari
menyelamatkan hartanya, namun hartanya itu sudah terlanjur tenggelam oleh air
bah.

Di Desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya
‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Begendit berasal dari kata Endit. Beberapa
orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di
dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur
dari jebakan air bah.

Anda mungkin juga menyukai