Anda di halaman 1dari 3

Oposisi Fitrah, Koalisi Anugerah

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersama Wakil Ketua Umum Edhy Prab
owo datang ke Istana, Jakarta, Senin sore, 21 Oktober 2019. Melansir Jawapos.com setel
ah sekitar satu jam berada di Istana, keduanya keluar Istana dan Prabowo menyampaika
n dirinya diminta Presiden membantu di bidang pertahanan.

Ia juga memastikan jika Gerindra akan mendapat jatah dua menteri di kabinet Jokowi-M
a'ruf Amin. Dengan masuknya Gerindra pada koalisi pendukung pemerintah, hingga han
ya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sudah memastikan akan menjadi oposisi di parl
emen.

Bergabungnya Gerindra dalam gerbong pemerintahan tentunya sudah bisa menjadi gam
baran bagaimana dukungan parlemen terhadap pemerinthan Jokowi periode ke II. Hal i
ni tentunya akan timpang jika dibandingkan pada 2014 pasca Jokowi di Lantik menjadi
Presiden pasca menjadi pemenang dalam gelaran Pilpres 2014.

Kendati menang dalam gelaran Pilpres tersebut namun dalam komposisi parlemen berb
anding terbalik. Mengingat kala itu Koalisi Merah Putih (KMP) lebih menguasi kursi parle
men dengan persentase 52 persen kursi. Hal ini berimbas dengan runtutan proses peng
ambilan keputusan di DPR yang dimenangkan KMP.

Beberapa kemenangan yang dicapai dalam putusan kala itu diantaranya Undang-Undan
g Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Da
erah (MD3), Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Serta proses pemilihan
pimpinan DPR.

Hemat penulis, kehadiran partai oposisi dalam pemerintahan merupakan hal yang sanga
t penting, utamanya untuk negara dengan sistem pemerintahan demokratis. Menukil ide
om Lord Acton, ‘Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely’. Men
gejawantahkan pemerintah membutuhkan kelompok oposisi untuk menjaga supaya pem
erintahannya tidak absolut dan cover both side.

Pondasi Kuat

Minimnya oposisi dalam komposisi parlemen 2019-2024 menjadi sinyalemen jika Preside
n Jokowi tidak bakal menghadapi ganjalan dalam menjalankan kebijakan atau program-
programnya. Pun begitu, hal ini bisa ditinjau dari beberapa perspektif dari dampak yang
ditimbulkan.

Pertama, dengan minimnya oposisi maka seluruh mekanisme yang terjadi dalam parlem
en tentunya akan bisa ditebak. Apalagi komposisi yang cukup timpang menjadikan hasil
putusan yang ada di parlemen dipastikan dapat mulus tanpa kendala.

Sementara perspektif kedua, ikwal minimnya oposisi juga menjadikan fungsi yang dibut
uhkan untuk mewujudkan tatanan penyelenggaraan negara yang memberi kewenangan
antar cabang kekuasaan negara dalam hal ini legislatif, eksekutif dan yudikatif untuk sali
ng mengontrol dan menyeimbangankan pelaksanaan kekuasaannya masing-masing akan
pupus.

Idealnya memang fungsi oposisi dapat menjadi pondasi kuat untuk pembangunan demo
krasi ke arah yang lebih baik. Namun realitasnya jauh panggang dari api, sebabnya ikli
m oposisi yang terjadi di Indonesia tak seindah idealitas yang ada.

Mafhum ditemukan kelompok oposisi di Indonesia terlahir karena takdir politik. Mereka
yang kalah dalam pesta demokrasi dan tidak memiliki ruang untuk di pemerintahan lebi
h memilh jalur ini. Pun diketahui masif tidak ada yang abadi dalam dunia politik, namu
n pentingnya membangun fungsi ini cukuplah penting.

Peta politik di Indonesia yang sarat kejutan tak ubahnya permainan. Hal inilah yang tak
membedakan siapa lawan dan siapa kawan. Bisa saja yang dulu saling bersitegang dala
m hal kontestasi pemilihan, kini justru melenggang bersama untuk sebuah capaian. Mes
ki dalam Demokrasi hal tersebut cukup janggal, namun menjadi wajar karena terus beru
lang.

Rubah Paradigma

Di Indonesia sendiri dengan sistem demokrasi yang memberikan ruang tumbuhnya mul
ti partai politik. Sehingga bebas dalam mengemukakan dan mengartikulasikan kepenting
an masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintahan.

Dengan adanya multi partai politik inilah diharapkan mampu melakukan kontrol terhada
p kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan cita-cita dan keinginan masyarakat. Na
mun fakta dilapangan berbeda, pasca reformasi fungsi oposisi tampaknya menjadi fatam
organa.
Fungsi oposisi akan berbeda jika dibandingkan dalam sistim dwi-partai yang sudah jelas
letak tanggungjawab mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi partai. Mengingat di dalamnya
ada partai yang berkuasa (red. partai pemenang Pemilu) yang berperan sebagai pelaks
ana pemerintahan.

Serta partai oposisi (red. partai yang kalah dalam Pemilu) yang berperan sebagai penge
cam utama tapi yang setia terhadap kebijaksanaan partai yang duduk dalam pemerintah
an, dengan pengertian bahwa sewaktu-waktu dapat bertukar tangan dalam pemilu yang
akan datang. (Prof. Miriam Budiardjo - 1989)

Seharusnya hal tersebut juga bisa terjadi di Indonesia jika memang elite politik bisa mer
ubah paradigmanya. Kerangka berfikir “Koalisi Anugrah, Oposisi Fitrah” bisa ditanamkan
sejak sebelum terjun kedunia politik di negeri minim koalisi ini.

Akhirulkalam, mari kita martabatkan suasana pasca pelantikan presodin ini dengan menj
adi masyarakat yang cerdas dengan peduli terhadap segala isu yang ada di negeri ini
dengan cara yang bijak.

Fareh Hariyanto
Mahasiswa Jurusan Ahwalusasyiah
Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy Genteng Banyuwangi

Anda mungkin juga menyukai