Anda di halaman 1dari 45

BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS
Nama : Tn. Y
Jenis Kelamin : Laki - laki
Usia : 77tahun
Alamat : Jl. Brijen Sudiarjo gang IV No. 8 Sidomukti
Status : Menikah
Masuk RS : 8 Oktober 2019
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Sesak napas.
2. Riwayat Penyakit Sekarang (RPS)
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan sesak napas sudah
1 minggu. Sesak napas pasien terus menerus, tetapi menurun saat
istirahat dan meningkat saat aktivitas. Sesak napas pasien sudah
mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari. Sesak napas pasien berada di
angka 7. Pasien juga mengeluhkan batuk kadang tidak berdahak. Pasien
buang air besar dan buang air kecil tidak ada kelainan. Mual muntah
disangkal.
3. Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
Pasien belum pernah menderita keluhan serupa sebelumnya. Riwayat
darah tinggi, asma, kencing manis, penyakit jantung, dan asam urat
disangkal.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Penyakit
darah tinggi, kencing manis, asam urat, asma, penyakit jantung dan
penyakit ginjal dikeluarga disangkal.
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien memiliki asuransi BPJS kelas I. Sehari-hari pasien bekerja sebagai
tukang kayu. Pasien jarang berolahraga. Makan sehari 2-3x. Merokok

1
(+), minum alkohol (-) namun sudah berhenti 6 bulan yang lalu. Alergi
obat (-).
C. PEMERIKSAAN FISIK
Kesan Umum Baik
Kesadaran Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tekanan Darah :148/82 mmHg
Nadi :89 x/menit reguler, tekanan dan isi cukup
Respirasi :22 x/menit ada nafas kusmaul, tidak ada nafas
Vital Signs / cynec stokes
Tanda-Tanda SpO2 :97% + 2l/m
Vital Suhu : 36,7 0C
BB : 55,7 kg
TB : 165 cm
IMT : 20,2
Kepala dan
Leher
Inspeksi Conjungtiva anemis (+/+), Sklera Ikterik (+/+), deviasi
trakea (-) leher membengkak.
Palpasi Pembesaran Limfonodi (-),deviasi trakea (-), JVP tidak
meningkat (5+2)perabaan leher lunak.
Thorax ( pulmo )
Inspeksi Bentuk dada datar dan simetris, tidak terdapat jejas dan
kelainan bentuk, tidak ada spider nervi, tidak ada atrofi
otot dada, tidak ada ginekomasti
Palpasi Tidak ada ketertinggalan gerak dan vokal fremitus dada
kiri menurun sedangkan dada kanan normal.
Perkusi Sonor pada lapang paru kiri, sedangkan lapang paru
kanan redup pada bagian lateral dan basal.
Auskultasi Suara Dasar Vesikuler (SDV) : +/+ menurun
Suara ronkhi: +/+
Suara whezzing :-/-

2
Thorax ( Cor )
Inspeksi Pulsasi tidak terlihat
Palpasi Teraba ictus cordis di SIC V linea midclavicularis
sinistra
Perkusi Jantung tidak membesar, batas paru-jantung:
Batas kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Batas kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Batas kiri bawah : SIC V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ada bising
ataupun suara tambahan jantung
Abdomen
Inspeksi Bentuk datar (+),spider nevi (-), striae (-), jejas (-)
Auskultasi Peristaltik usus (+)10x/menit
Palpasi Perut teraba supel. Nyeri tekan (-), undulasi (+), hepar
dan lien tidak teraba
Perkusi Perut bagian lateral redup dan perut bagian medial
timpani. Shifting dullness (-),
Ekstremitas
Inspeksi Edema (-/-)
Palpasi Pitting edema (-/-), akral hangat pada semua extermitas,
sianosis (-) capillary refill 2 detik

3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium (19-10-2019)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
Hematologi
Leukosit 10,43 4,5 – 11 ribu/ul
Eritrosit 4,37 4,5 – 6,5 juta/ul
Hemoglobin 12,5 13 – 18 gr/dL
Hematokrit 36,0 40 – 54 vol%
MCV 82,3 85 – 100 Fl
MCH 28,6 28 – 31 Pg
MCHC 34,8 30 – 35 gr/dL
Trombosit 284 150 – 450 ribu/ul
Golongan darah -

Hitung Jenis
Eosinophil 1,3 1–6 %
Basophil 0,2 0–1 %
Limfosit 3,1 20 – 45 %
Monosit 2,4 2–8 %
Neutrofil 93 40 – 75 %
KIMIA
GDS 93 <140
SGOT 149 <37
SGPT 81 <42

4
2. Hasil Pemeriksaan Radiologi (17-10-2019)
a. Rontgen thorax (PA)

 Hasil :
- Tampak opasitas inhomogen yang tersebar dikedua pulmo
dengaan batas tak tegas, dengan air brochogram (+)
- Tampak opasitas dihemithorax sinistra yang menutup
diafragma dan sunus costofrenicus dextra
- Diafragma sinistra tampak irreguler
- Sinus costofrenicus sinistra tampak lancip
- Cor, CTR <0,5
- Tampak scoliotik vertebra thorakalis dengan gambaran para
fertebral mass
 Kesan
- Gambaran TB paru aktif lesi luas dengan pleural effusion
dextra distertai gambaran interstitial peneumonia
- Besa Cor dalam batas normal
- Gambaran scondilitis thorakalis dengan gambaran gibbus
mengarah gamparan spondilitis TB disertai scoliotik veterbra
thorakalis
-

5
E. ASSESMENT
Efusi pleura dextra et causa TB paru pengobatan 2 minggu dengan drug
induced hepatitis dan anemia
G. PENATALAKSANAAN
1. IGD
- Infus RL 20 tetes/menit
- Injeksi levofloksasin 1 x 750 mg
- Oksigen 5 liter/menit
- Injeksi omeprazol 2 x 40 mg
- Injeksi ondansetron 3 x 4 mg
- Ambroxol 3 x 30 mg
- OBH 3 x 1C
- Parasetamol Tab 3 x 500 mg
- Etambutol Tab 1 x 750mg
2. Bangsal pada tanggal 21 Oktober 2019
- Injeksi ondansetron 1 g/ 8 jam
- Injeksi omeprazol 1 g/ 2 jam
- Injeksi Ceftriaxon 2 g/ 24 jam
- Ambroxol Tab 3 x 30 mg
- Parasetamol Tab 3 x 500 mg
- Etambutol 1 x 750mg
- Curcuma 3 x 20 mg
- Aminofilin 240 mg

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. EFUSI PLEURA
1. Definisi
Efusi pleura adalah penimbunan cairan berlebihan dalam rongga
pleura. Disebabkan oleh peningkatan terbentuknya cairan pleura dalam
interstisial paru, pleura parietalis, atau rongga peritoneum atau karena
penurunan pembuangan cairan pleura oleh limfatik pleura
parietalis(Light, 2014).
2. Klasifikasi
a. Efusi pleura transudat
Dalam keadaan normal cairan pleura yang berjumlah sedikit
adalah cairan transudat. Transudat terjadi apabila hubungan normal
antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid osmotik menjadi
terganggu sehingga terbentuk transudat. Contoh : 1) gagal jantung
kiri; 2) sindrom nefrotik; 3) obstruksi vena cava superior; 4) ascites
pada sirosis hepatis (Halim, 2014).
b. Efusi pleura eksudat
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membran
kapiler yang permiabelnya abnormal dan berisi protein
berkonsentrasi tinggi. Terjadi perubahan permiabel membran karena
proses:1) peradangan pada pleura; 2) infark paru; 3) neoplasma
(Halim, 2014).
Biokimia Transudat Eksudat
Kadar protein dalam efusi <3 >3
Kadar protein dalam serum < 0,5 > 0,5
Kadar LDH dalam efusi < 200 > 200
Kadar LDH dalam serum < 0,6 > 0,6
Berat jenis cairan efusi < 1,016 > 1,016
Rivalta Negative Positif
Tabel 2.1. Perbandingan Cairan Transudat dan Eksudat(Halim, 2014)

7
3. ETIOLOGI
a. Pleuritis
- Virus dan mikoplasma
- Bakteri piogenik
- Tuberkulosa
- Fungi
- Parasit
b. Kelainan intra-abdomen
- Sirosis hepatis
- Sindrom meig
- Dialisis peritoneal
c. Penyakit kolagen
- Lupus eritematosus
- Rhematoid artritis
- Skleroderma
d. Gangguan sirkulasi
- Gangguan kardiovaskular
- Emboli pulmonal
- hipoalbuminemia
e. Neoplasma
- Misotelioma
- Karsinoma bronkus
- Neoplasma metastatik
- Limfoma maligna
f. Penyebab lain
- Trauma
- Uremia
- Miksedema
- Reaksi hipersesitivitas obat
(Halim, 2014).

8
4. Manifestasi
Menurut Light (2014) efek yang ditimbulkan oleh akumulasi cairan
di rongga pleura bergantung pada jumlah dan penyebabnya. Efusi dalam
jumlah yang kecil sering tidak bergejala. Bahkan efusi dengan jumlah
yang besar namun proses akumulasinya berlangsung perlahan hanya
menimbulkan sedikit atau bahkan tidak menimbulkan gangguan sama
sekali. Jika efusi terjadi sebagai akibat penyakit inflamasi, makagejala
yang muncul berupa gejala pleuritis pada saat awal proses dan gejala
dapat menghilang jika telah terjadi akumulasi cairan. Gejala yang
biasanya muncul pada efusi pleura yang jumlahnya cukup besar yakni :
a. Gejala penyakit yang mendasari: CKD, CHF, TB
b. Sesak napas
c. Rasa penuh di dada
d. Nyeri dada (nyeri pleuritik)
e. Batuk kering
(Light, 2014; Ward et al., 2007).
5. Patogenesis Patofisiologi
Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan
oleh peradangan. Bila proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk
pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks. Bila proses ini mengenai
pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks. Proses
terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis
sehingga udara akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering
disebabkan oleh trauma dada atau alveoli pada daerah tersebut yang
kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru (Halim, 2014).
Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit
lain bukan primer paru seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati,
sindrom nefrotik, dialisis peritoneum. Hipoalbuminemia oleh berbagai
keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis paru dan
pneumothoraks(Halim, 2014).

9
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang
menyebabkan permeabilitas kapiler pembuluh darah pleura meningkat
sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal dan terjadi
pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis
dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa tuberkulosa(Halim, 2014).

Gambar 2.1. Patofisiologi Efusi Pleura

10
6. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
- Gejala penyakit yang mendasari
- Sesak napas
- Rasa penuh di dada
- Nyeri dada (nyeri pleuritik)
- Batuk kering
(Light, 2014; Ward et al., 2007).
b. Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan fisik thorax
- Inspeksi : ketertinggalan gerak dan tampak lebih cembung
- Palpasi : vokal fremitus menurun
- Perkusi : redup dan batas jantung bergeser
- Auskultasi : SDV menurun/ negatif, ronkhi (+)
(Firdaus, 2012).
c. Pemeriksaan penunjang
- Foto thorax (X ray)
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang
terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti
kurva radio opaque, dengan permukaan daerah lateral lebih
tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus
menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus,
cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi (Halim, 2014).

11
Gambar 2.2. Foto Thorax Efusi Pleura
- Torakosentesis
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik
maupun terapeutik. Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi
duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah paru sela iga V
garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau
16. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-
1500 cc pada setiap aspirasi. Untuk diagnosis cairan pleura
dilakukan pemeriksaan:
1) Warna cairan.
Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-
santrokom).
2) Biokimia.
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat.
3) Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila
ditemukan sel-sel patologis atau dominasi sel-sel tertentu.
o Sel neutrofil: pada infeksi akut
o Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa
atau limfoma maligna).
o Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru

12
o Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
o Sel giant: pada arthritis rheumatoid
o Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
o Sel maligna: pada paru/metastase.
4) Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat
mengandung mikroorganisme berupa kuman aerob atau
anaerob. Paling sering pneumokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter.
- Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis
tuberkulosis dan tumor pleura. Komplikasi biopsi adalah
pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor pada
dinding dada
(Halim, 2014).

Gambar 2.3. Pendekatan Diagnosis Efusi Pleura (Porcel et al., 2016)

13
7. Diagnosis Banding
a. Atelektasis
b. Pneumothorax
c. Tumor paru
(Slamet, 2002).
8. Penatalaksanaan
a. Tatalaksana penyakit yang mendasari
b. Torakosentesis
Pungsi pleura (torakosintesis) merupakan tindakan invasif
dengan menginsersi jarum melalui dinding toraks untuk
mengeluarkan cairan dari rongga pleura.Indikasi torakosintesis pada
kasus efusi pleura meliputi indikasi diagnostikdan terapeutik: berikut
(Ahmad, 2009; Hanley & Welsh, 2003).
1) Diagnostik
Saat melakukan torakosentesis, sampel cairan pleura
dapat diambil dandiperiksakan untuk menentukan penyebab
efusi. Untuk pemeriksaanlaboratorium dibutuhkan 50 – 100 ml.
Sebagian besar efusi pleura yang masihbaru terukur lebih dari
10 mm pada foto toraks posisi lateral dekubitus, CTscan toraks,
atau USG toraks.
2) Terapeutik
Tujuan lain dilakukan torakosentesis adalah untuk
mengurangi gejala yangditimbulkan misalnya meringankan
sesak napas yang diakibatkan jumlahcairan yang besar dan
membutuhkan evakuasi segera.k untuk mengurangi tekanan
mekanik terhadap paru.
 Kontraindikasi:
a) Trombositopenia <20.000 /mm3.
b) Gangguan koagulasi : PT-APTT memanjang > 1,5.
Dalam terapi anti koagulan.
c) Batuk atau cegukan yang tidak terkontrol.

14
 Pengawasan paska tindakan:
a) Dilakukan foto toraks kontrol segera untuk melihat
keberhasilan pungsi yang telah dilakukan.
b) Amati komplikasi yang mungkin terjadi.
c. Chest tube (pemasangan selang dada)
Pemasangan selang dada dapat dilakukan pada pasien dengan
efusi pleura ataupun pneumotoraks dengan ukuran moderat sampai
large, pasien dengan riwayat aspirasi cairan pleura berulang, efusi
pleura yang berulang, pada pasien yang dilakukan bedah toraks,
pasien dengan pneumotoraks yang berhubungan dengan trauma,
hemotoraks, kilotoraks, empiema, atau pada keadaan lain misalnya
untuk pencegahan setelah tindakan pembedahan untuk evakuasi
darah dan mencegah tamponade jantung (Halim, 2014).
d. Pleurodesis
Pleurodesis adalah tindakan untuk menutup rongga pleura
dimana melekatkan pleura visceralis dan parietalis, sehingga akan
mencegah penumpukan cairan pluera kembali. Hal ini
dipertimbangkan untuk efusi pleura yang rekuren seperti pada efusi
karena keganasan. Pipa selang dimasukan di ruang sela iga dan
cairan efusi dialrikan perlahan. Setelah tidak ada lagi cairan yang
keluar, masukan tetrasiklin 500 mg (oksitetrasiklin) yang dilarutkan
dalam 20 cc NaCl, kemudian dimasukan de cavum pleura, dan
dimasukan kembali 20 cc NaCl. Kunci selang selama 6 jam dan
selama itu pasien diubah-ubah posisinya, agar tetrasiklin dapat
terdistribusi ke saluran cavum pleura. Langkah selanjutnya, cairan
dalam cavum pleura kembali dikeluarkan, kemudian selang dicabut
(Halim, 2014).
9. Komplikasi
a. Kollaps paru : hal ini terjadi jika paru-paru dikelilingi kumpulan
cairan dalam waktu yang lama.
b. Empyema : bila cairan pleura terinfeksi menjadi abses, yang akan
membutuhkan drainase yang lama.

15
c. Pneumothoraks, hematothoraks, dan infeksi : dapat merupakan
komplikasi dari torakosentesis
d. Gagal nafas
(Price & Lorraine, 2012).
10. Prognosis
Prognosis efusi pleura bervariasi dan bergantung dari etiologi yang
mendasarinya, derajat keparahan saat pasien masuk, serta analisa
biokimia cairan pleura. Namun demikian, pasien yang lebih dini
memiliki kemungkinan lebihrendah untuk terjadinya komplikasi. Pasien
pneumonia yang disertai dengan efusi memiliki prognosa yang lebih
buruk dibanding pasien dengan pneumonia saja. Namun begitupun, jika
efusi parapneumonia ditangani secara cepat dan tepat, biasanya akan
sembuh tanpa sekuele yang signifikan. Namun jika tidak ditangani
dengan tepat, dapat berlanjut menjadi empiema, fibrosis konstriktiva
hingga sepsis(Light, 2014).
Efusi pleura maligna merupakan pertanda prognosis yang sangat
buruk, dengan median harapan hidup 4 bulan dan rerata harapan hidup 1
tahun. Pada pria hal ini paling sering disebabkan oleh keganasan paru,
sedangkan pada wanita lebih sering karena keganasan pada payudara.
Median angka harapan hidup adalah 3-12 bulan bergantung dari jenis
keganasannya. Efusi yang lebih respon terhadap kemoterapi seperti
limfoma dan kanker payudara memiliki harapan hidup yang lebih baik
dibandingkan kanker paru dan mesotelioma. Analisa sel dan analisa
biokimia cairan pleura juga dapat menentukan prognosa. Misalnya cairan
pleura dengan pH yang lebih rendah biasanya berkaitan dengan massa
keadaan tumor yang lebih berat dan prognosa yang lebih buruk (Light,
2014).

16
B. TUBERKULOSIS PARU
1. Definisi
TB paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini menyebar melalui inhalasi
droplet nuclei. Sebagian besar kuman TB menyerang paru tetapi juga
mengenai organ tubuh lainnya (Amin, 2014).
2. Etiologi
Penyebab penyakit TB paru adalah Mycrobacterium
tuberkulosis,bakteri ini masuk dalam bentuk batang dan memiliki sifat
tahanterhadap asam atau Batang Tahan Asam (BTA). Penderita TB BTA
(+) merupakan sumber penularan utama penyakitini, terutama pada
waktu bersin atau batuk. Penyebaran melaluidroplet atau percikan dahak
yang didalamnya terkandung bakteriaktif yang nantinya apabila terhisap
oleh orang lain dapatmenularkan TB melewati saluran pernapasan. Daya
penularan dariseorang penderita di tentukan banyaknya kuman yang di
keluarkandari parunya. Dalam BTA positif pada penderita TB semakin
tinggiderajat positif hasil pemeriksaan dahak maka semakin
infeksiuspenderita tersebut, begitu pula dengan sebaliknya. Droplet
yangmengandung kuman dapat bertahan dalam beberapa jam di
udaradengan suhu kamar (Price, 2015).
3. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB meliputi 4 hal, yaitu:
- Lokasi yang sakit: paru dan ekstra paru
- Hasil pemeriksaan dahak: BTA positif atau BTA negatif
- Riwayat pengobatan TB sebelumnya
- Status HIV pasien
a. Berdasarkan lokasi
1) TB paru : kuman TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru
2) TB ekstra paru : kuman TB yang menyerang organ selain paru,
misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),
kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran
kencing, alat kelamin, dan lain-lain

17
b. Berdasarkan hasil BTA
1) BTA (+)
- Sekurangnya 2 dari 3 pemeriksaan dahak memberikan hasil
(+)
- Atau 1 kali pemeriksaan spesimen hasilnya (+) disertai
gambaran radiologi yang menunjukan TB aktif
- Atau 1 spesimen BTA (+) dan kultur (+)
- Atau 1 atau lebih spesimen dahak positif setelah 3
pemeriksaan dahak SPS pemeriksaan sebelumnya hasilnya
BTA (-) dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotik non OAT.
2) BTA (-)
- Hasil sputum BTA 3x (-)
- Gambaran radiologi menunjukkan ke arah TB
- Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT
pada pasien HIV (-)
c. Berdasarkan tipe pasien
1) Kasus baru : belum pernah konsumsi OAT sebelumnya atau
pernah mengonsumsi OAT kurang dari 1 bulan
2) Kasus kambuh (relaps)
- Pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT telah
selesai pengobatan dan dikatakan sembuh. Namun,
didapatkan BTA (+) atau kultur (+) kembali dan kembali
konsumsi OAT
- Bila BTA (-), tetapi radiologi menunjukkan lesi
aktif/perburukan dan gejala klinis (+), kemungkinannya
yaitu lesi non TB (pneumonia, bronkiektasis) atau TB paru
relaps ditentukan oleh dokter spesialis
3) Kasus default (setelah putus berobat) : pasien yang telah berobat
dan putus berobat selama >2 bulan dengan BTA (+)
4) Kasus gagal : pasien dengan BTA (+) sebelumnya, tetap (+) atau
kembali lagi menjadi (+) pada akhir bulan ke-5 atau akhir
pengobatan OAT

18
5) Kasus kronik : hasil sputum BTA tetap (+) setelah selesai
pengobatan ulang (katagori 2) dengan pengawasan ketat
6) Kasus bekas TB
- BTA (-), radiologi lesi tidak aktif atau foto serial gambaran
sama dan riwayat minum OAT adekuat
- Radiologi gambarannya meragukan, mendapatkan OAT 2
bulan, foto toraks ulang gambaran sama (Werdhani, 2002).
4. Patogenesis
a. TB primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali
dengan kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus, dan
terus berjalan sehingga sampai di alveolus dan menetap disana.
Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan
cara pembelahan diri di paru, yang mengakibatkan peradangan di
dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman TB ke kelenjar
limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer.
Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks
primer adalah sekitar 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadinya perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi
positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya
kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh tersebut
dapat menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian,
ada beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persister atau
dorman (tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu
menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa
bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita TB. Masa inkubasi
yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit,
diperkirakan sekitar 6 bulan (Amin, 2014).
Menyebar dengan cara:
1) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contoh
adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan bronkus,
biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang

19
membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas
bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis
akan menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus
yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada lobus yang
atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
2) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan
maupun ke paru sebelahnya atau tertelan.
3) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini
berkaitan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman.
Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan
tetetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis
milier, meningitis tuberkulosis. Penyebaran ini juga dapat
menimbulkan tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya
tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan sebagainya (Werdhani,
2002).

Gambar II.1. Skema Patogenesis Infeksi Primer TB Paru

20
b. TB post primer
Tuberkulosis post primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian setelah tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-
40 tahun. Tuberkulosis post primer dimulai dengan sarangan dini,
yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun
lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang
pneumoni kecil. Sarang pneumoni ini akan mengikuti salah satu
jalan sebagai berikut:
1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkancacat.
2) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadiproses
penyembuhan dengan penyebukan jaringanfibrosis. Selanjutnya
akan terjadi pengapuran danakan sembuh dalam bentuk
perkapuran. Sarangtersebut dapat menjadi aktif kembali
denganmembentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitibila
jaringan keju dibatukkan keluar.
3) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju(jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengandibatukkannya jaringan
keju keluar. Kaviti awalnyaberdinding tipis, kemudian
dindingnya akan menjaditebal (kaviti sklerotik) (Price, 2015).

Gambar II.2. Skema Patogenesis TB Post Primer

21
5. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis :
Gejala lokal (respiratorik) :
- Batuk > 2 minggu, sifat batuk dimulai dari batuk kering (non
produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum) batuk darah
- Sesak napas jika infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian
paru-paru
- Nyeri dada nyeri dada timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi
gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan
napasnya
- Hemoptisis
Gejala sistemik :
- Demam  biasanya subfebris menyerupai demam influenza,
demam hilang timbul
- Malaise
- Anoreksia
- Berat badan menurun
- Sakit kepala
- Nyeri otot
- Keringat malam
(Aditama, 2006)
b. Pemeriksaan Fisik :
- Konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia
- Suhu demam (subfebris)
- Badan kurus atau berat badan menurun
- Bila dicurigai adanya infiltrat yang luas perkusi redup dan
auskultasi suara napas bronkial, ronki basah, kasar.
- Bila infiltrat diliputi oleh penebalan pleura suara napas
vesikuler melemah
- Bila terdapat kavitas yang cukup besar perkusi hipersonor
atau timpani dan auskultasi suara amforik

22
- TB paru dengan fibrosis yang luas atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal
- Bila jaringan fibrotik luas yaitu lebih dari setengah jumlah
jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah
paru hipertensi pulmonal, kor pulmonal dan gagal jantung
kanan. Tanda-tandanya seperti takipneu, takikardia, sianosis,
right ventrikular lift, right atrial gallop, murmur, tekanan JVP
meningkat, hepatomegali, asites, edema
- Bila TB mengenai pleura efusi pleura. Terlihat ketertinggalan
dalam pernapasan. Perkusi memberikan suara pekak. Auskultasi
memberikan suara napas yang lemah sampai tidak terdengar
sama sekali
(Amin, 2014; Wardhani, 2014).
c. Pemeriksaan Penunjang :
1) Pemeriksaan darah
- Leukositosis
- LED meningkat
- Anemia
- Gama globulin meningkat
- Kadar natrium darah menurun
(Amin, 2014)
2) Pemeriksaan bakteriologik
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal
dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi
jarum halus/BJH).
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi
penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada
semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen
dahak yang dikumpulkan dalam tiga hari kunjungan yang
berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) yaitu:

23
- Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Dahak Pagi (keesokan harinya )
- Sewaktu/spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi)
Pemeriksaan spesimen ini dilakukan secara mikroskopis
dan biakan. Pewarnaan mikroskopis biasa dengan Ziehl-Nielsen
sedangkan fluoresens dengan auramin-rhodamin.
Interpretasi hasil dahak, yaitu:
- BTA (+) : 3x positif atau 2x positif, 1x negatif
- BTA (-) : 3x negatif
- Jika hasil 1x (+), 2x (-) diulang pemeriksaan BTA 3x lagi,
bila hasil:
 1x positif dan 2x negatif BTA (+)
 3x negatif BTA (-) (Aditama, 2006)
3) Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa
fotolateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik,
oblik,CT-Scan.
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh
bayanganopak berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik lainnya :
- Gambaran lesi tidak aktif : fibrotik, kalsifikasi, penebalan
pleura
- Destroyed lung (luluh paru) : atelektasos, kavitas multipel,
fibrosis di parenkim paru
- Lesi minimal : lesi pada satu atau dua paru tidak melebihi
sela iga 2 depan, tidak ada kavitas
- Lesi luas : jika lebih luas dari lesi minimal (Wardhani, 2014).

24
4) Pemeriksaan penunjang lainnya:
- Uji Adenosine Deaminase (ADA test) : Adenosine
Deaminase adalah enzim yang mengubah adenosin menjadi
inosine dan deoxyadenosine menjadi deoxyinosine pada jalur
katabolisme purin. ADA berperan pada proliferasi dan
differensiasi limfosit, terutama limfosit T, dan juga berperan
pada pematangan/maturasi monosit dan mengubahnya
menjadi makrofag. Konsentrasi ADA serum meningkat pada
berbagai penyakit dimana imunitas seluler distimulasi,
sehingga ADA merupakan indikator imunitas selular yang
aktif. Kondisi yang memicu sistem imun seperti infeksi
Mycobacterium tuberculosis dapat meningkatkan jumlah
produksi ADA di area infeksi. Kadar ADA meningkat pada
tuberkulosis karena stimulasi limfosit T oleh antigen-antigen
mikobakteria. Pemeriksaan ada ADA memiliki sensitivitas
90-92% dan spesifitas 90-92% untuk diagnosis TB pleura.
Selain pada TB pleura, ADA juga dilaporkan bermanfaat
dalam TB Peritoneal (cairan asites), TB pericarditis (cairan
pericardial), dan TB meningitis (CSF). Nilai normal: 4 – 20
U/L, Pleuritis TB > 40 U/L, Meningitis TB > 8 U/L.
- Peroksidase Anti Peroksida (PAP-TB) : menentukan adanya
antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen M.tuberculosae.
- Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis)
: uji serologik untuk mendeteksiantibodi M.tuberculosis
dalam serum.
- Interferon Gamma Release Assay (IGRA) : Pemeriksaan
IGRA adalah pemeriksaan darah yang dapat mendeteksi
infeksi TB di dalam tubuh. IGRA bekerja dengan mengukur
respons imunitas selular atau sel T terhadap infeksi TB. Sel T
dalam individu yang terinfeksi TB akan diaktivasi sebagai
respons terhadap sensitisasi antigen berupa peptida spesifik
Mycobacterium Tuberculosis, yaitu Early Secretory
Antigenic Target-6 (ESAT-6) dan Culture Filtrate Protein10

25
(CFP-10) yang ada di dalam sistem reaksi. Sel T akan
menghasilkan Interferon Gamma (IFN-γ) yang diukur dalam
pemeriksaan.
- Keuntungan dari tes IGRA adalah hasil dapat tersedia dalam
waktu 24 jam, tidak meningkatkan respon terhadap
pemeriksaan berikutnya, sebelum vaksinasi BCG (Bacille
Calmette-Guerin) tidak menyebabkan hasil tes IGRA positif
palsu.
- Terdapat dua IGRA yang disetujui oleh U.S. Food and Drug
Administration (FDA) di Amerika Serikat, yaitu
QuantiFERON® -TB Gold-in-Tube test (QFT-GIT) dengan
metode Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan
T-SPOT® TB test dengan metode Immunospot Enzyme-
Linked (ELISpot). Interpretasi hasil pemeriksaan QFT
didasarkan pada jumlah IFN-γ yang dilepaskan, sedangkan
pada T-SPOT® TB didasarkan pada jumlah sel yang
melepaskan IFN-γ. Hasil kualitatif dilaporkan sebagai positif,
negatif, indeterminate, atau borderline.
- Polymerase Chain Reaction (PCR) : dapat dideteksi DNA
kuman TB dalam waktu yang lebih cepat atau mendeteksi
M.tuberculosae yang tidak tumbuh pada sediaan biakan
(Wardhani, 2014).
- Bactec : Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC
iniadalah metode radiometrik. M tuberculosis
memetabolismeasam lemak yang kemudian menghasilkan
CO2 yang akandideteksi growth indexnya oleh mesin ini.
Kuman ini dapat dideteksi dalam 7-10 hari (Surya, 2011).
- Uji tuberkulin (tes mantoux) : dengan menyuntikkan
tuberkulin PPD (Purified Protein Derivative) sebanyak 0,1 ml
yang mengandung 5 unit (TU) tuberkulin secara intrakutan,
pada sepertiga atas permukaan volar atau dorsal lengan
bawah setelah kulit dibersihkan dengan alkohol. Setelah 48-

26
72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa
indurasi kemerahan. Hasil tes mantoux yaitu:
 Indurasi 0-5 mm mantoux negatif (golongan no
sensitivity)
 Indurasi 6-9 mm hasil meragukan (golongan low grade
sensitivity)
 Indurasi 10-15 mm mantoux positif (golongan normal
sensitivity)
 Indurasi >15 mm mantoux positif kuat (golongan
hipersensitivity (Amin, 2014)

Gambar II.3. Alur Diagnosis TB Paru Pada Orang Dewasa

27
6. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan yaitu regimen pengobatan terdiri dari fase awal
(intensif) selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Selama fase
intensif terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi pengurangan jumlah kuman
disertai perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi menularkan infeksi
menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan
sputum BTA posistif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam
waktu yang lebih panjang. Efek sterilisasi obat pada fase ini bertujuan
untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah kekambuhan. Pada
pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat
risiko resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit.
Pemantauan hasil terapi untuk pasien BTA negatif dan TB ekstra paru,
hasil pengobatan didasarkan pada pemeriksaan klinis.
Pengawasan efek samping, sebagian besar pasien menyelesaiakan
pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna, namun sebagian kecil
mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap efek
samping harus dilakukan. Efek samping obat tuberkulosis dapat dibagi
menjadi efek samping mayor dan minor. Jika timbul efek samping minor
maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau diturunkan.
Dapat diberikan pengobatan simtomatik. Jika timbul efek samping berat
maka pengobatan harus dihentikan, harus ditangani pada pusat pelayanan
khusus.
Tabel II.1. Efek Samping OAT (Wardhani, 2014)
Obat Kontraindikasi Efek samping dan tatalaksana

Rifampisin (R) Sirosis, insufisiensi hati, Minor:


pecandu alkohol, - tidak nafsu makan, mual, sakit
kehamilan perut obat diminum malam
sebelum tidur
- warna kemerahan pada air seni

Mayor:
- gatal dan
kemerahanantihistamin
- ikterik/hepatitis akibat obat
hentikan semua OAT sampai

28
ikterik menghilang, boleh diberi
hepatoprotektor
- muntah dan confusion
hentikan semua OAT dan
lakukan uji fungsi hati
- kelainan sistemik termasuk
syok hentikan rifampisin

Isoniazid (H)  penderita penyakit Minor:


hati akut - neuritis perifer/kesemutan,
 penderita dengan terbakar piridoksin 100
riwayat kerusakan mg/hari sampai gejala hilang
sel hati disebabkan kemudian berikan profilaksis
terapi isoniazid piridoksin 10 mg/hari
 penderita yang
hipersensitif atau Mayor:
alergi terhadap - reaksi hipersensitivitas berupa
isoniazid demam, urtikaria
antihistamin
- reaksi hematologik
(trombositopenia, anemia)
hentikan
- ikterus dan kerusakan hati
yang berat (hepatitis drug
induced hentikan OAT
Pirazinamid (Z) Pasien dengan kelainan Minor:
fungsi hati - hiperurisemia (arthritis
gout) beri allopurinol
- nyeri sendi beri analgetik

Mayor:
- peningkatan enzim
transaminase sesuai
penatalaksanaan TB keadaan
khusus
- reaksi alergi antihistamin,
OAT lanjutkan, bila masih
berlanjut stop semua OAT
Etambutol (E) Anak-anak, pasien dengan Mayor:
neuritis optik - gatal dan kemerahan kulit
antihistamin
- gangguan penglihatan bilateral
berupa neuritis retrobulbar

29
yang ditandai oleh penurunan
visus, penyempitan lapang
pandang hentikan etambutol

Streptomisin (S) Mayor:


- tuli hentikan streptomisin
- gangguan keseimbangan
(vertigo, nistagmus) hetikan
streptomisin

Regimen pengobatan dan kategori pasien, tersedia beberapa


kemungkinan regimen. Pengobatan tergantung dari kategori pasien.
Sekarang telah tersedia obat antituberkulosis dalam bentuk kombinasi
dosis tetap. Pemakaian obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap (OAT-
KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Tablet OAT-KDT
terdiri dari kombinasi atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Panduan OAT kategori 1 dan 2
disediakan dalam bentuk paket OAT-KDT.
Tabel II.2. Beberapa regimen pengobatan (Amin, 2014)
Kategori Kasus Fase intensif Fase lanjutan
(tiap hari) 3x seminggu

I Kasus baru BTA positif, 2HRZE 4H3R3


BTA negatif/rontgen
positif dengan kelainan
parenkim luas, kasus TB
ekstra paru berat
II Relaps BTA positif, 2HRZES,1HRZE 5H3R3E3
gagal BTA positif,
pengobatan terputus
III Kasus baru BTA 2 HRZ 4H3R3
negatif/rontgen positif
sakit ringan, TB ektra
paru ringan

30
Sisipan Bila pada akhir fase 1 HRZE
intensif, pengobatan
pasien baru BTA positif
dengan kategori 1 atau
pasien BTA positif
pengobatan ulang dengan
kategori 2, hasil
pemeriksaan dahak masih
BTA positif
E=Etambutol; H=Isoniazid; R=Rifampisin; Z=Pirazinamid;
S=Streptomisin. Angka sebelum regimen menunjukkan lamanya
pengobatan dalam bulan. Angka indeks menunjukkan frekuensi pemberian
per minggu. Bila tidak ada angka indeks sesudah obat, obat diberikan
setiap hari.
Tabel II.3. Dosis panduan OAT-KDT kategori 1: 2HRZE (Aditama, 2006)
Berat badan Tahap intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
(kg) selama 56 hari RHZE seminggu 16 minggu
(150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 3 tablet 4KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

7. Komplikasi
a. Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, tb usus
b. Komplikasi lanjut : obstruksi jalan napas (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat (fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, acute respiratory distress syndrome)
(Amin, 2014).

31
C. HEPATITIS IMBAS OBAT
1. Definisi
Hepatitis imbas obat atau dikenal juga sebagai “drug-induced
hepatotoxicity, druginduced liver injury, hepatic failure due to drugs,
hepatic failure due to herb, drug hepatotoxicity ,drug toxicity, dan drug-
related hepatitoxicity”, berarti keadaan inflamasi yang terjadi jika kita
mengkonsumsi bahan kimia beracun, obat, atau jamur beracun tertentu.
(Rifai et al., 2015)
2. Peran Hati dalam Metabolisme Obat
Metabolisme toksin dan obat pada hati dikatalisis oleh tiga kelas
enzim : Oksidoreduktase, hydrolase, dan transferase. Ada dua jenis reaksi
yang terjadi, pertama pembentukan hidroksil, karboksil atau amino pada
molekul obat, dan kedua adalah proses konjugasi obat. Proses pertama
adalah reaksi oksidasi, reduksi, dan hidrolisis sehingga obat mudah
dikonjugasi. Konjugasi biasanya akan menghasilkan glukoronida. Yang
memegang peranan dalam metabolisme ini adalah sitokrom P450. Reaksi
fase 2 (reaksi konjugasi), disini zat yang polar meliputi asetat, asam amino,
sulfat, asam glukuronat, dan glutation berikatan secara kovalen dengan
obat. Reaksi fase 2 ini kadang bekerja sebagai substrat obat yang telah
dimetabolisme lewat fase 1 dan reaksi ini akan meningkatkan kelarutan
obat. Banyak zat yang dapat langsung mengalami metabolism tipe 2 tanpa
mengalami reaksi tipe 1. Seperti yang didiskusikan sebelumnya reaksi tipe
1 mengakibatkan pembentukan metabolit yang lebih aktif secara kimia dan
mengakibatkan kerusakan sel. Fungsi fase 2 adalah melemahkan produk
metabolisme reaksi tipe 1 ini dengan pengikatan bahan yang polar (contoh:
glutation), atau dapat juga hasil metabolisme obat induk pada reaksi tipe 1
(Stine, 2011)
3. Sitokrom P450
Enzim sitokrom P450 disebut juga P-450 atau CYPs (diucapkan
sips) terletak di retikulum endoplasmik merupakan keluarga enzim
metabolism tipe 1 yang paling penting, terdapat sekitar 10 famili gen yang
mengatur enzim ini pada mamalia. Isoenzim P-450 yang sangat penting
dalam metabolisme obat berasal dari famili 1, 2 dan 3 dinamakan CYP1,

32
CYP2, CYP3, dan subfamily yang ditandai oleh huruf kapital. Setiap
subfamily pada umumnya memiliki banyak jenis yang ditandai dengan
angka arab biasanya menggambarkan urutan dimana ditemukan.10
Sitokrom 450 adalah hemoprotein yang banyak terdapat di hati.
Metabolismenya sendiri mempunyai peranan terhadap produksi bilirubin.
Sitokrom C-reduktase adalah suatu flavoprotein. Enzim ini memberikan
elektron kepada sitokrom P450 dan akan menghasilkan reduksi dari
sitokrom P450 serta menghasilkan sitokrom P450 oksidasi, oksidasi obat,
dan H20 (Leise, 2014).
Tiga hal penting dalam sistem P-450 yang berhubungan dengan
hepatitis imbas obat adalah:
a. Heterogenitas genetik, yang memainkan peran penting dalam jenis

produk enzim yang dihasilkan.

b. Variasi pada aktivitas spesifik enzim P-450, variasi ini bergantung

kepada penginduksi ataupun penghambat enzim seperti yang telah

dijelaskan di atas.

c. Inhibisi Kompetitif, obat-obatan yang memiliki spesifiksitas yang

sama untuk biotransformasi dapat secara kompetitif mengurangi

biotransformasinya (Tabel 1). Hal ini dapat mengakibatkan akumulasi

obat dalam darah maupun jaringan yang dimetabolisme oleh P-450.

Contoh: orang yang mendapatkan terapi imunosupresan siklosporin

dan obat jamur ketokonazol akan mengalami akumulasi siklosporin

karena ketokonazole menginhibisi kerja P-450-3A.

(Tujios, 2011)

33
4. Interaksi Obat dan Hati
Kebanyakan penderita mengonsumsi obat yang beragam sehingga
dapat terjadi interaksi obat, sehingga menyebabkan perubahan pada efek
pengobatan yang mungkin saja toksisitas. Interaksi obat ini bisa saja tak
berhubungan dengan hati, misalnya perubahan dalam absorbsi obat atau
pengikatan dengan protein serum dan ada juga yang berkaitan dengan hati.
Jika dipergunakan obat perangsang enzim mikrosom hati mengakibatkan
eliminasi obat bertambah, sehingga konsentrasi di dalam darah berkurang
dan aktivitas obat berkurang. Dan kebalikannya jika dipergunakan obat
yang mengurangi aktivitas mikrosom hati, maka aktifitas obat lain
bertambah. Contoh: pemberian kloramfenikol dengan tolbutamid, difenil
hidantoin dan dikumarol mengakibatkan toksisitas karena kloramfenikol
memperpanjang paruh obat lain. Pada penyakit hati pun kita harus berhati-
hati karena terjadi perubahan pada metabolism obat (Tujios, 2011).
Tabel II.4. Contoh Enzim Sitokrom P-450
P-450 Substrat Tipe reaksi Inducer
1A2 Kafein N-dimetilation Hidrokarbon pada rokok
Teofilin N-dimetilation
2B1 Testosteron Hidroksilasi Fenobarbital
2C9 Tolbutamide Hidroksilasi Tak diketahui
Tinkrinafen Hidroksilasi
2D6 Debrisoquin Hidroksilasi Tak diketahui
Perhexine
2E1 Aseaminofen Etanol
Etanol Isoniazide
3A Eritromisin N-dimetilation Rifampin
Siklosporin Antikovulsan
Ketokonazole Glukokortikoid

5. Patofisiologi
Banyak mekanisme yang terjadi agar metabolit toksik merusak sel
hati, akan tetapi mekanisme yang paling umum terjadi adalah ikatan
kovalen dan stres oksidatif. Target utama metabolit reaktif ini adalah
mitokondria.
Berbagai penelitian mendukung fakta bahwa ikatan kovalen dari
metabolit reaktif kebeberapa protein dapat memgganggu fungsinya,
mengakibatkan hepatotoksisitas. Sebagai contoh lokasi protein yang
berikatan kovalen masuk ke dalam asinus berkorelasi baik dengan lokasi

34
kerusakan hepatosit karena asetaminofen14 dan kokain. Sebagai tambahan,
manipulasi lingkungan yang meningkatkan atau menurunkan rasio ikatan
kovalen (co: pengobatan dengan inducer atau inhibitor dari P-450 yang
spesifik) secara proporsional meningkatkan atau menurunkan sensitivitas
hati terhadap toksisitas. Akan tetapi, peningkatan ikatan kovalen yang
dihasilkan oleh obat tidak secara langsung menggambarkan
hepatotoksisitas. Dapat disimpulkan bahwa ikatan kovalen pada protein
tidak selalu mengakibatkan hepatotoksisitas. Dalam beberapa keadaan
ikatan kovalen ini memberikan mekanisme adaptasi untuk sel, contoh:
dispekulasi bahwa protein sitosol tertentu teridentifikasi sebagai target
untuk ikatan kovalen asetaminofen berfungsi melindungi sel dengan
menonaktifkan metabolit raktif (Tujios, 2011).
6. Penegakkan Diagnosis
Berdasarkan International Consensus Criteria, diagnosis
hepatotoksisitas imbas obat berdasarkan:
a. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai awitan
reaksi nyata adalah sugestif (5 – 90 hari dari awal minum obat) atau
kompatibel (kurang dari 5 hari atau lebih dari 90 hari sejak minum
obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk reaksi
hapatoseluler, dan tidak lebih dari 30 hari dari penghentian obat dari
reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.
b. Perjalanan reaksi sesudah penghentian obat adalah sangat sugestif
(penurunan enzim hati paling tidak 50% di atas batas atas normal
dalam 8 hari) atau sugestif (penurunan kadar enzim paling tidak 50%
dalam 30 hari untuk reaksi hepatoseluler, dan 180 hari untuk reaksi
kolestatik) dari reaksi obat.
c. Alternatif sebab lain dari reaksi setelah dieksklusi dengan
pemeriksaan teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus.
d. Dijumpai respons positif pada pemaparan ulang dengan obat yang
sama paling tidak kenaikan dua kali lipat dari enzim hati).
Dikatakan reaksi drug related jika semua tiga kriteria pertama
terpenuhi atau jika dua dari tiga kriteria pertama terpenuhi dengan respons
positif pada pemaparan ulang obat.

35
Nilai ALT atau AST yang abnormal dapat ditemukan pada pasien-
pasien dengan gejala klinis penyakit hati sehingga memperkuat diagnosis,
maupun pada pasien yang tidak menampakkan kelainan fisik. Menemukan
penyebab peningkatan enzim pada pasien yang secara klinis terlihat
normal ada kalanya menjadi tantangan yang tidak mudah dipecahkan. Pada
sebagian besar penyakit kroinflamasi hati ALT maupun AST akan
meningkat. Peningkatan paling mencolok biasanya terlihat pada hepatitis
viral akut, hepatitis imbas obat, dan hepatitis iskemi (Rifai, 2005).
Tabel II.5. Obat yang mengakibatkan hepatitis imbas obat
Hepatocellular Campuran Cholestatic
(Peningkatan ALT) (Peningkatan ALP + (Peningkatan ALP + TBL )
ALT)
Acarbose Amitriptyline Amoxicillinv – asam
Asetaminofen Azthioprine calvunanic
Allopurinol Captopril Anabolic steroids
Amiodaron Carbamazepine Chlorpramazine
Baclofen Clindamycin Clopidogrek
Buproorion Cyproheptadine Oral Contraceptives
Fluoxetin Enalapril Erythomycins
HAART drug Flutamide Estrogens
Isoniazid Nitrofurantoin Irbesartan
Ketoconazole Phenobarbital Mirtazapine
Lsinopril Phenytoin Phenothiazines
Losartan Sulfonamide Terbianfine
Methotherexate Trazodone Tricyclics
NSAIDs Trimethroprim –
Omeprazole sulfamethoxazole
Pyrazinamide Veramil
Rifampin
Risperidone
Sertaline
Statins
Tetracylines
Trazodone
Trovafloxacin
Asam Valproad

36
7. Diferential Diagnosis
a. Hepatitis viral akut
b. Hepatitis autoimun
c. Shock liver
d. Kolestitis
e. Kolangitis
f. Budd-Chiari syndrome
g. Penyakit hati alkoholik
h. Penyakit hati kolestatik
i. Penyakit hati yang berhubungan dengan kehamilan
j. Keganasan
8. Pemeriksaan Penunjang
Hepatitis imbas obat dikatakan tipe kerusakan hepatoseluler jika
konsentrasi aminotransferase meningkat lebih dari 2 kali BANN (batas
atas nilai normal), atau jika rasio ALT dengan AF (alkali fosfatase) lebih
besar atau sama dengan 5. Kerusakan hati ini dikatakan tipe kolestatik jika
konsentrasi alkali fosfatase meningkat 2 kali BANN atau rasio ALT
terhadap AF kurang atau sama dengan 2. Tipe campuran sering terjadi
ditandai dengan peningkatan ALT dan AF 2 kali BANN dengan rasio ALT
dan AF lebih dari 2 tapi kurang dari 5.
Pemeriksaan ANA dapat membantu dalam menyingkirkan diagnosis
autoimun. ANA dan ASMA yang positif dapat dipergunakan untuk
evaluasi, tetapi terkadang membingungkan dan tidak dipergunakan.
Adanya antibodi yang spesifik terhadap CYP telah diketahui berhubungan
dengan hipersensitifitas terhadap beberapa macam obat. Sebagai contoh,
sejumlah antibodi dan obat yang terlibat antara lain CYP1A2,
dihidralazine; CYP 3A1, antikonvulsan; CYP 2E1, halotan. Peranan
antibodi dalam patofisiolgi belum diketahui akan tetapi dapat membantu
diagnosis. Transformasi limfosit untuk memeriksa obat dapat diobservasi
untuk memeriksa kerja obat melalui reaksi imunologis, namun
pemeriksaan ini jarang dilakukan.

37
a. Serologis virus
Hepatitis A dieksklusi jika diperoleh anti-HAV negatif
(Hepatitis A) imunoglobin M (IgM). Hepatitis C dieksklusi dengan
anti-HCV negative (Hepatitis C) antibody, akan tetapi tes ini bisa
tetap negatif untuk beberapa minggu setelah onset Hepatitis C.
Hepatitis B diekslusikan jika diperoleh nilai negative pada
pemeriksaan hepatitis B surface antigen (HBsAg) atau hepatitis B core
antigen (anti-HBc). Dapat juga dilakukan pemeriksaan DNA.
b. Pemeriksaan fungsi hati
1) Bilirubin (total) untuk mendiagnosa ikterus dan memeriksa
beratnya ikterus.
2) Bilirubin (tak berkonjugasi) untuk memeriksa hemolisis.
3) Alkali Fosfatase – untuk mendiagnosis kolestasis dan penyakit
infiltrasi.
4) ALT/SGPT – ALT biasanya relaitf lebih rendah dari AST pada
alcoholism.
5) Albumin – untuk menilai beratnya kerusakan hati (infeksi HIV
dan malnutrisi dapat memperberat hal ini).
6) Gamma globulin – peningkatan yang besar diduga sebagai
hepatitis autoimun, kelainan lain yang tipikal meningkat pada
pasien sirosis.
7) Prothrombin time setelah vitamin K – untuk mendiagnosis
beratnya penyakit hati.
8) Antimitokchondrial antibody – untuk mendiagnosis sirosis biliaris
primer.
9) ASMA – untuk mendiagnosis primary sclerosing cholangitis.
Tabel II.6. Pendekatan Klinis Terhadap Peningkatan ALT.
Peningkatan ALT Diagnosa
Peningkatan sangat tinggi Hepatitis akut
ALT (>100 X batas atas normal) Hepatitis imbas obat
Hepatitis iskemik
Peningkatan moderat Hepatitis virus kronik
ALT (5-20 X batas normal) Hepatitis autoimun
Hepatitis imbas obat
Infeksi virus lain (CMV, dengue, dll)

Peningkatan ringan Fatty liver


ALT (<5 kali batas atas normal) Hepatitis virus kronik

38
Sirosis hat
Penyakit hati kolestasis
Infeksi virus lain (CMV, dengue, dll)

Pemeriksaan radiologi dipergunakan untuk mengeksklusikan


penyebab patologi pada hati, antara lain:
1) Ultrasonografi
Ultrasonografi efektif untuk mengevaluasi kandung empedu,
saluran empedu, dan tumor hati.
2) CT scan
CT scan dapat membantu mendeteksi lesi hati yang berukuran 1
cm atau lebih dan beberapa kondisi yang difus. Pemeriksaan ini
dapat dipergunakan pula untuk memvisualisasikan struktur lain
di dalam abdomen.

3) MRI
MRI memberikan resolusi kontras yang sangat baik.
Pemeriksaan ini dapat dipergunakan untuk mendeteksi kista,
hemangioma, dan tumor primer maupun sekunder. Vena Porta,
Vena Hepatik, dan traktus biliaris dapat dilihat tanpa suntikan
kontras.
(Teschke, 2014)
9. Tatalaksana
Deteksi awal reaksi hepatitis imbas obat ini penting untuk
meminimalisasi kerusakan. Monitoring enzim hepatik diperlukan dengan
sejumlah zat tertentu, khususnya pada kasus yang menjurus pada
kerusakan yang lebih nyata. Untuk obat yang mengakibatkan kerusakan
yang tak dapat diprediksi, pemeriksaan biokima tak terlalu berguna. Nilai
ALT lebih spesifik daripada AST. Nilai ALT yang berada dalam baseline
dan meningkat 2 sampai 3 kali lipat harus meningkatkan kewaspadaan
untuk monitoring yang lebih ketat. Nilai ALT 4-5 kali lebih tinggi dari
nilai normal haruslah kita berhentikan obat tersebut.
Kecuali penggunaan N-asetilsistein untuk keracunan asetaminofen,
tidak ada antidotum spesifik terhadap hepatitis imbas obat. Terapi efek
hepatotoksik obat terdiri dari atas penghentian obat-obatan yang dicurigai.

39
Jika dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun
belum ada bukti penelitian klinis dengan kontrol, kemungkinan
kortikosteroid ini mensupresi gejala sistemik yang berhubungan dengan
hipersensitivitas atau reaksi alergi. Demikian pula dengan penggunaan
ursodioksikolat pada keadaan kolestatik. Pada obat-obatan tertentu seperti
amoksisilin asam-klavulanat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom
dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah obat
dihentikan, dan perlu waktu berbulan-bulan untuk sembuh seperti sedia
kala. L-Karnitin ini cukup bermanfaat dalam kasus toksisitas valproat.
Pengobatan kolestasis imbas obat yang memanjang mirip dengan terapi
pada primary biliary cirrhosis. Kolestiramin dapat dipergunakan untuk
mengurangi pruritus.
a. Pengobatan suportif

Pasien dengan gejala yang berat membutuhkan untuk menerima

pengobatan suportif di rumah sakit, antara lain cairan intravena dan

obat-obatan untuk menghilangkan mual dan muntah.

b. Transplantasi hati

Ketika fungsi hati sangat menurun (drug induced fulminant hepatic

injury), transplantasi hati mungkin satu-satunya pilihan terapi. Terapi

awal untuk transplantasi hati penting untuk disadari. Skor Model for

End-Stage Liver Disease dapat dipergunakan untuk mengevaluasi

prognosis jangka pendek, skor ini dapat dipergunakan pada orang

dewasa dengan penyakit hati tahap akhir. Parameter yang

dipergunakan adalah kreatinin serum, bilirubin total, INR

(International Normalized Ratio). Kriteria lain yang umumnya

dipergunakan untuk transplantasi hati adalah kriteria Kings College.

Kriteria Kings College untuk transplantasi hati pada kasus toksisitas

asetaminofen:

40
- pH darah kurang dari 7,3 ( tanpa melihat grade ensefalopati)

- Prothrombin time (PT) lebih besar dari 100 detik atau INR > 7,7

- Konsentrasi serum kreatinin lebih besar dari 3,4 mg/dL pada

pasien dengan ensefalopati derajat III atau IV

Pengukuran laktat serum pada 4 dan 12 jam pertama juga membantu

detifikasi awal pasien yang memerlukan transplantasi hati. Kriteria

Kings College untuk transplantasi hati pada kasus hepatotoksisitas

imbas obat yang lain4:

- PT > 100 detik (tanpa memandang derajat ensefalopati) atau

- 3 dari kriteria di bawah ini:

1) Usia < 10 tahun dan > 40 tahun.

2) Etiologi Non-A/Non-B hepatitis, halotan hepatitis, atau reaksi

obat idiosinkrasi

3) Durasi ikterik lebih dari 7 hari sebelum onset ensefalopati.

4) PT lebih besar dari 50 detik.

5) Konsentrasi bilirubin serum lebih besar dari 17 mg/dL

(Stine, 2011)

41
BAB III
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

1. PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RSUD Salatiga dengan keluhan sesak napas sudah 1
minggu. Sesak napas pasien terus menerus, tetapi menurun saat istirahat dan
meningkat saat aktivitas. Sesak napas pasien sudah mengganggu tidur dan
aktivitas sehari-hari. Sesak napas pasien berada di angka 7. Pasien juga
mengeluhkan batuk kadang tidak berdahak. Pasien buang air besar dan buang
air kecil tidak ada kelainan. Mual muntah disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan mata pasien konjungtiva anemis dan sclera
ikterik (+/+). Pada pemeriksaan pulmo didapatkan vokal fremitus dada kiri
menurun dan perkusi dada kanan redup dikarenakan masih terdapatcairan di
cavum pleura sinistra. Sedangkan dada kiri normal. Suara ronki (+/+). Perut
pasien datar perabaan supel. Tes undulasi (+) dan shifting dullnes (-). Kaki
pasien oedem (-), pitting oedem (-/-).
Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan eritrosit, hemoglobin
dan hematokrit menurun. SGOT dan SGPT meningkat yang menandakan
terdapat penyakit hepatitis. Hasil pemeriksaan rontgen thorax didapatkan efusi
pelura dextra.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang pasien didiagnosis fusi pleura dextra et causa TB paru pengobatan 2
minggu dengan anemia.
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah 1) mengobati penyakit dasar,
yaitu TB; 2) menghilangkan cairan abnormal di cavum pleura, dengan cara
WSD; 3) Mencegah terbentuknya kembali cairan abnormal tersebut.
2. KESIMPULAN
a. Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura,
dapat berupa cairan transudat ataupun eksudat.
b. Etiologi efusi pleura yaitu 1) pleuritis; 2) kelainan intra abdomen; 3)
penyakit kolagen; 4) gangguan sirkulasi; 5) neoplasma; 6) lain-lain

42
c. Penegakan diagnosis efusi pleura berupa anamnesis, pemeriksaan fisik
terutama pemeriksaan fisik thorax, dan pemeriksaan yaitu 1) foto thorax;
2) torakosentesis; 3) biopsi pleura.
d. Prinsip penatalaksanaan efusi pleura berupa 1) mengobati penyakit dasar;
2) menghilangkan cairan abnormal di cavum pleura; 3) mencegah
terbentuknya kembali cairan abnormal tersebut
e. TB paru adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.
f. Klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB meliputi 4 hal, yaitu lokasi yang
sakit (paru dan ekstra paru), hasil pemeriksaan dahak (BTA positif atau
BTA negatif), riwayat pengobatan TB sebelumnya, status HIV pasien.
g. Prinsip pengobatan yaitu regimen pengobatan terdiri dari fase awal
(intensif) selama 2 bulan dan fase lanjutan selama 4-6 bulan. Selain itu
pengobatan tergantung dari kategori pasien.
h. Hepatitis imbas obat adalah keadaan inflamasi yang terjadi jika kita
mengkonsumsi bahan kimia beracun, obat, atau jamur beracun tertentu.
i. Kebanyakan penderita mengonsumsi obat yang beragam sehingga dapat
terjadi interaksi obat, sehingga menyebabkan perubahan pada efek
pengobatan yang mungkin saja toksisitas.

43
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T.Y, dkk. 2006. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan
di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Ahmad, Z., Krishnadas, R. & Froeschle, P. (2009). Pleural Effusion: Diagnosis
And Management. J Perioper Pract, 19, 242-7.
Amin, Z., Bahar, A. 2014. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, A.W., Setyohadi,
B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi VI Jilid I. Jakarta: Interna Publishing. p. 863-881.
Firdaus, D. (2012). Efusi Pleura. RSUD Dr.H.Abdul Moeloek. Bandar Lampung.
Halim, H.(2014).Efusi Pleura. Dalam: Setiati, S., Alwi, I., Sudoyo, A.W.,
Simadibrata, M., Setiyohadi, B., & Syam, A.F. (2014). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 6. (pp. 1633-1640). Jakarta: Interna
Publishing.
Hanley, M. E. & Welsh, C. H. (2003). Current diagnosis & treatment in
pulmonary medicine. [New York]: McGraw-Hill Companies.
Leise, Michael D., John J. Poterucha, and Jayant A. Talwalkar. 2014. Drug-
induced liver injury. Mayo clinic proceedings. Vol. 89. No. 1. Elsevier.
Light, R.W. (2014). Kelainan pada pleura, mediastinum danm diafragma. In:
Isselbacher, K.J.,Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S., &
Kasper, D.L. (Eds.). Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam.Volume3. Edisi 13. (pp.1385-1390). Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Porcel, J.M., Azzopardi, M., Koegeelenberg, C.F., Maldonado, F., Rahman, N.M.
& Lee, Y.C.G.(2015). The diagnosis of pleural effusions. Expert. Rev.
Respir. Med., 1(2), 1-15.
Price, S.A., Standridge, M.P. 2015. Tuberkulosis Paru. Dalam: Price, S.A.,
Wilson, L.M (editor). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC. p. 852-861.
Price, Sylvia A & Lorraine. (2012). Patofisiologi Konsep Klinis Proses - Proses
Penyakit. Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC
Rifai, Achmad, et al. 2015. Insiden dan Gambaran Klinis Hepatitis Akibat Obat
Anti Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Saiful Anwar
Malang. Jurnal Kedokteran Brawijaya 28.3.
Slamet H. (2002). Efusi Pleura. Dalam : Alsagaff H, Abdul Mukty H, Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.
Stine, Jonathan G., and James H. Lewis. 2011. Drug-induced liver injury: a
summary of recent advances." Expert opinion on drug metabolism &
toxicology 7.7.
Surya, A., Basri, C., Kamso, S. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

44
Teschke, Rolf, et al. 2014. Drug induced liver injury: accuracy of diagnosis in
published reports. Ann Hepatol 13.2
Tujios, Shannan, and Robert J. Fontana. 2011. Mechanisms of drug-induced liver
injury: from bedside to bench. Nature Reviews Gastroenterology and
Hepatology 8.4.
Wardhani, D.P., Uyainah, A. 2014. Tuberkulosis. Dalam: Tanto, C., Liwang, F.,
Hanifati, S.Kapita Selekta Kedokteran Edisi IV Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius. p. 828-832.
Werdhani, R. A. 2002. Patofisiologi, diagnosis, dan klafisikasi
tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan
Keluarga FKUI.

45

Anda mungkin juga menyukai