Anda di halaman 1dari 9

Tayangan televisi di Indonesia masa kini menjadi

penyakit degradasi moral pada anak bangsa

Ada hal yang sangat menggelisahkan saat menyaksikan


Pernyataan pendapat tayangan-tayangan televisi belakangan ini. Hampir semua
stasiun-stasiun televisi, banyak menayangkan program acara
(terutama sinetron) yang cenderung mengarah pada tayangan
berbau kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan
(hedonisme). Tayangan-tayangan tersebut terus berlomba demi
rating tanpa memperhatikan dampak bagi
pemirsanya.Kegelisahan itu semakin bertambah karena
tayangan-tayangan tersebut dengan mudah bisa dikonsumsi oleh
anak-anak.
Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, misalnya,
mencatat, rata-rata anak usia Sekolah Dasar menonton televisi
antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari
biasa mereka menonton tayangan televisi lebih dari 4 hingga 5
jam sehari. Sementara di hari Minggu bisa 7 sampai 8 jam. Jika
rata-rata 4 jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau
18.000 jam sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu
yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya
13.000 jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak
waktu untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan apa pun,
kecuali tidur (Pikiran Rakyat, 29 April 2004).
Lebih mengkhawatirkan, kebanyakan orang tua tidak
sadar akan kebebasan media yang kurang baik atas anak-anak.
Anak-anak tidak diawasi dengan baik saat menonton
televisi.Dengan kondisi ini sangat dikawatirkan bagaimana
dampaknya bagi perkembangan anak-anak.Kita memang tidak
bisa gegabah menyamaratakan semua program televisi
berdampak buruk bagi anak. Ada juga program televisi yang
punya sisi baik, misalnya program Acara Pendidikan. Banyak
informasi yang bisa diserap dari televisi, yang tidak didapat dari
tempat lain. Namun di sisi lain banyak juga tayangan televisi
yang bisa berdampak buruk bagi anak. Sudah banyak survei-
survei yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana dampak
tayangan televisi di kalangan anak-anak. Sebuah survei yang
pernah dilakukan harian Los Angeles Times membuktikan, 4 dari
5 orang Amerika menganggap kekerasan di televisi mirip dengan
dunia nyata. Oleh sebab itu sangat berbahaya kalau anak-anak
sering menonton tayangan TV yang mengandung unsur
kekerasan.Kekerasan di TV membuat anak menganggap
kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (Era
Muslim, 27/07/2004).Sementara itu sebuah penelitian di Texas,
Amerika Serikat, yang dilakukan selama lebih dari tiga tahun
terhadap 200 anak usia 2-7 tahun menemukan bahwa anak-anak
yang banyak menonton program hiburan dan kartun terbukti
memperoleh nilai yang lebih rendah dibanding anak yang sedikit
saja menghabiskan waktunya untuk menonton tayangan yang
sama (KCM, 11/08/2005). Dua survei itu sebenarnya bisa jadi
pelajaran.
Argumentasi Namun di Indonesia suguhan tayangan kekerasan dan
kriminal seperti Patroli, Buser, TKP dan sebagainya, tetap saja
dengan mudah bisa ditonton oleh anak-anak.Demikian pula
tayangan yang berbau pornografi dan pornoaksi. Persoalan gaya
hidup dan kemewahan juga patut dikritisi. Banyak sinetron yang
menampilkan kehidupan yang serba glamour.Tanpa bekerja
orang bisa hidup mewah.Anak-anak sekolahan dengan
dandanan yang "aneh-aneh" tidak mencerminkan sebagai
seorang pelajar justru dipajang sebagai pemikat.Sikap terhadap
guru, orangtua, maupun sesama teman juga sangat tidak
mendidik.
Dikawatirkan anak-anak sekolahan meniru gaya, sikap,
serta apa yang mereka lihat di sinetron-sinetron yang berlimpah
kemewahan itu. Peranan Orangtua Memang televisi bisa
berdampak kurang baik bagi anak, namun melarang anak sama
sekali untuk menonton televisi juga kurang baik. Yang lebih
bijaksana adalah mengontrol tayangan televisi bagi anak-
anak.Setidaknya memberikan pemahaman kepada anak mana
yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh.Orang tua
perlu mendampingi anak-anaknya saat menonton
televisi.Memberikan berbagai pemahaman kepada anak-anak
tentang suatu tayangan yang sedang disaksikan.Selain sarana
membangun komunikasi dengan anak, hal ini bisa mengurangi
dampak negatif televisi bagi anak. Kebiasaan mengonsumsi
televisi secara sehat ini mesti dimulai sejak anak di usia dini.
Perlu dipahami bahwa tempat pendidikan paling utama
adalah di keluarga, dimana orangtua adalah yang paling
bertanggungjawab di dalamnya.Kenapa mesti orangtua?Karena
orangtua yang bisa mengawasi anaknya lebih lama.Orangtua
paling dekat anaknya.Dalam keluargalah anak bertumbuh
kembang.Membiarkan anak menonton televisi secara berlebihan
berarti membiarkan tumbuh kembang dan pendidikan anak
terganggu.Kewajiban orangtua juga untuk memantau kegiatan
belajar anak di rumah.Perkembangan si anak tidak bisa terlalu
dibebankan pada sekolah.
Dalam kesehariaannya, guru di sekolah tidak akan bisa
mengantikan peran orangtua. Karena itu menjadi suatu
keharusan bagi orangtua untuk tetap memperhatikan si anak
selama di rumah. J Drost SJ (2000), seorang ahli pendidikan dari
IKIP Sanata Dharma pernah menulis dalam buku Reformasi
Pengajaran: Salah Asuhan Orantua?: "Penanaman nilai-nilai
dalam pembentukan watak merupakan proses informal. Tidak
ada pendidikan formal.Jadi seluruh pembentukan moral manusia
muda hanya lewat interaksi informal antara dia dan lingkungan
hidup manusia muda itu.Maka pendidik utama adalah orangtua.

Faktanya:

 Anak merupakan kelompok pemirsa yang paling rawan


terhadap dampak negatif siaran TV.
 Data th 2002 mengenai jumlah jam menonton TV pada
anak di Indonesia adalah sekitar 30-35 jam / minggu atau
1.560-1.820 jam / tahun . Angka ini jauh lebih besar
dibanding jam belajar di sekolah dasar yang tidak sampai
1.000 jam/tahun.
 Tidak semua acara TV aman untuk anak. Bahkan, “Kidia”
mencatat bahwa pada 2004 acara untuk anak yang aman
hanya sekira 15% saja.
 Saat ini jumlah acara TV untuk anak usia prasekolah dan
sekolah dasar per minggu sekitar 80 judul ditayangkan
dalam 300 kali penayangan selama 170 jam. Padahal
dalam seminggu ada 24 jam x 7 = 168 jam! Jadi, selain
sudah sangat berlebihan, acara untuk anak juga banyak
yang tidak aman.
 Acara TV bisa dikelompokkan dalam 3 kategori: Aman,
Hati-hati, dan Tidak Aman untuk anak.
 Acara yang ‘Aman’: tidak banyak mengandung adegan
kekerasan, seks, dan mistis. Acara ini aman karena
kekuatan ceritanya yang sederhana dan mudah dipahami.
Anak-anak boleh menonton tanpa didampingi.
 Acara yang ‘Hati-hati’: isi acara mengandung kekerasan,
seks dan mistis namun tidak berlebihan. Tema cerita dan
jalan cerita mungkin agak kurang cocok untuk anak usia
SD sehingga harus didampingi ketika menonton.
 Acara yang “Tidak Aman”: isi acara banyak mengandung
adegan kekerasan, seks, dan mistis yang berlebihan dan
terbuka. Daya tarik yang utama ada pada adegan-adegan
tersebut. Sebaiknya anak-anak tidak menonton acara ini.

Kenapa Kita Harus Mengurangi Menonton TV?

1) Berpengaruh terhadap perkembangan otak


Terhadap perkembangan otak anak usia 0-3 tahun
dapat menimbulkan gangguan perkembangan bicara,
menghambat kemampuan membaca-verbal maupun
pemahaman. Juga, menghambat kemampuan anak
dalam mengekspresikan pikiran melalui tulisan,
meningkatkan agresivitas dan kekerasan dalam usia 5-10
tahun, serta tidak mampu membedakan antara realitas
dan khayalan.

2) Mendorong anak menjadi konsumtif


Anak-anak merupakan target pengiklan yang utama
sehingga mendorong mereka menjadi konsumtif.

3) Berpengaruh terhadap Sikap


Anak yang banyak menonton TV namun belum
memiliki daya kritis yang tinggi, besar kemungkinan
terpengaruh oleh apa yang ditampilkan di televisi. Mereka
bisa jadi berpikir bahwa semua orang dalam kelompok
tertentu mempunyai sifat yang sama dengan orang di
layar televisi. Hal ini akan mempengaruhi sikap mereka
dan dapat terbawa hingga mereka dewasa.

4) Mengurangi semangat belajar


Bahasa televisi simpel, memikat, dan membuat
ketagihan sehingga sangat mungkin anak menjadi malas
belajar.

5) Membentuk pola pikir sederhana


Terlalu sering menonton TV dan tidak pernah
membaca menyebabkan anak akan memiliki pola pikir
sederhana, kurang kritis, linier atau searah dan pada
akhirnya akan mempengaruhi imajinasi, intelektualitas,
kreativitas dan perkembangan kognitifnya.
6) Mengurangi konsentrasi
Rentang waktu konsentrasi anak hanya sekitar 7
menit, persis seperti acara dari iklan ke iklan, akan dapat
membatasi daya konsentrasi anak.

7) Mengurangi kreativitas
Dengan adanya TV, anak-anak jadi kurang bermain,
mereka menjadi manusia-manusia yang individualistis
dan sendiri. Setiap kali mereka merasa bosan, mereka
tinggal memencet remote control dan langsung
menemukan hiburan. Sehingga waktu liburan, seperti
akhir pekan atau libur sekolah, biasanya kebanyakan diisi
dengan menonton TV. Mereka seakan-akan tidak punya
pilihan lain karena tidak dibiasakan untuk mencari
aktivitas lain yang menyenangkan. Ini membuat anak
tidak kreatif.

8) Meningkatkan kemungkinan obesitas (kegemukan)


Kita biasanya tidak berolahraga dengan cukup karena
kita biasa menggunakan waktu senggang untuk
menonton TV, padahal TV membentuk pola hidup yang
tidak sehat. Penelitian membuktikan bahwa lebih banyak
anak menonton TV, lebih banyak mereka mengemil di
antara waktu makan, mengonsumsi makanan yang
diiklankan di TV dan cenderung mempengaruhi orangtua
mereka untuk membeli makanan-makanan tersebut.
Anak-anak yang tidak mematikan TV sehingga jadi
kurang bergerak beresiko untuk tidak pernah bisa
memenuhi potensi mereka secara penuh. Selain itu,
duduk berjam-jam di depan layar membuat tubuh tidak
banyak bergerak dan menurunkan metabolisme,
sehingga lemak bertumpuk, tidak terbakar dan akhirnya
menimbulkan kegemukan.

9) Merenggangkan hubungan antar anggota keluarga


Kebanyakan anak kita menonton TV lebih dari 4 jam
sehari sehingga waktu untuk bercengkrama bersama
keluarga biasanya ‘terpotong’ atau terkalahkan dengan
TV. 40% keluarga menonton TV sambil menyantap
makan malam, yang seharusnya menjadi ajang ’berbagi
cerita’ antar anggota keluarga. Sehingga bila ada waktu
dengan keluarga pun, kita menghabiskannya dengan
mendiskusikan apa yang kita tonton di TV. Rata-rata, TV
dalam rumah hidup selama 7 jam 40 menit. Yang lebih
memprihatinkan adalah terkadang masing-masing
anggota keluarga menonton acara yang berbeda di
ruangan rumah yang berbeda.

10) Matang secara seksual lebih cepat


Banyak sekali sekarang tontonan dengan adegan
seksual ditayangkan pada waktu anak menonton TV
sehingga anak mau tidak mau menyaksikan hal-hal yang
tidak pantas baginya. Dengan gizi yang bagus dan
rangsangan TV yang tidak pantas untuk usia anak, anak
menjadi balig atau matang secara seksual lebih cepat dari
seharusnya. Dan sayangnya, dengan rasa ingin tahu
anak yang tinggi, mereka memiliki kecenderungan meniru
dan mencoba melakukan apa yang mereka lihat.
Akibatnya seperti yang sering kita lihat sekarang ini, anak
menjadi pelaku dan sekaligus korban perilaku-perilaku
seksual. Persaingan bisnis semakin ketat antar Media,
sehingga mereka sering mengabaikan tanggung jawab
sosial, moral & etika.

11) Meningkat tekanan darah


Menurut penelitian yang merupakan kerja antara
para peneliti Amerika dan Spanyol ini, anak-anak yang
memiliki kebiasaan menonton TV selama 90 sampai 330
menit sehari ternyata memiliki tekanan darah sistol dan
diastol 5 sampai 7 poin lebih tinggi dibandingkan dengan
anak-anak yang hanya menonton TV kurang dari 1,5 jam
sehari. Anak-anak dalam penelitian ini rata-rata berusia 3
sampai 8 tahun.

Tudingan terhadap media massa terutama televisi sebagai


biang keladi tindak kekerasan dan perilaku negatif lainnya pada
pada anak-anak sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Sekitar
satu dekade yang lalu, musik rock disalahkan sebagai penyebab
kasus pembunuhan di kalangan remaja. Begitupun film kartun
berjudul Beavis dan Butthead dituding sebagai penyebab
membanjirnya kasus pembakaran rumah di mana pelakunya
adalah anak-anak muda.
Di sekitar kita, rasanya sering kita melihat anak yang baru
saja nonton film cowboy di layar televisi, lalu berlari ke halaman
rumah kemudian berguling-guling dan berteriak "dor dor.. dor...
sambil memegang pistol mainan atau apa saja yang di
pegangnya. Sering pula kita mendengar ucapan-ucapan yang
kurang pas dilontarkan mereka menirukan idolanya di TV. Begitu
pula bagaimana anak-anak meniru berbagai adegan sadis,
sensual, dan erotik yang setiap saat dapat disaksikan melalui
layar TV. Tokoh-tokoh film anak, seperti Superman, Dora Emon,
Satria Baja Hitam, Power Ranger, dan tokoh lainnya sungguh
melekat dalam kehidupan mereka. Bahkan kondisi seperti ini
dimanfaatkan betul oleh para pedagang. Mereka membuat
busana anak yang mirip dengan para tokoh tersebut, dan
hasilnya sangat digemari anak-anak.
Kecenderungan lain adalah anak-anak dan para remaja
merasa bergengsi bila makan makanan yang sering muncul di
layar TV. Makanan fast food seperti fried chichen, pizza,
hamburger, dan jenis makanan lainnya yang di negara asalnya
merupakan makanan biasa menjadi makanan luar biasa
(bergengsi). Anak-anak mulai tahu bahkan paham betul merek-
merek dagang terkenal dan lux, termasuk merk mobil yang
mungkin mustahil terjangkau oleh kocek orang tuanya. Lebih
mengkha-watirkan lagi mereka lebih suka nongkrong di depan
TV, diban-dingkan belajar, membaca, atau mengerjakan
pekerjaan rumah dari gurunya.
Memang televisi semakin dekat dengan anak. Banyaknya
pilihan acara yang disuguhkan dari berbagai stasiun televisi,
membuat anak semakin senang nongkrong di depan layar
televisi. Pihak stasiun televisi tidak sedikit menyediakan acara-
acara khusus untuk dikonsumsi anak-anak. Simak saja acara-
acara Sabtu dan Minggu pagi hampir semua stasiun TV
menyajikan program anak-anak. Apalagi kini komunikasi antara
orang tua dan anak cenderung berkurang sebagai konsekuensi
kesibukan para orang tua pada pekerjaaanya serta makin
hilangnya budaya dongeng orang tua saat pengantar tidur.
Pendek kata, televisi sudah merupakan teman akrab mereka
yang setiap saat mereka bisa menyaksikannya.
Bila dicermati lebih mendalam ternyata dampak tayangan
TV tidak hanya mempengaruhi pola tingkah laku tetapi juga
mempengaruhi pola tutur kata anak. Ungkapan “papa jahat” atau
“mama jahat” acap diucapkan seorang anak manakala orang
tuanya tidak mengabulkan permintaan anaknya. Contoh lain,
seorang anak juga sering mengatakan kata-kata yang
mengandung unsur kekerasan atau kata-kata negatif seperti
“bodoh”, “aku bunuh kau”, “aku benci kamu”, atau “emangnya
gue pikirin”
Tayangan televisi yang telah meresahkan masyarakat
memang membutuhkan dimensi kepedulian moral bagi pengelola
atau lembaga penyiaran. Pihak pengelola televisi memang sering
dihadapkan pada dilematis antara dimensi idiil dan dimensi
komersial. Meskipun secara filosopis idealisme (dimensi idiil)
menjadi ciri hakiki pers tetapi realitas menunjukkan bahwa aspek
komersial lebih menggejala. Pengelola penyiaran televisi masih
terjebak pada upaya menayangkan siaran-siarannya yang
mengarah pada unsur hiburan dan informasi semata
(infotainment).
Penonton dewasa memiliki tingkat filterisasi yang baik
dibandingkan anak-anak. Penonton dewasa bukanlah audience
pasif. Artinya, organisme penonton dewasa sebagaimana
konsepsi teori S-O-R (Stimulus Organisme Respon) yang telah
dikembangkan Hovland lebih bersifat aktif dibandingkan
penonton anak-anak. Penonton dewasa telah mampu memilah-
milah mana yang baik dan mana yang buruk sementara
penonton anak-anak belum mampu mengkritisi atau memfilter
pesan tayangan televisi yang masuk ke otaknya (black box).
Pada anak-anak komponen organisme (daya pikir) masih labil.
Artinya, pesan-pesan tayangan televisi memberikan memori yang
cepat atau lambat mempengaruhi perilaku yang ditimbulkan.
Dengan kata lain sebagaimana karakter anak-anak, mereka akan
meniru apa yang telah dilihatnya di televisi. Artinya, tayangan
televisi sesuai dengan teori modeling akan menjadi model
perilaku anak-anak.
Mungkin masih segar dalam ingatan kita ketika tayangan
smackdown membuat geger jagat nusantara. Aksi kekerasan
yang diperagakan anak-anak merupakan dampak negatif setelah
menonton acara smackdown di televisi. Dengan polos dan lugu
mereka mempraktekkan aksi membanting seperti adegan yang
telah disaksikannya di layar kaca.
Berdasarkan kajian, saat ini 6-7 jam televisi membombardir
tayangan-tayangannya kepada anak-anak. Dapat dibayangkan,
bagaimana pesan-pesan televisi “meracuni” pikiran anak-anak
yang secara psikologis masih pada tahap mencari jati diri dengan
sifat ingin tahunya yang begitu besar. Melihat kondisi yang ada
dapat disebutkan bahwa 1/3 hari anak-anak dihabiskan dengan
“berpetualang” dengan tayangan televisi. Bahkan tidak salah jika
disebutkan tayangan televisi telah menjadi “orang tua” bagi anak-
anak.
Celakanya, saat menonton TV tak jarang orang tua
(terutama kaum ibu) larut dalam alur cerita yang disajikan. Saat
menonton sinetron misalnya, orang tua yang semestinya harus
menjadi komentator dalam mendampingi anaknya menonton TV
justru terhipnosis oleh adegan-adegan yang ditonton. Akibatnya,
selain tak kuasa melarang anak untuk menonton TV, tak jarang
orang tua hanya duduk diam menikmati acara tanpa
berkomunikasi dengan anaknya.
Meskipun sulit untuk melarang anak untuk menonton TV,
setidaknya kesadaran akan dampak negatif tayangan TV meski
disikapi secara arif. Orang tua mesti mendampingi anak-anaknya
saat menonton TV. Beri Komentar atau penjelasan kepada anak
saat ada adegan atau informasi yang tidak patut dicontoh oleh
anak.
Bila perlu masyarakat dapat melakukan boikot terhadap
tayangan-tayangan yang kurang mendidik. Setidaknya
masyarakat harus secara aktif ikut mengawasi isi siaran TV.
Laporkan kepada Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID)
Sumatera Barat kalau menyaksikan program acara TV yang tidak
sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Sementara itu, kita berharap pihak pengelola TV berkenan
menyajikan tayangan-tayangan yang berkualitas. Meskipun kita
menyadari bahwa TV harus survive. Tetapi hal ini tidak serta
merta dengan menayangkan tayangan-tayangan yang kurang
bermutu. Saatnya acara untuk anak-anak menjadi perhatian
khusus. Sebab, anak-anak adalah korban tayangan-tayangan
TV. Anak-anak belum memiliki kemampuan untuk mencerna
pesan tayangan TV yang diterimanya. Artinya, anak-anak akan
“menelan mentah-mentah” semua informasi yang diperolehnya.
Semua yang ditontonnya dianggap sebagai sesuatu yang benar
(legitimate). Di sinilah kepedulian moral dan tanggung jawab
social pengelola TV dalam menyajikan tontonan yang sehat dan
cerdas dipertaruhkan. Sebab, kreativitas yang merupakan kunci
pengembangan TV tidak identik dengan penyajian tayangan-
tayangan yang berdampak negatif pada perilaku anak.
Televisi adalah media yang potensial sekali tidak saja
Penegasan ulang pendapat untuk menyampaikan informasi tetapi juga membentuk perilaku
seseorang, baik ke arah positif maupun negatif, disengaja
ataupun tidak. Sebagai media audio visual TV mampu merebut
94 % saluran masuknya pesan-pesan atau informasi ke dalam
jiwa manusia yaitu lewat mata dan telinga. Televisi mampu untuk
membuat orang pada umumnya mengingat 50 % dari apa yang
mereka lihat dan dengar di layar televisi walaupun hanya sekali
ditayangkan. Atau, secara umum orang akan ingat 85 % dari apa
yang mereka lihat di TV, setelah 3 jam kemudian dan 65 %
setelah 3 hari kemudian. (Dwyer)
Mengapa televisi diduga bisa menyulap sikap dan
perilaku masyarakat, terutama pada anak-anak. Menurut Skomis,
dibandingkan dengan media massa lainnya (radio, surat kabar,
majalah, buku, dan lain sebagainya), televisi tampaknya
mempunyai sifat istimewa.
Kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan dan
perilaku negatif lainnya pada anak diduga sebagai dampak
gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi
besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama
anak-anak yang relatif masih mudah terpengaruh dan
dipengaruhi. Hasil penelitian para ahli menunjukan bahwa
tayangan televisi bisa mempengaruhi perilaku anak dan juga
sebaliknya tidak berpengaruh apa-apa. Pengaruh ini justru lebih
dominan dipengaruhi oleh keharmonisan keluarga. Anak dari
keluarga harmonis lebih memiliki benteng/penangkal dalam
menyikapi tayangan televisi. Oleh karena itu penangkal yang
paling ampuh terhadap dampak negatif tayangan televisi adalah
menciptakan keluarga yang harmonis, keluarga yang berusaha
menanamkan norma luhur dan nilai agama dalam kehidupan
sehari-harinya. Begitu pula stasiun televisi mempunyai tanggung
jawab mendidik masyarakat dan anak bangsa melalui pemilihan
acara yang tepat.
Kelompok Taufiq Ismail :
1. Dimas Setiawan (05)
2. Nanda Aristiawan (19)
3. Safira Khairina (29)

Anda mungkin juga menyukai